8| TEMPT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat membenci seseorang, sebenarnya kamu sedang memperhatikan dari jarak yang sangat dekat. Karena orang yang dibenci otomatis selalu melintas di dalam otakmu
-ephemeral-

Rashad menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya karyawan yang dia anggap polos seperti Tsabita malah menampakkan sesuatu yang membuatnya mengernyitkan dahi dengan sempurna. Pacaran di lingkup kantor?! Dasar gadis aneh dan sangat ... berani. Sikapnya ternyata tak sepolos wajahnya. Pantas saja dia suka mendebat dan ngeyelan. Batin Rashad. Pikirannya masih menawan adegan saat menghampiri Bita dan laki-laki yang Rashad tebak pasti kekasih Bita.

Rashad baru keluar lobi, dan akan melangkah ke parkiran saat matanya tak sengaja menangkap gadis yang dari kemarin menyita sedikit perhatiannya- akibat sikap sang gadis yang berani sekali mendebat serta suka ngeyelan saat bicara dengannya.

Rashad memutuskan memangkas jarak pada obyek pandang tak jauh dari tempatnya berdiri. Alih-alih langsung pergi, dia justru dibuat terkejut saat sosok gadis itu -- Tsabita malah sedang asyik bergelayut manja dengan laki-laki yang Rashad tebak adalah pacarnya Bita. Keduanya tertangkap mata Rashad tengah bermesraan di pelataran gedung Viza Tower yang notabene area perkantoran. Bersandar manja, peluk-peluk lengan, usap-usap kepala, termasuk perbuatan yang mengarah pada bermesraan, kan?

Sebenarnya bukan urusan Rashad, mau anak buahnya pacaran atau bermesraan sekalipun. Yang menjadi perhatiannya adalah tindakan itu dilakukan di lingkup kantor. Kalau dibiarkan nanti yang lain jadi ikut-ikutan. Ya, oke, dia mengakui sering membawa Marsha ke area kantor -- tapi Rashad bisa membuktikan kalau pertemuannya dengan sang kekasih di ranah kantor bukan semata ajang temu kangen. Namun, lebih sering Marsha yang merupakan influencer ternama membantu memvisualkan produk dari klien sebagai model. Simbiosis mutualisme, kan?

Hyundai Palisade hitam milik Rashad membelah jalanan kota Surabaya yang malam ini ramai lancar. Tujuan-nya usai pulang ngantor tepat di pukul 21:30 - ingin mampir sebentar ke apartemen miliknya yang saat ini ditempati oleh Marsha.

Sebuah hunian prestisius bertitel Grand Shanaya- berada di kawasan super strategis, Genteng, yang biasa disebut segitiga emas-nya Surabaya. Karena dekat dengan pusat kota serta kemanapun ingin bepergian.  Apartemen eksklusif yang sengaja Rashad beli, dan rencananya akan dia tempati bersama Marsha setelah keduanya resmi menikah kelak.

Rashad memarkir kendaraannya di basemant. Senyumnya mengembang saat melangkah menuju lobi dan ingin menjangkau pintu lift. Sembari menenteng paperbag di tangan hasil belanjaan di supermarket.
Tadi dia sempat membeli beberapa bahan untuk membuat salad, karena kebetulan perutnya terasa lapar, belum sempat makan malam.

Baru menjejak lobi, tapi mata Rashad menatap penuh selidik pada sosok yang tak sengaja dia temui. Sosok laki-laki itu tengah melangkah menuju pintu keluar, masih mengenakan setelan kerjanya seperti yang Rashad temui seharian tadi.

"Ngapain lo di sini?" Rashad menyapa lebih dulu. Keduanya bersisihan saling berlawanan arah.

Sosok yang disapa memberi senyum tipis. "Suka-suka gue, Shad." Jawaban yang tak melegakan bagi Rashad.

Dia -- Rafka berjejak di depan lobi dengan kedua tangan terkantongi celana. Ekspresi wajahnya memancarkan teka-teki, membuat Rashad disergap curiga seketika. Setahu dia, Rafka tidak memiliki unit di apartemen ini. Apa mungkin benar kata sepupunya, kalau Rafka memang ada urusan pribadi, mengunjungi kenalan atau temannya.

"Ini tempat umum, semua orang bisa ke sini Shad. Kebetulan gue ada urusan di sini." Rafka kembali melontarkan statement. "Lagian ini bukan di kantor, Shad. Jadi, Lo bukan atasan gue yang bisa kasih perintah atau teguran seenaknya."

"Tsk!"

Rashad berdecak. Matanya membidik penuh curiga pada Rafka. Tanpa berkata apapun lagi dia beranjak meneruskan langkah. Namun, baru beberapa hentakan kaki, suara Rafka mendistrak gerakannya.

"Shad. Gue harap Lo mau dengerin apa kata Opa Jusuf. Tentang Marsha ..." Rafka menjeda ucapan. Dia mencoba menakar ekspresi si sepupu. Rafka tahu, si bucin satu itu akan susah mendengar nasihat apalagi kenyataan yang ada, karena sudah dikuasai rasa cinta. Memang benar, cinta itu terkadang bikin orang jadi bego. Enggak bisa membedakan mana yang tulus dan hanya pura-pura.

Rashad berbalik arah. Tubuh jangkungnya berjejak tepat di sebelah Rafka. Bibir lelaki itu menipis disertai gerakan tangannya mencengkram kerah blazer yang Rafka kenakan. Mata Rashad berkilat tajam saat hendak melontarkan kalimat, "Better an honest enemy than a false friend (Lebih baik musuh yang jujur ​​daripada teman palsu)

Berhenti mencampuri urusan pribadi orang lain. Atau gue bakal melakukan hal yang akan Lo sesali seumur hidup." Kalimat Rashad terdengar penuh tendensi saat berujar. Dari tatapan tajam oleh Rashad seolah implikasi rasa marahnya yang membumbung tinggi.

Rafka mengempas tangan Rashad sembari tertawa kering.
"Keep your temper (jaga amarahmu) Lo bakal tahu sendiri nanti." Usai berkata-kata, Rafka ingin melenggang pergi, tapi lekaki dua puluh tujuh tahun itu berbalik arah kembali pada Rashad yang masih mematung di tempat.

"Shad, kenapa Lo bohong?" Cecar Rafka gantian.

Rashad baru menjejak langkah - ingin memasuki lift sontak menghentikan gerakan. Kembali berhadapan dengan Rafka, sepupunya itu memasang raut wajah sangat serius. Rashad masih bergeming, menyimak kali ini apa lagi yang akan Rafka katakan.

"Lo bikin acara makan malam gue sama Bita gagal, Shad!"

Rashad akhirnya paham ke mana arah pembahasan sepupunya. Dia hanya tersenyum sinis tanpa berniat menjawab pertanyaan Rafka.

"Maksud Lo apa pakai bilang kalau gue udah ditunggu Opa di rumah? Lo tahu kalau Opa sama Oma sedang ada acara di luar, di rumah enggak ada siapa-siapa, enggak ada acara makan malam seperti yang Lo bilang. Apa Lo sengaja mau bikin rencana makan malam gue sama Bita gagal?" Tembak Rafka tepat sasaran.

Iya memang itu tujuan Rashad saat mengatakan pada Rafka kalau ada undangan makan malam dari Opa. Sengaja agar Rafka gagal pergi bersama Tsabita. Entah kenapa dia merasa kesal sekali saat menyaksikan sepupunya tersenyum lebar bersama seorang perempuan. Apalagi gadis itu Tsabita - yang beberapa hari ini selalu mendebat apapun yang Rashad ucapkan. Rasa sakit hatinya kembali merongrong teringat dulu Rafka pernah merebut Nabila darinya, termasuk dengan perhatian Opa. Jadi tidak ada salahnya kalau sekarang Rashad memberi sedikit pelajaran agar Rafka merasakan apa yang dia rasakan.

"Minggir Lo," ujar Rashad, menyenggol bahu Rafka yang saat ini menghalangi jalannya.

Rafka tertawa kering, satu tangannya mengacak rambut dengan tatapan frustrasi. "Lo sengaja bikin janji gue sama Bita batal?" Rafka berteriak lantang, tapi kali ini disertai sorot mata tajam.

"Kalau iya kenapa?" Tantang Rashad balik.

Kedua saudara sepupu itu saling bersitegang. Jakun Rafka terekam naik turun menahan emosi yang ingin meledak tapi sekuat tenaga dia tahan.

"Kenapa Lo musti ngelakuin itu, Shad? Kalau Lo mau balas dendam sama gue, jangan pernah libatkan orang lain. Bita enggak salah apa-apa, enggak harusnya Lo jadikan alat buat balas dendam ke gue. Harusnya gue enggak bikin dia kecewa dengan membatalkan janji ajakan makan malam bareng."

Kalimat Rafka memantik atensi Rashad. Lelaki itu menoleh sepupunya dengan mata berkilat tak kalah tajam. Mendengar semua prolog yang Rafka jabarkan justru tercetus ide di kepala Rashad. Alat balas dendam? Sepertinya menarik. Dia tersenyum sinis lantas berlalu begitu saja dari hadapan Rafka tanpa peduli jika Rafka masih menuntut penjelasan. 

__

"Sayang, kamu ke sini, kok enggak ngabarin dulu sih?" Marsha terkesiap kaget saat pintu apartemen terkuak dari luar. Matanya setengah membeliak mendapati kekasihnya tengah berdiri tepat di ambang pintu sembari memberinya senyum lebar.

"So what? Saya sudah biasa ke sini tanpa bilang dulu kan, Sha." Rashad melenggang masuk tanpa disuruh. Lelaki itu menjangkau sofa di ruang utama, melepas jas dan menaruhnya sembarangan ke atas sofa. Tapi gerakannya sedikit terdistrak oleh sesuatu. Mata Rashad membidik benda yang teronggok di meja.

"Hei, kamu minum vodka?" Iris Rashad memindai botol kotak bening dengan label Grey Goose Vodka, sejenis minuman yang mengandung alkohol cukup tinggi. Dia menatap Marsha penuh selidik. Gadis itu refleks memberi gelengan tegas.

Marsha tergagap. "I-itu, tadi aku dikasih sama teman, Shad. Karena enggak enak kalau ditolak, yaudah aku bawa aja ke sini."

Rashad manggut-manggut. "Kamu benci minuman alkohol, kan? Itu yang kamu bilang sama saya dulu. Itu bagus, Sha. Alkohol dan segala turunannya enggak baik dikonsumsi, apalagi buat perempuan. Saya enggak mau calon ibu anak-anak saya nanti terkena dampak dari habbit buruk suka mengkonsumsi minuman memabukkan kayak gini." Rashad memungut botol minuman keras tersebut, lantas memasukkan ke dalam tong sampah.

Marsha terbatuk pelan - tersedak ludahnya sendiri mendengar ungkapan Rashad serta polah lekaki itu barusan. "Kenapa dibuang, Shad?"

Kedua bahu Rashad terangkat bersamaan.
"Kamu kok bisa keselek gini sih? Minum dulu, Sha." Rashad segera menyodorkan segelas air pada Marsha. "Saya enggak mau di sini ada bau minuman keras." Katanya--yang langsung mendapat anggukan Marsha.

"Makasih Sayang. Kamu belum jawab pertanyaan aku, kok tumben pulang ngantor ke sini malam-malam gini?" Marsha membawa gelas ke table top. Langkahnya diikuti Rashad sembari lelaki itu membawa paperbag berisi belanjaannya.

"Laper, Sha. Saya mau masak sebentar. Kamu udah makan malam?"
Rashad bicara sembari tangannya sigap mengurai isi paperbag. Lelaki itu terlihat cergas dalam gerakannya mengambil cutting board serta teflon. Mengiris tenderloin serta mencincang kasar bawang Bombay.

Rencananya Rashad ingin membuat boun salad untuk menu makan malamnya. Kombinasi sayur segar dan tenderloin panggang dengan dresing zaitun, blackpaper serta sedikit saus thousand island. Favorit Rashad.

Marsha duduk di kitchen stool memerhatikan kekasihnya sembari bertopang dagu. Ini bukan pertunjukan asing baginya. Bukan pertama kali menyaksikan Rashad adu kelihaian di dapur. Lelaki berbadan tegap satu itu selain ahli dalam tugas-tugas kantor juga ahli sekali membuat salad atau pasta. Apalagi saat berdiri di area kitchen masih mengenakan setelan celana kerja dipadu kemeja yang digulung lengannya sebatas siku. He's ... tampan, dan ... hot. Harusnya Marsha bersyukur ribuan kali mendapat pasangan seperti Rashad Mahawira.

"Kamu kenapa ribet sih, Shad. Beli aja salad yang udah jadi banyak kan di resto." Komentar Marsha merasa ribet sendiri melihat Rashad harus repot-repot masak untuk sekadar menikmati makan malam.

Rashad tertawa pelan. "Kalau ada yang ribet, ngapain cari yang gampang." Sebuah satir menjawabi pertanyaan Marsha. Gadis itu kemudian berdecak panjang, menimbulkan derai tawa Rashad lagi. Ya, Rashad menyebut sebuah jargon akun tutorial yang dulunya fokus mengurusi dunia perdietan yang makin ke sini makin.enggak jelas, karena telah melenceng jauh dari konsep awal -- ingin memberi info dan tips tentang pengaturan pola makan sehat.

"Kamu tahu, Sha, saya enggak bisa makan sembarangan." Rashad membuka ingatan Marsha kalau-kalau kekasihnya lupa. Gadis itu mengangguk malas kemudian bertopang dagu.

"Iya aku tahu. Tapi, masa sekelas resto atau kafe, kebersihannya enggak terjamin sih, Shad. Kamu yang lebay mungkin."

Rashad menggeleng. "No, Sayang. Lagian saya memang inginnya makan masakan sendiri malam ini. Lebih higienis dan kalorinya terhitung dengan tepat."

Marsha mengangkat kedua bahunya. Cuek. Membiarkan Rashad menuntaskan aktivitasnya. Dia lantas pamit ingin ke kamar kecil sebentar.

"Jangan lama-lama Sha, sebentar lagi saladnya jadi." Peringat Rashad. Marsha mengangguk, lantas secepat kilat beranjak ke kamar. Dia harus menggosok gigi, cuci muka, serta ganti baju. Jangan sampai ada jejak vodka terendus saat nanti berdekatan dengan Rashad. Atau lebih parahnya saat dia dan Rashad terlibat kissing. Untung tadi baru minum satu teguk, tidak sampai membuatnya tipsy.

__

Satu hal yang Bita tidak sadari adalah; entah sejak kapan dia memendam rasa benci yang menggebu pada Rashad - tapi sialnya sampai detik ini emosinya pada si Bapak Direktur Kreatif susah dilampiaskan. Bita belum siap diempas dari ruang divisi kreatif andai dia nekat berani mendaratkan heels lima sentinya ke atas kepala Rashad. Akhir-akhir tawa sinis Rashad seakan terus berputar di dalam kepalanya, seperti sengaja menggoda keimanan Bita - membuatnya ingin terus mengumpat saat berada di lingkup yang sama dengan Bosnya. Tidak, dia masih belum siap resign dari kantor. Masih ada sesuatu yang membuatnya bertahan bekerja di bawah tekanan bos semacam Rashad Mahawira.

"Mas Saga kenapa bisa bilang gitu. Jangan doain Bita yang aneh-aneh deh, Mas. Yakali Bita jodoh sama si Bucek." Bita mendumel. Semangkuk ramen sudah selesai ditandaskan. Usai dibuat keki oleh tuduhan tak jelas dari Rashad, akhirnya Sagara membawa Bita mampir ke resto Jejepangan untuk makan malam.

Sagara yang sedang asyik menikmati shabu-shabu menghentikan gerakan menyuap. Matanya menatap sang adik.
"Bucek?" Tanya Sagara penasaran. Bita mengangguk.

"Bucin nan Perfek. Gelar buat si Pak Bos dari anak-anak kreatif." Sagara sontak tertawa-tawa mendengar penjelasan singkat Bita.

"Sudah punya pawang?" Tanyanya lagi. Bita memberi anggukan lagi. "Hati-hati Dek, nanti kamu malah kepincut sama dia."

"Ish! Mas Saga ini." Bita mencebik di sela kunyahan crab stick hasil nyomot dari mangkuk Sagara.

"Loh, Mas cuma bicara fakta, Dek. Tidak sedikit yang terkena tulah omongannya sendiri. Awalnya benci, lama-lama berubah menjadi cinta. Pepatah yang sangat sederhana, klise, tapi sering kejadian." Sagara belum berhenti mengusili sang adik. Laki-laki berkacamata itu berujar lagi,

"Peluangnya cuma dua. Dia yang tergoda sama kamu, atau ..." Sagara menggantung kalimat, mencoba  menakar ekspresi sang adik. Bita menampilkan wajah cemberut paripurna. Tawa Sagara berderai panjang menyaksikan adik bungsunya salah tingkah di antara kekesalan.

"Atau apa Mas?"

"Atau kamu nanti yang akan tergoda sama pesona dia." Pengimbuhan Sagara mendapat gelengan tegas Bita. Gadis itu segera membuat gerakan seolah ingin muntah. Apa tadi kata Sagara? Tergoda oleh Rashad? Bita akan memilih jomlo daripada itu terjadi.

"Nanti kalau benar terjadi tebakannya Mas, jangan pacaran ya, Dek." Radar kejailan Sagara belum sepenuhnya tuntas ternyata.

"Mas Saga. Ish!" Bita mencebik. 

"Pacaran dosa, langsung minta dilamar saja, ya."

"Mas Saga!!" Bita mencak-mencak tak terima. Tangannya memukuli permukaan meja sebagai aksi protes.

"Mas Saga rela kok, walau dilangkahi sama Bita. Asal jangan sampai Bita pacaran sebelum halal. Ya, Dek!"

"MAS SAGAAA! SIAPA JUGA YANG MAU DILAMAR? SIAPA PULA YANG MAU MELANGKAHI MAS SAGA SAMA ABANG EL?!"

🌺🌺🌺

Bau-baunya bakal makin memanas nih, Pak Achad sama Pak Rafka

Siapa tokoh favorit kalian di sini?

Tsabita?

Pak Achad?

Pak Rafka?

Mas Saga?

Abang El?

Marsha?

Atau yang lain?

Besok kalau enggak eror (setelah maintenance)  insyaallah tetap update.

Lup & Calangeyo
Chan ❤️

09-01-23
2200

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro