6. Chaos?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.
.

"Saya akan bertanggungjawab sepenuhnya, tapi tolong kasih saya waktu untuk berbicara lebih dulu dengan orangtua saya." Pinta Elbayu. Menyimpan harap yang besar agar Hawa mau mengerti posisinya yang sama sulitnya.

"Terserah kamu," jawab Hawa singkat.

Kecamuk dalam pikiran Elbayu masih bertumpuk. Belum ada kelegaan yang bisa dirasakan untuk saat ini. Sekarang baru terasa bergunanya nasihat Mas Saga yang selalu mewanti-wanti agar menjauhi zina. Jangan pacaran, fokus berkarir kalau sudah ketemu uang cocok langsung saja dihalalkan. Dulu, semua nasihat itu dianggap angin lalu, atau ceramah membosankan yang terus direpetisi oleh si kakak sulung. Namun, waktu telah membuktikan bahwa, apa yang dikatakan Mas Saga besar pengaruhnya di dalam kehidupan. Di dalam kepala Elbayu sontak muncul banyak pengandaian. Andai dulu begini dan begitu, tetapi, apa yang sudah terjadi tidak mungkin kembali seperti sediakala.

Elbayu membelokkan mobil memasuki parkiran supermarket.

"Kata dokter kamu harus banyak konsumsi makan dan minuman dengan gizi tinggi. Saya enggak mau dobel dosa kalau dia kenapa-napa karena kamu yang abai dan ceroboh."

Hawa mendengkus, kurang suka dengan sindiran Elbayu. Sepasang kakinya lantas mengekori langkah Elbayu yang sibuk memilih buah dan sayur seraya mendorong stroller.

"Jangan banyak-banyak, aku tinggal sendirian. Aku juga enggak bisa masak," ujar Hawa. Elbayu menghentikan gerakan mengambil camilan di rak pajang, lantas atensinya berganti pada Hawa sepenuhnya.

"Apa?" Tanyanya terkejut. "Tinggal sendiri?" Ulangnya lagi meyakinkan pendengaran.

Hawa mengangguk. "Sekadar bikin telur dadar atau goreng sosis masih bisa, kalau masa sayur, aku enggak yakin," aku Hawa, lantas menyambung penjelasan. "Ayah bunda tinggal di lain kota, aku masih anak kuliahan, di sini tinggal sendiri."

Bagus!

Elbayu merasa penjelasan Hawa barusan akan menambah volume masalah yang dihadapi nanti. Menyiapkan diri menampung semua kemurkaan orangtua Hawa. Seorang putri yang sedang menuntut ilmu di kota lain, berakhir dengan dihamili laki-laki tak dikenal.
Nyinetron sekali jalan hidupmu, El!
Umpatan terlepas begitu saja dalam batin Elbayu.

___

"Katanya mau pulang cepat, sekarang jam berapa, Bang?" Rembulan menegur Elbayu yang baru saja memasuki ruang tamu. Putranya itu langsung mengempas diri ke sofa dengan tubuh bersandar sepenuhnya. Hantaman masalah membuat tubuhnya gampang merasa lelah dan penat.

"Ma," sapa Elbayu seraya menegakkan duduk.

Rembulan bergaung di sofa, dengan tubuh sedikit menyerong di sebelah Elbayu, memperhatikan dari jarak dekat rona putra keduanya tersebut, lantas tangannya melayang menepuk sayang bahu Elbayu.

"Janjinya cuma sebentar, katanya mau makan masakan mama, tapi malah jam segini baru sampai rumah, Bang?" Protes Rembulan, matanya bergerak melirik jam besar yang berada di seberang ruang tamu.

"Maaf, Ma, El makan sekarang ya." Elbayu baru merasakan perih di dalam perut. Sejak datang siang tadi belum sempat mengisi perut sama sekali. Pulang dari supermarket berencana membawa Hawa ke restoran, tapi gadis itu menolak dengan alasan capek dan ingin cepat istirahat.

"Mama siapkan sebentar, kamu ganti baju dulu sana, Bang!" Titah Rembulan. Hanya anggukan kecil serta senyum ganjil  yang Elbayu suguhkan, lantas beranjak menuju ke kamarnya di lantai atas.

Tiga puluh menit cukup lama bagi Elbayu untuk berdiam dan merenung  di kamar usai membersihkan diri dan  menukar pakaian. Otaknya sibuk merangkai kalimat untuk bicara dengan mama dan papa nanti setelah melahap makan malam yang disiapkan mamanya. Dia butuh asupan energi sebelum memasuki 'sidang' yang sesungguhnya, lalu dia akan terima apa pun konsekuensi yang didapat nanti.

"Kok lama Abang?" Rembulan sedang menuang air pada gelas bening berkaki saat menyapa Elbayu.

"Maaf Ma, El salat Isya sekalian." Tidak bohong. Isya dilanjut salat taubat rasanya tidak akan cukup menghapus tindakan di luar batas yang sudah Elbayu lakukan.

"Makan, Bang!" Mengamini kalimat mamanya, Elbayu mengempas tubuh di kursi ruang makan. Rembulan berada tepat di sisi sang putra.

"Tumben rumah udah sepi, Ma?" Elbayu sengaja bertanya di sela suapan guna membunuh canggung dan gugup. Dadanya berdegup kencang  sejak tadi gara-gara sibuk memikirkan diksi yang tepat saat mengakui dosanya nanti pada mama papa.

"Bita sama Rashad dan Alaya ke rumah Opa Jusuf, nginap di sana mungkin, Bang, kalau Mas Saga belum pulang kajian di Masjid Agung." Spoiler Rembulan mendapat anggukan putranya. Situasi yang memungkinkan bagi Elbayu untuk bicara bertiga tanpa takut mendapat interupsi dari kakak dan adiknya. 

"Kalau Papa, Ma?"

"Ada di kamar," sahut sang mama. Rembulan menakar ekspresi Elbayu, sejak tadi tidak ada kelakar yang biasanya dilontarkan putranya itu. Terasa sangat ganjil bagi Rembulan mendapati sikap pendiam Elbayu yang biasanya dinilai sangat petakilan dan usil. "Abang enggak tanyain Rara?" Pancingnya sengaja menyebut nama Rara.

Senyum segaris lantas gelengan ditampilkan Elbayu pada mamanya.

"Ada yang mau El bicarakan sama Mama dan Papa, habis ini." Mengubah topik, Elbayu tidak ingin menunda lebih lama lagi. Mau nanti atau sekarang sama saja, lagipula serapi-rapinya dia menyimpan rahasia pasti akan ketahuan. Terutama oleh mamanya yang sangat jeli dan memahami jika ada polah dan gerak-gerik putra-putrinya yang mencurigakan.

Rembulan mengangkat kedua alis. "Bicara apa, Bang? Sebentar, mama panggil papa dulu." Lantas beranjak dari duduk. Elbayu gunakan waktunya saat sendirian untuk menata hati dan ucapan sebelum berhadapan langsung dengan kedua orangtuanya. Jika boleh jujur, Elbayu belum siap menampani kemurkaan dan rasa kecewa kedua orangtuanya, tapi mengulur waktu juga bukan hal baik, mengingat kandungan Hawa telah memasuki trimester kedua. Meski perutnya masih terlihat kecil dan rata, tapi seiring berjalannya waktu pasti akan lekas membesar.

Piring bekas makan telah disingkirkan ke kitchen sink. Elbayu lantas menuju sofa di ruang tengah yang biasanya dialihfungsikan menjadi tempat santai atau sekadar menonton televisi. Tidak berselang lama Rembulan dan Surya berjalan beriringan bergabung dengan Elbayu di ruang tengah.

"Abang mau bicara apa?" Rembulan membuka suara lebih dulu. Elbayu menunduk, dia memilih menggeser posisi duduk di karpet bawah. Tanpa aba-aba tangannya melingkar memeluk kedua kaki mamanya.

"Abang, ada apa? Jangan bikin mama bingung?" Rembulan usap kepala putranya dengan perasaan was-was.

"Katakan Bang, ada apa sebenarnya?" tukas Surya seraya menatap putranya. Elbayu kembali duduk tegak.

Pertama-tama Elbayu meraih kaki papanya, melingkarkan tangan di sana seperti kebiasaan waktu kecil saat mengakui kesalahan dan meminta maaf.

"El ...." Jeda sejenak, Elbayu merasa kerongkongannya kerontang dan sulit memproduksi kalimat.

"Abang, ngomong, jangan bikin mama dan papa kebingungan." Pungkas Rembulan meyakinkan. Tangannya parkir di atas pundak sang putra, memberi usapan menenangkan.

"El udah berbuat salah Ma, Pa. Kesalahan El kali ini sangat melampaui batas." Tidak berani mengangkat pandangan saat kalimat itu meluncur dari bibir Elbayu. "El ... berbuat zina." Jika ada bagian uang bisa dihilangkan dari hidupnya, maka, Elbayu ingin menghapus bagian kesalahannya ini. "El menghamili anak gadis orang." Seiring kalimat terakhir Elbayu, tangan Rembulan yang berada di pundaknya terasa mengendur, lalu terhempas sempurna.

"Mama tahu, Abang suka suka jail dan bercanda, tapi untuk urusan seperti ini enggak layak dibuat candaan, Bang." Rembulan menggeleng tegas.

"El enggak bohong Ma, Pa, El minta ampun sama Mama dan Papa." Nada bicara Elbayu sedikit serak, sekuat tenaga menahan airmata yang ingin keluar.

Rembulan histeris, tangisnya pecah di pundak Surya.

"Abang kenapa jadi begini? Apa selama ini mama punya salah, Bang?" Rembulan tak kuasa menahan ledakan rasa kecewa. Ibu mana yang tidak hancur mendengar semua pengakuan dosa dari putra tercintanya ?

"Mama didik Abang dari kecil untuk selalu taat, diajarkan yang baik-baik, kenapa berakhir seperti ini, Bayu ...." Sesak di dada rasanya tidak cukup mengungkapkan betapa sedihnya Rembulan atas ulah putra keduanya.

"Ampun Ma, El salah, Mama jangan nangis." Elbayu bersimpuh, mencium kaki mamanya sebagai implikasi permintaan maaf mendalam. Paling tidak.bisa menyaksikan airmata mamanya tumpah, Elbayu membiarkan pinggiran matanya ikut basah. "Maafkan El yang sudah mencoreng aib di keluarga ini." Kalau boleh memilih, Elbayu akan memilih dirinya yang dihajar habis-habisan daripada menyaksikan tangis mamanya menderas dan itu karena ulahnya.

Surya lebih bisa mengontrol diri. Embusan napasnya beberapa kali terlepas dari mulut disertai gerakan mengusap wajah.
"Kalau usia kamu masih belasan tahun, papa tidak akan segan mengambil ikat pinggang papa lalu menyabetkan ke badanmu, Bang. Atau sekalian saja papa rajam kamu, sesuai dengan hukuman bagi para pezina dalam agama kita." Suara Surya bergetar saat bicara. Kecewa sudah pasti. Namun, Elbayu bukan lagi remaja yang butuh dikerasi dalam hal disiplin. Anak keduanya telah bertransformasi menjadi laki-laki dewasa yang tumbuh sepaket dengan tanggung jawab masing-masing.

"Tapi, Abang bukan lagi anak baru gede. Bukan remaja labil yang butuh banyak pengarahan, baik dan buruk harusnya sudah bisa membedakan, dan apa pun yang dilakukan pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung." Lagi, Surya melepas kalimat demi kalimat pada Elbayu. "Papa kecewa sekali dengan tindakan Abang, tapi papa juga tidak bisa menghakimi Abang secara sepihak, harusnya kalau Abang sudah ingin menikah bilang ke mama dan papa, kami pasti bisa mengerti, Mas-mu Sagara pasti juga tidak keberatan kalau dilangkahi adiknya sekali lagi. Tapi kenapa harus dengan cara yang kotor, Bang?"

Elbayu menggeleng beberapa kali. Bukan itu masalahnya. Memang beberapa waktu lalu dia sempat menggebu bercerita ingin serius dengan Mikha, tapi semuanya buyar setelah Mikha memutuskan hubungan keduanya.

"Kamu dan Mikha-"

"Dia bukan Mikha, Pa." Potong Elbayu cepat ketika papanya mengira gadis itu adalah Mikha.

"Lantas siapa? Bukannya pacarmu itu Mikha, Bang?" Surya memang tidak selalu mengikuti perkembangan hubungan percintaan anak laki-lakinya. Dia belum tahu jika Elbayu dan Mikha sudah lama putus.

"Abang sudah putus lama dari Mikha, Pa, makanya dia kabur ke Aussie. Tapi sekarang malah bawa berita begini, Mama enggak tahu harus gimana." Rembulan menyahut di sela isakan tangis. "Jangan-jangan Abang pacaran sama bule di Aussie? Abang ikut-ikutan pergaulan bebas di sana?!" Tuding Rembulan waspada. Elbayu kembali memberi gelengan tegas.

"Namanya Hawa, Ma. Dia enggak tinggal di Aussie, dia ...."  Elbayu ceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Rembulan masih menangis, sementara papanya beberapa kali memejam, seakan menunjukkan  rasa sedih dan prihatin mendalam atas ulah Elbayu.

"Enggak bosan-bosan Mama selalu ngingetin Abang, jaga pergaulannya, jangan keterlaluan dalam berteman. Kalau sudah begini mau gimana?!" Geram Rembulan usai mendengar cerita Elbayu jika semua kejadian yang dialami ada sangkut pautnya dengan Jonathan.

"Ambil kartu keluarga kita, Ma!" Titah Surya tiba-tiba. "Abang sudah tidak layak lagi ada di daftar nama keluarga kita."

Rembulan tersentak kaget. Dia memang sangat kecewa pada Elbayu, tapi menghapus buah hatinya dari silsilah keluarga juga bukan keinginannya.

"Pa," ujar Rembulan diserang khawatir bertubi-tubi.

"El ikhlas kalau emang harus pergi dari keluarga ini, Ma, El enggak pa-pa."

Surya melirik putranya sekilas, lantas kembali berkata-kata. "Abang memang harus segera didepak dari kartu keluarga kita. Abang akan segera menikah, sama seperti Bita, itu artinya Abang harus siap menjadi kepala rumah tangga, siap-siap memiliki kartu keluarga sendiri dengan Abang sebagai kepala rumah tanggamu."

Elbayu terhenyak, kaget dan lega bercampur jadi satu. Reaksi Rembulan kembali histeris, tapi kali ini dia rengkuh Elbayu, memeluk putranya sekaligus memukuli pundak Elbayu sebagai implikasi rasa sayang sekaligus kecewanya.

"Abang kenapa begini? Maafin Mama kalau kurang perhatian sama Abang, Mama sibuk memikirkan Mas Saga sampai mama lupa kalau ada Abang." Kalimatnya terbata di antara isak tangis.

"Enggak Ma. Elbayu yang salah sepenuhnya, mama enggak salah apa-apa." Atmosfer ruang tengah mendadak jadi penuh sentimentil. Satu fase sudah dilewati, tapi Elbayu masih belum bisa bernapas lega. Beruntung dia memiliki orangtua yang sangat pengertian dan tidak menghakimi secara sepihak. Namun, bagaimana nanti ketika menghadap orangtua Hawa? Elbayu bisa membayangkan murka ayah dan bundanya Hawa. Tidak ada satu orangtua pun di dunia ini yang rela anak gadisnya dirusak masa depannya. Termasuk juga orangtua Hawa pastinya.

______














Maaf ya, yang nunggu pakde Saga update. Rutenya emang harus publish setelah bab 6 di sini.

Terima kasih yang berkenan kasih vote dan komen

Calangeyo 💜

25-08-23
1850


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro