1. Ilyas dan Pekerjaan Barunya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 1: Ilyas's pov | 2001 words ||

Aku ketakutan di balik pantat Bu Raiva.

Inginnya aku bilang di balik punggung, tetapi aku masih 7 tahun dan tinggiku hanya sampai sepinggul wanita itu. Wajahku sejajar dengan pantatnya, tanganku mencengkram rok di bawah lututnya erat-erat sampai dia tampak tak nyaman.

"Ilyas," bujuknya seraya melepas paksa genggaman tanganku dari roknya. "Ayolah. Jangan tidak sopan begitu. Itu ayahmu mulai sekarang."

Karena sudah terlalu tua untuk mengompol, aku terisak saja. Sambil gemetaran, kutelaah sosok pria super besar di hadapan kami, yang katanya ingin menjadikanku anaknya.

Pak Gun sama sekali tidak mirip figur ayah yang kubayangkan. Aku inginnya ayah yang berupa pria kurus berkacamata, rambut licin belah tengah, bungkuk, berkemeja garis-garis (sweter juga boleh), celana di atas pusar, dan sepatu pantofel. Pak Gun ukurannya dua kali manusia kebanyakan, rambutnya tidak bisa dibelah tengah karena memang tidak ada rambut sama sekali pada bulatan bercahaya yang disebutnya kepala itu. Dia memakai overalls dan kaus putih kotor di baliknya, juga sepatu bot raksasa yang sepertinya bisa melahap sekujur badanku ke dalamnya.

Aku ingin ayah yang bekerja di kantor sambil membawa tas koper; berangkat pukul 7 pagi, pulang pukul 6 sore. Pulang pukul 10 kalau lembur. Namun, Pak Gun seorang tukang pipa—dia bekerja dengan pipa. Otot-otot itu dipakainya untuk memperbaiki dan mengangkat pipa. Jari-jarinya kasar bekas menambal pipa. Bajunya dekil gara-gara pipa kotor. Dan aku benci pipa sejak insiden toilet bocor yang hampir membunuhku di dalam pipa saluran pembuangan.

"Dia memang agak pemalu," kata Bu Raiva rendah hati. Karena, ketimbang pemalu, kata yang paling tepat untuk menggambarkanku adalah penakut. "Tapi dia anak paling brilian di sini. Tidak ada anak panti sepintar Ilyas."

Tidak juga. Sebenarnya ada Toren, tetapi kurasa Bu Raiva masih ingin Toren berada lebih lama di panti, sedangkan aku ....

Sudah berulang kali Bu Raiva mencoba menyingkirkanku karena aku merepotkan, tetapi tak ada yang mau mengadopsiku. Tidak ada ... sampai Pak Gun.

"Ya." Pria itu tersenyum untuk pertama kalinya setelah beberapa menit belakangan tampak sama tegangnya denganku. "Istriku melihatnya menyelesaikan rubik ghost sebulan yang lalu."

Masih menjaga jarak, pria itu berjongkok, tangannya tertadah kepadaku. Lalu, kusadari dia menggenggam rubik ghost yang masih baru di sana, lebih bagus daripada rubik sumbangan yang sudah macet itu.

Maka pagi itu, Bu Raiva akhirnya berhasil melenyapkanku. Aku pergi dengan iming-iming sebuah rubik baru.

Pak Gun adalah pria pendiam yang, kalau tidak tersenyum canggung, dia akan menggosok-gosok wajahnya dengan telapak tangan untuk mengisi kekosongan di antara percakapan—entah dia bermaksud mengelap keringat atau sekadar ingin.

Setelah beberapa lama mengenalnya, aku mulai memahami kebiasaan itu. Dia seorang tukang pipa. Dia bekerja dengan lumpur, udara lembab, bau karat, berbagai jenis kotoran; dia merangkak melalui saluran-saluran pipa jalanan, sisa-sisa pembuangan perumahan, dan sampah basah penuh lemak sisa makanan di restoran dan hotel-hotel lingkungan urban. Tangan yang terangkat untuk menyeka wajah itu adalah gerakan spontan hasil dari kerja keras berjam-jam dalam sehari.

Interaksi yang terjadi di antara kami berdua hanyalah saling pandang, berdiri dalam jarak aman, saling lempar senyum canggung, lalu menggosok wajah masing-masing—aku tertular kebiasaan itu sejak hari ketiga berada di rumahnya. Makin parah sejak dia mengajakku melihatnya bekerja dan aku iseng setuju mengikutinya—berada di dekat sisa-sisa sampah organik, lumut, dan air kotor memang efektif membuat tangan tergerak melindungi wajah.

Istrinya, Bu Miriam, adalah kebalikannya—bertubuh langsing semampai, rambutnya pendek dan hitam, dia adalah wanita yang pandai memulai pembicaraan, masakannya enak, senyumnya hangat, dan senang sekali memancingku berbicara. Padahal aku benci bicara.

Rumah mereka terletak di Kompleks Lima, Jalan Triandra, Kota Renjani, hanya dua jam berkendara dari ibukota. Mereka sudah menikah selama sepuluh tahun lamanya tanpa dikaruniai anak. Mereka mengadopsiku karena Pak Gun belakangan amat sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai Bu Miriam kesepian sendirian.

Aku disebut sebagai jagoan kecil—kepala keluarga nomor dua setelah Pak Gun. Padahal menurutku, kepala Pak Gun saja sudah cukup untuk melindungi keluarga ini. Namun, terserah mereka saja.

Aku tidak mau sekolah. Aku takut perosotan karena pernah didorong sampai meluncur jatuh dengan posisi terbalik. Aku juga takut ayunan, dan guru-guru, dan kantin yang ramai. Aku takut ruang kelas dan meja-mejanya yang berjajar berdempetan. Aku takut teman sebangku. Jadi, Bu Miriam menyekolahkanku di rumah. Dia sendiri yang mengajariku lewat buku-buku.

Hidup bersama Pak Gun dan Bu Miriam ternyata sangat mudah. Lebih mudah daripada hidup di panti atau sekolah asrama. Mereka membiarkanku mengotak-atik rubik seharian, membaca apa pun yang aku mau, dan tak pernah memukulku seperti yang kadang dilakukan Bu Raiva.

Tidak ada anak-anak yang memanggilku dengan nama-nama aneh, atau melemparkan badanku ke dalam bak sampah, atau memaksaku memberikan barang-barang yang kusukai. Maksudku, aku tidak masalah berbagi, tetapi berbagi jadi hal yang menakutkan kalau kau harus menerima pukulan dulu di wajah sebelum barang itu diambil darimu.

Tidak ada lagi anak-anak nakal di sekitarku—kecuali satu: anak perempuan bernama Cal.

Dia anak dari teman lamanya Bu Miriam, seumuranku, tinggal di perbatasan Nusa. Cal senang pakai celana pendek karena itu memudahkannya menendang dan lari-larian; dua aktivitas yang paling kubenci. Cal juga selalu memakai jaket parka kebesaran yang bisa menampung sebungkus kue kering pemberian Bu Miriam tiap dia bertandang dengan ibunya. Rambut cewek itu ikal sebahu, agak kemerahan karena kelamaan bermain di bawah cahaya matahari, seperti sekumpulan cacing yang dihukum gantung dari pucuk kepalanya.

Cal membenciku pada pandangan pertama kami bertemu.

"Kurasa, dia sengaja," lirihku saat Cal dan ibunya pulang. Kupamerkan jari kakiku yang memerah habis diinjak cewek yang mirip mesin penghancur itu.

"Dia hanya punya cara yang berbeda untuk menunjukkan keakraban dengan teman," kekeh Bu Miriam seraya mengompres jari kakiku.

"Kalau begitu, aku tidak mau akrab dengannya. Aku lebih pendek darinya—mudah baginya buat menggencetku." Aku berjengit sambil menggosok wajah saat air dingin membasahi jari kakiku. "Kenapa, sih, dia datang terus ke sini?"

"Sedang ada krisis di perbatasan," kata Bu Miriam. "Hewan ternak banyak yang mati—sepertinya ada penyakit yang mewabah di sekitar sana. Mereka juga butuh air, sandang baru, dan obat-obatan. Di sini aliran air lancar dan bersih. Kita juga punya banyak sekali sandang lama yang sudah tak terpakai. Lebih baik diberikan, bukan? Dan, Cal bilang dia suka masakanku." Bu Miriam mengedip senang.

"Perbatasan kelihatan menyenangkan, kok," komentarku. "Aku pernah ikut Pak Gun ke sana satu kali. Di sana sepi. Tenang. Tampak sejuk juga."

"Lebih tepatnya dingin," tukas Bu Miriam. Tangannya mulai membereskan baskom air dan kain kompres. "Air membeku di sana, Ilyas. Dan banyak yang takut keluar malam hari. Lagi pula, tempat yang kalian kunjungi itu Kotatua—walau kecil dan cenderung sepi, Kotatua tetap saja perkotaan, hanya letaknya saja yang dekat Tembok W. Sedangkan Isma dan Cal tinggal di Distrik Nava—distrik itu berdempetan persis dengan tembok, dikepung pegunungan dan hutan, jauh dari kota mana pun. Akses jalan mereka ke kota hanya satu. Nah, sudah bereskan kamarmu?"

Kamarku penuh buku, juga selaci rubik yang pernah dibelikan Pak Gun, dan ada sebuah papan tulis besar tertempel di dinding. Bu Miriam pernah jadi guru, dan mantan murid-muridnya menyukainya—tidak heran. Tak sekali dua kali para mantan murid itu bertandang ke rumah, membawa oleh-oleh atau sekadar bertamu saja—saat itu terjadi, aku akan berada di kamar, pura-pura tak pernah ada, sampai Bu Miriam menyeretku keluar untuk dipamerkan, "Ini anakku."

Pak Gun tak kalah hebat.

Meski Pak Gun hanya tukang pipa, dia berteman dengan orang paling istimewa, tak lain tak bukan Pak Angkara, sang Presiden Nusa. Kudengar dari cerita Bu Miriam, Pak Gun dan sang presiden adalah teman SMP sampai SMA, masih ada hubungan darah juga meski sangat jauh—seperti sepupunya dari sepupu sepupunya yang punya sepupu dan sepupu di kali empat sepupu lagi, lalu para sepupu itu dikuadratkan semua. Kurang lebih begitu.

Sang presiden, nama aslinya Bayangkara, dipanggil Angkara karena itu nama panggilannya sejak kecil, dan orangnya sendiri tak masalah dipanggil demikian. Tak seperti namanya ('angkara' kalau di kamus, berarti kebengisan), Pak Presiden Angkara berwajah sendu, dan dia senang tersenyum pada siapa pun. Senyum lemas seolah dia sudah sepuluh hari tak tidur, tetapi tetap mencoba sopan. Sorot matanya luar biasa teduh sampai membuat orang-orang yang ditatapnya merasa amat damai, lalu mengantuk—mungkin karena itu banyak yang tidur saat pidato kepresidenan.

Pak Presiden Angkara dan Pak Gun punya banyak kesamaan di sifat dan sikap meski ukuran badan mereka beda jauh. Mereka seperti angka 1 dan 0 yang sama-sama pemurung.

Pak Presiden Angkara adalah figur ayah yang dulu kuinginkan: rambut belah tengah, kemeja rapi, berperawakan kurus dan bungkuk, seperti mudah terbawa saat angin yang terlalu kencang. Namun, aku tak mengeluh—aku lumayan senang dengan Pak Gun yang tak banyak bicara, senang tersenyum canggung, dan gosok-gosok muka. Lagi pula, keberadaan Pak Gun di rumah adalah semacam jaminan kami takkan mengalami kebocoran pipa.

Jadi, sekarang aku punya ayah seorang tukang pipa yang berteman dengan orang hebat, ibuku guru yang disukai semua orang, dan pangkatku sendiri adalah kepala keluarga nomor dua setelah Pak Gun.

Pekerjaanku tak banyak. Jika tak membantu Bu Miriam dengan pekerjaan rumah, belajar dengannya, atau menemani Pak Gun berdiam diri sambil gosok-gosok muka, maka aku akan berada di kamarku—menyendiri.

Lalu, Pak Gun dan Bu Miriam tampaknya memutuskan untuk menambah profesiku. Saat itu bertepatan dengan umurku yang menginjak angka 11—genap empat tahun aku hidup bersama keluarga ini—dan mereka memberiku hadiah ulang tahun berupa pekerjaan baru. Tampaknya, kabar gembira ini justru lebih menggembirakan buat mereka. Bu Miriam sampai berkaca-kaca matanya, dan Pak Gun menggosok mukanya lebih keras untuk menyembunyikan air mata.

"Adik?" tanyaku.

"Kau akan jadi kakak!" Bu Miriam mengumumkan sambil memelukku seerat sweter kekecilan. "Kau benar-benar pembawa keberuntungan dan kebahagiaan, Ilyas! Kami takkan pernah sebahagia ini andai kau tidak datang ke kehidupan kami."

Itu adalah hal termanis yang seseorang pernah katakan padaku. Jadi, untuk sejenak aku melupakan kegelisahanku mengenai: bagaimana bentuknya adik? Aku akan diapakan oleh bayi itu nanti? Apa yang mesti kulakukan padanya? Kapan dia datang? Aku harus bersikap seperti apa di depannya? Apa dia akan sependiam Pak Gun atau seceria Bu Miriam? Bagaimana kalau dia membenciku pada pandangan pertama seperti Cal, si cewek berandal dari perbatasan itu?

Aku melupakan semua pertanyaan itu dalam sekejap dan langsung disibukkan dengan pekerjaan rumah. Bu Miriam sudah tidak bisa sering-sering naik tangga, jadi aku mesti menjemurkan pakaian yang dicucinya. Aku belajar memasak sedikit supaya Bu Miriam tidak perlu berdiri lama-lama di dapur. Lalu, aku diajari menyetrika tanpa membakar tanganku sendiri.

Saat kandungan Bu Miriam memasuki bulan ke tujuh, sesuatu terjadi.

Tembok W, yang selama ini menjadi bingkai Nusa, telah berlubang. Berdiameter setengah meter, lubang itu ditemukan di sekitar wilayah peternakan dekat District Nava. Saat berita itu disiarkan untuk pertama kali, Pak Gun sedang berada di sekitar TKP, memenuhi panggilan kerja di rumah seseorang di sana.

Kesenyapan mengambil alih hanya dalam beberapa jam berikutnya. Semua perkantoran dan sekolah dipulangkan lebih cepat, rumah-rumah mengunci pintu dan jendelanya, jalanan mendadak sunyi. Semua saluran berita menyiarkan proses penambalan tembok, tetapi kami dianjurkan untuk tak keluar rumah sampai keadaan dapat dipastikan aman sepenuhnya.

Malamnya, lubang tembok W telah tertutup. Namun, Pak Gun tidak kembali.

Keesokan paginya, kami masih tidak boleh keluar rumah. Jalanan hanya dilalui oleh orang-orang berseragam kepolisian yang berpatroli 24 jam, mencari makhluk yang diperkirakan sempat masuk ke kota melalui lubang di tembok. Bu Miriam telah mencoba melaporkan kehilangan suaminya, tetapi jawaban yang didapatnya tidak begitu memuaskan.

Kami akan berusaha, nanti kami hubungi kembali, harap lapor kembali jika dalam 24 jam berikutnya suami Anda belum pulang, dan sebagainya. Intinya, mereka sibuk mencari makhluk yang tidak ingin mereka temukan, makhluk yang mereka khawatirkan menyelinap masuk lewat lubang tembok, dan makhluk itu menjadi prioritas di atas penduduk legal Nusa yang cuma tukang pipa, tetapi tentu saja mereka tidak mengatakannya segamblang itu.

Bu Miriam mencoba menghubungi beberapa kenalannya yang tinggal di sekitar perbatasan, termasuk ibunya Cal, di mana kiranya Pak Gun. Tidak ada yang tahu. Pak Gun terakhir kali terlihat di rumah seseorang bernama Ruska, yang memiliki sapi-sapi yang sudah lama mati karena suatu wabah. Rumah itu kini sunyi seolah tak berpenghuni—lampu-lampunya mati tiap malam. Ruska sendiri, yang meminta diperbaiki saluran airnya, tak tampak lagi batang hidungnya.

Sampai seminggu setelah hilangnya Pak Gun, baru kusadari: itulah kali pertama aku merindukan seseorang. Itulah kehilangan pertama yang benar-benar kusesalkan. Bukan mainan yang direbut anak panti atau jatah makan yang dikurangi. Kehilangan Pak Gun adalah kehilangan pertama yang membuat jantungku berdebar kencang sampai rasanya sakit sekali, dan tiap kali melihat kursinya yang kosong di meja makan membuat mataku berkaca-kaca.

Pada minggu kedua pasca hilangnya Pak Gun, di pagi hari saat aku baru keluar dari kamar, masih berpiama dan sandal bulu, belum cuci muka atau sikat gigi, Bu Miriam tiba-tiba menyambutku dan memelukku. Dengan perutnya yang sudah membesar di antara kami, dia mendekapku, tidak seerat biasanya. Genggaman tangannya lemah.

Dia mulai menangis di bahuku. Dia memberi tahu bahwa sekarang aku naik pangkat: kini aku adalah kepala keluarga utama di rumah. Artinya, Pak Gun tidak akan pernah pulang.

Pagi itu juga, Bu Miriam pergi ke Distrik Nava dengan ditemani seorang polisi untuk mengenali jasad yang mereka temukan. Aku dititipkan di rumah tetangga dan menunggu jawaban meski kepastiannya sudah hampir seratus persen.

Mendekati tengah malam, Bu Miriam kembali. Matanya bengkak. Jadi, memang sudah pasti jasad itu adalah Pak Gun. Mereka mengenali pakaiannya. Namun, jenazah Pak Gun harus tetap di perbatasan, disterilkan dan dikubur di sana, sedangkan pakaiannya dibakar. Hal itu sudah jadi prosedur utama untuk menghindari wabah penyakit, terutama mengingat masalah lubang di Tembok W serta tempat ditemukannya tubuh Pak Gun bukanlah tempat paling bersih sedunia.

Aku duduk diam dengan wajah kosong, menemani Bu Miriam yang menangisi suaminya selama dua jam. Setelah Bu Miriam ketiduran di ruang tamu, aku menyelimutinya dan naik ke kamarku sendiri.

Begitu aku menutup pintu kamar, bendungan di dalam kepalaku pecah seketika. Air mata berjatuhan ke pipiku. Aku baru akan mengangkat tangan untuk menghapusnya, menyeka jejak isak tangis dari wajah, tetapi kemudian teringat kebiasaan Pak Gun. Kubiarkan tanganku jatuh lagi, menggantung di sisi tubuhku, sementara air mataku tidak bisa berhenti keluar.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro