2 - White Baby Breath

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia menatap jendela kamarnya. Berharap mentari yang sedang bersembunyi mulai menampakkan dirinya. Awan menghitam menutupi langit Jakarta. Sedikit demi sedikit rintikan hujan pun turun ke bumi.

Dengan malas, ia berjalan menuju kamar mandi yang berada tak jauh dari tempat ia duduk sekarang. Dilangkahkan kakinya perlahan-lahan.

Sembari menunggu hujan reda, diambilnya segelas susu yang sudah disiapkan oleh pembantunya. Ia pun menyesap susu hangat yang sudah mulai dingin itu. Sekelebat kenangan masa lalu mulai muncul di kepalanya.

Hujan sudah mulai reda walaupun masih menyisakan rintik-rintik kecil. Mentari pun sudah menunjukkan wujudnya. Ia pun memasuki mobil dan segera menancapkan gasnya.

Tak memerlukan waktu lama untuk sampai ke tempat tujuannya. Toko Bunga Florie's. Ia membuka pintu itu secara perlahan. Terlihat seorang gadis cantik berpakaian sederhana di balik sana.

"Udah lama ya lo ga kesini," ujar gadis itu.

"Iya."

"Lo ga berubah," lanjut gadis itu sembari mengambil sebuah buket bunga berwarna putih.

"Florie masih hafal ya, kalau gue emang suka beli buket bunga baby breath warna putih," ia tersenyum tipis.

"Hafal dong, Florie gituloh," gadis yang bernama Florie itu tersenyum.

"Sorry ya, gue ga bisa lama-lama," ia pun meninggalkan toko bunga itu, dan segera melanjutkan perjalanannya.

Ia menjejakkan kakinya di sebuah pemakaman di sebelah timur Jakarta. Dengan langkah yang berat, ia berjalan menuju tempat peristirahatan terakhir seseorang yang amat ia cintai.

Ditatapnya batu nisan yang basah akibat hujan yang baru saja berhenti. Ia pun meletakkan buket bunga baby breath berwarna putih yang ia beli barusan.

"Ini bunga kesukaan lo, kan," matanya mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menahan air mata agar tidak keluar tanpa izin.

"Bahagia ya disana."

***

Hari Senin adalah hari yang dibenci Mario. Ia tak suka upacara. Dan di hari Senin pula, Tuhan merenggut seseorang yang berharga baginya.

Mario menghidupkan mesin mobilnya. Ia pun melaju secepat mungkin, berusaha menerobos macetnya Jakarta.

Bel baru saja berbunyi, murid-murid pun berhamburan keluar kelas dan segera menuju lapangan upacara.

Keberuntungan ternyata masih menyertai dirinya. Guru BK yang terkenal killer, Pak Hardi sedang tidak hadir. Itu artinya, ia bisa segera berlari ke barisan tanpa perlu dicatat oleh beliau.

"Wah, anak baru udah telat aja nih," ledek Akmal.

"Maklumin aja lah," jawab Mario cuek.

Mario mengalihkan pandangannya. Diperhatikannya gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai. Gadis itu tertawa. Senyum tipis pun menghiasi wajah Mario.

"Woi, bro," Akmal mengagetkan Mario. Ia sadar, bahwa Mario sedang memperhatikan seseorang.

"Eh, apaan?" Mario berusaha menatap lawan bicaranya, Akmal.

"Ngeliatin siapa lo?" Tanyanya dengan raut wajah penasaran.

"Gak ngeliatin apa-apa," bantah Mario.

"Gue tau lo boong, Mar."

"Ya, terserah lo."

***

Waktu terasa berjalan sangat lambat. Luna menatap jam dinding kelasnya dengan tatapan kosong. Ia berharap pelajaran Fisika segera selesai. Mario yang berada di sebelahnya pun menatap dirinya dengan heran.

"Lun, lo kenapa?" Tanya Mario dengan suara cukup kecil, hampir berbisik.

"Gak, cuma berharap pelajaran ini cepet selesai," jawabnya cuek.

"Oh, yaudah," pandangan Mario pun kembali beralih ke papan tulis.

Ada sedikit niatan baik terlintas di otak Mario. Tapi, segera ia buang ide aneh yang melintas barusan.

"Lun, lo gak nyatet?" Tanya Mario.

"Enggak, gue ga ngerti soalnya," ia mengeluarkan buku catatan fisikanya, "nih, isinya cuma latihan doang, nilainya rendah lagi."

"Catatan Kiana, lengkap gak?" Tanyanya lagi.

"Lengkap, emang kenapa?" Luna mengeryitkan keningnya.

"Gue bakal fotocopy-in catatan Kiana buat lo. Supaya lo pinter," akhirnya Mario berhasil mengganti ide gilanya dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih wajar.

"Oh, makasih," balas Luna singkat.

***

Mungkinkah dia jatuh hati🎵
Seperti apa yang kurasa🎵
Mungkinkah dia jatuh cinta🎵
Seperti apa yang kudamba🎵
Bilakah dia mengerti🎵
Apa yang tlah terjadi🎵
Hasratku tak tertahan🎵
Tuk dapatkan dirinya🎵

Terdengar alunan lagu dari radio yang ia hidupkan. Lagu berjudul Andai Dia Tahu dari Kahitna berkumandang di telinganya. Kok gue baper ya sama lagunya, batin Mario.

Jalanan Jakarta terlihat sangat padat pada sore hari, membuat Mario kehilangan waktunya yang berharga.

Ide untuk memfotocopy-kan catatan Kiana dan memberikannya kepada Luna mungkin bisa dibilang wajar. Tetapi, ide tersebut bisa dibilang cukup gila, karena ia rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengantarkan fotocopy-an yang tidak berguna baginya.

Perjalanan menuju rumah Luna memakan waktu 2 jam. Oh ya, kalian pasti bertanya mengapa Mario bisa tahu alamat Luna tanpa menanyakannya pada orang yang bersangkutan. Mario mendapatkan alamat Luna dari Kiana.

"Na, minjem catetan lo," pinta Mario dengan memasang wajah memelas.


"Buat apa?" Kiana mengambil buku catatannya.

"Mau gue fotocopy," jawabnya singkat, padat, dan jelas.

"Tumben lo, fotocopy ginian."

"Buat Luna, Na."

"Acieee," ledek Kiana.

"Gue serius nih. Minta alamatnya sekalian," pinta Mario.

"Nih," Kiana memberikan buku catatannya kepada Mario. "Alamatnya gue sms."


Mario menatap rumah minimalis berukuran sedang yang terlihat sangat terawat. Ada taman kecil di depan rumah itu.

Ia pun memperhatikan nomor kecil yang berada di sebelah pintu rumah tersebut. No. 36, berarti bener ya? Batinnya. Dengan keberaniannya yang sudah terkumpul, ia pun turun dari mobilnya.

"Luna ada?" Tanyanya sambil mengetuk pintu rumah. Ia menatap bel yang berada tidak jauh dari pintu.

Kenapa gue ga mencet bel aja ya? Tanyanya dalam hati. Mario pun menekan bel rumah tersebut.

Tak lama setelah ia selesai menekan bel itu, seorang gadis dengan rambut yang diikat dengan asal pun membukakan pintu.

"Siapa ya? EH MARIO," teriak gadis tersebut. Ya, gadis itu adalah Luna.

Mario tak bisa menahan tawanya lagi. Wajah Luna yang tampak seperti orang gila di sebelah rumahnya menggelitik perutnya.

"Oh astaga, Luna. Muka lo gitu banget," ujar Mario yang bahkan hingga sekarang belum menghentikan tawanya.

"Lo ngapain kesini? Tau darimana alamat gue?" Tanya Luna jutek.

"Santai mba, santai," Mario pun menghentikan tawanya. Ia takut Luna akan mengusirnya sekarang juga.

"Gue cuma mau nganterin fotocopy-an. Dan gue tau alamat lo dari Kiana. Puas, nona Luna?"

"Ya, gue puas. Btw, makasih," Luna mengambil setumpuk kertas fotocopy-an yang sedari tadi dipegang oleh Mario.

"Sekarang lo boleh pulang," Luna menutup pintu rapat-rapat, berharap Mario segera meninggalkan rumahnya.

Kalau diperhatikan, kok gue kayak pernah kenal seseorang yang mirip sama dia ya? Batin Luna.

***

"Lun, jadi pergi gak?" teriak Gavin dari luar.

Luna mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan badan yang masih sedikit lemas, ia pun berjalan menuju kamar mandi.

"Jadi, bang," jawab Luna dari dalam kamar mandi.

Ya, seperti janji Gavin, mereka akan pergi menuju mall bersama dengan pacar Gavin dan juga adiknya.

Tak perlu waktu lama untuk sampai di sebuah mall yang berada di timur Jakarta ini. Mereka berdua pun mulai melangkahkan kaki mereka dan masuk ke dalam mall.

"Cari Vanes dulu, Lun," ujar Gavin sembari mencari-cari pacarnya yang katanya mengenakan kemeja berwarna putih dan rok berwarna merah maroon.

"Itu bukan, bang?" Luna menunjuk seorang gadis cantik dengan pakaian seperti yang disebutkan tadi.

"Iya, Lun," Gavin pun segera menghampiri pacarnya, Vanessa. Luna pun membuntuti Gavin, karena ia tidak ingin tersesat untuk kedua kalinya. Saat kecil, Luna pernah tersesat di sebuah pusat perbelanjaan. Hal itu membuatnya trauma hingga sekarang.

"Van, mana adik kamu?" Tanya Gavin.

"Itu, disana," Vanessa menunjuk seorang laki-laki yang mengenakan hoodie hitam.

Laki-laki yang dimaksud oleh Vanessa pun menghampiri mereka bertiga.

"Kenalin, ini adik gue," ujar Vanessa.

"Luna," Luna memperkenalkan diri. Laki-laki itu pun membuka tudung hoodienya.

"Ternyata lo?!" Luna tersentak kaget.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro