4| BROKEN?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Harusnya sih, Kachan update tiap jam 18:00 ya. Ta-tapi ternyata waktu luangnya justru ada di jam segini. Yaudahlah ga papa ya. Happy baca ❤️
Sorry for typo 🙏

Udah tahu sakitnya patah hati enggak ditanggung BPJS. Masih aja nekat pacaran!
-ephemeral-

Tidak ada manusia yang benar-benar sempurna di dunia ini. Mau setampan atau secantik apapun manusia tetap memiliki sisi buruknya masing-masing. Right?

Pendapat ini Bita aminkan dalam hati. Matanya memindai sekilas pada Bapak Direktur Kreatif yang maha sempurna lewat lirikan matanya. Kalau dilihat-lihat Pak Bos memang enggak kalah tampan dengan Rafka -- oh, tunggu! Kenapa Bita jadi membandingkan keduanya.

Ojo dibanding-bandingke, toh, Ta!

Jelas sekali keduanya bagaikan langit dan bumi. Rafka itu penyabar, murah senyum. Wajah tampannya dibingkai dengan sifat plus yang sempurna di mata Bita.

Sementara Pak Rashad? Tampang ganteng akan nampak minus karena dipigura dengan sifatnya yang angkuh, sok berkuasa - oke baiklah, dia memang bos - yang punya kuasa. Namun Bita akan kembali mengingatkan kalau Bosnya itu pelit senyum, otoriter. Lebay masalah kebersihan - atau Bita biasa menyebutnya manusia setengah OCD. (Obsesif Compulsive Disorder) sebuah gangguan mental yang terjadi pada seseorang - hingga membuatnya ingin melakukan sesuatu secara berlebihan atau berulang-ulang. Gila aja, Bita masih sakit hati banget saat berkas yang dia sodorkan dilap pakai tissue antiseptik oleh si Rashad waktu itu. Dikiranya Bita ini seonggok kuman apa gimana sih?!

Meeting room pagi ini terasa begitu memberatkan bagi Tsabita. Atmosfer bosan mengental di benak gadis berblazer cokelat serta memakai pasmina hitam itu. Dia ingin lari dari sini -- andai sedang tidak menjalankan tanggungjawab pada pekerjaan. Resiko budak korporat!

Bita merasa sejak memasuki ruangan ini ada sepasang mata yang terpancang menatap intens ke arahnya. Dia, sosok tinggi tegap dengan mata sewarna almond, dipagar alis yang sedikit tebal, sementara hidung mancungnya bertengger angkuh -- seangkuh sikapnya-- menyempurnakan pahatan rupanya yang terlihat ... tampan. Dan, dia tengah duduk di kursi paling ujung membawa wajah serius tanpa sedikitpun menampilkan senyum. Bapak Direktur Kreatif yang maha sempurna. Rashad Mahawira. Gimana enggak maha sempurna, kalau apa-apa maunya yang super perfect, tanpa mau tahu kendala yang dihadapi anak buah di lapangan.

"Akhir tahun, kita harus push target yang hampir tercapai." Intonasi tegas terdengar dari suara Rashad saat mulai penjabarannya. "Ditilik dari tahun lalu, kita naiknya agak lambat, sangat tipis malah." Matanya yang berkilat memindai satu persatu anak buahnya. Termasuk Tsabita.

"Mulai pikirkan metode atau strategi baru untuk menggali stimuli audience paling efektif. Kita butuh ide-ide segar. Risetnya juga tolong dikencengin. Segmen demografis terutama." Lanjutnya lagi sembari menunjuk board presentasi - masih dengan wajah ala-ala diktaktor-nya.

"Marketing juga, jangan kasih kendor, terutama lini media sosial, karena dari sana kita bisa tahu seberapa besar pengaruh terbesar audience." Seperti biasa, Senin pagi Rashad akan memimpin meeting mingguan sebelum berkutat dengan kumparan pekerjaan. "Apalagi sekarang saluran televisi sudah berganti menjadi digital. Tidak semua kalangan bisa mengakses, terutama sektor menengah ke bawah. Ujungnya pasti akan lari ke media sosial lain sebagai bahan pengalihan."

Divisi kreatif merupakan bagian yang bisa dianggap sebagai tangan kanan promosi dibanding dengan strategi pemasaran lainnya, karena dengan ide-ide yang menarik maka dapat mendukung keberhasilan branding activation.

Selama menjadi staf kreatif baru kali ini Bita berdoa semoga meeting segera selesei - agar dia tidak berlama-lama berada satu ruang dengan Pak Rashad. Tidak nyaman ditatap penuh intimidasi oleh atasannya tersebut. Apalagi sepanjang penjelasan kedua mata Rashad seolah telah sengaja tak melepaskan fokusnya pada Bita.

"Usahakan bekerja dengan maksimal serta dedikasi tinggi. Dedikasi is number one! Jangan bawa hasil kalian ke meja saya sebelum benar-benar memastikan kalau itu layak." Saat berkata lagi, sepasang mata almond Rashad menatap intens ke arah Bita. Membuat sang gadis harus berkali-kali mengalihkan pandangan ke arah lain. Dari kalimatnya Bita bisa menangkap makna satir yang dilontarkan bos-nya.

Cih! Apa gara-gara konsep Bita kemarin, makanya sekarang disindir di depan khalayak ramai begini. Padahal konsepnya lulus presentasi di depan advertiser. Ya, walau sebelumnya Bita harus mem-push segenap jiwa, raga dan otak untuk lembur mengerjakan revisian konsep yang ditolak Pak Rashad. Kurang dedikasi gimana coba?

"Bisa dipahami semua ya?" Suaranya terdengar lantang saat Rashad melontarkan tanya pada anak buahnya. Semuanya mengangguk sembari menyahut dengan kata 'iya pak' Kecuali satu orang yang terekam mata Rashad sedang menerawang tanpa memperhatikan ucapannya. Hal ini memantik atensi Rashad.

"Gimana, Tsabita?" Rashad menyebut nama Bita seraya menatapnya lekat.

"IYA PAK!" Suara super kencang melompat dari bibir Tsabita. Antara kaget dan refleks sampai suaranya over power. Sialnya teman-temannya seperti menahan tawa menyaksikan ekspresi cengonya usai menjawab kalimat si Bapak Direktur Kreatif yang maha sempurna.

Rashad melepas embusan napas. "Telinga saya masih berfungsi dengan sangat baik, Bita, tidak perlu kamu gunakan suara yang over power seperti barusan."

"Ma-maf, Pak." Bita mati kutu.

"Apa kamu sudah memahami semua yang saya jabarkan tadi?"

"Iya, Pak."

"Apa?"

Bita menggigit bibirnya sendiri akibat merasa terpojok. Alih-alih menyimak dengan baik, perutnya sejak tadi merasa melilit sepanjang meeting gara-gara terlalu lama bersinggungan dengan Pak Rashad. Kata-kata 'sampah' yang dilabelkan pada hasil pekerjaannya kemarin kasih tertawan di benak Bita sampai hari ini, membaut gadis itu dilanda sebal jika harus berdekatan langsung dengan sang atasan.

"Enggak bisa jawab?" Cecar Rashad. "Ngelamun saja terus dan enggak usah menyimak materi meeting dari saya." Kalimat satirnya meluncur dengan lancar bak lesatan anak panah yang menghujam tepat di jantung Bita. Sakit? Enggak, tapi malunya itu loh. Dikuliti di depan staff lainnya.

Bita terdiam. Menunduk tanpa bisa menjawab. Dia seperti kehilangan semua redaksi kalimat yang ingin diluncurkan. Kata-kata Bapak Direktur Kreatif yang maha sempurna barusan seperti memborbardir perasaannya dengan sangat brutal. Apa yang lebih menyakitkan bagi seorang budak korporat kalau sudah dipermalukan di depan staf lainnya? Mungkin sekarang wajah Bita telah memerah sempurna, bukan merah pertanda malu-malu kucing -- tapi merah menahan amarah yang ingin meledak.

"Meeting selesei. Saya harap di pertemuan berikutnya kalian semua menyimak dengan baik dan benar. Jangan sibuk melamun sendiri." Rashad beranjak dari kursi. Lelaki itu melesat cepat keluar dari dari meeting room, disusul para staf lainnya, kecuali Bita, Yola dan Rafka yang masih bertahan di sini.

"Sabar ya, jangan diambil hati." Rafka memangkas jarak, berpindah duduk tepat di sebelah Bita. Seperti kobaran api yang mendapat siraman air es. Hati Bita terasa sejuk seketika.

"Makasih, Pak Rafka udah perhatian." Bita membalas disertai senyum malu-malu manis.

"Ekheem. Gue mau balik, ogah jadi nyamuk di mari!" Yola berdeham seraya berbisik di kuping Bita, lantas beranjak dari duduk. Bita baru menyadari kalau temannya satu itu masih duduk di kursinya sejak tadi. Godaan Yola sontak memicu salah tingkah Tsabita.

"Tunggu Yol, gue bareng."

"Ayo, Ta. Saya juga mau balik ke ruangan." Rafka berdiri lebih dulu. Matanya mengisyaratkan pada Bita agar segera beranjak.

___

"Ngapain lo di sini?" Rashad menatap sekilas sang sepupu yang pagi ini menyambangi ruangannya. Rafka.

Rafka berdiri menyandar di sisi meja dengan mengantongi kedua tangan di pada saku celananya. "Rumor yang beredar, apa itu benar?" Tanyanya tanpa basa-basi.

Rashad tertawa kecil. "Kalaupun iya, kenapa? Lo mau cosplay jadi Opa, sampai segala urusan percintaan gue diurusin." Rashad bertanya balik.

"Gue enggak percaya gitu aja, Shad. Gue tahu dan kenal Lo luar dalam. Lo itu tipe yang enggak bakal mudah ngelepasin apa yang Lo punya. Bulshit kalau Lo bisa dengan mudahnya putus dari Marsha," cecar Rafka. "Lagian benar kata Opa. Marsha itu kurang layak buat Lo, gue perhatiin dia cuma manfaatin semua fasilitas yang lo kasih." Prolog Rafka seketika mendapat tatapan tajam Rashad.

Rashad tertawa sinis. "Kenapa memangnya? Apa lo ada niat mau nikung gue lagi seperti waktu itu?"

Dan, raut Rafka seketika berubah drastis setiap kali Rashad membahas tentang kesalahpahaman yang terjadi di antara keduanya beberapa tahun silam.

Rafka Dirgantara. Sepupu Rashad dari keluarga oma-nya. Kakeknya Rafka adalah adik bungsu dari Oma Rashad.
Rashad memang lumayan dekat dengan Rafka, tapi itu dulu, waktu mereka kecil. Keduanya terpaut usia lima tahun. Rashad yang lebih tua. Dari beberapa sepupu - anaknya Kakek Ilyas, hanya Rafka yang masa kecilnya sering menghabiskan waktu bermain bersama Rashad. Seiring berjalan waktu, keduanya tumbuh dewasa, bukan lagi anak-anak polos yang saling mengalah, tapi sifat bersaing ikut menyusup di antara keduanya.

Beberapa tahun silam, Rashad pernah jatuh hati. Sosok yang berhasil mencuri ketenangan jiwanya itu adalah gadis sepantaran dengan Rafka. Keduanya akrab karena Rafka memang berteman dekat dengan gadis itu. Nabila namanya. Rashad mengenalnya saat menjalankan S2-nya di negeri Kanguru.
Saat Rashad yakin ingin mengungkapkan isi hati, justru dia yang dibuat terkejut karena Nabila ternyata diam-diam menyukai Rafka. Sejak saat itu keakraban yang terjalin antar sepupu--Rashad dan Rafka merenggang oleh kesalahpahaman. Empati Rashad habis dimakan ego yang membumbung tinggi. Dia pikir Rafka sengaja ingin merebut apapun yang dia punya. Perhatian Opa ... termasuk Nabila.

Raut tak suka memancar jelas di wajah Rafka saat Rashad menyinggung kisah usang mereka. "Sampai kapan Lo salah paham begini, Shad?!" Pertanyaan retoris yang tak mendapat jawaban. "Udah gue bilang ratusan kali, gue sama sekali enggak pernah nikung Nabila," imbuhnya dengan otot wajah mencuat karena sedikit emosi saat bicara.

Rashad tak acuh, matanya sibuk menekuri layar laptop, sementara tangannya mengklik mouse tanpa tujuan yang jelas. Momen itu, yang enggak akan pernah Rashad lupakan. Saat Nabila terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukai Rafka. Itu adalah patah hati pertama sekaligus pemantik perselisihannya dengan si sepupu. Tidak ada lagi kedekatan antara dia dan Rafka. Semuanya retak oleh akumulasi rasa kecewanya pada sang sepupu. Baginya Rafka hanya pura-pura baik di depannya tapi diam-diam selalu mengincar apapun yang Rashad ingin raih.

"Lebih baik Anda kembali ke ruangan, jika merasa urusan Anda di sini sudah selesai. Pak Rafka!" Satir Rashad bicara formal tanpa menatap lawan bicaranya.
___

Bita baru kembali dari pantry usai membuat secangkir vanilla latte kesukaannya. Pukul 17:00 baru saja terlewat, tapi gadis itu masih bertahan di kubikelnya. Ada beberapa revisian yang menanti untuk dikerjakan.

Yola dan yang lain sudah lebih dulu beranjak, menyisakan Bita seorang di ruang kreatif.

"Ta, belum pulang?"

Bita sedang menyeruput pinggiran cangkirnya. Bibirnya mendesis pelan saat merasai panas dari isi cangkirnya, dia lantas mendongak ke sumber suara yang menginterupsi polahnya. Mendadak jantung Bita jadi berisik saat memindai sosok berpunggung lebar sedang berjejak di sebelah kubikelnya sembari memamerkan senyum manis.

"I-iya, Pak. Masih ada revisian dikit lagi."

Dia, Rafka. Berdiri dengan kedua tangan dikantongi pada saku celananya. Wajah tampannya masih menyuguhkan senyum manis ke arah Bita.

"Kenapa Pak Rafka?"

"Enggak usah panggil Pak, Ta. Ini udah jam bubar kantor."

Bita manggut-manggut. Salah tingkah sendiri.

"Mau ditemenin, enggak?"

Bita menengadah. Penawaran yang enggak mungkin dia tolak.

"Boleh, kalau Kak Rafka enggak sibuk atau ada urusan." Kadang Bita merasa harus merevisi ucapannya. Kenapa sih, jadi cewe enggak ada jaim-nya sama sekali. Minimal harusnya basa-basi dulu, bilang enggak usah, nanti merepotkan. Ah, sialnya Bita enggak pandai pura-pura.

"Tapi ada syaratnya, Ta."

"Apa, Kak?"

"Pulang ngantor temani saya makan. Enggak boleh nolak."

Mengangguk adalah refleks Bita.

"Mau makan di mana, Ta?" Bita kembali mendongak, bingung. Kan, yang ngajakin Rafka, kenapa dia yang ditanya mau makan di mana? Ini Rafka enggak lagi kasih harapan palsu, kan?

"Penyetan Mak Yaya, gimana, Kak?" Bita menyebut nama kedai makan spesialis sambelan yang terkenal di Surabaya. Meski banyak yang mereview kalau rasanya B aja. Tapi bagi Bita nasi penyet sambelnya Mak Yaya tetap yang paling Badas.

Rafka tertawa pelan. "Masih suka makan yang super pedas?"

"Masih."

"Tapi, Mak Yaya bukanya kan jam delapan malam, Ta. Atau kamu mau jalan ke mana dulu gitu nanti?"

Bita ingin sekali menepuk keningnya sendiri. Saking antusiasnya akan ajakan Rafka sampai lupa kalau kedai Mak Yaya bukanya di atas jam delapan malam. Kok ya kesannya ngarep banget diajak jalan dulu. Sumpah, Bita mau menyembunyikan wajahnya saat ini juga dari Rafka.

"Dan sayangnya kalian harus merescedul ulang acara makan malam kalian ini. Rafka, Lo ditunggu Opa di rumah buat makan malam bareng malam ini." Entah sejak kapan si Bapak Direktur Kreatif sudah berjejak di depan pintu divisi kreatif sembari melipat kedua tangannya.

Rafka dan Bita menoleh bersamaan ke sumber suara. Bibir Rafka bergerak, menimpali si sepupu.

"Kok, Lo baru bilang, Shad?"

Rashad hanya mengedikkan kedua bahunya tanpa berkata-kata.

Bita mendesis sembari melirik sinis ke arah Pak Rashad.

Bedebah satu itu, keknya suka banget lihat orang susah, plus susah kalau lihat orang lain senang. Batinnya mendumel sendiri. Hilang sudah kesempatan berdekatan dengan Rafka, gara-gara interupsi Pak Rashad. Inisial R satu itu benar-benar minta dikirim ke Azkaban menurutnya.

🌺🌺🌺

Ta, coba bilang langsung depan Pak Achad. 😂

Gimana bab kali ini?

Masih mau lanjut?

Apa Minggu depan aja lagi?

Lup& Calangeyo
Chan ❤️

04-01-23
2000

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro