11. Ilyas dan Tamu Tak Diundang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 11: Ilyas's pov | 1300 words ||

Itu Cal. Anak cewek yang menatapku dengan sorot mata burung pemangsa terhadap seekor cacing menggeletak di tanah, yang sering menghajarku saat aku masih kecil, yang pernah membuatku bermimpi buruk selama dua malam berturut-turut. Itu dia.

Dulu saja dia membuatku panas-dingin hanya dengan kemunculannya di pintu depan. Sekarang, dia kembali sambil membawa samurai, dan pentungan yang menyembul dari dalam tasnya, dan entah apa lagi yang dia bawa di dalam ransel itu selain sabun cuci dan pasta gigi pesananku.

Kalau diperhatikan lagi, dia memang masih Cal yang dulu. Rambutnya masih sebahu, mengikal dan kemerahan. Bentuk wajahnya kecil walau agak berbobot di pipi. Bibirnya yang tipis seringkali ditarik ke satu sisi seperti sedang memperhitungkan sesuatu. Dia tidak memelotot nyalang lagi, tetapi tetap saja sorot matanya seperti mengintai dan menunggu waktu yang tepat untuk mencekikku.

Tubuhnya jauh lebih kecil daripada bayanganku—selama ini aku berasumsi seorang Cal akan tumbuh besar sampai jadi gempal berotot dengan bahu seorang perenang dan kaki seorang pesepak bola.

Tetap saja ... dengan tangan-tangannya yang kecil itu dia baru menusuk dan memutilasi zombie di depan mataku.

Persis ketika aku selesai memaku ulang papan-papan yang dirusaknya, empat sampai enam zombie berkumpul di depan rumahku. Tanpa membuang waktu, aku menelepon kantor Polisi Nusa terdekat.

"Padahal sepanjang jalan aku tidak bertemu zombie satu pun," kata Cal begitu aku selesai menelepon, "kecuali yang ganas dan masuk ke rumahmu barusan."

"Mungkin penghuni perumahan ini yang baru terinfeksi oleh zombie barusan." Aku menjauhi jendela. Kumatikan semua lampu, lalu mencari adikku. "Emma?"

"Kurasa, bantal bundar yang bergerak ke arah tangga itu adikmu."

Aku menyambar Emma sebelum kepalanya membentur undakan pertama.

"Uang bayaranmu di bawah keset kaki." Aku memberi tahu Cal sambil menyandarkan Emma ke bahuku. "Kalau uangnya belum rusak diinjak zombie ...."

Gadis itu berkacak pinggang. "Kau mengusirku, ya?"

Aku mengerjap ke kakiku sendiri. "Pasti banyak pesanan yang menunggumu."

"Tidak," jawabnya. Kurasa, aku gagal menyembunyikan kekecewaanku saat mendengar itu. Mendadak, Cal duduk di kursi tanpa kusuruh. "Belakangan ini, bisnis kurir sedang lesu. Banyak yang memilih untuk mengakhiri nyawa sebelum digigit zombie. Yang bertahan hidup pun sekarang sudah mulai berani keluar rumah dan mencari kebutuhan sendiri. Aku melewati Kota Mattah dalam perjalanan kemari—parah sekali! Penjarahan di mana-mana. Eh, boleh minta minum, tidak?"

Sambil menggendong Emma, aku berjalan lesu ke dapur, membuka lemari es dan mencarikannya minuman.

"Eh, tidak usah repot-repot, air mineral saja sudah cukup—tunggu, limun itu juga boleh."

Dia mengikutiku ke dapur, membantuku membuka lemari untuk mengambil gelas. Matanya menelaah Emma. "Ini adikmu yang waktu itu lahir prematur?"

Aku bergerak tidak nyaman di sampingnya. "Iya. Ini Emma."

"Syukurlah bukan Emir," gumamnya samar-samar. Dia mengamati Emma lagi. "Hmm, apakah anak 4 tahun memang sekecil ini? Umurnya 4 tahun, 'kan?"

"Iya," jawabku lagi. Cal tampaknya tahu aku tidak mau bicara lebih jauh dan tutup mulut, tetapi dia masih di sampingku. Rasanya risi sekali.

Selama aku menuang limun, Cal hanya berdiri di sana, membuatku hampir merasa tidak nyaman. Dia mengerjap saat Emma balas menatapnya. Selama beberapa detik, mereka beradu pandang dengan ekspresi yang sama-sama datar. Cal seperti orang yang belum pernah melihat anak kecil, sedangkan Emma memang belum pernah bertatapan mata dengan orang selain aku dan Nenek Aya.

Nenek Aya ....

Aku buru-buru menyerahkan gelas limun pada Cal, lalu mencari kunci pintu lorong bata. Begitu menemukannya, aku membuka pintu, tetapi kemudian terhenti karena suara berdeguk dari Cal yang meminum limunnya sambil berdiri.

"Kau ... benar-benar tidak ada pekerjaan lagi?" tanyaku.

"Kau tidak mungkin mengusirku saat di luar rumahmu banyak zombie," katanya. "Lagi pula, aku capek. Aku berkendara melintasi tiga kabupaten, dan uang bayaranku diinjak-injak zombie di luar sana." Dia meneguk limun sekali lagi sampai habis dengan tetesannya yang meleleh ke sudut bibirnya. Setelah bernapas keras dan meletakkan gelas limun di atas meja, dia bertanya, "Kenapa? Kau mau pergi ke suatu tempat?"

"Sejujurnya, iya ...."

"Dan kau tidak mau meninggalkanku di sini? Bukan dalam artian sopan-santun terhadap tamu, tapi lebih pada 'aku tak mau ada orang asing sendirian di rumahku', begitu, 'kan?"

Aku menghindari tatapannya kali ini. "Sejujurnya, iya ...."

Aku mengganti tumpuan kaki dengan gelisah, benar-benar berharap dia bakal pergi. Kutegakkan punggungku saat Cal menyambar ransel dan memasangnya.

"Kalau begitu," katanya, "aku ikut denganmu."

Aku membungkuk lesu.

Rumah Nenek Aya gelap saat kami masuk. Emma merintih di bahuku, wajahnya menempel di leherku. Aku tidak tahu apakah adikku takut gelap atau takut Cal.

Setelah menyalakan lampu, kutemukan Nenek Aya sedang duduk di tepi ranjang dalam kamar tidurnya. Matanya merenungi lantai. Saat si nenek menoleh. Barulah kusadari napasnya berbunyi keras sekali sampai-sampai aku heran bagaimana bisa kami tidak mendengarnya dari luar kamar.

"Obatmu." Aku teringat.

Kubaringkan Emma di samping si nenek, lalu membongkar lemari obatnya dan menyadari kami kehabisan. Tablet terakhir sudah diminum tadi pagi; saat itu aku terlalu sibuk menginjak ujung celana Emma yang tidak mau diam hingga aku tidak mengecek sisanya.

"Bisakah kau pergi ke apotek?" tanyaku cepat pada Cal seraya menghampiri Nenek Aya. Sebelah tanganku menahan Emma yang mencoba koprol ke ujung ranjang, satu tangan lain menepuk-nepuk punggung si nenek. Nenek Aya memalingkan muka untuk batuk satu kali, lalu bernapas dengan berat lagi. "A, akan kubayar dua kali lipat. Tunggu—akan kucatatkan obatnya."

"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa." Si nenek terkekeh-kekeh. Tangannya menahan Emma. "Nanti hilang sendiri. Sekarang pun sudah mendingan."

Aku tetap mengambil kertas dan pena. Tanganku tidak bisa berhenti bergetar saat mulai menulis, benakku terus merutuki kecerobohanku tadi pagi.

Aku membacanya untuk Cal seraya menulis, "Cetirizine 5 mg, albuterol atau salbutamol—"

"Wow. Tampaknya kau lebih membutuhkan obat daripada si nenek," komentar Cal sambil mengamati tanganku. "Hei, santai. Nenek bilang, dia tidak apa-apa—tulis pelan-pelan. Kertasnya basah kena keringatmu. Kau membuatku ikut panik."

Cal benar. Ujung kertas basah karena tanganku yang berkeringat, tetapi gadis itu tampak tidak mempermasalahkannya saat menerimanya. Dia memandangi kertas itu dengan tatapan kosong yang mengkhawatirkan, lalu Cal mengonfirmasi ketakutanku dengan berucap, "Aku tidak bisa membaca nama-nama obat ini."

"Ini merknya." Aku menunjuk tulisan-tulisan dalam tanda kurung. "Ini dosis. Ada tulisan tablet, ampul, inhaler—pokoknya berikan saja pada apotekernya."

Cal menggigit bagian dalam pipinya. Untuk sesaat aku hampir menyangka dia tengah tersenyum malu-malu, lalu kusadari itu ekspresi rasa bersalah.

"Kurasa, apotekernya sudah tidak ada lagi."

"Apa maksudmu?"

"Mari anggap saja ada sebuah kebetulan yang sangat ... lucu. Jadi, zombie yang menyerangmu tadi, aku bertemu dengannya di apotek dekat sini—hm, satu-satunya apotek di daerah ini karena, kulihat, apotek lain yang cukup dekat sudah bangkrut atau dihuni preman-preman pecandu. Jadi, kau tahu, 'kan, ada zombie, ada pintu yang terbuka ... apotekernya tidak mungkin selamat."

Aku terpana cukup lama. Suara batuk Nenek Aya yang menyadarkanku lagi, membuatku berkeringat makin banyak dan napasku ikut memberat. Aku terhuyung ke nakas dan berpegangan ke sana sambil menatap Cal tidak percaya. "Kau yang membawa zombie itu kemari?!"

"Secara teknis, dia ikut sendiri," katanya sembari memainkan jari-jari tangannya. "Maksudku, mustahil aku bawa-bawa zombie ke sini—zombie tidak bisa ditenteng-tenteng dalam bakul atau dijejalkan ke bawah jok ...." Dia menggembungkan pipi dan mengalihkan pandang. "Ya, ya, bukan saatnya bercanda. Sori—jangan menatapku seperti itu."

Aku beralih menatap si nenek, lalu Emma. Andai aku mengecek obat-obat itu, atau paling tidak menyusunnya dari awal, mungkin tidak akan jadi begini.

Aku berlari ke arah telepon, mencoba menghubungi beberapa cabang kurir kota sebelah. Setelah beberapa panggilan, aku menjadi putus asa. Jawabannya sama: sebagian besar kurir sedang bertugas dan aku harus menunggu beberapa hari. Paling cepat tengah malam ini.

Aku mempertimbangkan untuk menghubungi PN, lalu aku teringat sesosok polisi muda yang menodongkan senjatanya ke dahiku empat tahun lalu. Aku tidak bisa memercayai seorang pun dari mereka, kecuali aku kenal baik seseorang ....

Ginna—cewek itu sudah jadi PN sekarang, dan dia di ibukota, hanya dua jam dari sini. Mungkin, dia tidak terlalu buruk dan aku bisa meminta tolong—

Argh, tapi radionya rusak gara-gara zombie masuk rumah! Aku tidak punya waktu memperbaikinya sekarang dan hanya itu satu-satunya cara yang kutahu untuk mengontak Ginna.

"Deskripsikan saja warnanya atau apalah," bujuk Cal. "Atau, aku bisa bawa obatnya banyak-banyak, toh apotek tak berpenjaga artinya gratis. Akan kuangkut satu lemari kalau perlu—"

"Tidak," tukasku. Sekujur badanku seolah tak lagi berbobot, dan aku nyaris tidak memercayai apa yang meluncur dari mulutku selanjutnya. "A-aku ... aku akan ikut denganmu."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro