ETP | 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Hanya sekadar ingin tahu kabar, tidak berharap untuk diprioritaskan."

⏮️⏸️⏭️

TERKADANG kita terlalu rumit dalam menyikapi takdir. Jika berjalan tak sesuai dengan harapan, begitu mudah men-judge Tuhan dengan kata-kata tidak adil. Tapi, di saat takdir berjalan sesuai dengan keinginan, kadang kita lupa caranya untuk bersyukur dan berterima kasih.

Kepahitan lebih jelas terlihat, tapi kenikmatan acapkali tak nampak. Begitulah kala hati sudah tertipu daya dunia. Standar bahagia saja harus sama dengan orang-orang di luar sana, padahal takarannya jelas berbeda.

Dipaksa sama nyatanya tidak. Harus serupa, tapi tak sebanding dengan usaha.

Saya duduk nyaman di atas ayunan, menikmati angin sore dan langit yang sudah mulai berubah warna. Ingin menyaksikan senja di taman Rumah Sang Pemimpi. Walau hanya seorang diri, tapi keindahan yang singkat itu tetap memiliki daya pikat.

Dari senja saya belajar, bahwasannya keindahan tidak akan bertahan lama, pun dengan kebahagiaan. Sebab, cepat atau lambat akan berubah menjadi kegelapan, kedukaan yang akan mengundang tangis kesakitan.

Sejatinya memang tidak ada yang abadi, bukan?

Membuka botol obat dan mengambil satu kapsul lantas membaca isinya.

Jarak bukanlah penghalang, selagi ada riuhnya doa yang senantiasa dipanjatkan.

Saya tersenyum samar lantas berujar, "Nyatanya saya belum benar-benar bisa mengenyahkan kamu dari pikiran. Bayang-bayang itu masih ada, bahkan saya merasa kamu selalu ada di sisi saya."

"Rasanya bodoh sekali, berharap pada sosok yang tak nyata keberadaannya."

Kenapa kapsul yang saya buka selalu bersinggungan dengan apa yang tengah saya rasa. Tidak ada kebetulan yang datang secara berulang, saya rasa memang sudah dirancang oleh Sang Maha Kuasa.

Terkadang kapsul yang saya buka berisi sebuah lelucon yang berhasil mengocok perut, tak jarang juga berisi kata-kata bijak penuh motivasi, bahkan parahnya ada pula kalimat manis yang mengundang tangis. Isinya benar-benar lengkap.

Sebentar lagi kumandang azan magrib, tapi saya masih enggan untuk meninggalkan tempat ini. Masih betah dan ingin berlama-lama menyelami kemelut hati dalam kesendirian.

Sebuah pesan masuk, nama Mama terpampang nyata di sana. Beliau menanyakan ihwal keberadaan saya, dan menanyakan kapan akan pulang. Dengan segera saya pun membalas pesannya, dan bersiap untuk pulang.

Tidak ingin membuat beliau khawatir.

Saya menutup semua jendela, menyalakan lampu agar terlihat terang dan seolah berpenghuni, tak lupa saya pun mengunci pintunya.

Tepat saat saya akan menyalakan mesin motor, kumandang azan terdengar. Saya pun berdiam diri sejenak, sebab tak baik berkendara kala suara azan tengah saling bersahutan. Kebetulan hari ini saya sedang kehadiran tamu bulanan, jadi bebas dari kewajiban.

Berencana untuk membeli camilan sebagai bentuk sogokan agar Mama tak mengomel. Pilihan saya jatuh pada cakwe dan juga odading yang kebetulan saya temui di pinggir jalan.

"Zanitha. Kamu ke mana saja?"

Saya terperanjat saat tak sengaja berjumpa dengan Hanin yang juga tengah membeli cakwe dan odading.

"Lho kok bisa di sini? Sendirian?" tanya saya.

"Mau ke rumah Mama, mampir dulu beli buah tangan. Aku sama Mas Suami, tapi dia lagi numpang salat dulu di masjid," katanya begitu sumringah.

"Aku tuh seneng banget bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar, Tha? Masih suka komunikasi sama A Hamzah, kan?"

Saya meringis kecil. "Saya juga senang bisa bertemu kamu, Nin. Alhamdulillah kabar baik, kamu gimana?"

"Pertanyaan terakhir nggak mau dijawab apa?" tuntutnya.

Saya menghela napas sejenak. "Terakhir ya saat A Hamzah mengabarkan kalau dia sudah sampai di Jerman. Selebihnya belum ada, atau mungkin nggak akan pernah ada."

"Astaghfirullah, itu sudah dua minggu yang lalu lho, Tha. Jangan bilang kalian lost contact lagi," katanya heboh.

Saya hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.

"A Hamzah tuh, kalau nggak di-chat duluan suka lupa ngasih kabar. Emang kayak gitu dia, nggak coba kamu yang duluan kirim pesan? Atau sekali-kali telepon, video call kalau perlu," cerocosnya.

"Sibuk mungkin, Nin. Oh, ya titip salam sama Mama dan juga Ayah, lusa insyaallah saya ke sana," ungkap saya mengalihkan pembicaraan.

"Iya nanti aku salamin."

"Kamu sering-sering tengokin Mama, kasian beliau kesepian," ucap saya memberi saran.

Dia mengangguk. "Iya, Tha kalau ada waktu dan ada izin dari Mas Suami aku pasti rutin mengunjungi Ayah sama Mama kok. Belakangan ini emang lagi agak hectic saja, baru sempat sekarang."

"Minggu lalu saya ke rumah Mama, kasihan beliau. Enggak ada teman ngobrol katanya."

"Salah sendiri, kenapa A Hamzah malah disuruh pergi. Jadi, kesepian, kan," ujar Hanin begitu enteng tanpa beban.

Saya menggeleng pelan. "Husst, nggak boleh gitu, Nin. Mama sama Ayah melakukan itu juga untuk masa depan A Hamzah. Mungkin Mama masih dalam tahap adaptasi, wajar kalau di awal-awal merasa kesepian. Namanya juga orang tua."

"Iya, deh, iya, terserah kamu saja."

Hanin terdiam sesaat, lalu kembali berucap, "Tha, kamu jangan lupain A Hamzah yah. Harus tahan banting kalau A Hamzah nggak inisiatif buat kasih kabar duluan. Kamu juga harus lebih agresif, supaya hubungan kalian nggak kaku-kaku amat. Harus ada kemajuan, bukan malah kemunduran."

"Saya nggak bisa menjanjikan sesuatu yang saya yakini akan sulit untuk melakukannya. Gini yah, Nin, semua akan lost contact pada waktunya, hanya tinggal menunggu waktu saja. Lagi pula, saya bukan tipikal orang yang senang bertukar pesan, apalagi teleponan. Sangat antipati."

Hanin menghela napas berat. "Ini yang aku takutkan, komunikasi kalian itu sangat amat buruk. Di saat masih berada dalam satu kota saja hancur lebur, apalagi sekarang beda negara, bisa-bisa sampai babak belur."

"A Hamzah nunggu kamu yang chat duluan, kamunya gengsian parah. A Hamzah sungkan, takut ganggu kamu kalau dia yang hubungi duluan, kamu pun sama. Masalahnya stuck di sana, nggak ada yang inisiatif dan mau ngalah. Ego sama gengsinya sama-sama tinggi!"

"Enggak gitu, Hanin," sangkal saya.

"Berkelit terus, tinggal ngaku saja padahal."

Saya terkekeh pelan. "Sudah yah, saya duluan. Mama bisa ceramah panjang kali lebar kalau saya telat pulang."

"Enggak asik kamu, Tha. Mending kamu ikut aku ke rumah, pasti Mama seneng lihat aku datang bareng kamu," sahutnya menahan langkah saya.

"Lusa saya ke rumah Mama, sekarang nggak bisa. Ada naskah yang harus saya tuntaskan," tolak saya sehalus mungkin.

"Iya, deh, iya, yang sekarang sudah jadi penulis terkenal. Karyanya terpampang di Gramedia, muka kamu juga bertebaran di berbagai media. Sibuk sekarang mah," ocehnya.

Saya memeluk Hanin dari samping. "Jangan ngomong gitu dong, Nin. Saya masih biasa-biasa saja, nggak seperti yang kamu katakan. Lain waktu kita kosongkan jadwal untuk bertemu dan bercerita yah. Untuk hari ini nggak dulu."

Dia mengangguk lesu. "Iya, hati-hati di jalan. Jangan kebut-kebutan, nyawa kamu cuma satu, nggak bisa diisi ulang."

Saya tertawa mendengar petuahnya. Anak ini ada-ada saja tingkahnya.

"Salam buat Tante Zakiyah."

Saya mengangguk dan mengucapkan salam, lalu menjalankan motor dengan tenang.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 23 September 2023

Enggak kerasa sudah banyak juga babnya. Masih mau lanjut nggak nih?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro