6 - Adrian and Mario

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan ajak cewek gue ke mana-mana, dia pulang bareng gue."

Luna tersentak kaget setelah mengetahui Mario sekarang menggenggam tangannya.

"Yuk, Lun. Masuk ke kelas," ajak Mario sambil menarik tangan Luna. Adrian hanya bisa bengong melihatnya.

Luna melepas genggaman tangan Mario dengan kasar. "Apa-apaan sih lo?!"

"Cuma nyelamatin lo dari singa yang lapar," ujarnya tanpa merasa bersalah.

"Maksud lo apaan?! Dia kan cuma ngajak gue pulang bareng. Siapa tau dia emang ada perlu. Lo ga berhak ngelarang gue, Mar." Nada bicara Luna meninggi.

"Lo kan, sahabat gue. Boleh dong kalau gue ngelarang demi kebaikan?"

"Kebaikan apanya?! Sampe ngaku-ngaku pacar segala. Ngarep lo!" Luna berlalu meninggalkan Mario. Anak-anak kelas X-4 IPA hanya terdiam menyaksikan percekcokan Mario dan Luna.

Awas aja lo Adrian, batin Mario dalam hati.

***

Luna menatap wajahnya yang terpantul oleh cermin. Ia lalu membasuh wajahnya dengan air dari keran.

"Kenapa lo jadi pemarah gini sih, Lun?" Tanyanya pada diri sendiri.

"Jantung lo juga kenapa degupannya jadi gak teratur pas di genggam Mario?"

"Tau ah, gapeduli," ujarnya sembari merapikan rambutnya. Ia pun segera kembali ke kelas.

Bel masuk telah berbunyi, bertepatan dengan Luna yang baru saja memasuki kelas. Terlihat Mario sedang duduk menghadap jendela, seperti enggan menatap Luna.

"Mar?" Panggil Luna.

"Apa?" Jawabnya ketus. Udah cukup gue nahan malu kayak tadi, batinnya.

"Maaf, gue emosi."

"Terserah," ujar Mario yang masih enggan menghadap Luna.

"Yaudah," Luna pun tak ingin meladeninya. Toh, nanti baik sendiri, ujarnya dalam hati.

"Lun, gue suka sama lo," gumam Mario dengan suara sangat kecil.

"Apa lo punya perasaan yang sama?" Tanya Mario pada dirinya sendiri, dengan suara yang sedikit lebih besar dari sebelumnya.

"Perasaan apaan, Mar?" Tanya Luna tiba-tiba. Ia hanya samar-samar mendengar kata perasaan.

"Kepo lo," jawabnya, lalu mengalihkan pandangannya.

"Oh," ujar Luna singkat. Sangat singkat.

Semoga Luna gak jatoh ke tangan Adrian, batin Mario.

***

Saat pulang sekolah, Adrian kembali menghampiri kelas X-4 IPA. Mendengar gosip yang beredar, ia baru saja putus dari pacar lamanya, Andara. Mungkin saja, sekarang ia sedang mencari target baru.

"Luna mana?" Tanya Adrian kepada Dara, yang kebetulan sedang keluar dari kelas.

"Di dalam, lagi piket," jawabnya singkat.

"Oh oke," Adrian pun memutuskan untuk menunggu Luna di depan kelas.

"Adrian," suara berat Mario terdengar begitu jelas di telinga Adrian.

"Wah, ada pacar Luna," ledek Adrian disertai seringaian.

"Bacot. Sekarang lo mau ngapain? Mau ngembat Luna, hah?!" Nada bicara Mario mulai meninggi.

"Ngembat? Lucu, lo. Gue cuma tertarik sama dia. Salah? Tentu enggak," Adrian tertawa kecil. Senyum licik menghiasi wajah tampannya.

"Brengsek. Jangan deketin Luna!"

Luna yang baru saja menyelesaikan piketnya pun keluar dari kelas. Ia terkejut melihat Adrian dan Mario sedang meributkan sesuatu.

"Lo gak punya hak buat nyuruh gue menjauh dari Luna!" Satu pukulan mendarat di pipi Mario.

"STOP!" Luna melerai mereka berdua.

"Gue, pulang sama Mario. Tolong, jangan ribut lagi," ujarnya datar, tanpa ekspresi.

"Cih. Tunggu pembalasan gue, Mar." Adrian berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Bego! Ngapain lo ngeributin tentang gue pulang bareng Adrian?!"

"Gue, cuma gak suka lo berurusan sama dia," jawabnya sambil mengusap-usap pipinya yang membiru.

"Gue gamau lo ngelarang gue, atau apapun," ucap Luna ketus. Sebenarnya, ia sangat mengkhawatirkan Mario. Namun, gengsi yang terlalu besar menutupi rasa khawatirnya.

"Gue pulang sendiri," Luna pun meninggalkan Mario sendirian.

***

Mario menatap langit-langit kamarnya. Kata-kata Luna tadi masih terngiang di otaknya.

"Gue gamau lo ngelarang gue,"

"Argh, kenapa gue baru tau kalau Adrian sekolah di situ juga," gerutunya.

Tunggu aja. Luna gak bakal jatoh ke tangan lo, Adrian, batin Mario.

"MARIO!" Terdengar suara Vanessa dari luar.

"APAAN SIH?!" Balas Mario dengan nada kesal. Sepertinya, ia masih emosi karena masalah tadi.

Mario pun keluar dari kamarnya dan menghampiri Vanessa. "Apaan?" Tanyanya dengan nada malas.

"Temen lo dateng, tuh," jawab Vanessa, kemudian pergi meninggalkan Mario.

"Temen?" Mario mengernyitkan keningnya. Ia pun bergegas membuka pintu.

"Udah lama gue gak ke sini," ujarnya dengan senyum liciknya.

"Adrian?!" Mario terbelalak.

"Gimana kabar Avaero, hm?"

"Brengsek, jangan sebut-sebut nama dia!" Satu pukulan keras menghantam wajah tampan Adrian.

"Wah, ada yang sudah bisa berkelahi ternyata," ujar Adrian, lalu tertawa kecil.

"Bangsat lo! Buat apa lo ke sini lagi? Belum puas hah?!" Mario mulai tidak bisa menahan emosinya.

"Sayangnya, gue belum puas."

"Apa lagi yang lo mau?! Avaero udah gak ada! Pergi sana!" Mario membanting pintu, lalu menguncinya. Meninggalkan Adrian yang masih tertawa licik di teras.

Tunggu aja, Mar. Gue gak akan tinggal diam, batinnya.

***

Luna membanting pintu kamarnya. Entah mengapa, hari ini moodnya sangat buruk.

Kok kayaknya gue kasar banget ya tadi, batin Luna. Ia pun memasuki kamar mandi untuk sekadar membasuh wajah.

Setelah keluar dari kamar mandi, ia mengambil ponselnya yang terletak di atas tempat tidur.

Adrian Pranaja menambahkanmu sebagai teman? ia bertanya dalam hati.

Terdengar bunyi pesan masuk dari ponselnya. Luna pun segera membuka pesan tersebut.

Adrian Pranaja : Ini Luna, kan?

Gue balas apa, nih? batinnya.

Lunastella : Iy

Luna melempar ponselnya ke sembarang arah. Tak lama kemudian, ponselnya kembali berbunyi.

Adrian Pranaja : Besok sibuk gk?

Luna pun segera membalas pesan dari Adrian.

Lunastella : gk

Adrian Pranaja : Besok pulang bareng gue, y. Gue tunggu di dpn kls:)

Bego, Luna. Bego, batinnya.

Sementara itu, Adrian hanya tersenyum licik.

***

"Na," panggil Luna dingin.

"Apaan, Lun? Novel yang gue kasih udah selesai lo baca?" tanya Kiana tanpa jeda.

"Bukan masalah itu."

"Jadi masalah apa?"

"Siapa yang kasih kontak gue ke kak Adrian?" tanya Luna to the point.

"Gue. Emang kenapa?" Kiana balik bertanya.

"Ngapain sih lo kasih kontak gue. Tanpa izin pula," omel Luna.

"Astaga, santai aja kali. Kapan lagi coba, cowo populer minta kontak lo? Kapten basket lagi."

"Ah, bodo. Mood gue ilang." Luna duduk di bangkunya, lalu mengeluarkan earphone dan ponselnya. Diputarnya lagu dengan volume tinggi.

Dasar. Salting bilang, batin Kiana.

Kiana pun berjalan keluar kelas. Terlihat sosok Adrian di sana.

"Eh, kak Adrian? Ngapain di sini?" tanya Kiana.

"Gue cuma mau ketemu sama Luna," ujarnya sambil tersenyum.

"LUNAAAAAA!" teriak Kiana dengan suara cempreng khasnya.

"Sebentar ya, kak. Luna emang agak tuli." Kiana pun menghampiri Luna, lalu melepas earphonenya dengan paksa.

"Ih, apaan sih. Jangan gang-" omongan Luna terhenti ketika melihat Adrian sudah berada di depannya. Ini lagi, ngapain coba ada di sini, batinnya.

"Gue nyusul Mario ke kantin, Lun. Lo sama kak Adrian aja sana. Bye!"

Dada Luna terasa sakit. Namun, ia tak tahu apa penyebabnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro