Bagian I

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

E p h e m e r a l•
2053 kata

"Siapa kau?"

"DASAR BOCAH GOBLOK! Gunakan otakmu untuk bertindak, mengingkari janji pada orang tua heh!?"

"Apa maksudmu!?"

"DURHAKA! Bicara yang sopan dengan orang tua! Tunggu, ah panas sekali! Kita lihat seberapa lama kau akan mati—"

"Apa-apaan tua sialan!"

"Heh—, aku bisa menolong mu"

Seketika sunyi, ditengah kurungan api yang semakin membara. Sosok pemuda nyaris kehilangan nyawa.

• • •

Mataku membuka, tepat setelah segayung air tumpah di wajahku.

Baru saja ingin mengumpat, aku malah mendapati wajah Mama yang murka, menjulang tinggi tepat di sampingku. Seolah dihasut melanjutkan mimpi. Berbaliklah tubuhku membelakangi Mama, lalu kembali tenggelam dalam selimut.

"Ini Minggu!" Kataku seraya memaku tubuh ke ranjang.

Nahas, Mama kembali menarik selimutku dengan kekuatan lima kali lipat. Selanjutnya terbanglah selimut ke lantai, sekaligus tubuhku yang terjerembab dengan kerennya.

Baru bangun, dan tubuh sudah remuk redam menghantam lantai.

Wajah Don— Adikku yang berumur 5 tahun— nempel dikaki Mama dengan wajah menahan tawa. Utuh-utuh tanganya memamerkan gayung merah dengan bentuk hati . Saking kesalnya aku hampir mencaplok Don dengan tangan, sebelum kaki Mama menghadang. Nyaris menggilas tanganku.

"Satu jam lalu Saka dateng, mau ngingetin ada latihan tambahan katanya" Bisa-bisanya beliau baru membangunkanku setengah jam setelahnya.

Aku menoleh cepat melihat jam dinding dan menelaah jarumnya. Pukul 9, seolah ocehan Mama sama sekali tidak penting, aku mengambil handuk dari kursi dengan satu tarikan, tanpa tahu jika ujungnya nyangkut dan berdebum roboh bersama kursinya.

"Kak Saka yang nyuruh nyiram! Jangan marahin aku" Ucap Don saat meletakkan gayung ke kamar mandi dengan langkah lambat, terang terangan disaksikan oleh ku yang menunggu di pintu dengan wajah panik setengah mati.

Rasanya baru-baru ini Mama lebih banyak bekerja daripada dirumah. Taruhan, Mama pasti baru pulang pagi ini, Don yang baru berumur 5 tahun masih bisa jika di titip sana sini ke rumah eyang sampai tetangga.

Kantung matanya yang semakin tebal sebagai pertanda ia mementingkan perihal meeting kantor, daripada anak sulungnya yang hampir tiap hari makan mie instan. Mama masih giat dengan pekerjaannya, meski ayahku seorang babinsa yang sedang tugas diluar pulau.

Omong-omong aku tidak mandi.

Panjang rambutku yang hanya sedikit melebihi pundak, tidak akan terlalu mencolok bahkan tanpa perlu sisiran.

Sebagai gantinya, parfum kusemprotkan banyak-banyak dibagian ketiak dan leher bahkan sampai kaki. Aku mengambil tas hitam berisi biola lalu meraih dompet dengan kaki. Sekaligus memilah partitur yang berserakan— aku yakin ini ulah Don. "Anak nakal itu!"

Maka berlarilah aku menuju keterlambatan.

"Bawa ini dan pastikan habis sebelum pulang!" Mama mencegatku di dapur dengan sekotak bekal di meja makan, sosoknya menatap nyalang didepan rak piring. Lap kotor di tangan nya bahkan bergoyang tertiup kipas seakan ikut mengancam ku, mendukung Mama.

"Pasti! Aku pergi dulu" Jawabku seraya mengambil kunci motor yang di sodorkan Don dengan gembiranya.

Don balas melambai dari teras saat aku mulai menuntun motor keluar, diiringi ocehan manisnya tentang cantiknya aku hari ini 'halah,  dengan gestur oke— aku tancap gas sebelum Don menitip lagi yang macam-macam. "Pulang bawain martabak yaa"

Rambutku yang setengah basah terasa dingin saat motor melaju di jalan raya. Musim hujan, pantas tadi tidurku terasa pulas. Mungkin beberapa orang tau Kota Bandung bahkan tetap sejuk meski dimusim kemarau.

Jarak rumah dengan tempat latihan mungkin cenderung dekat, namun aku tidak akan lagi membuang-buang waktu dengan jalan kaki sambil jajan di karnaval mingguan, (masalahnya itu yang kurencanakan dari dua hari belakangan ini).

Kepalaku mulai memikirkan hal tidak-tidak saat gedung latihan yang ada di taman kota ini nampak sepi dan hanya terparkir sedikit motor. Ini masalah!

Terserang panik, aku celingukan mencari pelatih yang biasanya ada di pintu gedung sambil menyeruput kopi hitam. Tapi ini kosong, hanya ada segelas cup kopi yang sepertinya bekas kemarin— jika dilihat dari bekas nodanya yang mengerak.

"Ngapain?" Suara lelaki memanggil ringan di sampingku, menoleh, lalu sedikit menjauh saat wajahnya yang tersenyum— sedikit terlalu dekat. Pemuda disampingku mengenakan jaket biru tua dibalik kaus putihnya. Ini Saka.

"KAMU 'KAN YANG NYURUH DON!" Aku lompat dari motor lalu berdiri tepat didepannya, kakiku menekuk, mengira-ngira target sekilas, lalu menendang lututnya kuat-kuat.

"Well, secara harfiah itu bukan aku" Saka meringis tanpa suara sambil menunduk mengelus lututnya. "Latihan batal, ada keperluan dipusat katanya" lanjutnya masih mengaduh berlebihan.

Aku mengernyitkan dahi sebagai respon. Selanjutnya menggeram tanpa suara saat menyadari semua kepanikan tadi pagi hanya sia-sia.

"Kamu gak bawa ponsel, 'kan? Aku udah ngasih kabar ke ibumu. Mungkin dia lupa" ucapnya seraya melangkah melewatiku. Well, Mama mungkin lupa. Atau Mama hanya sibuk meluangkan waktu.

Aku berbalik dan menyusul Saka yang sudah masuk kedalam gedung. Sebenarnya ini bukan tempat khusus kami latihan, banyak kelompok di kota kami menggunakan gedung ini sebagai tempat berkumpul, kami juga biasa menggeret alat musik untuk latihan di aula gedung . Namun kami— contohnya aku dan Saka memiliki hak lebih disini. Sastra musik— semacam tempat les di kota kami, lumayan keren dengan banyak penghargaan. Makanya kita punya ruang alat sendiri. Tidak besar, namun cukup untuk aku dan Saka bermusik sepuasnya.

"Aku suka ruangan ini" ucapku pelan sambil menjatuhkan diri ke matras tempat kami biasa latihan fisik.

"Akunya enggak?"

Mengabaikan ucapan Saka, aku mengamatinya mengulum senyum sambil mengeluarkan biolanya dari rak kaca. Anak ini selalu meninggalkan biolanya.

Saka melemparkan ponsel diwajahku, lalu ujungnya mendarat mulus di kening. Sebagai balasan, setangkai sapu yang ada di kakiku melayang mengacaukan nada yang dimainkan Saka.

"Kamu sering SMS sama ibuku? Eh, bukan itu maksudnya!" Aku merangkak menghampiri Saka lalu mengernyit saat wajahnya menggeleng berlebihan dengan dua jari terangkat.

"Nenekku sakit, Mama sama Don bakal nginap selama tiga hari" terangku saat ponsel Saka kembali mendapat pesan.

"Oh, lalu? Aku sih oke. kalau kamu nginap dirumah" Saka mengerling nakal ketika aku berdiri di depannya sambil meletakkan ponsel di kantong jaket miliknya. Sebelum menarik tangan, kusempatkan untuk mencubit perutnya kecil sampai korban tersaruk mundur.

"Ku tampar mulutmu lama-lama" aku berbalik dan memungut biola punyaku dari lantai.

"Eh, mau dong! Sini disini" Saka melompat riang menghampiri sambil menyeringai menyodorkan wajah.

Mukanya yang berseri-seri membuatku urung untuk mencaplok kepalanya dengan cakaran. Dengan insting tiba-tiba, aku mendongak menyundul dagu Saka. Lalu kutarik telingganya menjauh.

"As, aku pulang duluan ya" tukasnya sambil melirik ponsel. Sontak mataku terangkat menelusuri gelagat Saka yang menjulang dari tempatku berlutut.

Sinar matahari yang menyusup masuk seolah membuat debu-debu disini terlihat melayang lembut. Ah, ini indah tapi menyebalkan disisi lain.

"Kamu boleh disini sampai sore," lanjutnya sambil melempar kunci ruang alat ke tanganku.

Bukan pujian, tapi aku nyengir total sambil mengamatinya beres-beres partitur dengan kuluman senyum. "Jangan nginap! Nanti diculik om-om" tubuhnya menghadap ku penuh dengan suara lebih tinggi. Aku menepuk pundaknya sekali lalu menunduk seraya terkekeh mengiyakan. "Perintah diterima" Tanganku menggiring Saka agar cepat-cepat keluar ruangan saat partitur sudah ada di tangannya.

"Kabari aku kalau sudah pulang." Aku mengacungkan jempol tinggi-tinggi saat sosoknya mulai hilang di tikungan aula.

Baguslah, seharian disini sama sekali tidak buruk. Setelah selesai mengunci pintu. Mataku melirik biola coklat yang bersandar manis ke kaki meja. Kayaknya dia butuh istirahat— maka biarlah biola itu beristirahat.

"Sayangku saja senang disana" aku berpaling lalu mengamati kipas yang entah sejak kapan sudah menggeleng-geleng sejuk tepat di pojok plafon. Mungkin ulah Saka.

Sekujur tubuhku mendadak terlena setelah berbaring di matras. Tidak senyaman ranjangku, tapi cukup untuk tidur setidaknya satu jam disini.

Bruk!!

"HAH!?" Seseorang berteriak di belakang ku.

Suara patahan kayu tadi terdengar lebih dulu, setelah itu sesuatu yang jatuh menghantam lantai baru membuatku tersentak. Aku bahkah belum tidur sialan.

Entah datang darimana, kabut hitam tiba-tiba mengisi ruangan ini. Sangat pekat, hitam dan mengerikan. Ini bukan asap! Aromanya, lebih seperti tanah— tidak, ini kayu basah. Cukup lama aku tenggelam dalam kabut, namun mulai menyurut sedikit demi sedikit.

Tubuhku bangkit, duduk dan menoleh dengan panik kearah seseorang yang— tengkurap di kolong meja— HAH!?. Jantungku bertalu-talu saking kencangnya seiring kewaspadaan yang meningkat.

Tunggu,

Kurasa benda tengkurap itu lelaki. Wajahnya terbelalak total, memegang kepalanya sendiri lalu meraba lantai untuk bangkit— aku mengernyit pasca melihat ubun-ubun nya terhantuk meja. Sebelum menunduk kesal dan merangkak maju dengan siku. "Mewujud 'Eh?"

Mata lelaki itu menelusuri ruangan ini dengan binggung, namun binar gembira senantiasa mendominasi diwajahnya.

Makhluk ini berwujud laki-laki. Dia mengenakan stelan jas hitam dengan dalaman kemeja putih tanpa dasi. Dua kancing atasnya bahkan terbuka— itu sangat mengganggu. 

"Naha urang ketemu jurig*" aku melirih dalam hati.

Beberapa detik berikutnya, fokusku kembali, lantas mengulang kejadian beberapa saat lalu sambil merapatkan diri ke dinding.

Lelaki. Ini. Muncul. Tiba-tiba. Tingkahnya yang eksentrik membuatku ingin berlari saking kagetnya tadi. "Hei, akhirnya kita bisa bertemu! Aku hampir tidak menyangka ini, kita berteman dari kecil ingat?? Oh ayolah, ini aku As"

Hei ayolah! Apa aku mengenal mu!?

Kutegaskan kalau aku perempuan. (Manusia yang harus merespon keterkejutan dengan selayaknya) Mulutku dengan pintar mewujudkan teori tadi dengan menjerit tiba-tiba ditengah kesunyian aneh. "MENJAUH! JANGAN DEKAT!" Aku jadi panik sendiri saat sepatu hitamnya bahkan sudah menyentuh matrasku.

"Kamu kenapa sih?" Lelaki nyasar ini berjongkok mendekat dengan wajah mengerut tidak suka.

Mengabaikannya, aku bangkit untuk memastikan pintu terkunci lalu bergegas menutup jendela dengan tirai berdebu dan teralis karatan— saking jarangnya dibersihkan. "Kamu! Datang dari mana!?" Lelaki ini malah selonjoran dengan wajah kalem saat aku berjongkok didepannya.

Lucu, ternyata ada sepasang lesung pipit samar di wajahnya.

"Senang bertemu dengan mu! Loh aneh, 'kan kita ketemu tiap hari" aku bahkan belum sempat membuka mulut saat dia tiduran dimatras dengan wajah nyaman. "Astaga, aku hampir lupa rasanya tidur dikasur. "

Tidak kusangka cerewetnya natural.

Aku nyaris menarik rambutnya sambil menyuruh makhluk ini diam didepan muka— Sebelum kilau mata itu menarik perhatianku. Berwarna abu-abu sedikit gelap, dengan pinggiran perak yang unik. Sepertinya dia pribumi, wajahnya lokal namun kulitnya agak sedikit pucat. Rambutnya yang sebatas alis nampak kacau dengan beberapa helai yang mencuat-cuat berantakan. Seolah ketakutan tadi hilang, bibirku menyeringai tatkala dia mulai memautkan matanya padaku. Lumayan juga.

"Aku tau aku tampan tapi bisakah kau mendengarku sebentar?" Si tamu ini menarik tubuhnya menjauh. Dia merapatkan punggung ke tembok sambil memeluk lutut posesif. Menatapku dengan paras waspada.

Eh, memangnya aku mau ngapain! Karena ikut terhina, aku juga ikutan bergeser mundur dan meniru ekspresinya jengkel, habis itu mencebik lalu berkata, "Kamu bukan manusia"

"Ya, aku Gema" jari telunjuknya yang kokoh terangkat menuju tato hitam di samping kiri lehernya. Gerakan itu membuatku terlena beberapa saat, ketika jakunnya naik turun di leher jenjangnya yang bersih. Lalu mengerjapkan mata sambil bergidik samar.

di sana tertulis Gema –nya Aster. Dengan tinta hitam yang bergaris latin, acak-acakan.

HAH!?

"Itu 'kan biolaku!" Aku menoleh ke satu-satunya meja di tengah ruangan, tempatnya muncul. Lalu tersadar— biolaku tidak ada ditempat terakhir kuletakkan.

"Bukti nyata ada didepanmu nona" balasnya dengan ringan.

Belum habis keterkejutan ku, dia semakin menambah hal gila yang membuatku mendengus saking pusingnya. "Jangan main-main" ucapku berbisik dengan dua jari teracung menunjuk matanya.

"Izinkan aku masuk dalam duniamu, meski sebentar ... Setidaknya aku pernah ada" Gema menundukkan kepalanya sekejap lalu kembali menautkan matanya kembali kearahku. Sial, aku kelabakan saking gugupnya.

Tanpa menjawab ucapanya, tubuhku merangkak menuju matras tempatnya bersandar. Setelah itu berhenti tepat di ujung kakinya yang menekuk, dengan tangan teracung menuju dadanya yang terekspos. Gema menegang dan semakin melotot setelah tanganku hinggap dikancing kemejanya yang terbuka. "Kita baru ketemu— ADUH!"

Kugampar wajahnya lumayan kencang ketika tangannya masih menahan bahuku ditempat meski kancingnya sudah tertutup rapat sampai dagu. "Aku juga ogah!" Desisku jengkel lalu menyandarkan punggung ke dinding di sampingnya.

Kami diserang keheningan canggung beberapa saat, aku yang sibuk dengan ratusan teoriku tentang kutukan biola yang mungkin menimpa Gema, atau dia cuma beruntung mendapat nyawa sisaan yang diberi tuhan. Mana aku tau 'kan

Aku menoleh dan mendapati wajah lelaki ini berkerut jelek— entahlah, dia kebelet?— Dengan gerakan tiba-tiba Gema mendecak lalu bangkit berdiri. menjulang dari tempatku duduk selonjoran. "Aku milikmu! Janji!" tukasnya pasca menarik lenganku bangkit menghadapnya.

Anak random, aku sampai binggung harus menjawab apa saat Gema mengambil tasku. Sambil menyerahkan wadah biola yang langsung kupeluk, lengannya hinggap di pinggangku lalu merengkuh tubuhku mendekat. Gema menekan kepalaku di pundaknya, meminta diam dalam kukungan nya.

Aku menjerit kaget, tapi tidak sempat berontak saat aroma kayu menyeruak dihidung. "APA NIH!?"

Nyaris kugilas kakinya dengan tumit, ketika pelukannya semakin membuatku gepeng, sesak. Namun nahas. Pusing melanda seiring guncangan yang terjadi. Saat mendongak menatap Gema, aku mendapatinya terpejam dengan segaris senyum.

Entah apa selanjutnya,

Kabut hitam keburu menelan kami diketiadaan.

Jika saja aku tau, kalau itu hanya awal dari nestapa. Mungkin menghindar lebih baik, daripada menerima dengan hati terbuka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro