Bagian II

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

E p h e m e r a l•

1668 kata

"Dia hanya bertahan seminggu, kasihan sekali anak itu. Kalau saja bukan kamu yang di temuinya. Mungkin semua akan baik-baik saja"

Aku berbalik, hanya untuk berjengit saking kagetnya setelah— melihat pria tua dengan tongkat rebahan di aspal jalan. Ekspresinya yang fokus dan tenang meyakinkanku jika beliau bukan orang gila. Dia menggaruk telingga dengan kelingking kanan dan menodongkan tongkat ke arahku dengan tangan kiri.

"Kakek siapa ya?"

Aku ragu-ragu untuk menggeret pria tua itu ke pinggir jalan atau membiarkannya nyaman berbaring disitu.

Rambutnya yang nyaris putih semua membuat siapapun heran dia masih bisa terbahak kencang. Tubuhnya yang kurus sampai bergetar hebat mengiringi tawanya. Aku jadi risau kalau tiba-tiba truk datang dan melindas si kakek yang terlentang di tengah jalan. "Sudah kuduga, bocah itu pasti belum cerita."

"Siapa yang kakek maksud?"

"Tunggu sebentar lagi, kau pasti tau semuanya"

• • •

Ini hari ketujuh.

Dimana Mama dan Don masih dirumah eyang, dan Gema yang semakin terlihat pucat dari hari ke hari. Aku risau, namun dia selalu berkilah setiap aku mulai menginterogasinya.

Jujur kawan, seminggu di temani Gema yang tidak diketahui asal-usulnya— membuatku jengkel dan panik setiap Saka main kerumah. Anak itu nyaris datang tiap hari, berdalih disuruh ibuku atau hanya sekedar ngajak jajan.

Karena tidak mau menimbulkan drama mengesalkan. Aku selalu mengusir Saka baik-baik dan menahan Gema dikamar— agar tidak bertindak ceroboh dengan menunjukkan wajah terang-terangan. (Dia hampir melakukannya tadi pagi).

Gema. Anak itu semakin pandai menyabotase rumah semenjak aku mengajarinya beberapa hal seperti menonton film atau memasak. Sekaligus menghabiskan bahan makanan yang sengaja aku sembunyikan.

Selama ini Gema menggunakan baju ayah yang tersisa dirumah. Dan tidur dikamar Don dengan paksaanku Meski diam-diam lelaki itu selalu mengomel, karena warna cat dindingnya malah membuat kepalanya semakin pusing. Aku tidak mengelak hal itu. Warna merah hijau dan biru diletakkan dalam satu ruangan dengan tiap dinding berbeda warna— siapa yang tidak pening menyaksikan itu. Adikku memang eksentrik tiada tara.

Hari sudah gelap ketika aku baru membuka mata. Entah apa yang terjadi tahu-tahu aku terbangun dengan tubuh terlilit selimut, kaki terlentang dan ketiak mengapit guling. Memalukan.

Pasca berguling-guling mencari posisi nyaman. Aku berakhir terlentang dengan dua kaki naik bersandar tembok, ditambah kepala yang menggantung santai di pinggiran ranjang.

Selepas mengerjap mencari fokus.

Aku mendapati Gema tersenyum di depan wajah. Nafasnya bahkan menggelitik leher saking dekatnya jarak kami. Melihat muka itu terbalik, dan lampu kamar yang temaram— jurig bahkan kalah mengerikan saat ini. "ASTAGA!"

Aku terlonjak bangun dengan tiba-tiba. keningku menyeruduk wajah Gema dengan kencang. Sebelum mendadak pening sendiri akibat pergerakan tiba-tiba.

Karena posisiku diujung, dan mendadak kehilangan keseimbangan. olenglah aku dan berdebum jatuh menimpa Gema. Mau tidak mau kami menggelepar di lantai sambil menyerukan ringisan sakit yang sama.

"Hidungku— aduh! Menyingkirlah, ASTAGA JANGAN DITEKAN!"

"ADUH!"

Gema menggeliat di bawah punggung sambil berusaha menarik tubuh menyingkir. Setelah pening di kepala mereda, aku melepaskan diri dari Gema lalu duduk bersandar di ranjang.

"Kau mengagetkanku!"

Aku tersedak menahan tawa saat mendapati Gema meringkuk macam tringgiling, tangan kanannya menekan perut sambil menahan nyeri setengah mati. Kurasa saat jatuh, perutnya menjadi pendaratan pertama tubuhku. "Sori! aku gak sengaja tadi"

"Hidungku kena seruduk!" Protesnya sambil menunjuk hidungnya yang pengar, tidak kusangka jadi semerah itu.

Gema menautkan matanya padaku. Masih bersandar di ranjang, aku tertegun, wajahnya semakin pucat dari hari ke hari. Bibirnya pecah-pecah, kering selayaknya orang sakit.

Kini dia mengenakan kembali setelan jasnya. Entah dia tidak betah dengan kaus biasa, atau memang sengaja menggantinya. Lagi-lagi memperlihatkan sebagian dadanya dengan dua kancing atas terbuka, (cowok menyebalkan)

"Kamu gak mau cerita apa apa?" Akhirnya aku memutuskan bertanya, saat ucapan si kakek dalam mimpiku barusan seolah kembali terngiang-ngiang.

Gema tidak menjawab, bahkan sama sekali tidak melirikku. Entah hanya perasaanku atau apa, tapi wajahnya menguarkan aura kesedihan. Dalam, dan sangat menyakitkan.

Keheningan menyerbu kami dalam gulita malam. Gema mengalihkan topik, mengobservasi kamarku dan berbagai kekurangannya. Meski itu membuatku kesal, namun kami tetap tertawa sesekali.

Percakapan kami berlangsung sangat lama, itu cukup berpengaruh besar untukku. Rasanya nyaman, namun sedikit janggal ketika aku merasa— justru rasa takut itu yang sekarang melindungiku.

Saat itu juga, aku tersadar. Deburan hangat mulai tumbuh jauh di lubuk hati. untuk kali ini, aku membiarkannya tanpa lagi mengelak.

•••


"Wajahmu semakin pucat Gema, butuh sesuatu? Ada apa sih! Kamu kenapa!?" Aku berdiri dari sofa, berlari menuju Gema yang terjatuh dilantai, sambil menggenggam dadanya sendiri. Dia terlihat kesakitan, itu— membuatku khawatir dan takut.

Gema melirikku, melipat bibir seakan bimbang akan sesuatu. "75 tahun lalu, dimasa itu aku hidup. Sebagai manusia normal, bukan hidup dari biola"

Aku tertegun, ingatanku lagi-lagi kembali pada ucapan kakek tua dalam mimpi. Ini yang beliau maksud?

Meski terkejut, aku berusaha menahan diri agar tetap mendengar apapun yang diucapkan Gema. Aku percaya padanya, dia tidak mungkin mengada ada. Gema menutup wajahnya saat batuk, lalu kembali melanjutkan. "Aku akan cerita sedikit, tentang hidup lamaku— Abah dan Ambu"

Gema anak tunggal, aku yakin dari cara ia melantunkan panggilan Ambu dan Abahnya. Sangat lembut, seolah ia akan durhaka jika salah menyebut mereka.

"Semua dimulai saat pagi itu, kolonel marah, setelah kelompokku menyerang hotel Homan. Beberapa hari setelahnya ... pos tempat Abah berjaga diserang, Dia tewas As!— dia pulang padaku dan Ambu ke rumah, sebagai mayat!" Gema bergumam dalam ceritanya, menaikan intonasi beberapa kali lalu kembali mereda setelah tanganku hinggap di pundaknya.

Aku tahu perasaanya. Ayahku juga mendapat tugas diluar pulau setengah tahun lalu. Dimana aku bahkan baru masuk jenjang SMA. Itu sempat membuatku marah dan putus kontak beberapa waktu dengan Ayah. Mama yang kini sedikit bebas, mulai kembali mementingkan pekerjaan meski tidak setiap waktu. Entah kenapa, tapi hal ini membuatku sedikit kecewa.

Don juga bukan adik kandungku. Mama mengadopsi bayi dari panti asuhan, disaat aku masih berumur 10 tahun— masa dimana aku menurut apapun kemauan Mama. Kasih sayang Mama penuh pada Don, namun bukan berarti beliau tidak mengurusku.

Aku bangkit dari lamunan, menatap Gema dengan pelupuk penuh. Lalu menjatuhkan wajah dibahunya. Tanyaku dengan nada serak, "Apa yang terjadi selanjutnya?"

"Miris, satu tahun setelahnya keputusan membumi hanguskan Bandung dicetuskan. Aku membawa Ambu mengungsi ke selatan kota. Kami dan beberapa warga mengungsi ketika malam datang" Gema terkekeh dengan nada pilu, untuk sesaat aku merasakan jemarinya hinggap di rambutku. Menyisir helai demi helai, sambil melanjutkan, "Saat itu tidak ada yang sadar, ketika kompeni hampir menciduk kami. Aku menyesal— saat berjanji pada Ambu untuk menyusulnya ke pengungsian. Dengan nekat aku berbalik, mengalihkan perhatian kompeni agar mereka masuk ke kawasan yang akan dibakar. Aku kena tembak omong-omong, dua kali di bahu dan kaki"

Hening kembali datang setelahnya. Saat aku mendongak, wajahnya yang memerah dan rahang mengeras. Masih berurai air mata, aku kembali bertanya. "Bagaimana bisa—"

"Aku nyaris mati As, saat tubuhku jatuh berdarah-darah ... Dinamit pertama meledak bahkan sebelum tengah malam. Mereka terpelanting, saat ledakan lainnya menyusul tak lama kemudian. Aku nyaris pasrah saat itu kau tau? Lalu tiba-tiba orang tua menyebalkan keluar dari kepungan api. Dia marah-marah sambil memukul kepalaku dengan tongkat. Siapa yang tidak jengkel diomeli saat nyawa sudah setengah" Gema terkekeh kecil, namun itu memancing batuknya keluar dengan suara kering mengerikan.

Tanganku melingkari lehernya, menjatuhkan tubuh dalam dekapan, lalu menangis di bahunya. Gema kaget, namun tetap balas merangkulku meski lemah. Dia berucap dengan pelan. "Kakek tua itu bisa menyelamatkan nyawaku, namun dengan bertukar menjadi benda mati. Aku mengiyakan saja, karena ingin menemui Ambu untuk terakhir kalinya. Namun si tua itu marah! dia bilang aku tidak bisa menemui Ambu karena janji yang kuingikari. Aku kecewa saat itu, dia merubahku menjadi biola jelek! Lalu meletakkan tubuh biolaku di salah satu rumah"

"Syukurnya ada anak kecil yang merawatku ... Ah, pria baik hati itu" Gema menarik kepalaku untuk menatapnya. Menyungingkan senyum, lalu mengelus kelopak mataku agar terpejam. "Dia kakekmu, pria baik dan cerdas. Aku beruntung bisa bertemu Aster melalui dia. Tidak pernah sekalipun As, sama sekali tidak pernah aku merasakan perasaan ini ke siapapun"

"Namun aku harus membayar semuanya, mengganti hidup bonus ini dengan kematian. Tapi bukan itu yang membuatku enggan. Tapi fakta— saat aku terpaksa harus meninggalkan mu"

Dia berkata begitu, seolah aku akan mati jika dirinya pergi. Tidak, ini Gema. Dan aku percaya padanya, Gema janji untuk terus bersama ku.

Gema menggeleng, meneteskan air mata sambil bergumam maaf  lewat bibirnya. Dia, seolah mengerti pikiranku. "Jangan ... Kumohon jangan— Gema! Tunggu, Ya Tuhan aku harus apa!?"

Air mataku tumpah detik itu juga, "KURANG AJAR!" Sumpahku sambil menunjuk dadanya. Aku meringkuk, bergelung sekecil mungkin agar tenggelam dalam pelukan Gema yang semakin melonggar.

Dengan tangis tanpa suara, aku keluar dalam rengkuhannya sambil mengusap air mata. "Kumohon tetaplah bersamaku, disini saja, kali ini sebagai lelaki."

Saking lamanya aku memohon.

Takdir tidak pernah menunggu sampai aku siap. Itu mustahil.

Maka hari ini, Gema jatuh di pangkuanku.

Matanya terpejam, nafasnya memburu menahan batuk. Dia menangis, lelaki dipangkuan ku meneteskan air mata. Dan untuk terakhir kalinya.

Dengan air mata kian deras, tanpa suara lenganku menarik kepala Gema mendekat. Merengkuh, merasakan hangatnya lamat-lamat sebagai bentuk perpisahan.

"Maaf, tapi aku mencintaimu" bisiknya nyaris tanpa suara.

Menundukkan kepala, aku menghirup helaian hitam sewanggi kayu basah dalam pangkuan. Masih dengan air mata, jariku mengusap helai rambutnya, membiarkannya tenang.

Hingga saatnya batuk itu mereda, tangisku pecah membelah hujan diluar sana.

"Tidak apa, pergilah ...."

Dengan hati kuat, aku mendongak. menyaksikan secara langsung binar hampa dimatanya yang terbuka kosong. Aku terisak semakin kencang. Melipat bibir menahan jeritan, lalu menutup matanya dengan telapak tangan.

Gema terlentang di pangkuanku, kaku dan dingin menggunakan jaznya. Pakaian yang dia pakai saat pertama kali bertemu dengan ku. Mengaku berwujud dari biola, sampai obrolan seru yang dulu kita lakukan.

Semua berakhir, Gema sudah lunas membayar hidupnya. Dan aku disini, terpaksa melanjutkan derita yang mengiring dengan sendirinya.

Aku menjerit sekencang-kencangnya, memekikan nama Gema bersama tangis sampai tenggorokan ku sakit seolah terbelah. Ditengah hujan yang mengguyur Bandung, deru suara motor mendekat di halaman rumah. Itu Mama. Dia pulang, hanya untuk menemukan anaknya terbaring bersama sang kasih.

Aku cemas, namun enggan untuk mengarang cerita apapun.

Kesadaran ku nyaris hilang saat itu, bersimpuh lelah di samping Gema, hingga pintu terbuka bersama pekikan Mama.

Aku jatuh tak sadarkan diri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro