7 - Different

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Luna?" Adrian membuyarkan lamunan Luna.

"Ya?" balas Luna singkat.

"Gue mau nunjukin sesuatu," ujar Adrian, lalu menarik tangan Luna. Entah kenapa, Luna tak menolak tarikan Adrian.

Di sinilah mereka. Atap sekolah. Tempat yang jarang diketahui oleh murid lain.

"Kok, lo bisa tau tempat beginian?" tanya Luna. Senyum menghiasi wajah mungilnya.

"Karena, gue suka melihat indahnya langit dari sini," jawab Adrian.

"Oh." Luna memperhatikan langit Jakarta yang berawan. Matahari sedang bersembunyi, sehingga tidak akan membuat mata Luna silau.

"Lun, gue mau ngomong." Adrian mendekatkan dirinya.

"Ngomong aja." Luna yang merasa risih, reflek menjauhkan dirinya dari Adrian.

"Lo-" Bel masuk berdering, membuat Adrian menghentikan ucapannya.

"Nanti aja. Jangan lupa, pulang sama gue," ujarnya, lalu menarik tangan Luna. Mereka pun kembali ke kelas masing-masing.

***

Luna termenung. Otaknya sedang memikirkan hal-hal yang menurutnya tak penting. Namun, hal tersebut selalu menghantui kepalanya.

Jantungnya berdegup sangat kencang ketika tangannya dipegang oleh Mario, tetapi tidak saat digenggam oleh Adrian. Apa bedanya? Bukannya sama aja, sama-sama dipegang, kan, batinnya.

"WOIIII SEKARANG JAMKOS! PAK NIGO GAK MASUK!" teriak Daffa dari depan kelas. Lamunan Luna pun buyar karena teriakan Daffa barusan.

"HOREEEEEEE!" Seluruh murid kelas X-4 IPA bersorak kegirangan.

"Ekhm." Cindy berdeham. Kelas yang awalnya ribut, mendadak jadi sunyi.

"Karena Pak Nigo gaada ngasih tugas, kalian semua bebas mau ngapain. Asal, jangan keluar kelas. Jangan ke kantin. Kalau ke toilet, izin sama gue," ujar Cindy, disertai anggukan yang lain.

"Siap bos!" celetuk Akmal. Daffa yang berada di sebelahnya reflek memukul kepala Akmal.

"Sakit, tolol!" Akmal balas memukul kepala Daffa.

"Ekhm, yang di sana. Abis ngejek gue, tolong jangan berantem. Atau gue catet," ancam Cindy. Akmal dan Daffa yang semula sedang berdebat, langsung diam seribu bahasa.

Luna hanya membaca novelnya dalam diam. Mengingat teman sebangkunya--Mario--tidak bisa diajak bicara karena masalah kemarin.

"Hahahaha! Lucu banget, Na!" Terdengar suara tawa Mario, lalu diikuti dengan tawa Kiana.

"Ih, tapi itu serius, lho! Sumpah, gak berfaedah banget!" Tawa mereka semakin keras, membuat kuping Luna gerah.

Luna pun memutuskan untuk menyumpal telinganya dengan earphone kesayangannya. Akhirnya, damai. Tanpa suara yang mengganggu, batinnya. Namun, hati Luna terasa sakit, saat melihat mereka berdua begitu bahagia. Entah apa penyebabnya.

***

"Lun, kak Adrian udah nunggu, tuh," ujar Kiana.

"Gue duluan, ya." Luna pun menghampiri Adrian yang sedari tadi sudah berada di depan kelasnya.

"Hai Lun," sapa Adrian sambil menyunggingkan senyuman manisnya.

"Hai," jawab Luna singkat, lalu memalingkan wajahnya.

"Gue pake motor ninja, gapapa?" tanya Adrian, yang disusul dengan anggukan Luna. Mereka pun segera menuju parkiran.

"Nih, helm." Adrian memberikan helm yang sengaja dibawa. Luna hanya diam saat mengambil helm tersebut.

"Pegangan yang kuat, gue ngebut soalnya." Adrian mengingatkan. Luna hanya mengangguk, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Adrian. Senyum kemenangan menghiasi wajahnya.

Namun, ada suatu hal yang mengganjal di hati Luna. Mengapa jantungnya tidak berdetak lebih cepat seperti saat tangannya digenggam oleh Mario?

***

Luna menatap Adrian yang mulai menjauh. Kata-katanya masih terngiang di kepala Luna.

"Lo, mau ga jadi pacar gue? Kalau lo rasa terlalu cepat, gue rela kok, nunggu jawaban lo."

Ia hanya terdiam saat mendengar perkataan Adrian. Suasana canggung pun mendominasi. Apa gue harus nelfon Kiana aja, ya? tanyanya dalam hati. Ia pun merogoh saku roknya, lalu mengambil ponselnya.

"Halo, Lun? Ada apaan?" tanya Kiana dari seberang sana.

"Kak adrian-" Belum selesai Luna berbicara, Kiana sudah memotong omongannya.

"KAK ADRIAN KENAPA?" teriak Kiana histeris, membuat Luna menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Santai. Dia nembak gue, tapi gue cuekin," jawab Luna santai.

"OH ASTAGA. LO CUEKIN? GUE KE RUMAH LO SEKARANG!" Kiana memutuskan sambungan telfonnya. Begini ya, nasib punya sahabat yang kurang waras, batinnya.

Setengah jam kemudian, mobil Kiana sudah terparkir rapi di depan rumah Luna. Dengan hebohnya, Kiana menggedor rumah Luna.

"LUNA WOI! BUKAAAAAAA!" teriak Kiana dari luar.

"Masuk," ujar Luna sembari menutup kupingnya.

"Itu bel fungsinya apa, bego. Lo gaperlu gedor rumah gue sampe segitunya," ceramah Luna.

"YAAMPUN LUN. LO BEGO ATAU TOLOL SIH? MASA KAK ADRIAN NEMBAK LO CUEKIN?" tanya Kiana dengan suaranya yang super cempreng, membuat Luna ingin segera mengusirnya dari sini.

"Bacot. Coba pelan-pelan dikit ngomongnya. Untung aja bang Gavin belom pulang."

"Sorry sorry, gue terlalu heboh. Jadi, alasan lo nyuekin kak Adrian apaan?" tanya Kiana dengan serius.

"Hm. Mungkin karena baru kenal?" jawab Luna ragu.

"Yaudah, PDKT aja dulu. Lumayan lho," Kiana berdeham, "kak Adrian itu jarang-jarang bisa nembak cewek. Lo tau gak mantannya yang baru siapa? Kak Andara. Ketua cheers yang cantik banget. Lo itu beruntung, Lun!"

"Tapi ogah gue kalau belom kenal bener. Yang udah gue kenal baik aja bisa ninggalin gue, apalagi yang baru kenal?"

"Hah? Siapa yang ninggalin lo?" Kiana menatap Luna penasaran.

"Ada, sahabat gue," ujar Luna lirih. Mengingat masa lalunya yang tak begitu enak untuk dikenang.

"Eh, gue pulang dulu ya, Lun. Nyokap mau make mobil," ujar Kiana, lalu keluar dari rumah. Menghidupkan mesin, dan segera pulang.

***

Mario menyesap taro lattenya. Setiap ia meminum minuman itu, wajah Luna selalu muncul di otaknya. Senyumnya yang manis, wajah cueknya yang lucu, semuanya adalah favorit Mario. Tak terkecuali.

Namun, perasaannya sekatang tidak enak. Apalagi tadi ia melihat Luna dan Adrian pulang bersama. Oh tidak, jangan sampai dia macam-macam, batinnya.

Ia kembali menyesap minumannya. Sekelebat masa lalu pun muncul di benaknya. Mario hanya bisa tersenyum miris.

"Mario?" sapa seorang gadis berambut pendek sebahu. Reflek, Mario pun menoleh ke arahnya.

"Florie? Suka ke sini juga?" tanya Mario.

"Iya nih, lagi suka minum caramel macchiato," ujarnya sambil meletakkan nampan yang dipegangnya.

"Gue duduk di sini ya?" Gadis yang dipanggil Florie itu pun duduk di seberang Mario.

"Stok baby breath di toko lo masih banyak kan? Bentar lagi tanggal 12 soalnya." Mario memulai topik pembicaraan.

"Masih, warna apa, btw?" tanya Florie.

"Putih, as always." Mario tersenyum miris.

"Duh, gue jadi kangen sama dia. Dulu dia sering ke toko cuma gara-gara baby breath warna putih, kan?"

"Iya, katanya itu bunga favorit doinya," ujar Mario, lalu menyesap taro lattenya.

"Oh ya? Gue baru tau, lho. Ternyata dulu dia udah tau tentang cinta, ya." Florie tertawa kecil. Masa lalu mereka memang indah. Tak seperti sekarang, semuanya sudah tidak sama seperti dulu.

Mario pun membayangkan masa lalunya yang indah. Saat semuanya masih penuh tawa canda dan kebahagiaan. Namun, semua itu direnggut begitu saja. Lagi-lagi, Mario tersenyum miris. Berharap bahwa waktu bisa diputar kembali.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro