Ending Scene | 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bae Suji menatap sosok perempuan dalam bingkai kecil yang duduk tegak di samping guci abu, bagian badan guci terlukis susunan nama menggunakan cat hitam mengkilap, menegaskan bahwa serpihan pemilik nama berada di dalamnya. Bohong jika Suji mengatakan diri baik-baik saja, atau mengaku tidak pernah meneteskan cairan kepedihan. Suji memang tidak tinggal satu atap bersama Jieun, tapi kehilangan tetap amat terasa menggores relung, akibat perasaan itu, maka Suji tidak pernah mengatakan 'jangan menangis' kepada Hyuk, Shin, juga Naran. Pikir Suji, biarkan mereka mencurahkan segala beban kesedihan, tidak masalah menangis, yang menjadi masalah, adalah Kim Soo Hyun.

Laki-laki itu seperti mayat bermata terbuka. Wajah tanpa ekspresinya tidak berubah sejak kepergian Jieun, tidak pula tetes air mata meluruh jatuh. Bahkan setelah penghormatan terakhir selesai dilaksanakan, Soo Hyun hanya mematung di tempat, samping Suji.

Masih segar dalam ingatan, detail kejadian yang membuat Suji membeku di ambang pintu seperti orang linglung. Pagi-pagi, Suji baru sadar kalau tas berisi kosmetiknya tertinggal di rumah Kim, karena buru-buru beranjak pergi usai makan malam bersama ketiga anak Soo Hyun. Lee Jieun sempat menyarankan Suji menginap, sudah larut malam, katanya. Namun dengan pernyataan bahwa Suji punya wawancara kerja esok hari, membuat Jieun mau tak mau melepas Suji pulang.

Berhubung bisa gagal percaya diri jika tidak memoles wajah, Suji mendatangi kediaman kakak sepupunya kembali. Baru hendak menekan bel, pintu rumah sudah menguak lebar dari dalam, napas Suji mendadak tertahan; lebih dari terkejut melihat Soo Hyun membopong tubuh Jieun tergesa, serta panik yang terpasang sempurna pada wajah. Seakan ada lem perekat, Suji tidak bisa lepas memandang Soo Hyun yang melangkah menuju mobil.

Menutup pintu bagian penumpang, Soo Hyun melihat arah Suji. "Bisa antar anak-anak ke sekolah? Aku akan menghubungimu nanti."

Jarak yang tidak jauh, tentu Suji mendengar. Tidak menunggu persetujuan, Soo Hyun sudah lebih dulu memasuki mobil. Bukan hal sulit untuk mengantar ketiga anak Kim ke sekolah, hanya, Suji kebingungan soal wawancara kerja, sementara waktu miliknya terbatas. Jika sampai di tempat pelaksana, dan ternyata wawancara sudah berlangsung, Suji tidak akan punya kesempatan.

"Ibu, Bi...."

Berpindah pandang dari mobil yang telah meninggalkan pelataran rumah, Suji baru sadar oleh kehadiran Naran. Tak lama, Hyuk bersama Shin keluar, berjajar di sisi sang kakak.

"Ibu kalian kenapa?" tanya Suji pelan, lalu berlutut di hadapan mereka.

Naran menggeleng, tanda tidak tahu, kemudian Hyuk yang menjawab. "Aku membangunkan ibu, tapi ibu tidak bangun. Tangan ibu dingin...."

Saat itu, Suji yakin untuk membatalkan wawancara kerja, berpikir, tidak mungkin dirinya bersikap egois dalam situasi mendesak seperti sekarang, walau Suji belum memahami apa yang terjadi.

---

Hyuk Yoon membenci baju hitam yang dirinya pakai, dan lebih membenci keadaan dimana sang ayah yang tiba-tiba irit bicara. Hari tanpa ibunya saja sudah cukup membuat Hyuk sedih.

Dari tiga puluh menit lalu, Hyuk duduk di tanjakan menuju pintu masuk rumah abu. Anak itu menolak ke dalam. Bibi Suji-nya sudah menjelaskan, kalau ibu sakit, sang ibu benar-benar sudah tiada, dan tidak bersembunyi. Hyuk paham, tapi mengapa selalu ada kematian di tiap kehidupan?

Ketika malam menjemput pagi untuk hadir, Hyuk tidak mendengar suara ibu yang selalu memerintah supaya Hyuk cepat mandi, atau melarang Shin menonton televisi jika belum merapikan diri. Tidak ada tiga gelas susu di meja, rumah yang biasanya penuh tawa tidak terdengar lagi.

"Kim Hyuk Yoon." Naran yang menuntun Shin mendekat arah Hyuk, lalu memosisikan duduk di samping adik kecilnya.

"Kau tidak mau melihat ibu?"

Hyuk mengabaikan pertanyaan Naran, membuang muka, lebih sudi menatap dinding tangga daripada harus menghirup aroma dupa yang menguar dari pakaian kedua kakaknya.

"Ya, Hyuk," tegur Naran, sikap Hyuk amat tidak sopan—bagi Naran yang tidak suka diabaikan.

"Apanya yang melihat ibu?" Hyuk beralih, menyorot kesal arah Naran. Kata 'melihat' seperti kebohongan, pada kenyataanya Hyuk tidak bisa bertemu sang ibu.

"Hyuk, mungkin ibu memang tidak bisa dilihat secara nyata lagi, tapi jika kau menemui ibu di dalam, ibu bisa melihatmu," kata Naran, dirinya mencoba menularkan kepercayaan kepada Hyuk. Kematian hanya berarti raga terpisah dari ruh, raga yang mati, bukan ruh.

"Memangnya kau mau ibu sedih?" Shin ikut bicara, kedua tangannya sibuk memainkan pita hitam yang terpasang di bagian depan baju.

Tanpa menyahut, Hyuk lantas berdiri—memasuki gedung kolumbarium. Ayah bersama bibinya pasti masih di dalam, jadi Hyuk tidak akan kesulitan mencari blok penyimpanan abu sang ibu.

---

Serbuk. Lee Kang In. Buku.

Sesaat mobil berhenti di depan IGD rumah sakit, Soo Hyun yang akan memindahkan Jieun ke brankar terhenti pergerakannya, perempuan itu menarik leher Soo Hyun guna lebih dekat, lalu membisikkan tiga kata singkat yang berhasil terekam sempurna dalam ingatan.

Hari Sabtu pagi, Soo Hyun berpikir Jieun kelelahan, makanya belum bangun, Soo Hyun juga tidak berniat membangunkan, tapi suara Hyuk tiba-tiba menginterupsi Soo Hyun yang masih dalam acara mandi untuk mematikan shower, anak itu berteriak bahwa ibunya tidak bangun-bangun. Saat Soo Hyun keluar kamar mandi, ia menyaksikan sendiri bagaimana Hyuk beberapa kali mengguncang tubuh ibunya yang hanya bergeming, masih terbaring di ranjang bawah selimut.

Kegelapan secara cepat melingkup, kemudian tambah pekat kala dokter menyatakan kritis untuk Lee Jieun, yang tidak pernah Soo Hyun paham alasannya; terdapat zat aktif yang menghalangi organ Nyonya Lee bekerja. Sejenak penjelasan dokter mengabur dalam pendengaran, terganti oleh kata 'buku' dari Jieun.

Soo Hyun tahu, Jieun selalu bersama buku tulisnya di malam-malam suntuk, tapi Soo Hyun tidak pernah tahu apa yang Jieun tulis, semata-mata untuk menjaga privasi Lee Jieun—meskipun mereka suami istri. Di hari itu, Soo Hyun baru berani membuka buku yang terletak rapi bersama pena di laci meja, setelah memberi kabar kepada Suji, dan meminta gadis itu ke rumah sakit—menjaga Jieun sejenak, agar tetap mengetahui perkembangan kondisinya.

Dari halaman pertama, tombak tajam sudah menancap tepat di dada Soo Hyun, menembus punggung, membuat napasnya sulit keluar. Demikian, Soo Hyun tetap menggerakkan tangan, membuka lembar berikutnya hingga kedua tungkai benar-benar lemas, tubuh terduduk di lantai, tanpa Soo Hyun sadari sendiri. Beberapa fakta terkuak, memberikan dampak rasa sakit yang menggunung. Sampai lembar keempat, tulisan Jieun berhenti di sana, sekaligus terdapat lipatan kertas—menyelip seolah menjadi pembatas buku. Warna kertasnya serupa seperti yang Soo Hyun lihat sekilas, kala mengambil gelas sisa kopi dari tangan Jieun, malam itu.

Soo Hyun mulai mengaitkan satu per satu kejadian; seperti Jieun yang tidak membagi Soo Hyun kopi dengan dalih pahit. Sebelumnya, Jieun juga sempat bertingkah 'ini minumanku, hanya untukku', lalu kebohongan Jieun tentang bertemu Jinri, rambut rontok, dan Jieun yang menggunting rambutnya menjadi pendek, kemudian menyambungkan seluruh kenyataan yang Jieun tulis di buku.

Kertas krem itu berisi bubuk halus, Soo Hyun baru membuka. Satu kesimpulan besar terdapat, membuat kedua tangannya terserang tremor. Namun tidak meruntuhkan niat, Soo Hyun melepas buku dan kertas krem yang sudah dilipat kembali, membiarkan kedua objek tergeletak sebentar di pangkuan, sementara Soo Hyun mengambil ponsel dari saku, suara nyaris hilang saat hari yang sama pula, dirinya melapor ke pihak berwajib.

Menyusun detik sebelum kematian Jieun, membuat Soo Hyun semakin terpuruk dalam-dalam. Nyawa Jieun hilang esok paginya, hari Minggu, tanpa peduli kalau Soo Hyun memiliki harapan besar Jieun tetap bertahan, sekalipun dokter mengatakan keselamatan Lee Jieun laksana sinar matahari di pertengahan malam.

"Lee Kang In." Satu nama tersebut, dan langsung dapat atensi Suji. Pasalnya, suara Soo Hyun baru terdengar, Suji nyaris percaya kalau Soo Hyun tiba-tiba gagu.

Menoleh arah saudaranya, Soo Hyun mengajukan pertanyaan. "Aku sangat bodoh ya, Suji?"

"Iya, kau bodoh, sampai tidak tahu kalau dimanfaatkan." Persetan bahwa sebetulnya pertanyaan Soo Hyun barusan bersifat retoris. Suji benar-benar mengutuk orang bernama Lee Kang In. Keterangan Soo Hyun saat dua orang berbadan tegap menyambangi rumah sakit membuat Suji mengetahui keseluruhan yang terjadi, lipatan kertas krem yang Soo Hyun bawa dari rumah menjadi barang bukti, selain hasil lab Jieun.

Soo Hyun mengusap kasar wajah menggunakan kedua tangan, kakinya bergerak mundur, detik selanjutnya ia melangkah lebar menuju luar, sampai tidak melihat bahwa Hyuk sedang berjalan berlawanan arah.

"Ayah," panggil Hyuk, tapi sang ayah tetap pada langkahnya.

"Hei, Hyuk Yoon, kemari...." titah Suji, melihat si kecil berada di ujung lemari tinggi penyimpanan abu.

"Bibi, ayah mau ke mana?" Hyuk mendekat arah Suji, kepalanya tidak lagi menengok sang ayah, toh, punggung Soo Hyun memang sudah tidak tampak lagi.

"Ada urusan. Nanti Hyuk pulangnya sama Bibi, oke?"

Baik, lupakan tentang Suji yang tidak suka sebutan bibi tersemat pada dirinya. Suasana berkabung bukan waktu yang tepat untuk mendebat hal sepele.

---

Laki-laki berbalut seragam tahanan keluar dari balik pintu didampingi sipir, Soo Hyun hanya memerhatikan sampai Kang In duduk di hadapannya, terhalang sekat kaca bening.

"Aku cukup terkejut melihatmu sehat begini."

Kalimat omong kosong yang jelas tidak ingin Soo Hyun dengar. Apa Kang In tidak merasa sedih? Dirinya pasti tahu Jieun telah tiada, apa tidak ada sedikit saja penyesalan? Ah, sepertinya berlebihan Soo Hyun berpikir demikian, jika itu adalah Lee Kang In, serigala berkepala dua.

"Demi kau hidup, Lee Jieun rela menggantikan posisimu, hebat sekali."

Wajah Soo Hyun belum banyak menampilkan ekspresi. Sejak kemarin, hingga hari ini penempatan abu Jieun, Soo Hyun tidak punya energi untuk bereaksi lebih. Soo Hyun cuma ingin mengunjungi teman yang tidak akan ditemuinya lagi. Ini yang terakhir.

"Jieun pasti sangat suka drama romantik ya, sehingga di kehidupan nyata, dia menjelma lakon utama."

Soo Hyun tidak pernah tahu kalau Kang In bisa mengatakan kalimat sekejam itu, terlebih setelah apa yang dilakukannya. Kim Soo Hyun bodoh, bukan hanya Suji yang membenarkan, diri sendiri juga. Soo Hyun orang terbodoh, membangun hubungan baik dengan Kang In. Awalnya, Soo Hyun tidak memercayai istilah, seseorang yang paling dekat, merupakan orang yang berpotensi besar melukai. Hanya sekarang, setelah Soo Hyun merasakannya sendiri, ia baru percaya. Sakit yang tertoreh tidak main-main, belum lagi menerima kekecewaan sebagai balasan atas kebaikan.

"Kau salah, Jieun lebih suka drama keluarga yang minim unsur romantik. Kau tahu? Jieun memang menggantikanku, demi aku hidup, tapi itu juga demi menghentikan kebusukanmu, Lee Kang In."

Laki-laki di dalam kaca menatap Soo Hyun penuh letupan amarah. Bukankah Soo Hyun yang seharusnya menampilkan raut begitu? Kang In selalu berhasil memutarbalik keadaan, menempatkan diri sebagai korban.

"Padahal kau tidak perlu berindak sejauh itu." Soo Hyun mendesis, hati yang berlubang terus-menerus menimbulkan hampa nan perih. "Sebelum aku menikahi Jieun, kau bisa bilang bahwa calon istriku memiliki hutang padamu, aku sanggup melunasi. Kau yang merumitkan situasi, tapi kau menekan Jieun sampai memperalatnya. Wae? Karena kau serakah."

Kedua mata Kang In kian menajam layaknya belati, tapi Soo Hyun tidak merasa terintimidasi sama sekali. Soo Hyun mengemukakan kenyataan, tidak ada yang salah bagi Soo Hyun.

"Sekarang, aku akan membayar seluruh hutang Lee Jieun. Berapa? Apa sudah terlalu banyak? Akan aku alihkan kepemilikan KJ Finansial atas namamu. Kau pikir aku khawatir kehilangan harta tidak berharga itu? Aku lebih khawatir saat mengetahui Jieun hilang kesadaran sebelum meninggal."

Rahang Soo Hyun mengetat. Mengepal erat kedua tangan di atas lutut, Soo Hyun masih menahan diri untuk tidak meledak, memuntahkan segenap kemurkaan.

"Kang In, aku berjanji akan memberikan semua kekayaan materi yang kupunya untukmu, jadi bisakah kau mengembalikan Lee Jieun?" Tatapannya tetap mengarah Kang In tanpa lepas.

Masa besuk sebentar lagi habis, sepanjang itu Soo Hyun belum mendapat jawaban. Kang In tiba-tiba membisu. Kemana kata-kata arogannya?

Jangan mengira kalau Soo Hyun tidak serius. Kim Soo Hyun sungguh akan memberikan segala kekayaan yang dirinya punya, jika rumah terhangatnya bisa kembali.

.
.
.

A/N: Huhaiii, sampai di sini, apa tanggapan kalian? :"

Tunggu bagian akhirnya yaa, sehat-sehat terus sayang-sayangnya akuu. Jaga kesehatan pokoknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro