9| PROBE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasa curiga yang tak lekas hilang, bisa jadi implikasi sebuah kebenaran
-ephemeral-

Di dunia ini pasti ada saja hal-hal yang sangat menggangu pikiran manusia. Entah itu masalah internal seperti menyangkut urusan pribadi atau masalah formal sekaliber menyoal pekerjaan. Dan, saat ini Rashad sedang mengalami hal yang pertama.

Kalimat Rafka saat bersemuka dengannya di lobi apartemen beberapa waktu lalu sangat menghantui ketenangan Rashad. Otaknya sibuk memikirkan statemen sepupunya tentang Marsha.

Memangnya kenapa dengan Marsha? Mereka baik-baik saja. Tidak ada hal yang perlu Rashad khawatir-kan dengan hubungannya. Harusnya seperti itu. Namun gara-gara ucapan si berengsek Rafka, benak Rashad jadi menawan setitik rasa curiga pada Marsha.

Mengulas kembali waktu di mana Rashad mengunjungi unit-nya. Ada dentaman tak biasa yang merasuk dalam hati gara-gara temuan tak terduga. Iya, rasa curiga yang membumbung diperkuat dengan temuan benda - yang harusnya tidak ada meja ruang tamu unit apartemen miliknya. Sebotol Vodka - yang segelnya sudah terbuka sempurna. Walau Rashad percaya dengan kata-kata Marsha, jika kekasihnya memperoleh minuman beralkohol dari teman sesama Influencer. Namun, ada satu titik kepercayaannya di ambang kebimbangan.

Apalagi setelah sesi makan malam - dengan menu boun salad buatan Rashad. Dia dan Marsha terlibat kegiatan intim berdua--tidak--jangan membayangkan yang bukan-bukan - karena 'intim' di sini bukan yang melampaui batas. Hanya sekadar pelukan atau kissing. Rashad masih cukup rasional serta berpikir waras untuk tidak menyebar benih sembarangan sebelum ada ikatan pernikahan. Hanya kissing tidak lebih. Dia cukup bangga karena memiliki pertahan diri yang lumayan bagus. Tidak tergoda berbuat macam-macam meski sering berduaan di apart bersama Marsha. Bagi Rashad, perempuan yang dicintai sepenuh hati wajib dijaga, bukan dirusak. Sebelum dia dan Marsha menikah, Rashad tidak akan melakukan hal-hal di luar norma.

Mata Rashad terpejam saat ingatannya membawa kembali pada peristiwa malam tadi.

Saat itu, Rashad duduk menyandar sepenuhnya pada punggung sofa minimalis di ruang utama. Tak lama Marsha menyusul. Seperti biasa saat keduanya bertemu, Marsha akan bergelayut manja padanya, dan Rashad sama sekali tidak keberatan dengan aksi sang kekasih. Semuanya selalu terjadi dengan sangat cepat. Saat menyadari situasi sekitar, Rashad merasakan indera pencecapnya telah saling bersentuhan dengan bibir Marsha yang menempel sempurna. Hanya beberapa detik, sebab setelahnya Rashad melepas pagutan Marsha gara-gara membaui aroma alkohol - walau tidak terlalu menyengat, tapi itu sangat menganggu baginya. Rashad benci aroma alkohol dan rokok. Dua benda sialan itu juga yang menyebabkan papa dan mamanya tewas dalam kecelakaan puluhan tahun silam. 

"Shad, kamu kenapa sih?" Marsha bertanya defensif. Rautnya menyirat tak suka mendapati Rashad menghentikan sepihak aktivitas keduanya.

"Sorry. Saya mau ke toilet, Sha," putus Rashad buru-buru beranjak meninggalkan Marsha yang masih menggerutu.

"Shad!" Marsha menatap punggung Rashad yang menghilang dari balik pintu toilet di sebelah kitchen.

Tidak berselang lama Rashad kembali ke ruang utama. Di sofa kulit berwarna cokelat kayu Marsha duduk melipat tangan dengan bibir mencebik sempurna. Rashad lantas duduk di sisi Marsha - setengah menyerong, menatap sang kekasih dari jarak dekat. Sepasang iris-nya menatap Marsha dengan pandangan menuntut. Embusan napas sempat dilepas sebelum akhirnya Rashad membuka suara. 

"Sha, kamu tahu, saya paling benci sama orang yang enggak jujur." Kalimat Rashad meluncur disertai tatapan menyelidik - seperti sebuah intimidasi. Laki-laki itu tidak ingin ada sedikitpun kebohongan dari hubungan yang dijalani dengan penuh keseriusan. Jujur lebih baik meski menyakitkan. Dan, Rashad pasti akan mengapresiasi kejujuran  dengan rengkuhan maaf tentunya.

"Please, bilang sama saya kalau kamu enggak habis minum vodka tadi?" Rashad kembali mencecar Marsha.

Marsha tertegun sejenak. Matanya dilabuhkan pada lantai demi menghindari tatapan dalam Rashad.

"Shad, aku udah bilang, kan. Itu dikasih teman--"

"Dan, kamu menenggak minuman yang kamu benci? Right?" Potong Rashad cepat. "Aroma kamu enggak bisa bohong, kalau kamu habis minum, Sha!" Tembaknya seakan itu sebuah clue jika dia menghidu aroma alkohol tadi saat kedua bibir mereka saling menempel.  

Marsha tak berkutik. Tangannya menyentuh lengan Rashad.
"Shad..."

Rashad menggeleng. Mendistrak kalimat Marsha yang belum usai gadisnya katakan.

Marsha menarik dan mengembuskan napas pasrah. "Iya, oke. Aku emang minum itu tadi, tapi cuma sedikit Shad. Cuma karena penasaran aja rasanya kayak apa. Kamu bisa lihat, kan, aku enggak tipsy." Kukuh Marsha masih defensif.

Rashad mengangguk samar. Alibi Marsha barusan masih diterima oleh nalarnya. Oke, kekasihnya itu tergoda disebabkan rasa penasaran. Marsha jujur, dan itu sudah cukup bagi Rashad.

Obrolan super serius sepasang kekasih harus terdistrak oleh benda persegi yang tergeletak di atas meja kaca karena berkedip beberapa kali dibarengi dengan suara getaran. Tanda ada panggilan masuk di ponsel tapi dalam keadaan mode silent karena benda digital tersebut hanya bergeser pelan saat bergetar dan menampakkan layar display yang menyala.

Mata Rashad refleks terpancang ke arah ponsel milik Marsha. Tangannya akan meraih benda tersebut tapi kalah cepat dengan Marsha.

"Bukan siapa-siapa, Shad. Teman aku dari sesama agensi nanyain jadwal buat besok." Marsha melontarkan kalimat yang malah membuat kening Rashad berkerut sempurna.

"Kamu kenapa gugup gitu, Sha?"

Marsha tampak salah tingkah. Gadis itu menggigit bibirnya sembari menggeleng pada Rashad.

"Angkat saja Sha, siapa tahu penting."

"Enggak!" Refleks Marsha. "Ma-maksudku, nanti aja, kan, aku lagi di sini sama kamu."

Rashad manggut-manggut. Meski batin kecilnya merasa sikap Marsha ada yang janggal, tapi dia memilih diam. Rashad merasa tubuhnya dipeluk penat dan lelah karena pekerjaan, dia enggan jika harus menghabiskan malam ini dengan berdebat dengan sang kekasih.

___

Otaknya masih menawan rasa janggal atas polah kekasihnya, membuat Rashad sedikit tidak fokus pada pekerjaan hari ini. Hal ini diperparah dengan ulah si anak kreatif - menjadi penyebab gagalnya presentasi penting bersama klien. 

Aura murka kental mengudara di ruang meeting siang ini. Hawa panas kota Surabaya sepertinya kalah membara dengan tatapan si Bapak Direktur Kreatif yang siap melemparkan api kekesalan akibat gagalnya presentasi dengan klien penting.

Bita merekam gesture Rashad lewat bidikan mata yang tak sengaja bertemu pandang dengan manik si Bos. Alih-alih menampakkan senyum - ah jangan harap seorang Rashad Mahawira akan menyunggingkan senyum di depan karyawan - terutama divisi kreatif. Sekarang justru lelaki dengan setelan jas abu-abu itu seperti bertransformasi menjadi seekor naga buas yang siap menyemburkan api pada segenap yang hadir di war meeting.

"Kamu bisa kerja, enggak!" Suara Rashad terdengar menggelegar memenuhi seantero ruang. Tangannya terkepal meremas kertas yang kebetulan dia genggam. "Saya sudah ingatkan berulangkali, kalau integritas adalah harga mati!" Tatapan matanya berkilat tajam. Meskipun pandangannya membidik bergantian pada semua audiens di dalam sini, tapi ada satu orang yang merasa jika semua muntahan lahar emosi si Boss ditujukan padanya. Tsabita.

Bita sampai menciut mendengar nada bicara Rashad yang lebih mirip seperti sebuah bentakan.

Bita terdiam. Wajahnya menunduk sempurna tanpa berani menatap mata Rashad sedikitpun. Dia pasrah, karena memang situasi ini terjadi akibat sikapnya yang  ceroboh.

Yola, Mas Tito, Bang Emil dan Candra juga ikut terdiam tanpa berani saling lirik-- seperti biasanya saat meeting berlangsung.

"Kamu bikin malu saya di depan klien, Ta!"

"Maaf, Pak!"

"Maaf saja enggak akan memperbaiki keadaan Tsabita. Kamu ..." Rashad menggantung kalimat. Giginya saling bergemelutuk menahan emosi yang meletup-letup. "Lain kali jangan ceroboh seperti ini, Ta. Untung klien mau mengerti dan mau menjadwalkan ulang pertemuan presentasi. Kalau enggak, mau ditaruh di mana muka kita?! Kredibilitas perusahaan terancam gara-gara ulah ceroboh kamu!" Singgung Rashad kembali. Intonasi suaranya masih sama menggelegar seperti tadi.

Bita masih diam menyimak semua ungkapan si Boss. Entah sudah berapa kali Rashad mengulangi konsonan kata yang sama, 'ceroboh' - yang ditujukan padanya.

Iya, Bita tahu dia sangat ceroboh, dia tak akan memungkiri itu. Dia juga sedang diserang panic attack saat mendapati fail final konsep yang harusnya dipresentasikan di depan klien siang ini mendadak raib dari dalam tas-nya. Padahal seingat Bita, dia sudah memasukkan flashdisk tersebut ke dalam tas semalam usai memeriksa untuk terakhir kali sebelum benar-benar merasa yakin dan fix dengan hasil revisinya.

"Maaf Pak." Tenggorokan Bita rasanya seret saat merapal maaf untuk kesekian kali. Matanya memanas menahan air yang ingin keluar.

"Tidak perlu didramatisir Shad. Hal kayak gini lumrah terjadi. Yang penting enggak fatal, kan." Rafka membuka suara, menengahi. Di kantor ini sudah bukan hal asing lagi kalau Rafka memanggil bos mereka dengan sebutan nama. Iya, hanya Rafka yang berani melakukannya. Semua penghuni Viza Tower sepertinya tahu jika keduanya adalah sepupu.

"Kalau ada anak buah yang salah diarahkan, jangan malah dibela!" Hardik Rashad melirik Rafka sekilas. "Kapan dia akan belajar dari kesalahannya, kalau dikit-dikit dibela!" Tatapannya kembali terpancang ke arah Bita.

"Bukan membela, tapi kejadian kayak gini bukan yang pertama Shad. Klien mau memahami, itu udah cukup, enggak perlu diperpanjang sampai harus menyudutkan satu orang, Shad!"

Suasana ruang meeting makin memanas saat Rafka dan Rashad saling adu argumen masing-masing.

Bibir Rashad menipis mendengar statement Rafka. "Kalian memang satu tim, tapi kesalahan ini murni dilakukan satu orang." Matanya memindai satu persatu tim kreatif, lalu berakhir kembali pada Bita.

"Saya enggak mau ada kejadian seperti ini lagi kedepannya. Kalau kamu enggak sanggup menerima kerjaan dari saya, bilang sejak awal, masih banyak yang lebih mumpuni daripada kamu, Tsabita!"

Bita menengadah. Kalimat Rashad barusan memukul telak pertahanannya sampai di titik terendah.

Apa?

Tidak mumpuni katanya?

Padahal Bita rela begadang, lembur demi menyelesaikan deadline revisi dadakan yang dilimpahkan padanya, padahal itu harusnya menjadi tugas Mas Tito. Sepasang bola mata cokelatnya terasa makin memanas. Bita rasa dia ingin menangis sepuasnya setelah ini.

"Cari sekarang juga. Kalau enggak ketemu, kamu lembur hari ini, Tsabita!"

Bita tahu itu adalah sebuah perintah. Dia tidak punya pilihan lain kalau si Bapak Direktur Kreatif sudah bersabda. Anggukannya mencuat menjawab kalimat Pak Rashad tanpa mampu memproduksi kalimat.

Usai berkata-kata, Rashad bangkit dari kursi dan melenggang keluar meeting war tanpa mengatakan apapun.

__

"Hei, are you okay?" Rafka bertanya dengan nada lembut.

Ruang meeting sudah sepi. Yola dan yang lain pamit usai memberi semangat pada Bita agar jangan dimasukkan ke dalam hati kata-kata si Bos barusan. Maunya Bita begitu, tapi kalimat Rashad ibarat pisau tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Sakit, tapi tak berdarah. Itu yang Bita rasakan saat ini.

Bita mengusap pinggiran matanya yang terasa basah, lantas menampakkan senyum canggung di depan Rafka.

"Sure," jawabnya dibarengi senyum tipis.

"Tapi mata kamu enggak bisa bohong, Ta."

Bita meringis mendengar vonis Rafka. Iya, dia ingin menangis gara-gara bentakan Rashad di ruang meeting tadi. Seumur-umur, Bita belum pernah mendapat bentakan seperti tadi. Di rumah kalau berbuat salah, papa, mama, dan kakak-kakaknya akan mengarahkan dengan kalimat lembut dan menenangkan.

Namun Bita sadar, inilah dunia kerja dengan segala kekejamannya. Dia tidak boleh cengeng karena setiap pilihan membawa risikonya masing-masing. Dan, bertahan di kantor ini sebagai staff kreatif adalah pilihan Bita.

"Mata saya kelilipan, Pak. Merah ya?" Tanyanya berusaha mengalihkan rasa canggung. 

Rafka mengangguk. Tangan lelaki itu merogoh jas yang dikenakan, lalu memberikan sesuatu pada Bita. "Jangan diambil hati ya, udah biasa Rashad kayak gitu. Anggap aja dia lagi PMS makanya suka marah-marah enggak jelas." Tawa Rafka berderai usai berkata-kata.

Bita ikut menarik sudut-sudut rahangnya. Membayangkan jika Rashad adalah sosok perempuan - yang sedang dilanda pre mentrual syndrom, makanya galaknya setengah mampus. Dia merasa sedikit lega mendengar penghiburan Rafka.

"Apa ini, Pak?" Bita mengamati benda di telapak tangan saat Rafka mengangsurkan bungkus yang familiar baginya.

"Kali ini sebelum kamu bagi-bagi cokelat, biar saya duluan yang kasih ini ke kamu."

Bita tersenyum. Perasaannya menghangat mendapat perhatian dari Rafka. Tidak bohong jika ada debaran meliar saat ini di dalam rongga dadanya. Dan, Bita menikmatinya.

"Makasih," ucapnya singkat. Rafka mengangguk, dia pamit, tapi sebelum berlalu, tangan lelaki itu sempat mampir ke puncak kepala Bita, memberinya usapan sekilas. Gadis yang memakai tunik flower itu rasanya ingin menjerit saat ini juga saking senangnya. Kalau seperti ini endingnya, sepertinya Bita rela dimarahi Rashad terus setiap hari. Asal setelahnya ada Rafka yang menghibur.

🌺🌺🌺🌺

Pak Achad jangan galak-galak dong.

Eh, fans Mas Saga banyak juga ya ternyata.

Ingat-ingat ini ya: Di Bab 19 mendatang, kalian akan ketemu dan tahu siapa bakal jodohnya Mas Saga. 😂

Plus jadi clue buat lapaknya Mas Saga nanti.

Lup & Calangeyo
Chan ❤️

10-01-23
1900



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro