8 - Jealous

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mario memberikan secarik kertas kepada Luna. Luna pun langsung membaca kertas tersebut.

Udah 3 hari kita gak teguran, maafin gue, ya?

Ia menoleh, menatap wajah Mario yang tampan itu. Luna pun mengangguk. Pertanda bahwa ia memaafkan Mario.

"Lun, ke kantin, yuk? Mario mau ikut?" ajak Kiana.

"Enggak deh, gue sama Akmal mau main basket." Mario menolak.

"Yaudah gue sama Luna aja. Tenang Lun, gue traktir kok," ujar Kiana seakan mengerti maksud tatapan Luna.

Mereka berdua pun pergi ke kantin dan meninggalkan Mario yang masih duduk di bangkunya sambil tersenyum bahagia.

"Lun, lo yakin gak nerima kak Adrian? Ganteng lho!" puji Kiana sembari mengunyah baksonya.

"Kunyah dulu. Jijik gue."

Kiana menelan baksonya, "Ih tapi kak Adrian itu udah ganteng, baik lagi. Mantannya aja pada gak bisa move on, tau!"

"Tapi gue belum kenal baik sama dia." Luna menyesap milo esnya.

"Hai, Lun," ujar seseorang dari belakang Luna, membuat Luna langsung menoleh ke sumber suara. Terlihat sosok Adrian di belakangnya.

"Apa?" balasnya singkat.

"Pulang bareng gue lagi, ya?" ajak Adrian, lalu menyunggingkan senyuman manisnya yang dapat membuat siswi SMA Pelita Bangsa--pengecualian buat Luna--meleleh.

"Ya." Luna mengalihkan pandangannya, dan memutuskan untuk kembali memakan baksonya yang belum habis. Sementara Adrian hanya bisa tersenyum licik sambil berlalu menjauhi meja mereka.

***

Seusai bermain basket, Mario yang kelelahan hanya bisa mengatur nafasnya sembari mengusap keringatnya yang terus bercucuran.

Ia membayangkan jika Luna ada di sampingnya sembari membawakan sebotol air mineral. Betapa bahagianya ia bila itu benar-benar terjadi.

"Mau minum?" tanya seorang gadis di sampingnya.

Tanpa menoleh, Mario mengambil botol minum itu, "Makasih."

"Sama-sama. Nama gue, Andara. Kelas XI-1 IPS. Salam kenal." Gadis itu menyunggingkan senyuman manisnya, tetapi tak dihiraukan oleh Mario. Isi dari pikiran Mario hanyalah Luna, Luna, dan Luna.

"Woi, Mar." Akmal menepuk punggung Mario, membuat Mario air yang berada di dalam mulut mario keluar.

"PFFTT. MUKA MARIO NGAKAK!" Akmal tertawa geli saat melihat wajah Mario yang terlihat seperti orang tak terurus. Baju basah, muka keringatan, dan lain-lain.

"Bacot lo, upil kambing," gerutu Mario, "udah ah balik ke kelas aja."

"Sorry, bro. Kuy lah balik ke kelas, bentar lagi bel soalnya."

Dari kejauhan, Andara melihat Mario sembari tertawa kecil. Lucu juga, batinnya.

***

Luna memainkan pulpennya dengan malas. Ia merasa sangat bosan. Pelajaran Fisika memang selalu sukses membuatnya mengantuk.

"Lun? Gak nyatet lagi?" tanya Mario yang masih sibuk mencatat.

"Enggak, deh. Gue ngantuk banget," jawabnya, lalu tertidur lelap. Untung saja, mereka duduk di bangku paling belakang.

"Tidur aja, gue tutupin kok, mimpiin gue ya," ujar Mario, tetapi Luna tidak mendengarnya karena ia sudah lebih dulu tertidur.

Senyumnya itu, bikin gue kecanduan, batin Mario yang kemudian tersenyum bahagia.

"Mar!" panggil Kiana. Reflek, Mario yang sedang memandangi wajah Luna pun menoleh.

"Luna bobo ya? Dasar! Kebiasaan," gerutu Kiana, "oh iya, lo fotocopyin aja lagi catatan gue buat dia."

"Siap, bos!"

Bel pulang pun berbunyi, membuat Luna terbangun dari tidur siangnya.

"Udah pulang?" tanya Luna dengan tampang mengantuk.

"Udah! Buru, ah. Kak Adrian udah nungguin tuh," cerocos Kiana.

"Oh."

"Ih anjir. Kok gue jadi kesel, ya? Tau ah. Cepetan samperin kak Adrian sana!" Kiana menarik tangan Luna dengan paksa.

"Lama nunggu, kak?"

"Enggak, kok. Yuk, Lun." Adrian menggenggam tangan Luna.

"DADAH LUNAAAA!" teriak Kiana.

Sementara itu, Mario yang baru saja keluar dari toilet hanya bisa menahan rasa cemburunya.

***

"Lun, mampir dulu yuk. Laper nih," ajak Adrian yang hanya dibalas Luna dengan gumaman singkat.

Mereka pun berhenti di sebuah restoran. Adrian memarkirkan motornya, lalu mengajak Luna masuk ke dalam restoran itu.

"Pesen aja, Lun," ujar Adrian sembari membolak-balikkan menu.

"Gue pesen taro latte sama chicken steak aja," jawabnya singkat. Adrian hanya bisa tersenyum melihatnya.

"Mba, taro lattenya 1, chicken steaknya 2, sama hot coffee 1," ujar Adrian kepada pelayan restoran tersebut.

"Saya ulangi ya pesanannya, 1 taro latte, 1 hot coffee, dan 2 chicken steak. Ditunggu ya Mba, Mas." Pelayan itu pun mengambil menu dan beranjak pergi.

"Lun, lo masih belum tau jawaban yang kemarin?" tanya Adrian. Luna hanya menggelengkan kepalanya.

"Ngomong, dong. Masa diem terus, sih?" Adrian mencubit pipi Luna.

"Nih gue ngomong. Puas?" tanya Luna sambil menjauhkan tangan Adrian dari pipinya.

"Puas banget, Luna sayang." Adrian terkekeh kecil.

Najis, batin Luna.

Tak lama kemudian, makanan yang mereka pesan pun datang. Mereka berdua pun segera menyantap makanan tersebut.

"Suka gak? Kalau suka, entar gue sering-sering ajak lo ke sini," ucap Adrian setelah menelan makanannya.

"Biasa aja sih," jawab Luna, lalu kembali menyantap chicken steaknya.

Adrian hanya terkekeh kecil saat melihat sikap Luna yang menurutnya, lucu.

Incoming Call : Kak Vanessa

"Gue keluar dulu," ujar Luna, lalu dibalas dengan anggukan Adrian.

"Halo, kak," sapa Luna.

"Lun, lo ada di rumah gak? Gavin kecelakaan, Lun. Katanya sih udah di bawa ke rumah sakit sama temennya. Bisa pulang sekarang, gak? Nanti gue jemput. Kita ke rumah sakit bareng-bareng." Sebelum Luna sempat bertanya ataupun mengiyakan, sambungan telfon itu terputus.

Ia pun segera berlari masuk dan menghampiri Adrian.

"Kak, Abang gue kecelakaan. Bisa antar gue pulang sekarang?" pinta Luna dengan wajah paniknya.

"Iya, Lun. Lo tenang ya. Gausah panik." Adrian memeluk Luna yang matanya sudah mulai berkaca-kaca.

Setelah membayar, mereka pun keluar dari restoran tersebut dan bergegas menuju rumah Luna.

***

Mario baru saja selesai memfotocopy catatan Kiana. Rencananya, ia akan langsung mengantarkan fotocopyan tersebut ke rumah Luna.

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Karena terjebak macet, Mario baru tiba sekarang. Ia pun melangkahkan kakinya dan segera membuka pagar rumah Luna.

Dadanya panas. Hatinya serasa terbakar saat melihat Adrian yang berusaha menghentikan tangisan Luna. Matanya tak mampu melihat Luna yang sekarang berada di pelukan Adrian.

Tak perduli dengan apa yang terjadi, Mario memutuskan untuk pulang. Sepertinya, hari ini adalah hari terburuknya. Padahal, ia baru saja berbaikan dengan Luna.

Dari kejauhan, Adrian tersenyum saat melihat Mario yang berusaha menahan cemburunya. Entah mengapa, ia merasa sangat puas.

Sesampainya Mario di rumah, ia langsung membanting pintu kamarnya. Dilemparnya kantong yang berisi kertas fotocopyan itu.

"KENAPA HARUS ADRIAN?! KENAPA?!" Amarahnya memuncak.

"Kalau emang benar Luna yang gue kenal sekarang ini sahabat lo dulu bang, gue ga akan biarin dia jatuh ke tangan Adrian."

Incoming Call : Vanes Bacot

"Ini lagi, bikin kesel aja!" gerutu Mario sembari mengambil ponselnya dengan malas.

"Halo, kak?"

"Mar, gue pulang malem ya. Soalnya Gavin kecelakaan. Gue bakalan di rumah sakit sampe malem. Jaga rumah," jelas Vanessa panjang lebar.

"Iya." Mario pun memutuskan sambungan telfonnya. Ia merebahkan tubuhnya di kasurnya yang empuk. Berusaha melepaskan semua penat dan kekesalannya. Perlahan, matanya terpejam dan ia pun tertidur.

***

"Bang Gavin gapapa?" tanya Luna dengan wajah cemasnya.

"Gapapa kok, Lun," jawab Gavin sembari menyunggingkan senyum palsunya.

Vanessa yang sedari tadi menggenggam tangan Gavin tak henti-hentinya menangis. Wajar saja, karena mereka sudah lama menjalin hubungan, yakni sejak mereka duduk di bangku kelas 3 SMA. Kehilangan Gavin adalah kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi, tetapi Vanessa berharap itu takkan terjadi.

"Udah sayang, jangan nangis terus. Aku gapapa kok." Gavin mengelus kepala Vanessa dengan lembut.

"Aku nemenin kamu di sini sampe besok aja, ya? Biar Luna dianter Mario pulang. Aku telfon Mario sekarang." Vanessa meraih ponselnya yang berada di saku celananya.

"Mario? Lo antar Luna pulang ya. Ke rumah sakit sekarang. Gak pake penolakan," ujar Vanessa.

"Terserah, deh. Gue mager nih soalnya." Terdengar suara Mario dari ujung sana.

"Gak ada penolakan. 30 menit lagi harus udah sampai." Vanessa memutuskan sambungan telfon tersebut.

30 menit kemudian, Mario tiba di rumah sakit tempat Gavin dirawat. Sesuai perintah kakaknya, ia harus mengantar Luna pulang.

Entah harus merasa senang ataupun kesal, mengingat tadi ia melihat Luna dan Adrian berpelukan di rumah Luna. Hatinya terasa panas ketika mengingat kejadian itu.

Ia pun memarkirkan motornya, lalu segera masuk ke dalam rumah sakit dan mencari kamar tempat Gavin dirawat.

"Misi," ujar Mario sembari mengetuk pintu.

Pintu pun terbuka. Terlihat wajah Luna dengan mata yang sembab sehabis menangis. "Masuk aja," ujarnya.

Mario pun memasuki kamar tersebut. Ia duduk di sebuah sofa yang memang sudah tersedia di situ. "Langsung pulang aja, ya?" tanya Mario yang dijawab dengan gelengan Luna.

"Gue masih mau nemenin bang Gavin," ujar Luna sedih. Ia masih ingin menemani abang satu-satunya.

"Pulang aja, Lun. Kasian Mario nunggu," ucap Gavin sambil menyunggingkan senyumnya yang manis.

Luna menoleh ke arah abangnya, "Boleh bang?"

"Ya boleh lah, besok kan lo sekolah."

"Yaudah, gue pulang ya bang." Luna memeluk Gavin.

"Hati-hati, Mar." Vanessa mengingatkan.

***

Sekarang, mereka sudah berada di parkiran. Mario pun memberikan helmnya kepada Luna, "Nih pake."

Luna mengangguk, "Makasih."

Selama perjalanan, mereka hanya diam. Luna yang gengsi dan Mario yang masih memendam rasa cemburu.

"Tadi, kok lo pelukan sama Adrian?" Bibir Luna terasa kaku, enggan mengeluarkan suara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro