Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-------------------------<<>>--------------------------

"Saya mau membicarakan tentang kita."

Seketika Gita kembali fokus menatap Sakti tepat di matanya. Dan pada akhirnya Gita menyesali keputusannya setuju bertemu dengan Sakti saat itu juga

"Gimana kalo kita serius mebicarakan pernikahan kita?" tanya Sakti dengan tenang.

-------------------------<<>>---------------------------

"Kamu gila," ujar Gita kesal.

Sakti tercengang karena Gita memanggilnya 'kamu'.

"Kenapa?"

"Karena rencana Mas Sakti itu mustahil."

Seorang pelayan mengantarkan secangkir cokelat panas ke meja mereka. Baik Sakti maupun Gita sama-sama tersenyum mengungkapkan terima kasih. Sekilas Gita dapat melihat aura sendu saat si pelayan wanita yang cantik itu melihatnya.

"Bukankah sejak awal Mas Sakti Cuma menghindari urusan pernikahan ini. Seharusnya kita saling menjelekkan satu sama lain. Kita harus berusaha supaya pernikahan itu tidak pernah terjadi. " Gita memijat kedua pelipisnya.

"Ini, minumlah." Sakti menyorongkan cangkir cokelatnya ke hadapan Gita.

"Nggak suka cokelat," jawab Gita. Sakti hanya mengangkat kedua bahunya. " Mas SSAkti bukan ngajakin saya nikah beneran, kan?"

"Sayangnya, iya. Saya rasa nggak ada salahnya kalo kita menikah betulan." Sakti tersenyum sementara Gita hanya menganga tak percaya.

"Kenapa tiba-tiba Mas Sakti ngajakin aku menikah betulan? Nggak cukup dengan urusan pacar pura-pura ini?"

Bukannya menjawab Sakti mengajukan pertanyaan. "Kamu merasa cukup dengan kehidupan kamu sekarang?"

Gita terdiam mendengar pertanyaan Sakti yang terduga. Sekelebat ia teringat dengan kedua orang tuan dan adik-adiknya.

"Maksud Mas Sakti gimana? Sejauh ini aku merasa apa yang aku jalani adalah yang terbaik. Tapi semuanya berantakan gara-gara Mas Sakti."

Sakti terkekeh. "Iyakah?"

Gita melotot sebentar tapi kemudian menghela napas. "Apa maksud Mas Sakti?"

"Tahukah kamu bagaimana perasaan orangtua dan adik-adikmu?"

"Apa urusannya sama keluarga saya?"

"Karena, sama seperti kamu yang terus dikejar sama Mami dan kakak-kakak saya, adik-adik kamu juga terus merongrong. Apalagi keduanya kuliah di tempat saya mengajar.

"Dan saya bersyukur atas makan siang enak yang selalu ibu kamu kirimkan lewat mereka. Ibu kamu memasak dengan resep dari saya."

"Apa?" Gita terkejut dengan kenyataan yang abru saja ia ketahui.

"Setidaknya saya jadi mengenal kamu dari mereka. Menurut mereka, kamu butuh saya."

Gita mencibir. Ia mulai merasa kepanasan karena masalah yang dibicarakan mulai semakin serius. Perempuan itu akhirnya memanggil pelayan dan memesan secangkir Lemon Teh Dingin.

"Saya rasa urusan keluarga saya tidak lantas menjadi urusan Mas Sakti ...."

"Menjadi urusan saya ketika status kita masih terkait," potong Sakti.

"Status yang dipaksakan oleh Mas Sakti sendiri," tegas Gita."Saya tidak pernah meminta untuk menjalin hubungan dengan Mas Sakti. Sekarang lihat bagaimana akhirnya?"

Sakti menghela napas. Perempuan di hadapannya bukanlah sosok yang mudah dengan dibujuk dengan kata-kata halus. Mudah tersipu tapi enggan terbuai rayuan.

"Rahmi cerita kalau kamu sudah lima tahun menjanda. Itu jelas bukan waktu yang sebentar. Apa kamu nyaman dengan status kamu?"

" ... "

"Keluargamu jelas mengkhawatirkan status dirimu. Bagi mereka perempuan berstatus janda adalah perempuan yang rawan. Rahmi juga cerita bagaimana kamu menghadapi awal-awal perceraianmu. Dia bilang kamu lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Tidak keluar selain untuk urusan kamar mandi. Dan baru setelah enam bulan, kamu baru mau keluar dari ruang hibernasimu. Bahkan mulai bersemangat untuk memulai hidup baru."

"Itu bukan hal yang layak diceritakan kepada orang lain," gerutu Gita tampak tak senang dengan perbuatan adiknya.

"Bagi Rahmi saya adalah calon kakak iparnya. Jadi menurutnya dia wajib menceritakan tentang hal itu kepada saya. Itu tidak salah."

Anggita melemparkan pandangan keluar jendela. Ia menghindari bertatapan dengan Sakti.

"Bagi sebagian orang status janda bukanlah status yang baik. Apalagi janda cerai. Posisinya akan selalu disalahkan. Kalaupun yang bersalah mantan suami, janda akan dituduh sebagai perempuan yang tidak sabar. Kalau memang si janda yang bersalah, akan dikatakan sebagai perempuan yang nggak benar. Apa kamu pikir setelah lima tahun berlalu, stigma status jandamu akan bisa diterima banyak orang?"

Gita kembali menatap Sakti. "Saya tidak mengharapkan orang akan berubah menilai tentang diri saya ataupun status janda saya. Saya hanya berusaha untuk mencintai diri saya dan melindungi diri saya dari kesakitan pernikahan. Karena itulah saya memilih bercerai. Bahkan terkadang saya bersyukur, banyak laki-laki akan mundur dengan sendirinya begitu tahu status saya."

"Saya sebetulnya tidak pernah ada masalah dengan masalah status seseorang. Justru bukankah janda itu statsunya jelas. Single. Tidak terikat dengan hubungan pernikahan."

"Itu poinnya," sambar Gita. "Tidak terikat dengan hubungan pernikahan. Seperti yang pernah kita bicarakan sebelumnya. Saya memang menghindari pernikahan dan berjanji tidak akan pernah lagi menikah."

"Tapi kamu bekerja di industri pernikahan."

"Selama bukan saya yang menikah. Ayolah, Mas. Bisa kita fokus sama urusan kita? Saya udah bilang saya menghindari pernikahan. Kenapa sekarang Mas Sakti malah ngajak saya nikah?"

"Karena saya butuh teman."

"Apa?" Gita tak percaya dengan alasan yang diucapkan oleh Sakti.

Sakti menghabiskan isi cangkir di depannya dengan sekali teguk. "Saya pernah cerita tentang latar belakang keluarga saya bukan. Dibesarkan oleh seorang wanita yang suaminya direbut oleh ibu kandung saya membuat saya banyak berpikir keras tentang diri saya. Sesungguhnya siapakah saya? Benarkah saya lahir karena cinta? Benarkah saya dibesarkan dengan cinta?

"Saya merasa sangsi dengan urusan pernikahan karena saya takut saya justru menjadi pemberi luka bagi orang lain. Cukup Mami yang terluka dengan kehadiran saya. Cukup kakak-kaka saya yang terluka karena perhatian Ayah sempat terbagi. Saya tidak mau menjadi pemberi luka bagi orang lain lagi.

"Bagaimana kalau ternyata saya tidak bisa membahagiakan perempuan yang kelak menjadi istri saya? Bukankah saya tidak hanya menyakiti satu orang, saya akan menyakiti satu keluarga."

Cerita Sakti terpotong dengan kedatangan pelayan yang mengantar pesanan Gita. Setelah pelayan itu pergi, barulah Sakti melanjutkan kisahnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku kemejanya. Kotak kaca yang nampak rapuh dan ia letakkan di atas meja setelah ia buka penutupnya. Sebuah cincin emas putih nampak berkilau di dalamnya.

Gita terhenyak. Air mukanya seperti tertarik gravitasi. Sepenuhnya memucat tanpa warna. Ini bukanlah apa yang ia harapkan.

"Kemudian saya ketemu sama kamu. Orang yang sama-sama menghindari pernikahan. Rasanya seperti saya menemukan seorang teman. Dan saya merasa kamu pun seperti saya. Butuh teman. Saya tidak butuh pasangan hidup. Yang saya butuhkan adalah teman hidup. Maukah kamu jadi teman hidup saya?"



Author Notes:

Mungkin kalian adayang baru menyadari bahwa saya menghilang selama tiga hari.  Saya cuma bisa bilang, maafkan saya.

Saya sedang dalam masa mengakhiri proses meng-ASI-hi. Jadi kemarin - kemarin itu butuh fokus maksimal dulu untuk beberapa hari.

jadi sebagai penebusan karena sempat menghilang... hari ini aku double update ya..!

selamat membaca dan tetap vote buat Sakti-Gita ya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro