9. Caring

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.



Hawa bergerak rikuh ketika merasai pergerakan tangan Elbayu di pinggangnya. Kagok bercampur sungkan, kali pertama diperlakukan seperhatian ini oleh laki-laki selain ayahnya. Desir halus yang selama ini diharapkan muncul saat berada di dekat Vano, malah hadir oleh perlakuan Elbayu. Hawa menggigiti bibirnya sendiri sembari memejam. Berusaha mengusir rasa aneh yang melingkupi hati.

"Mulai besok kamu resign dari kafe." Adalah pengujaran Elbayu. Hawa menengadah, mencuri lirikan sekilas dibarengi decakan bibir.

"Kenapa aku harus resign, Kak? Ini kerjaan pertamaku, mumpung libur semester, aku mau part-time." Alibi Hawa tidak setuju. Gantian Elbayu yang berdecak.

"Buat apa? Kamu enggak perlu khawatir masalah biaya hidup, kamu tanggungjawab saya sekarang."

Hawa beringsut duduk. Tidak peduli gerakannya otomatis mengempas tangan Elbayu.

"Aku enggak mau ngerepotin orang lain, Kak!" Sedikit tersinggung oleh ucapan Elbayu, menurut  Hawa, lelaki itu mulai sok-sok-an mengaturnya. "Lagian Kak Bayu enggak perlu repot-repot, aku bisa ngurus diri sendiri."

"Bebal!" Refleks jari Elbayu menyentil kening Hawa. Gadis itu meringis kesakitan. "Enggak usah kege-eran, saya begini karena enggak mau dia kenapa-napa." Mata Elbayu mengabsen perut Hawa. Bibir gadis itu mencebik, masih dengan kernyitan dahi karena kaget sekaligus nyeri di dahi gara-gara sentilan Elbayu.

"Sakit!" Protes Hawa, geram.

"Sakit apanya, Nak?" Rembulan sedang melangkah dari arah kitchen saat menyahut rengekan Hawa. Yang ditanya menggeleng. "Diapain sama Bayu?" Matanya melirik waspada pada sang putra.

"Enggak diapa-apain Ma. Dianya yang bebal, disuruh resign malah nolak."

Rembulan geleng-geleng dengan sikap sang putra, gerakannya dipercepat menempati ruang kosong di sisi Hawa.

"Hawa kerja? Katanya kuliah?" Tanya Rembulan penasaran. Hawa mengangguk.

"Part-time, Tante, buat ngisi libur semester." Jelas Hawa.

Tanpa banyak pertimbangan Rembulan setuju dengan usul putranya.
"Tante setuju sama Bayu, lebih baik Hawa resign saja ya, Nak, daripada nanti kamu kelelahan malah kenapa-napa."

"Tapi Hawa baik-baik aja, Tante." Kukuh Hawa.

Rembulan tersenyum lembut. Ditatapnya Hawa lekat. "Baik-baik saja bukan berarti tenaganya harus diforsir. Perempuan yang sedang hamil, enggak boleh sampai kecapean, Hawa."

"Tapi nanti Hawa bingung, mau ngapain kalau nganggur, Tante? Yang ada malah stress karena enggak ada kegiatan."

"Kamu main ke sini saja kalau bosan, ngobrol sama Tante atau cari kegiatan yang enggak banyak menguras fisik." Cetus Rembulan. Hawa mengangguk pasrah, meski tak yakin dengan ide mamanya Elbayu.

Makan malam di kediaman Surya Atmadja malam ini ada sedikit yang berbeda. Di meja makan hanya ada empat orang, tidak sesemarak biasanya. Hawa makan dengan tertib tanpa banyak bicara. Elbayu melalukan hal sama. Kecuali Rembulan dan Surya yang sesekali melontarkan tanya atau topik obrolan ringan. Semeja dengan tiga orang yang baru dikenal, terasa sangat awkward bagi Hawa.

____

Langit menggelap sempurna ketika Hawa melangkah keluar dari kediaman Rembulan dan Surya. Gadis itu sedikit meringis merasai semilir angin menerpa kulit lengannya yang terekspose karena mengenakan kaus lengan pendek. Sejak berbadan dua, Hawa rasa tubuhnya mendadak jadi lebih sensitif dengan banyak hal. Tidak bisa kena angin terlalu kencang termasuk salah satu dari deretan perubahan yang dialaminya.

"Lain kali pakai baju yang lengannya lebih panjang." Elbayu menyampir jaket miliknya ke pundak Hawa. "Pakai," titahnya. "Dan, jangan bebal." Hawa baru akan buka suara tapi didahului Elbayu. Gadis itu menurut, memakai jaket milik lelaki yang saat ini memaku langkah di sisinya - menunggu gerakannya memasang baju hangat sampai selesai.

"Makasih," ujar Hawa singkat. Pikirannya sibuk memikirkan sikap Elbayu yang bisa dikategorikan baik dan perhatian, meski kadang nada bicaranya jutek.

Mobil melaju pelan meninggalkan pelataran rumah. Elbayu fokus pada roda kemudi, sementara Hawa memilih diam seraya mengamati jalanan yang masih ramai lalu lalang kendaraan. Tatapnya tertuju pada gedung-gedung pencakar langit yang menjadi pemandangan utama kota Surabaya. Dulu sekali, saat ditanya ayah dan bundanya, Hawa ingin lanjut kuliah di mana? Jawabannya selalu mengacu pada kota Surabaya. Tidak ada yang spesial, tapi nama kota itu refleks melintas di benak Hawa. Ayah dan bundanya sempat tidak setuju, mengingat jauhnya jarak yang memisahkan jika Hawa benar-benar melanjutkan pendidikan di Surabaya. Sementara ayah bundanya tinggal di Jakarta. Ditambah lagi Hawa anak tunggal. Namun, lambat laun Hawa berhasil yakinkan orangtuanya untuk hidup terpisah sebagai anak rantau dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Kepercayaan itu mahal. Amanah yang dilimpahkan adalah bentuk tanggung jawab yang harus Hawa emban. Sekarang tidak ada tersisa dari dirinya. Semuanya hilang karena salah memilih pertemanan. Hawa merasa hidupnya tak lagi layak. Ibarat pepatah, hidup segan, mati tak mau. Dia bingung menghadapi hari demi hari dengan kumparan rasa bersalah memenuhi relung hati.

"Kak Bayu, kenapa mau nikahin aku?" Pertanyaan refleks yang terlontar dari bibir Hawa mereaksi Elbayu. Lelaki itu memelankan laju kendaraannya. Tawa keringnya mencuat, antara miris dan gemas dengan pertanyaan yang dianggapnya bodoh.

"Kamu bodoh apa gimana? Kalau aja keadaanya enggak serumit ini, saya juga enggak mungkin ambil keputusan besar seperti ini."

"Aku udah bilang, kan, kalau Kak Bayu enggak harus nikahin aku. Lagian emangnya Kak Bayu bisa nikah sama orang yang enggak dicinta?"

"Saya sudah pernah mencintai habis-habisan, tapi ujungnya ditinggal pergi juga. Kalau sekarang harus menikah tanpa cinta, enggak masalah buat saya, asal bisa menebus kesalahan yang pernah saya perbuat."

"Kak Bayu ditinggal merid?" Seakan mempertegas kepolosannya, Hawa kembali lontarkan tanya tanpa memperhatikan raut lawan bicaranya.

Dengkusan pelan menguar dari mulut Elbayu. Sesuatu yang tidak ingin diingat-ingat dan malas membahasnya. Gelengan samar menjadi pilihannya.

"Enggak usah bahas tentang masa lalu saya. Yang harus kita pertegas sekarang, kapan saya bisa ke rumah orangtua kamu, Hawa."

Hawa mengangkat  kedua bahu. "Entah, aku enggak yakin, Kak."

Elbayu benar-benar di uat frustrasi dengan sikap acuh tak acuh Hawa. Gadis macam apa yang terang-terangan menolak ditanggungjawabi setelah apa yang terjadi pada keduanya? Apa Hawa sebodoh itu? Atau memang sikap kekanakannya lebih mendominasi? Menganggap apa yang terjadi sekadar lelucon?

Mobil berdecit saat Elbayu membanting setir ke kiri- menepi dan berhenti mendadak.

"Kamu bisa serius sedikit saja, enggak?!" Muntab Elbayu. Merasa menjadi satu-satunya yang harus bertanggungjawab atas semuanya, padahal gadis di sebelahnya juga andil besar dalam masalah yang menjeratnya kini. "Dari kemarin jawabanmu selalu seperti itu, enggak yakin, takut, enggak mau! Lantas, apa yang mau kamu lakukan kalau seandainya saya enggak mau bertanggungjawab?!" Nada suaranya meninggi disertai rona menyirat tegas.
"Mau balik lagi sama tindakan gilamu itu? Mau bunuh diri? Gugurin? Hah?!"

"K-Kak, jangan bentak-bentak, aku takut." Hawa gemetaran. Ekspresi Elbayu mampu ciptakan gigil di hati. Dia ketakutan sendiri. Semua frasa seakan lenyap dari otaknya, hanya bisa diam menunduk.

"Katakan, kamu mau apa kalau saya abai dan enggak tanggungjawab?!" Kalimatnya masih tegas, tapi nadanya tidak sekeras tadi. Elbayu tatap lekat-lekat mata bundar Hawa. "Dari kemarin saya sudah berusaha nahan dan sabar ngadepin bebalnya kamu. Kesabaran saya ada batasnya, Hawa. Saya kasih opsi terbaik, tapi kamu malah keras kepala."

Hawa beringsut, membuat jarak. Telak! Semua omongan Elbayu memukul habis pertahanannya. Mau sok tegar, ingin terlihat kuat, yang ada malah sebaliknya. Sisi rapuhnya terpampang jelas di depan Elbayu.

"Maaf," ucapan itu datang dari Elbayu. Tangannya berada di puncak kepala Hawa, mengusap-usap pelan. "Enggak ada niat mau berkata kasar apalagi ngebentak kamu. Saya cuma mau kamu terima keadaan yang sekarang, bukan malah sok-sok-an kayak enggak terjadi apa pun. Mau dihindari atau dielakkan, enggak akan mengubah keadaan, Hawa."

Hawa paham semua tindakan dan kata-kata Elbayu. Namun, apa salah, kalau dia belum siap dengan keadaan yang tiba-tiba menghadang langkah masa depannya? Hawa mendongak, berusaha sekuat tenaga menahan laju air yang mendesak dari pinggiran kelopak matanya. Bibirnya lantas bergerak merapal kata-kata, mengungkap rasa bimbang yang membebat hatinya beberapa hari ini, "Daripada keadaanku sekarang, aku lebih takut membayangkan reaksi ayah dan bunda nanti saat mereka tahu, anak gadisnya udah enggak punya masa depan." Kalimatnya Hawa tutup dengan adegan tutupi wajah dengan telapak tangan. Kedua tebing pipinya basah tak terelakkan. Ketakutan yang mencengkram jiwa, menguapkan rasa tenang, menyisakan cemas dan khawatir.



________




Hawa jangan keras kepala. 😌

04-09-23
1300










Sama-sama 💜






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro