ETP | 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sulit untuk menerka dan membaca sikap serta perlakuan orang terhadap kita."

⏮️⏸️⏭️

MELIHAT gawai yang menampilkan gambar lengkap dengan keterangan yang mengatakan bahwasannya, dia sudah sampai di Jerman. Ada sedikit kelegaan, tapi juga kepiluan karena kini, dia sudah benar-benar berada jauh dari pandangan.

Tak ada sedikitpun keinginan untuk membalas, tahu kabarnya saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula saya pun tidak ingin mengganggunya, saya tahu dia pasti membutuhkan waktu untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh.

Saya meletakkan gawai di atas meja, membuka laptop lantas menumpahkan apa yang tengah dirasa melalui untaian kata. Ide akan kian mengalir deras kala saya merasa sedang tidak baik-baik saja, lain hal saat saya sedang bahagia. Ide seperti enggan menghampiri.

"Tutup buku, buka lembaran baru. Itulah yang harus saya lakukan, nggak perlu lagi menengok ke belakang," gumam saya penuh keyakinan.

Perpisahan ini adalah jawaban dari semua doa yang senantiasa saya panjatkan. Saya percaya ini adalah yang terbaik, agar saya dan dia bisa lebih menjaga jarak. Sebab, mau bagaimanapun kita tidaklah halal untuk berdekatan.

Saya tersenyum tipis saat berhasil menulis sebuah prolog untuk naskah baru yang akan saya garap. Premis dan outline-nya akan segera saya susun. Saya akan lebih menyibukkan diri, agar pikiran dan hati saya tidak selalu tertuju padanya.

Saya harus bisa melupakan apa pun yang berhubungan dengan Hamzah. Mungkin memerlukan waktu, tapi cepat atau lambat saya pasti bisa melakukan hal tersebut.

"Makan dulu, Tha," titah Mama di balik pintu, hanya kepalanya saja yang menyembul.

"Ya."

Saya bergegas mematikan laptop, dan mengikuti langkahnya menuju ruang makan. Di sana sudah terhidang nasi dengan dilengkapi sejumlah lauk pauk.

Kami makan dalam keheningan, tidak ada sedikit pun obrolan. Setelah selesai, barulah beliau mulai buka suara.

"Sudah dapat kabar dari Nak Hamzah, Tha?" tanyanya.

Saya mengangguk singkat. "Sudah, A Hamzah sampai di Jerman kemarin pagi waktu setempat, tapi baru tadi ngabarin Nitha, Ma."

"Syukurlah, Mama lega mendengarnya."

Memilih untuk membereskan piring kotor dan memindahkannya ke bak cuci, lantas mencucinya seperti biasa.

"Nak Hamzah ada ngomong sesuatu sama kamu, Tha?"

Pertanyaan Mama berhasil menghentikan kegiatan saya.

"Maksud Mama?" tanya saya sembari menoleh singkat.

Beliau berjalan mendekat ke arah saya. "Ya, ngomong apa gitu, kan mau pisah lama."

"Enggak ada, hanya sebatas basa-basi. Tapi A Hamzah berpesan untuk rutin mengunjungi Mamanya, selain itu nggak ada," jawab saya seadanya.

Beliau manggut-manggut.

Saya pun memilih untuk melanjutkan kegiatan mencuci piring, hanya tinggal membilas dan meletakkannya di rak. Setelah itu saya harus bersiap untuk menemani Mama ke toko.

"Memangnya A Hamzah ada ngomong sesuatu sama Mama? Kok Nitha jadi curiga sama Mama," selidik saya saat mendapati beliau tengah melamun.

"Enggak ada, Mama malah penasaran sama yang terjadi di bandara," timpalnya.

Saya berjalan menuju ruang tengah, beliau mengintil di belakang. Kami duduk bersisian. Saya rasa ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan, tapi dilihat dari gelagatnya Mama masih meragu.

"Sebelum pergi apa A Hamzah ke sini? Ada yang A Hamzah katakan, sampai membuat Mama kepikiran?" tanya saya sehati-hati mungkin.

Beliau hanya menatap saya, lantas kembali membuang pandangan ke sembarang arah.

"Nitha tahu Mama sudah menganggap A Hamzah seperti anak sendiri, bahkan Nitha kadang iri melihat bagaimana Mama memperlakukan dia. Tapi, Nitha sadar, bahwa nggak seharusnya Nitha memiliki perasaan tersebut."

"Kalau memang ada sesuatu yang mengganjal, lebih baik Mama katakan. Daripada dipendam dan malah kepikiran. A Hamzah ngomong apa sama Mama?" ulang saya.

"Sebelum berangkat ke bandara, Nak Hamzah berpamitan sama Mama. Hanya pamitan biasa, tapi ada satu kalimat yang cukup mengganggu. Mama nggak tahu maksud dari perkataan itu," akunya berterus terang.

"Kalimat kayak gimana maksud Mama?"

"Lupa detailnya kayak gimana, tapi intinya sih gini. Selesai belum tentu usai. Maksudnya apa coba, Tha?"

"Memangnya Mama sama A Hamzah lagi bahas apa? Enggak mungkin, kan tiba-tiba A Hamzah bilang kayak gitu tanpa sebab," balas saya penuh rasa penasaran.

"Bahas kamu."

Mata saya membola sempurna. Apa-apaan coba?!

"Sebagai perempuan kamu itu kurang peka. Kamu nggak bisa membedakan antara yang penasaran sama yang benar-benar ada perasaan. Sikap cuek dan nggak peduli kamu, membuat laki-laki bingung. Enggak ada feedback baik yang kamu tunjukkan, malah seperti menolak dengan halus."

"Kamu paham maksud Mama?" pungkasnya.

"Laki-laki yang Mama maksud itu siapa?"

"Nak Hamzah."

Saya geleng-geleng dibuatnya. "A Hamzah terang-terangan ngatain Nitha ke Mama?"

"Itu fakta yah, Tha. Kamu seolah menjadikan diri yang paling bingung, paling terhimpit keadaan, padahal ada pihak lain yang juga merasakan hal serupa. Kamu lupa menempatkan diri, bahwa bukan cuma kamu saja yang terlibat, tapi ada sosok lain juga yang ikut andil."

"Enggak usah muter-muter langsung ke intinya saja, Ma," tuntut saya.

"Kamu bingung sama sikap dan perlakuan Nak Hamzah, kan?"

Saya mengangguk mantap.

"Nak Hamzah pun sama, dia bingung mengartikan sikap kamu yang angin-anginan. Kadang perhatian, kadang cuek nggak ketulungan, bahkan gengsian parah. Untuk sekadar berkirim pesan pun, kamu enggan, kalau bukan Nak Hamzah yang memulai."

"Nak Hamzah sudah terang-terangan memberi perhatian, menjaga dan melindungi kamu saat bepergian, bahkan dia rela antar jemput kamu di tengah kesibukannya. Coba berapa sering Nak Hamzah ajak kamu ke rumahnya?"

"Nitha nggak ngitung, Ma."

"Seharusnya kamu peka dengan semua yang Nak Hamzah lakukan, perhatian yang dia berikan, dan juga cara dia men-treatment kamu layaknya seorang perempuan dewasa, bukan hanya teman biasa. Sekarang kamu malah terlihat condong pada Dipta, seolah lupa dan nggak menganggap keberadaan Nak Hamzah."

"Kamu sadar nggak sih Nak Hamzah itu cemburu lihat kamu lebih banyak menghabiskan waktu sama Dipta? Kamu itu maunya apa? Sama siapa? Jangan plin-plan dan membuat orang lain kebingungan," jelas Mama panjang lebar.

"Kok malah jadi bahas Mas Dipta juga?" sangkal saya tak terima.

"Harus. Di depan Mama kamu seolah condong ke Nak Hamzah, kamu kayak tersakiti dengan HTS yang kamu jalani. Tapi, di depan Nak Hamzah, kamu seolah enjoy dan menikmati. Enggak ada beban walaupun HTS-an. Ditambah sekarang ada Dipta, belakangan ini kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengan dia. Coba kamu pikir, kalau posisinya dibalik."

"Kamu terlibat HTS dengan Nak Hamzah, tapi Nak Hamzah malah dekat dengan perempuan lain. Apa yang ada dalam pikiran kamu? Kurang lebih isinya pasti sama."

Saya berkawan geming, menelaah dengan seksama kata demi kata yang beliau tuturkan. Omongan Mama sangat amat menohok, dan saya tidak bisa menjawab ataupun menyangkal.

Saya akui, saya memang gengsian parah. Sudah akut menahun dan tak bisa diturunkan. Lagi pula, di antara saya dan dia memang jarang berkomunikasi, terkhusus dalam hal berkirim pesan. Wajar, kalau saya merasa enggan. Sebab, memang bukan sebuah kebiasaan dan juga keharusan.

Untuk sikap saya yang terkesan angin-anginan, itu murni sebagai bentuk perlindungan diri. Kadang adakalanya saya lepas kendali, lupa untuk mengontrol dan berakhir mengumbar perhatian. Tapi itu dilakukan dalam kondisi tidak sepenuhnya sadar.

Namun, di saat saya mampu untuk mengendalikan, saya kembali pada setelan pabrik. Bersikap cuek dan acuh tak acuh. Menurut saya itu hal yang biasa, terlebih bagi perempuan yang memang harus pandai dalam bersikap.

Jika terlalu ramah, khawatir akan membuat lelaki jatuh hati. Jelas saya tak ingin hal semacam itu terjadi. Sebab, takut menjadi sumber kesakitan orang lain di kala saya tak mampu untuk membalas perasaannya.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 22 September 2023

Gimana nih? Masih mau lanjut nggak?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro