Bab 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-------------------------<<>>--------------------------

"Jadi, Nak Sakti kemari karena ada perlu dengan Gita atau dengan saya?"

Baik Gita maupun Sakti saling pandang. Keduanya tak menyangka dengan pertanyaan yang dilontarkan Eddy.

Barulah Sakti merasakan penyesalan atas keteledoran dirinya yang asal menarik seorang perempuan dalam lingkaran kebohongan. Ia mulai memahami bagaimana kekalutan Gita tentang status palsu mereka. Dan perlahan ia merasakan kekhawatiran yang sama.

-------------------------<<>>---------------------------

Anggita berulang kali mengecek ponselnya. Ia masih tak percaya dengan pesan yang diterimanya satu jam yang lalu.

"Apa ada masalah, Mbak?"

Gita segera menutup layar ponsel dan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, Pak. Kita selesai jam 2, kan?"

Bapak berbaju batik yang tadi bertanya itu menjawab dengan anggukan kepala.

Kemudian Gita pun beranjak mendekati panggung pelaminan lagi. Untuk sejeanak ia bisa melupakan isi pesan itu. Lalu-lalang para tamu membuat perempuan itu tidak bisa beristirahat. Menjadi pembawa acara di resepsi pernikahan seorang tokoh masyarakat memang tidak pernah bisa santai.

"Hadirin serta tamu yang berbahagia. Demikianlah rangkaian acara resepsi pernikahan antara Ananda Sarah Rafiqah dan Ananda Septian Mulya Putra. Akhirnya kita berada di penghujung acara, kami mewakili keluarga besar yang berbahagia mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa restu Anda kepada kedua mempelai.

"Terima kasih kami ucapkan juga kepada semua vendor yang telah membantui suksesnya cara pada hari ini. Terima kasih untuk Bahagia Hari Ini Wedding Organizer, Arinda Catering, 2D Music Entertainment, Garashee Project Decor, Syabila Make Up, dan Expressi Studio Foto. Saya Anggita Rahayu pamit diri. Terima kasih atas perhatrian Anda. Selamat Siang."

Gita mengembuskan napas lega setelah menonaktifkan mic yang dipegangnya. Ia tersenyum ramah kepada tim band lalu menyerahkan mic. "Duluan ya," pamit Gita.

"Dah Teh Gita. Kapan-kapan kerja bareng lagi ya."

"Ogah ah. Bosen musiknya sama Ririn lagi. Ririn lagi," canda Gita yang disambut dengan gerutuan si Vokalis.

Gita segera beranjak menuju ruang ganti. Ia sudah tak tahan ingin segera mengganti kebayanya dengan pakaian yang lebih bisa membuatnya bernapas lega. Di perjalanan ia sempat berpapasan dengan beberapa orang yang ia kenal. Salah satunya adalah Harry.

Harry adalah pemilik Bahagia Hari ini. Sebuah Wedding Organizer yang sudah bekerja sama dengan Gita selama dua tahun terakhir ini.

"Langsung pulang, Git?" tanya Harry.

Gita tersenyum kemudian menggeleng. Ia teringat dengan pesan di ponselnya yang belum sempat dibalas. "Nggak. Mau ada janjian dulu."

"Sama pacar ya?" goda Harry sambil menaik-naikkan kedua alisnya.

"Kalo iya kenapa? Gita menanggapi godaan itu sambil tertawa kecil lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu luput memperhatikan reaksi Harry yang terdiam pucat.

~~~

Me :

Maaf baru balas. Jam berapa? Saya sekarang ada di Grand Mustika Conventian Hall.

Gita tidak berharap akan mendapat balasan pesan saat itu juga. Karenanya ia melongo tak percaya ketika Sakti langsung menjawab.

Sakti :

Saya tunggu di Arumee Coffee.

Gita mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia meliaht sekali lagi pesan terbaru. Arumee Coffee. Itu adalah kafe kopi yang letaknya justru tidak jauh dari Convention Hall ini. Mendengar pengakuan Sakti tentang kemampuan Dessy dalam mendeeteksi latar belakang seseorang, rasanya tidak mungkin Sakti tidak tahu keberadaan dirinya sekarang. Perempuan itu pun mencebik kesal.

Me:

Okey. Tunggu setengah jam lagi.

Sebenarnya Gita hanya perlu waktu lima belas menit. Apalagi ia sudah menanggalkan kebaya dan berganti baju dengan blouse dan celana panjang. Tetapi ia merasa perlu menghukum Sakti dengan menyuruhnya menunggu.

~~~

Sakti baru saja memesan cangkir cokelat kedua saat ia melihat sepeda motor masuk ke parkiran kafe. Sekali lihat laki-laki itu sudah menebak siapa pengendara motor dengan cc besar berwarna merah itu.

Seandainya saja Sakti tidak melihat dengan kepala mata sendiri kendaraan yang dikendarai Gita saat berkunjung ke rumahnya tempo hari, ia tidak akan pernah percaya ada seorang wanita yang mampu mengendarai sepeda motor sport. Apalagi sepeda motor dengan ukuran 250cc.

Reaksinya melihat satpam rumah mendorong motor besar alih-alih menaikinya adalah geleng-geleng kepala.

"Selamat datang, " sapaan dari pelayan kafe yang baru saja mengantarkan pesanan membuat Sakti meyangkan pandang ke pintu masuk.

Gita tersenyum menjawab sapaan itu. Ia lalu menengok ke kanan dan kiri mencari seorang laki-laki yang sedang menikmati kopi sendirian.

Sakti terdiam di mejanya. Ia menikmati pemandangan Gita yang beberapa kali salah mengenali orang. Tiba-tiba ponsel di mejanya bergetar.

Gita is Calling ...

"Hallo."

"Di mana?"

Sakti terdiam. Ia melihat Gita yang tampak seperti bicara cepat tetapi tak tedengar suara apapun.

"Kamu bicara apa?"

"Saya sudah sampai di Arumee Coffee."

Sekali lagi, Sakti melihat Gita tampak berbicara cepat. Bibirnya terus bergerak seolah bicara tanpa titik dan koma.

"Ya. Saya sudah lihat kamu."

Ekspresi marah tampak terukir di wajah Gita. Sakti tersenyum melihat ekspresi itu.

"Kalau gitu, kenapa nggak manggil saya?"

"Coba kamu balikkan badanmu. Arah jam 4." Sakti menutup panggilan telepon.

Saat laki-laki itu mengangkat wajah, matanya bertemu pandang dengan mata Gita. Senyum di wajahnya surut saat menyadari ekspresi kesal di wajah wanita itu.

"Ada apa?" tanya Gita tanpa basa-basi saat ia menyorokkan bokongnya di atas kursi berhadapan dengna Sakti.

"Pesan makanan dulu!" perintah Sakti.

Gita menggeleng lemah. "Udah kenyang. Cukup banyak kalori yang tertimbun buat hari ini."

"Minum kalo gitu?" tawar Sakti.

"Air putih."

Sakti melihat Gita yang tampak menyilangkan kedua tangannya di dada.

"To the point." Gita meminta langsung.

"Kenapa saya merasa kamu sepertinya kesal bertemu dengan saya? Padahal seingat saya, kamu pernah bilang kalau kamu adalah penggemar saya. Bukankah seorang penggemar akan merasa bahagia bertemu dengan idolanya?"

Gita mencebik sambil mengalihkan pandangan. "Tapi setahu saya, tidak ada seorangpenggemar pun yang akan dikejar-kejar oleh keluarga dari idolanya?"

Sakti menaikkan sebelah alisnya.

Melihat reaksi tanya tanpa suara dari Sakti, Gita mendengkus lalu berujar, "Sejak saya pulang dari rumah keluarga Mas Sakti, Bu Dessy mampir setiap hari di Geulis Butik. Alasannya belanja, mana bisa saya menolak kehadiran bu Dessy di tempat kerja. Dan dalam tiga minggu terakhir, semua kakak Mas Sakti telepon saya. Mulai dari ngajak nyalon. Minta temenin nyari kado ulang tahun anak-anak. "

Gita menatap Sakti tajam. "Dan hari ini, si biang masalah malah ngajak saya ketemuan."

Sakti terkekeh mendengar kalimat- kalimat yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya.

"Kenapa ketawa?" Gita merajuk kesal.

"Kamu nggak tanya gimana nasib saya dengan keluarga kamu?"

"Itu masalah Mas Sakti. Lagipula alasan keluarga saya belum menyetujui Mas Sakti itu alasan paling bodoh."

"Saya mana tahu keluarga kamu mengidolakan saya," elak Sakti.

Gita dan Sakti sama-sama terdiam. Keduanya asyik dengan pikiran masing-masing.

"Jadi, sekarang maksud Mas Sakti ngajak saya ketemuan itu apa?" tanya Gita kembali

"Saya mau membicarakan tentang kita."

Seketika Gita kembali fokus menatap Sakti tepat di matanya. Dan pada akhirnya Gita menyesali keputusannya setuju bertemu dengan Sakti saat itu juga

"Gimana kalo kita serius mebicarakan pernikahan kita?" tanya Sakti dengna tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro