3 | RUMOUR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumor adalah fakta yang tertunda!
-ephemeral-

Konon, katanya menjadi anak bungsu itu super enak. Selalu dimanja dan dikabulkan apa yang diinginkan dalam hitungan detik. Menjadi kesayangan semua orang dan pusat perhatian kakak-kakaknya.
Namun, tolong diralat sebentar, karena yang terjadi pada Tsabita Swastamita justru sebaliknya.

Bita merupakan bungsu dan anak gadis satu-satunya keluarga Atmadja. Namun, Surya - papanya tidak akan langsung mengabuli keinginan sang putri jika dirasa itu kurang relate dengan kebutuhan Bita. Dalam hemat Surya Atmadja, anak-anak tidak boleh memiliki sesuatu hanya berdasarkan keinginan. Harus ada value, sebesar apa barang atau apapun itu dibutuhkan oleh anak-anaknya.

"Papa..." Suara rengekan itu sudah menggema sejak satu jam lalu. Si empunya suara adalah gadis dewasa muda yang telah menginjak usia dua puluh tiga tahun. Tsabita Swastamita. Bita. Begitu dia akrab dipanggil. Katanya dulu Bita ini lahirnya waktu senja menyapa. Langit ke-orange-an ditambah setitik kecil sinar yang Tampak dilihat dengan mata telanjang, makanya Rembulan dan Surya menamai putri bungsu mereka Tsabita Swastamita. Artinya bintang yang bersinar terang di langit senja. Nama yang cantik, tapi tetap saja panggilannya cuma satu kata ; Bita. Sama, kan,  kayak si Baby Ritz anaknya Sultan Andara, nama cakep-cakep Rayyanza, dipanggilnya cuma: Cipung.

Bita melirik laki-laki paruh baya yang tengah asyik menekuri surat kabar harian dalam pangkuannya. Seolah rengekan sang putri nyayian angin lalu. Tak mengusik fokusnya sama sekali.

"Papa enggak adil!" Sebuah kalimat protes meluncur dari bibirnya yang lembab merah ranum alami. "Mas Saga sama Abang El dibeliin mobil, masa Bita, anak cewe satu-satunya diabaikan sama Papa."

Dehaman sang Papa melompat. Masih dengan sikap abainya pada sang putri.

"Hei-hei, gue nyicil sendiri ya, Papa cuma minjemin uang muka doang." Elbayu- kakak kedua Bita menyahut dari meja makan, wajahnya bersungut tak terima. Lelaki itu lantas kembali asyik mengoleskan selai kacang pada roti tawarnya usai menukas obrolan - ah, bukan obrolan- lebih tepatnya rengekan Tsabita. Dan, Surya Atmadja - Papanya masih bungkam sampai detik ini.

Bita mendengkus panjang. Susah sekali meyakinkan Pak Surya Atmadja untuk urusan satu ini. Bita sampai bingung harus menggunakan redaksi apalagi agar papanya menggubris permintaannya. "Papa, please, Bita butuh mobil, enggak enak kalau nebeng sama Runi terus, Pa." Rengekan Bita kembali pecah. "Jarak rumah ke kantor Bita, kan, lumayan, Pa." Alibi Bita masih belum menyerah.

"Kan, bisa naik trans, Dek, atau naik gojek, grab. Enggak harus mobil baru, lagian kamu juga baru banget bisa nyetir." Sahutan ini berasal dari Sagara - kakak sulung Tsabita. Nada bicara Sagara memang lebih kalem, lemah lembut penuh kasih sayang daripada Elbayu yang sama-sama suka nyablak, persis kayak Bita.

Bita menampakkan wajah sendu, "Enggak enak, Kak, desak-desakan sama banyak orang, panas, keringetan. Sampai kantor Bita udah kayak atlet marathon yang banjir keringat, bau, enggak nyaman." Suara Bita terdengar serak menahan tangis yang ingin meledak. Kata orang anak bungsu itu pasti paling dimanja dan disayang. Tolong lupakan sejenak karena hal tersebut tidak berlaku bagi Pak Surya Atmadja. Bukan otoriter, tapi papanya selalu bertindak disiplin untuk anak-anaknya. Sejak kecil ketiga anaknya diajarkan jika ingin sesuatu harus mau bersusah paya dulu untuk mendapatkan yang diinginkan. Agar ketiganya menghargai arti sebuah perjuangan.

"Lagian Lo gaya banget mau bawa mobil sendiri, Ta. Kena jalan satu arah aja udah mewek bingung nyari putar balik." Elbayu kembali berkomentar. Bita bereaksi dengan mendelik ke arah abangnya. Iya emang sih, nyari putar balik di jalan arteri kota Surabaya itu udah kayak perjalanan nyari kitab suci ke barat. Dari ujung ke ujung lagi.

"Ish! Abang El diem deh. Berisik."

Surya menghentikan aktivitasnya membaca koran. Meletakkan sembarangan surat kabar tersebut di atas meja kaca bening lantas memindai putri bungsunya.

"Boleh saja, asal Bita lulus ujian SIM A, sekarang juga Papa belikan maunya Bita."

Telak!

Bita membisu. Kalau sekadar menyetir, dia bisa kok, sudah menguasai jalanan. Beberapa kali jadi joki abangnya, Elbayu, saat lelaki itu malas nyetir. Namun, tiga kali juga  ikut ujian test surat izin mengemudi Bita selalu gagal total. Bita mendumel sendiri. Menurutnya lintasan test di negeri ini paling rumit dan aneh sendiri. Pakai segala disuruh parkir mundur zig-zag. Parkir lurus enggak nabrak saja sudah untung, ini malah zig-zag. Wajar kalau banyak yang gagal, dan lantas malah memilih jalan pintas pakai jasa calo. Bita ogah kalau harus menempuh cara curang semacam itu.

"Ckk!" Decakan Bita melompat dari bibir tipisnya. "Papa tahu sendiri, Bita sudah tiga kali gagal test."

"Nah, itu makanya, belum punya SIM mau sok-sokan nyetir sendiri. Enggak. Enggak ada ya, Bita Sayang." Usapan tangan Surya mendarat di kepala putrinya. "Ini bukan masalah mobil barunya, tapi kemampuan kamu yang belum memadai, Bita." Sambung Surya sebelum beranjak meninggalkan ruang tengah. "Papa selalu ingatkan sejak dulu, kalian boleh memiliki apapun yang kalian mau, asal sesuai dengan kemampuan kalian." Kata-kata Surya ditujukan untuk ketiga anaknya. Lelaki lima puluh tahunan itu memaku langkah sejenak, memberi interupsi kalimat sebelum benar-benar menghilang dari ruang tengah.

Bita mengempas badan - menyandar sepenuhnya pada punggung sofa.
"Papa kok enggak adil gitu ya, apa jangan-jangan Bita ini beneran anak pungut kayak kata Abang El?" pekik Bita. Elbayu merespons dengan ledakan tawa.

"Nah, gue bilang juga apa. Lo itu anak pungut, Dek." Ledek Elbayu. Bita makin manyun dibuatnya.

Sementara Sagara mendekat dan duduk di sisi adiknya.

"Si Kampret satu itu jangan didengarkan kalau bicara, mana mungkin Bita anak pungut," ucapnya sembari mengacak rambut sang adik. "Kalau Bita mau, Mas Saga bisa ngedrop kamu setiap pagi. Tapi syaratnya Bita harus bangun lebih pagi, biar kita tidak kena macet di jalan. Bita tahu, kan, arah kantor kita berbeda."

Bita langsung memeluk lengan kakak sulungnya. Sagara memang paling perhatian dan pengertian padanya. Tapi, bukan itu sebenarnya yang dia mau. Alasan butuh mobil dan malas berdesakan di dalam bus trans hanya alibi. Padahal yang sebenarnya Bita ingin terlihat keren di mata Rafka. Bapak Manager nan tampan sekaligus seniornya itu bilang kalau cewe yang berani bawa mobil sendiri itu sangat keren dan enggak manja. Tentu Bita juga mau terlihat keren di mata Rafka.

"Enggak deh, Mas. Kasihan Mas Saga kalau ngedrop Bita tiap pagi. Kantor kita berlainan arah."

"Ya tidak pa-pa, Dek, asal kita berangkatnya lebih pagi." Sagara meyakinkan.

Bita menggeleng lagi. Si kakak sulung dengan segala kebaikannya, serta bahasa super bakunya saat bicara. Bita sampai takjub, bisa-bisanya Sagara bicara dengan gaya bahasa yang sangat formal begitu. Mungkin kalau boleh melabeli, Bita akan memberi gelar 'The Next Ivan Lanin' pada Sagara. Si kamus KBBI berjalan.

"Yakin tidak mau, Dek?" Sagara bertanya ulang. Tsabita menggeleng.

"Papa kok pelit banget ya, Mas, padahal enggak miskin-miskin amat loh. Beli tiga Ferarri sekarang juga masih bisa kayaknya." Tawa Sagara meledak mendengar statement sang adik. Tangannya kembali mengacak rambut panjang Bita yang tergerai bebas saat di rumah.

"Bicara apa sih, Dek. Bukan pelit, tapi disiplin. Itu juga buat kebaikan kita semua."

Kedua bahu Bita terangkat. Iya sih disiplin, tapi kayaknya beda tipis sama pelit. Ah, sudahlah! Bita beranjak dari sisi Sagara. Gadis itu ingin menuju kulkas di dapur. Mengambil beberapa batang Choki-Choki untuk dimasukkan ke tas kerja, agar besok tidak kelupaan. Gagal dapat mobil baru membuat Bita ingin bagi-bagi cokelat di kantor besok.

___
 

Bita melangkah gontai menuju kubikelnya di lantai 20 gedung perkantoran tempatnya bekerja. Tas ranselnya sudah penuh dengan banyak isi. Selain alat tempur seorang budak korporat- juga berisi cokelat pasta yang nanti akan diletakkan Bita di meja teman-temannya. Choki-Choki. Kebiasaan unik gadis satu itu, setiap kali gagal mendapat atau meraih sesuatu yang dia mau, pasti akan bagi-bagi cokelat pada teman-teman terdekat. Katanya, biar ada keajaiban setelah dia membagikan cokelat-cokelat tersebut. Siapa tahu setelah itu harapannya akan dikabulkan Tuhan. Lagipula cokelat itu, kan, pembangkit mood paling bagus. Kandungan phenylethylamine mampu menciptakan rasa happy di otak.

"Buat Lo," kata Bita saat melempar sebungkus Choki-Choki ke meja Yola.

Temannya itu mendelik heran, lantas menyimpan cokelat pemberian Bita.

"Kali ini apa lagi yang gagal, Ta?" Candra bertanya sembari melongok.

"Proposal mobil baru enggak di-ACC sama Bapak Surya Atmadja." Bita menyahut dengan nada sendu.

Yola merapal terima kasih sembari mengintip Bita sekilas, bibirnya bergerak mengatakan 'sabar ya' pada Bita.

"Lo gagal aja terus tiap hari Bita, biar gue enak dapat cokelat terus," lanjut Candra lantas mendapat lemparan gulungan kertas kecil dari tangan Bita. Dasar teman akhlakes.

"Jahat banget sih, Cand," protes Bita bersungut-sungut.

"Makasih Ta, pagi-pagi udah bagi-bagi rezeki." Mas Tito menukas. Si bapak tiga anak itu sudah duduk anteng di kubikelnya saat Bita datang.

"Pssst. Mau tahu gosip terhangat, gak, Lo pada?" Kalau Mas Tito sudah bersabda,  sontak kumparan budak korporat merapat ke kubikel laki-laki tiga puluh enam tahun itu.

Bita ikut bergabung di depan kubikel Mas Tito, bersama Yola dan Candra yang lebih dulu nangkring di sana. Bang Emil belum terlihat datang. Biasanya jam segini rekan Bita berbadan sedikit bongsor itu masih menikmati secangkir kopinya di kantin.

"Apaan Mas?" Yola bertanya tak sabar.

"Lo mau traktir kita ya, Mas?" Candra menyela. "Ayolah, gue belum sarapan ini kebetulan."

"Traktiran mulu otak Lo, Cand." Yola mencibir kata-kata Candra, tangannya ikut terbang menampar lengan Candra. 

"Si Bucek putus sama cewenya." Kalimat Mas Tito sontak membuat tiga juniornya menganga tak percaya. Yola mendelik. Candra melongo, sementara reaksi Bita yang paling biasa. Datar.

"Boong Lo, Mas, mana mungkin Budak Cinta macam dia gampang diputusin." Yola berkata tak percaya.

Candra juga sama, geleng-geleng kepala dengan informasi yang didapat barusan. Ibarat-nya ya, si Bapak Direktur Kreatif ini sama kayak remaja yang lagi viral : si Sadboy. Bucinnya udah level kuadrat. Denial.  Mana mungkin rela gitu aja putus dari pacar selebgram-nya. 

"Serius. Pas habis meeting sama gue kemarin, Marsha telpon enggak diangkat sama si Bucek. Doi sendiri yang cerita pas di mobil mau balik kantor,  kalau baru putus sama cewenya. Malah minta tips ke gue cara cepat buat move on." Mas Tito menyambung gosip yang ditebar dengan nada berapi-api.
Sudah biasa bagi anak-anak kreatif selalu bertukar info tentang rumor atau ghibahan yang sedang trending di kantor ini.

Sementara Bita hanya mengangkat kedua bahu. Tak acuh dengan kabar putusnya bos mereka yang terkenal bucin.

"Syukur deh, gue enggak harus nemenin Marsha ngopi di kafe sebelah lagi." Yola berkata girang. Pasalnya selama ini seringkali ditugaskan si Bucek buat menemani kekasihnya di kafe sebelah saat ditinggal meeting di luar kantor. Ah, iya. Si Bucek adalah akronim ciptaan Mas Tito yang disematkan pada Pak Rashad. Kepanjangan dari Bucin Perfek katanya.

"Hati-hati Lo pada, biasanya orang yang baru putus cenderung bakal jadi brutal dan suka marah-marah enggak jelas." Candra membuat statement. Wajahnya disetting serius saat berujar.

Bita tidak akan kaget. Tidak sedang patah hati saja brutalnya minta ampun, apalagi saat benar-benar lagi putus cinta. Bisa-bisa semua orang di kantor ini habis dilahap satu persatu oleh Pak Rashad.

"Mungkin, itu karma buat dia, kemarin mulutnya udah jahat banget sama gue." Bita akhirnya bersuara. Tapi otaknya sibuk berdiskusi sendiri. Mau benar atau tidak rumor yang beredar, Bita harus waspada. Benar kata Candra, orang yang baru putus cinta garangnya melebihi Troll yang bawa pentungan. Bita harus hati-hati.

___

Gimana bab 3-nya? 🤭

Lup& Calangeyo
Chan ❤️

03-01-23
1825

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro