12. Cal dan Tuan Rumah Tak Ramah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 12: Cal's pov | 4785 words ||

Ada empat tipe zombie yang diresmikan secara tidak resmi oleh Serge; dari tipe 1 yang paling lamban karena mereka baru terinfeksi, tipe 2 yang mampu berburu manusia sedikit lebih baik, tipe 3 yang mulai memiliki kemampuan menalar, dan tipe 4 yang paling jarang ditemukan.

Batavia masih bersih dari zombie karena markas besar Polisi Nusa ada di sana. Kota-kota besar di sekitarnya seperti Radenal (markas kurirku), Renjani (rumahnya Ilyas), dan Larus hanya kebobolan beberapa zombie tipe 2 dan tipe 1. Namun, anggota PN di Renjani lumayan tanggap, jadi aku sama sekali tidak paham kenapa Ilyas bisa separanoid ini.

Bahkan, setelah beberapa zombie yang tadi berkumpul di depan rumahnya sudah diburu oleh anggota Polisi Nusa yang dia panggil sendiri, Ilyas masih ketar-ketir di depan pintunya.

Sekarang, dia mau keluar dari sangkarnya. Sudah 4 tahun dia tidak pernah keluar, katanya, padahal setahuku memang sejak anak-anak pun Ilyas tidak suka keluar rumah kecuali terpaksa. Yang lebih mencemaskanku adalah pandangan matanya yang kian liar dan tubuhnya yang bergetar hebat seolah dia baru saja menelan mesin motor yang masih menyala utuh-utuh.

Dia juga jadi lebih mudah marah. Aku tidak bisa salah senggol sedikit saja, dan suaranya langsung meninggi dengan tangannya yang bergerak-gerak jengkel.

Si nenek sesungguhnya sudah baikan, tetapi Ilyas bersikeras. Dia seperti menganggap kelalaiannya mengecek obat si nenek sebagai tindakan kriminal. Jadi, setelah mempersiapkan ini-itu, dan memastikan Emma kecil cukup tenang untuk ditinggal bersama si nenek, kami langsung berangkat ke dunia luar.

Yah, setidaknya kami mencoba langsung berangkat.

Tidak ada gunanya berlama-lama menguatkan diri di ambang pintu seperti ini karena hanya akan menyebabkan kita overthinking dan kian ragu hingga akhirnya batal keluar, tetapi Ilyas mengalami tremor parah. Aku mengira dia akan ambruk di atas rak sepatu. Kuberi tahu pemuda itu bahwa kami bisa saja keluar dengan santai dan balap karung sampai batas kota, dan kami tetap bakal lebih unggul dari para zombie lamban itu, tetapi dia seolah kehilangan fungsi pendengarannya.

"Kuncinya sudah dibuka sejak tadi," kataku. "Kita tinggal buka pintu dan lari."

Matanya masih menelaah pintu dengan bimbang, badannya maju-mundur antara hendak keluar atau berbalik. Dari wajah dan gerakan di lehernya, sepertinya dia mau muntah. Giginya mengapit kuku ibu jarinya dengan gelisah.

"Kalau kau mau," kataku lagi, "kita bisa ambil peti atau kotak kayu. Kau bisa masuk ke dalamnya sementara aku menyeret-nyeretmu ke apotek."

"Tolong," geramnya, "beri aku waktu sedikit lagi."

"Oke." Aku tersenyum, menunjukkan betapa pengertiannya aku.

Tiga detik kemudian, aku membuka pintunya.

"A—" Ilyas seperti akan pingsan di atas keset kaki, tetapi aku segera merenggut kerah bajunya dan menariknya keluar.

Masih ada zombie dari rumah seberang yang ditandai dengan garis polisi, tetapi ia tipe 1 yang lamban dan rabun. Aku masih sempat membuang karung sampah berisi zombie tipe 4 ke lahan kosong di ujung jalan, balik lagi untuk menutup pintu dan menguncinya dua kali, lalu menaruh kuncinya di kantong baju Ilyas karena pemuda itu masih membatu. Zombie-zombie itu tidak mengejar kami sama sekali.

Kuseret Ilyas bersamaku. Jalan sesepi ini efektif buat kami melenggang santai karena manusia yang berlarian panik seperti anak ayam disasar burung elang hanya akan membuat kericuhan dan menghalangi jalan.

"Lihat?" Aku menunjuk zombie-zombie di jalan. "Mereka ramah! Kau bisa saja berbaring di sini lima menit sementara menunggu mereka mencapaimu."

Ilyas tidak merespons. Ekspresi wajahnya lebih mirip mayat hidup. Lingkaran gelap di bawah matanya kian kentara di bawah cahaya matahari. Tatapannya liar ke sana kemari. Bahunya makin merosot dan langkahnya makin terseok.

Mendadak, pemuda itu jatuh ke tanah. Dia meringkuk, seperti mencoba menggulung dirinya sampai jadi bola dan tenggelam dalam tanah. Matanya mengamati zombie-zombie tipe 1 yang tidak melakukan apa-apa. Ilyas kemudian membungkuk ke atas parit dan muntah di sana. Tungkai dan sikunya gemetaran.

Aku berjongkok di sisinya. "Kalau ada PN yang kebetulan lewat, kau bakal dikira zombie." Kuperhatikan rumah-rumah bergaris polisi. "Dan, kita mesti bergerak sekarang. Zombie-zombie itu mulai sadar ada manusia karena suaramu."

Ilyas tersedak, lalu membuat suara mengeruk kasar dari kerongkongannya seolah dia sedang mencoba mengeluarkan paksa satu set alat pencernaan dari dalam perutnya ke parit. Kutarik ujung mantelnya dan kupakai untuk mengelap dagunya. Ilyas begitu lemas sampai-sampai dia menurut saja saat aku menariknya berdiri.

"Sudah, sudah." Kutepuk punggungnya dengan iba. Kubiarkan dia menyangga dirinya ke bahuku. "Aduh, siapa orang jahat yang membuatmu sampai seperti ini?"

Pemuda itu akhirnya menatapku. Tersengal, matanya menyorot nyalang. "Kau."

Perlahan tapi pasti, kami mulai melangkah maju dengan lenganku masih menyangganya. Ternyata Ilyas berat. "Zombie-zombie di lingkunganmu tidak berbahaya sama sekali, kok. Lihat! Yang berbahaya cuma zombie ganas tadi—dan aku sudah membuangnya untukmu."

"Karena kau yang membawa zombie ganas itu ke tempatku!"

"Nah, begitu dong!" Aku menyengir. "Yang semangat. Ayo, teriak lagi!"

Butir-butir peluh terbentuk di keningnya seperti orang demam. Rambutnya yang mengikal basah menempel ke sisi-sisi wajahnya.

"Semua zombie di sini tipe 1." Aku memberitahunya sambil menunjuk zombie-zombie yang bengong di dalam halaman rumah yang bergaris polisi. "Bentuk mereka bikin jijik, jadi usahakan untuk tidak terlalu memandangi borok mereka."

Ilyas mengeluarkan suara berdeguk yang membuat punggungku merinding.

"Kalau kau memuntahiku lagi, kutendang anumu."

"Aku tidak mengerti ..." gumamnya seraya menatap zombie-zombie di balik garis polisi yang melintangi rumah-rumah kosong. "Zombie-zombie ini ... mereka bukan penghuni rumah ini. Mereka bukan tetanggaku."

Aku mengerutkan wajah. "Dengan luka-luka di wajah mereka, kau masih bisa mengenali tetanggamu?"

Pemuda itu mengangguk. Wajahnya masih pucat, tetapi dia tetap berusaha mengamati zombie-zombie di sekitar kami. "Perempuan itu ...." Telunjuknya menuding satu zombie wanita paruh baya yang telinganya peretel, hidungnya hanya berupa gumpalan kemerahan, dan mulutnya menganga dengan tatapan menerawang ke langit. "Dia penghuni rumah blok sebelah, bukan rumah yang ini. Barangkali, ia adalah salah satu dari enam zombie yang tadi berkerumun di depan rumahku."

Aku mengerjap. "Terus?"

"Terus," lanjutnya jengkel, "itu artinya PN tidak membereskan mereka. Polisi yang kuhubungi cuma menggiring zombie-zombie ini ke rumah yang sudah tidak berpenghuni dan pergi begitu saja seperti polisi pemalas lainnya!"

Aku mengerutkan bibir dan menimbang-nimbang di mana salahnya para polisi itu. "Begini, ya, Ilyas, kau mungkin jarang keluar rumah, makanya tidak tahu. Zombie tipe 1 tidak bisa dibunuh. Atau lebih tepatnya, susah banget dibunuh. Mereka mesti dicincang sampai halus, lalu dibakar. Kalau tidak, bagian tubuh mereka masih bisa bergerak. Kecuali fakta bahwa mereka juga bisa menginfeksi lewat gigitan, tipe 1 tidak berbahaya karena mereka lamban, rabun, dan lemahnya minta ampun. Jadi, kurasa polisi-polisi itu sudah benar. Mereka mengekang tipe 1 ini di balik garis polisi dan menunggu setidaknya sampai seminggu sampai zombie-zombie ini naik pangkat jadi tipe 2 agar lebih gampang dimusnahkan."

Ilyas mengernyitkan alisnya. "Tidak pernah ada pengklasifikasian tipe-tipe macam itu dalam penyuluhan—"

"Oh, sori. Itu cuma klasifikasi pribadi, dipatenkan Serge & Cal Company. PN cuma membaginya ke tiga kategori: 'manusia terinfeksi' alias yang masih dalam masa inkubasi 6 jam, 'zombie baru' yang susah dibunuh, dan 'zombie biasa' yang lebih mudah dimusnahkan setelah 7 hari. Intinya, zombie-zombie baru ini memang lebih baik dibiarkan saja karena mencoba memusnahkan mereka itu percuma."

Ilyas menyeka hidungnya dengan punggung tangan. "Bisa beri tahu aku tipe-tipe zombie yang kau klasifikasikan sendiri itu?"

Kami tiba di apotek saat petang. Langit sudah oranye, bayang-bayang pepohonan jatuh ke jalanan, kertas-kertas poster beterbangan. Rumah-rumah yang masih berpenghuni mulai menyalakan pencahayaan redup. Beberapa polisi patroli sempat menghampiri kami, tetapi mundur lagi saat aku mengangkat kartu ID kurirku. Ilyas sendiri hanya mengekor dengan manisnya, jadi dia tidak begitu menarik perhatian.

Apotek itu sudah diberi garis polisi. Di dalamnya, seorang wanita terkapar di belakang etalase kaca dengan kepala menganga. Sisa-sisa mengerikan meleleh keluar membasahi rambutnya.

Yah, kurasa Ilyas benar—meski Polisi Nusa di sini tanggap terhadap panggilan, tetapi mereka malas membersihkan korban. Namun, tetap saja aku memahami keputusan mereka. Mereka tidak mungkin melakukan pembakaran mayatnya di sini, petugas kremasi butuh waktu untuk memenuhi panggilan, dan seharusnya garis polisi sudah cukup menghentikan orang-orang idiot dari memasuki bangunan terinfeksi. Bahkan, walau perempuan ini jadi zombie, selama tidak ada manusia di dekatnya, dia takkan melakukan apa-apa selain bengong.

"Ugh, otaknya—" Ilyas tercekat. Dia menarik kerah mantelnya untuk menutupi hidung. Matanya berair. "Otaknya masih ada. Kau yakin dia tidak akan berubah? Ini hampir 6 jam sejak kau melihat zombie ganas tadi keluar dari sini, 'kan?"

"Betulkah? Kalau begitu, kita mesti cepat." Kutarik Ilyas mengikutiku ke belakang etalase. "Ambil obatnya. Kalau bisa, setelah ini kita lari mati-matian."

Ilyas mulai bergerak. Dia mencari dan menjumputi kotak-kotak obat dengan cepat. Gerakannya efisien sekali, padahal aku sempat curiga dia bakal menjatuhkan barang-barang dengan jari-jari panjang yang gemetaran itu.

"Aku tidak percaya aku bisa keluar rumah hari ini," gumamnya pelan. "Maksudku ... benar-benar keluar, menginjak tanah, bukannya berdiri di balkon untuk menjemur Emma."

"Apa kau menggantung adikmu di tali dan menjepitnya pakai jepitan jemuran?"

Untuk kali itu, entah dengan alasan apa dia memutuskan untuk mengabaikan ejekanku. Senyumnya mengembang, tipis saja, tetapi sorot matanya begitu hangat. "Aku ... kurasa sekarang aku bisa jadi sedikit lebih berani. Trims, Cal."

Otakku seperti korslet. Kudapati diriku memasang senyum genit dan tersipu sendiri. Aku buru-buru berbalik dan menepisnya dengan lambaian tangan. "Ah, tidak perlu sampai seperti itu."

Keluar dari apotek, aku masih memegangi ranselku yang menggembung penuh kotak obat di tangan kiri dan menyiagakan samurai di tangan kanan. Kertas-kertas poster di jalanan tertiup angin sore, melintas ke samping kakiku, menempel di lutut Ilyas, lalu salah satunya menemplok ke wajahku, menutupi sebelah mataku.

"Ilyas," kataku, menghadap ke arahnya dan memperlihatkan kedua tanganku yang penuh. "Tolong."

Pemuda itu membungkuk, tetapi tidak langsung menyingkirkan poster sialan ini. Dia berjengit mengamati poster di mukaku. "Kebijakan perekrutan PN tidak masuk akal. Mereka bahkan tidak lagi mewajibkan pendidikan di akademi kepolisian."

"Lebih tidak masuk akal lagi orang yang membaca poster yang masih menempel ke muka temannya tanpa menyingkirkannya lebih dulu."

"Sori." Dia meraih poster itu dan membacanya. "Kenapa kau tidak masuk kepolisian saja, Cal? Pasti gampang sekali buatmu membantai zombie seharian."

Aku mendengkus dongkol. "Malas! Lebih baik jadi kurir!"

Pemuda itu mengangkat alis, menyadari sesuatu. "Oh, syarat tinggi badan—"

"Jangan bawa-bawa ukuran badan!" Kuselempangkan ransel di satu bahu. "Lagi pula, kurir sama baiknya dengan PN! Kami sama-sama digaris depan empat tahun belakangan ini. Bandingkan dengan organisasi militer yang tidak ada gunanya!"

"Karena mereka dibubarkan," ujarnya.

"Untuk alasan yang bagus," kataku. "Gara-gara mereka, Tembok W sisi tenggara kebobolan. Zombie dari Neraka sana bocor ke Nusa."

"Kurasa, tidak masuk akal melimpahkan semua kesalahan ke satu pihak saja." Ilyas mengerutkan alisnya lagi. Sepertinya, segala hal tidak masuk akal buat cowok ini. "Setelah 70 tahun Kesatuan Pengendali dan Pemberantas Zombie dibubarkan, kelompok itu tiba-tiba dibentuk kembali 4 tahun lalu—hanya dalam semalam. KPPZ tahun 2097, tidak mungkin disamakan dengan KPPZ generasi baru 4 tahun lalu—harusnya semua pihak sadar itu. Mustahil cuma Organisasi Militer Nusa yang salah. Semua pihak—para menteri, presiden sendiri, dan badan kepolisian—yang menyetujuinya berbagi kesalahan itu, tetapi mereka tidak bisa membubarkan semua orang. Setelah saling tunjuk hidung, satu-satunya pilihan hanya membuat suara bulat tentang kambing hitamnya. Tentu saja mereka menunjuk organisasi militer."

Aku memutar bola mata. "Soalnya anggota militer yang paling banyak direkrut dadakan ke dalam KPPZ 4 tahun lalu, dan mereka juga yang menutup-nutupi masalah lubang di tembok tiap satu dekade, jadi mereka yang salah. Titik."

Ilyas berhenti melangkah di belakangku. "Dari mana kau tahu semua itu?"

Aku ikut berhenti. Mataku mengerjap-ngerjap. "Ada di berita—"

"Tidak ada," tukasnya. "Pengumuman resminya, 'militer disalahkan karena sejarah panjang kegagalan Organisasi Militer Nusa, dan mereka yang bertanggung jawab atas buruknya kinerja KPPZ tahun 2169'. Narasinya persis seperti itu. Bertanggung jawab di sana bisa berarti banyak hal—entah mereka yang memiih rekrut, menjadi rekrut, melatih calon anggota, mengatur siasat, atau menentukan perimeter penugasan KPPZ. Tidak ada yang bilang bahwa orang militer sendiri yang direkrut ke dalam KPPZ 4 tahun lalu."

Aku menelan ludah. Aku betul-betul lupa Ilyas orangnya setajam ini. "Aku ... hmm, punya informasi orang dalam."

"Dan tembok berlubang tiap dekade? Aku pun punya informasi orang dalam, Cal, jadi aku juga tahu masalah militer dan KPPZ tadi. Tapi, kalau tembok—"

Kusarungkan kembali samuraiku dengan lagak santai. "Aku asal ngomong—"

"Tidak, kau tidak asal ngomong," desaknya. "Bahkan orang dalam sekali pun tidak ada yang tahu. Lubang-lubang itu ditemukan di tiap arah mata angin Tembok, jadi yang tahu hanya penduduk lokal dan beberapa prajurit militer yang ditugaskan di basis perbatasan—dan mereka semua sudah mati sebelum bisa mencocokkan rentang waktunya. Para prajurit militer itu hanya mengetahui lubang-lubang yang mereka temukan secara individu, mereka sendiri tidak tahu lubangnya muncul persis tiap satu dekade. Laporan resminya pun tidak pernah dibuat kecuali kejadiannya membuat gempar dan disorot berita nasional. Aku sendiri takkan bisa tahu kalau bukan karena ocehan Nenek Aya dan obrolan-obrolan dari radio."

"Karena inilah aku sering naik pitam waktu main puzzle denganmu saat kita masih kecil—kau selalu selesai lebih dulu." Aku mendesah jengkel dari balik telapak tangan. "Aku tahu—aku bodoh sekali waktu itu! Aku masih anak-anak."

"Cal, aku tidak sedang bicara masalah puzzle—"

"Aku juga tidak bicara masalah puzzle," kataku. "Aku bicara masalah lubang yang kutemukan waktu aku masih bocah, tahun 2166."

Ilyas terdiam. Namun, aku tetap mengoceh.

"Aku sedang main dengan teman-temanku waktu itu. Aku yang memperlebar lubang itu dengan bodohnya. Lalu, kami lari. Kami melupakan lubang itu sampai beberapa lama. Tiga tahun ... sampai akhirnya lubang itu ditemukan orang lain tahun 2169. Beberapa bulan kemudian, tragedi zombie di distrik-distrik terjadi di hari jadi Nusa. Dan, akhir tahun, Tembok W runtuh."

Lama, Ilyas tidak berkata-kata. Kurasa, lagi-lagi aku membuatnya tidak nyaman, seolah belum cukup buruk aku membawa zombie tipe 4 membobol rumahnya.

Aku merosot dan berjongkok di sisi trotoar. "Aku mengerti kalau sekarang kau jadi memandangku sebelah mata dan kepingin berlari meninggalkanku ... tapi—"

Aku menoleh, dan Ilyas sudah tidak ada.

Dia benar-benar lari meninggalkanku.

"Bajingan tengik kau!" Aku berteriak ke udara kosong. "Keterlaluan kau, Ilyas!"

Aku menyepak kertas-kertas poster dan mengamuk memukuli zebra cross pakai sarung pedang samurai. Lalu, bayang-bayang seseorang memanjang mendekati kakiku, disorot cahaya matahari sore. Aku berbalik dengan lega. "Ilyas—"

Wanita penjaga apotek menyengir di depan mukaku.

Sesuatu yang lengket dan merah-merah menetes dari batok kepalanya yang koyak, meleleh ke sisa rambutnya yang menggumpal dan wajahnya yang masih utuh. Badannya juga tidak banyak luka dan tangannya masih bagus, tetapi seperti layaknya tipe 1, zombie apoteker itu langsung menjatuhkan badannya ke arahku. Mulutnya menganga lebar dan gigi-giginya mencoba mencapit mukaku.

Aku menahan mulutnya dengan samurai yang masih tersarung, tetapi wanita itu bobotnya paling tidak 60 kilogram, dan aku sudah jatuh terduduk ke trotoar jalan. Dengan seluruh tubuhnya menumpu ke arahku, dan liurnya yang menetes-netes, tinggal masalah waktu sampai mulutnya menggelincir lepas dari sarung pedang.

Aku melirik sekitar. Tidak ada polisi patroli. Ilyas entah di mana. Penghuni rumah-rumah terdekat masih cukup waras untuk menonton saja dari balik tirai jendela mereka. Jalanan kosong—

Satu Zombie lagi keluar dari balik bayang-bayang, menerobos belukar. Kulitnya hijau muda, dipenuhi koreng di sekujur tubuhnya. Bola matanya putih dan tak terlalu fokus, tetapi jelas terarah padaku. Kusadari gerakan kakinya mengayun cepat, tidak sekadar diseret di aspal jalan.

Tipe 3.

Masa aku bisa sesial ini?!

Jangan gegabah, anak garong! Aku seolah mendengar suara Serge di sudut ruang memoriku ketika dia masih melatihku bertahun lalu. Dinginkan kepalamu, panaskan hatimu—bukan sebaliknya!

Oh, ya, gampang sekali kakek tua itu bicara! Bukan dia yang sedang bertatapan mesra dengan zombie apoteker di atas trotoar dan diincar tipe 3!

Tanganku menghunus secara spontan. Itu adalah kesalahan. Tipe 1 tidak merasa sakit dan pedangku masih tersarung. Tebasanku cuma mendorongnya sedikit dan ia dengan cepat menyundulkan wajahnya lagi. Aku berputar karena insting pertamaku adalah menghindari giginya dan memberinya tendangan belakang, tetapi kemudian kusadari giginya menancap ke ranselku, lalu zombie goblok itu tersangkut di sana.

Di hadapanku, si tipe 3 sudah sangat dekat. Sambil mengambil taruhan bahwa gigi si apoteker akan terus tersangkut di ranselku, aku menunggu sampai si tipe 3 berada dalam jangkauan.

Kucabut samurai dari sarungnya dan melakukan gerakan menebas, tetapi rupanya jangkauanku kurang jauh dan si tipe 3 berkelit di saat-saat terakhir sehingga aku cuma memotong telinganya (terkutuklah tanganku yang pendek!).

Namun, tipe 3 mulai merespons rasa sakit meski hanya untuk sesaat. Kumanfaatkan jeda beberapa detik itu untuk melepaskan ransel dari bahu, menarik tasku sekuat tenaga, dan menendang perut si zombie apoteker pakai satu kaki. Dalam satu sentakan, aku berhasil memerdekakan ranselku.

Zombie apoteker kembali melancarkan sundulan mautnya bersamaan dengan si tipe 3 yang melompat sambil mengulurkan kedua tangan untuk meraupku. Aku melompat ke belakang masih sambil memeluk ransel, tetapi samurai terlepas dari genggamanku dan berdenting ke aspal jalan. Kedua zombie itu bertabrakan.

Seharusnya pemandangan itu lucu, tetapi aku merasakan perih di lengan kanan.

Berdarah.

Tanpa membuang waktu, aku berlari kembali ke arah bangunan apotek. Berlindung di balik pilar terasnya, aku menggulung lengan baju dengan gugup.

Bekas cakaran. Aku menenangkan diri. Bukan gigi. Cuma kuku.

Aku bangkit dan berlari. Masuk ke dalam apotek adalah tindakan gegabah karena, jika tipe 3 mengejar, aku akan terjebak di bangunan yang tidak kukenali. Jadi, aku mencari tempat tinggi atau jalan berliku untuk membuat si tipe 3 tersesat.

Tipe 3 memiliki rentang perhatian yang lebih panjang—mereka tidak akan melepas mangsa hanya karena aku menghilang beberapa detik; beda dengan si apoteker yang sekarang sudah menganga ke langit, lupa sama sekali apa yang dilakukannya di atas trotoar.

Sayangnya, tipe 3 juga bergerak lumayan gesit. Sebelum aku bisa kehilangannya, ia sudah lebih dulu menyusul dan melihatku lagi.

Aku memanjati pohon, berharap si zombie akan menyerah jika aku hilang di antara dedaunan. Sayang sekali, 60 detik kemudian, ia juga mulai belajar memanjat. Gerakannya lebih lambat, beberapa kali merosot dan jatuh berdebum ke tanah. Namun, cepat atau lambat ia akan menyusulku. Ia tidak kenal lelah, secara harfiah.

Sambil menahan perih di lengan kanan, aku berayun ke sebuah bangunan dua lantai. Sepertinya ini bangunan apotek tadi. Aku menangkap kosen ventilasinya, memosisikan kakiku di kosen jendela. Tinggal seraihan menuju atap, tetapi lukaku berdenyut. Sudut mataku menangkap sesuatu memelesat di jalanan ... mengingat peruntunganku sejauh ini, barangkali itu zombie lagi.

Si tipe 3 melihatku, lalu menyerah menaiki pohon. Ia berlari ke arahku sampai menabrak dinding bangunan yang kupanjati, lantas mulai ikut-ikutan memanjat dengan berpegangan pada jendela. Gerakannya lebih tangkas dan dia benar-benar hampir menyusulku.

Kupaksakan diriku bergelantungan pada satu tangan, lalu melepas sepatu dengan tangan kanan. Kugebuk zombie itu pakai alas kaki saat ia sudah berada tepat di bawahku. Ia jatuh menghantam trotoar bersama sepatuku, lalu bangkit kembali.

"Oh, berhentilah!" Aku membentak. "Kau tidak tahu batas, ya?!"

Tangan kananku mulai menggelincir. Kupaksakan diriku untuk bertahan, tetapi mendadak saja, kosen ventilasi yang menahanku memutuskan untuk peretel. Kayunya lapuk di bawah tanganku. Aku pun menjerit—

Aku tidak jatuh. Belum. Seseorang menangkap tangan kananku. Aku mendongak dan mendapati Ilyas di atas sana.

"Kau—" Aku tergagap. "Kau kembali buatku?"

"Tidak ..." jawabnya ragu-ragu. "Di tengah jalan, aku teringat obat-obatnya masih di dalam ranselmu."

Aku terperangah. "Kau memang keterlaluan."

"Maaf," ringisnya. "Tadi, aku cuma kaget, lalu aku melamun, dan kepikiran—"

"Cowok berengsek kau ini!" teriakku seraya berayun-ayun, membuatnya mengerang. "Sudah kutemani jauh-jauh sampai apotek, akunya ditinggal!"

"Maaf—iya, iya! Berhentilah berayun begitu!"

"Dan sekarang kau bilang kau kembali demi obat di ranselku!" Aku melorotkan ransel di bahu kiri, lalu melemparkannya ke atas, nyaris mengenai kepalanya. "Itu! Ambil sana! Aku tidak butuh bantuanmu!"

"Cal ..." katanya dengan napas menderu. "Zombie-nya mulai memanjat."

Aku melongok ke bawah dan mendapati si zombie sudah separuh jalan.

"Tarik aku!" jeritku panik. "Ilyas—tarik aku! Cepat!"

Dengan berbagai intonasi erangan, plus sumpah serapah dariku, kami berhasil naik ke atas atap ruko yang bepermukaan rata. Ada pintu tingkap di belakang Ilyas. Meski letih, kami buru-buru bergerak masuk, menutup pintu tingkap, dan menuruni undakan curam ke dalam bangunan.

Aku melanggar prinsip untuk tak menjebak diri dalam tempat yang tak kukenali!

Kami berdiam diri di lorong yang tersorot cahaya senja, mendengarkan suara zombie yang lama-lama memudar. Aku menghitung, seperti saran Serge dulu. 30 detik kemudian, suaranya lenyap. Si tipe 3 akhirnya move on dariku.

"Oke." Aku terengah. "Makasih sudah menolongku. Sudah, sana."

Dia mengangkat ranselku di tangannya.

"Bawa saja," dengkusku. "Keluarkan saja barang-barangku."

Matanya melirik luka di lengan kananku yang masih meneteskan darah. "Tapi, tanganmu butuh diobati. Dan ini apotek. Aku bisa—"

"Cuma bekas cakaran," tukasku seraya menangkup luka itu.

Aku berbalik dan terhuyung-huyung berjalan di sepanjang lorong sampai Ilyas menyambar tanganku lagi.

"Aku—" katanya terbata. "Aku minta maaf."

"Kau sudah berkata itu 20 kali hari ini."

"Aku benar-benar kaget waktu kau bilang kau yang melubangi tembok. Belum lagi saat kau bilang bahwa lubang itu sudah ada tahun 2166. Itu membuatku teringat ucapan Nenek Aya. Saat aku terlalu fokus memikirkan sesuatu, kadang aku begini. Kakiku melangkah sendiri, tanpa kusadari aku sudah jalan tiga blok dari sini dan kau tidak ada. Aku tidak sepenuhnya bermaksud meninggalkanmu—"

"Tidak sepenuhnya!" ulangku. "Berarti separuhnya bermaksud!"

"Maksudku," desahnya. "Cal, kurasa, yang melubangi tembok itu bukan kau."

Aku mendelik ke arahnya. "Kau cuma cari alasan."

"Tidak," janjinya. "Selain para zombie yang mengikis temboknya dari luar selama 70 tahun lamanya, ada yang membuat lubang-lubang itu juga dari dalam. Tahun 2126, 2136, 2146 ... ada pola di sana. Tapi, lubang paling terakhir ditemukan tahun 2169, dan polanya hilang. Memikirkan pola yang hilang itu membuatku frustrasi. Lalu, kau bilang padaku lubang itu aslinya sudah ada sejak—"

"Tahun 2166," kataku, tercenung pada ranselku sendiri yang masih dipegangi Ilyas. Lalu, mataku memelotot. "Ilyas ... ada gigi zombie di ranselku."

Ilyas menatap ke ranselku dan ikut membelalak.

Pemuda itu menoleh ke sekitar, lalu dia menarikku menyusuri lorong. Dia membawaku berbelok dua kali, lalu berbalik saat jalan buntu. Sebelum aku sempat bertanya apa yang salah dengannya, Ilyas mendorong salah satu pintu berlabel lab farmasi. Ruangan di dalamnya dipenuhi rak-rak dan meja-meja yang dipenuhi tabung, gelas kaca, timbangan, sampai jas putih yang berserakan seperti dilepas terburu-buru dan ditinggalkan begitu saja.

"Ilyas!" gerungku. "Kau gegabah sekali! Bagaimana kalau di ruangan ini ada zombie-nya?"

"Satu-satunya korban infeksi di sini hanya perempuan apoteker di lantai bawah." Ilyas berkata sambil mengamati sekitar. "Dan kau lihat kaca jendela di lantai atas pecah. Para pekerja pelayanan farmasi kliniknya pasti kabur saat menyadari ada zombie di lantai bawah. Lagi pula, zombie tipe 4 itu pasti butuh waktu lama untuk ... melakukan apa yang dilakukannya ke apoteker tadi, memberi waktu cukup lama untuk petugas lainnya kabur."

"Maksudmu?"

"Kau bilang tipe 4 punya inteligensi hampir setara manusia," ujarnya. Wah, dia sungguh menyimak penjelasanku. "Kita sudah lihat kekuatan zombie itu—dia bisa saja memakan habis otak si apoteker. Jika otaknya habis, korban akan tewas dan tidak berubah. Tapi tipe 4 itu tidak melakukannya. Dia sengaja menyisakan otak si apoteker, berhati-hati untuk tidak meninggalkan terlalu banyak luka di tubuhnya juga. Kau lihat semua zombie baru di kompleks rumahku tadi? Masih utuh. Mereka tidak mengalami serangan brutal si zombie—ugh! Tidak ada di sini!"

Ilyas menarikku keluar dan kami memasuki ruangan lainnya. Kali ini, Ilyas tampaknya menemukan apa yang dicarinya di antara meja-meja berlaci dan kursi-kursi bundar. Dia mengeluarkan beberapa set pinset dan sebuah mikroskop.

"Maksudmu, si tipe 4 itu sengaja menciptakan semacam pasukan zombie yang utuh tanpa banyak luka?" tanyaku.

"Benar." Ilyas memakai sarung tangan karet dan mencabut gigi apoteker dari ranselku menggunakan pinset. Dia kemudian mengutak-atik mikroskop di atas meja. "Kurasa, dengan cara itulah gelombang zombie masuk bahkan sebelum Tembok W runtuh, saat hari jadi Nusa 4 tahun lalu. Tipe 4 menginfiltrasi Nusa lebih dulu dan membangun sepasukan zombie di berbagai tempat berlainan, dan entah bagaimana menyembunyikan semuanya. Bu Miriam pernah berkelakar bahwa barangkali ada zombie yang nebeng angkutan umum, tak kusangka, barangkali ada kebenaran dalam candaannya ...." Ilyas mengintip melalui lensa mikroskop dan terdiam selama beberapa detik. Rahangnya mengejang. "Sudah kuduga buku-buku itu isinya sampah."

"Apa?"

"Anatomi Zombie oleh Profesor Ruren, Agen Penginfeksi Esc-z-3 oleh Doktor Lissa Griffin, Kenali Gejala Perubahan Korban Infeksi Zombie dari Departemen Kesehatan Nusa—semuanya! Bahkan semua materi dalam penyuluhan di lapangan, radio, televisi, dan poster pun omong kosong. Korban terinfeksi tidak menumbuhkan taring sama sekali."

Aku ikut mengintip apa yang dilihatnya melalui mikroskop, tetapi karena warna dan pola-polar mengular itu membuatku jijik, aku buru-buru menarik diri. "Itu virusnya?"

"Bukan. Ini hanya penginjeksinya. Giginya. Kau pasti sering mendengar bahwa korban terinfeksi menumbuhkan taring dan cakar."

"Taring setajam milik harimau dan kuku sepanjang cakar beruang? Ya."

"Bagian kukunya, aku tidak yakin. Tapi untuk giginya, korban terinfeksi tidak menumbuhkan taring baru sama sekali. Gigi lama mereka terkikis. Geraham mereka pecah. Beberapa gigi depannya terkikir dan meruncing, lalu karena sebagian besar dari mereka selalu memiliki robekan di area mulut serta banjir darah dari gusi, taring itu tampak lebih panjang dari taring manusia normal. Dan ada lubang kecil pada taring-taring ini. Dari sinilah agen infeksinya masuk ke inang baru. Karena itu, infeksi hanya terjadi melalui gigitan. Kau tahu, seperti demam yang disebabkan nyamuk?"

"Oke ..." kataku cemas. Mata Ilyas berair keningnya mengerut dalam sekali, dan bisa kulihat bulu halus di lengannya berdiri semua di balik lengan mantel yang tergulung. Aku yakin dia juga jijik pada sampel yang tumbuh di ranselku, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk mengamatinya lewat teleskop, mengguling-gulingkannya dengan pinset. "Ilyas, maaf menyela obsesi imutmu terhadap gigi apoteker zombie, tapi hari sudah hampir gelap."

Pemuda itu seperti ditampar sampai sadar. Matanya mengerjap berkali-kali.

"Astaga." Pemuda itu buru-buru memasukkan sampel gigi ke dalam kotak kaca yang ditemukannya dalam laci, membungkusnya dengan plastik bening bersegel dua lapis, lalu memasukkannya begitu saja ke dalam saku ranselku (aku harus beli ransel baru). Dia mencopot dan membuang sarung tangannya ke tempat sampah, lalu mencuci tangannya di wastafel. "Maaf, Cal. Aku terbawa. Ayo, obati lenganmu, lalu kita pulang."

Setelah lenganku diperban rapi, Ilyas dan aku setuju untuk membuang ranselku karena agen infeksi dari gigi si apoteker bisa saja sudah menginvasi kain ranselku yang malang (6 jam lagi, tas punggungku jadi zombie). Jadi, kami mencomot salah satu tas selempang dalam loker petugas klinik dan memindahkan obat-obatnya.

Kupungut kembali pedang samuraiku di jalan. Kusempatkan diri untuk bilang dadah pada ibu apoteker yang masih bertengger di trotoar. Ia mencoba mengejar kami dan Ilyas nyaris gila karenanya, tetapi tentu saja kami bisa lari lebih cepat dari si zombie tipe 1.

"Kita butuh tumpangan." Kali ini, aku yang menarik-narik tangan Ilyas. Kuseret dia menuju pos kepolisian terdekat.

Mudah saja menemukan kantor polisi dekat batas kota, dan lebih mudah lagi meminta tumpangan dengan memperlihatkan kartu ID kurirku—ini memang sudah tugas PN untuk mengawal kurir.

"Pas sekali, inspektur kita yang baru naik pangkat datang petang tadi dengan mobil patroli." Bapak polisi berwajah ramah dan berperut bundar tertawa renyah. Dia melongok ke dalam dan memanggil temannya, "Aryan!"

Ilyas menegang di sisiku. Kurasa, dia juga mengenali nama itu. Yah, siapa yang tidak kenal? Bahkan sejak aku masih 11 tahun, nama 'Aryan' sudah beken. Dia sering muncul di televisi sebagai polisi muda cakep berbakat yang digandrungi kaum Hawa. Dengan senyum cemerlangnya itu, kurasa zombie tipe 4 sekali pun bisa balik buta lagi saking silaunya.

"Cal, kurasa ini bukan ide bagus—" Lalu, Ilyas bungkam sepenuhnya saat si polisi ganteng keluar sangkar. Perlu kuakui, aku sendiri sempat menyangka mataku buta mendadak dan aku lupa Ilyas ini siapa saat sang inspektur tersenyum.

Ilyas dan aku duduk di belakang seperti tahanan yang baik sementara si polisi ganteng yang menyupiri kami. Sepanjang perjalanan menuju pusat kota, kudapati Inspektur Polisi Aryan sangat pandai membuka obrolan, berbasa-basi, dan membuat anak cewek seumuranku merasa spesial luar biasa dengan pujian-pujiannya:

"Belum genap 16 tahun? Kau pasti sangat hebat hingga bisa menaklukkan para kurir cabang Radenal, Cal," dan "Kami para polisi tidak ada apa-apanya dibandingkan kalian para kurir yang memenuhi panggilan kerja ke sepenjuru Nusa non-stop, dan jelas sekali aku tidak bisa dibandingkan dengan gadis seberbakat dirimu, Cal," dan "Apa itu samurai sungguhan? Mau ajari aku menggunakan senjata sehebat itu kapan-kapan?" dan banyak lagi.

Satu kali, kurasa Ilyas cemburu. Cuma aku yang dipuji—mungkin, dia juga kepingin dipuji. Wajahnya masam sekali dan kedua lengannya terus terlipat di depan dada. Yah, salah dia karena pasang tampang sangar seperti itu.

Kami masih satu kilometer lagi dari Kompleks Lima saat Ilyas mendadak berkata bahwa kami sudah sampai. Sebelum aku bisa protes, Ilyas sudah membuka pintu mobil, menyelempangkan tas di bahu, dan menarikku keluar dari mobil patroli. Aku mencoba buka mulut saat pemuda itu mengalungkan lengannya ke sekeliling bahuku. Namun, alih-alih seperti dirangkul, aku justru merasa dia sedang mencoba menyergapku dan menutup mulutku pakai lengannya.

"Terima kasih, Pak." Ilyas berkata penuh penekanan. "Selamat bertugas."

Sang inspektur polisi tersenyum canggung dan melajukan mobilnya.

"Kau ini kenapa?" tanyaku setelah Ilyas melepaskan sekapannya dari wajahku.

"Tidak apa-apa." Rahangnya masih mengeras dan alisnya masih menukik tajam. "Ayo, Cal."

"Jaraknya masih jauh sekali kalau jalan kaki!"

"Polisi itu tidak mengenaliku," ujarnya pelan, tetapi aku bisa mendengarnya di keheningan malam. "Baguslah. Dia tidak boleh tahu rumahku."

"Kau pernah bertemu dengannya?" korekku. "Polisi tadi sangat sopan. Kau punya dendam pribadi pada polisi, ya?"

Ilyas berhenti melangkah mendadak, membuatku menabrak punggungnya. Sambil mengusap hidung jengkel, aku mendongak. Astaga, kenapa bocah cengeng yang kukenal waktu itu bisa jadi setinggi ini hanya dalam 4 tahun?! Ukuran bahunya bahkan dua kali lipat lebar bahuku. Padahal, salah satu alasanku senang main dengannya dulu karena dia lebih pendek dariku.

"Kau sendiri punya dendam pribadi terhadap organisasi militer," ujarnya tanpa berpaling sedikit pun. "Dari caramu membicarakan mereka pun aku tahu. Tapi, aku tidak akan tanya atau mencampuri itu karena itu urusanmu, bukan urusanku. Jadi, jangan campuri urusanku juga, Cal. Tutup mulutmu dan jalan saja."

Nada bicaranya dingin sekali, dan dengan fakta bahwa dia masih memunggungiku, kusadari bocah kecil yang menjadi teman mainku 4 tahun lalu sudah hilang sama sekali.

Jadi, aku berbalik dan berjalan ke arah berlawanan.

"Ke mana kau?"

Aku berhenti di bawah siraman lampu jalan yang masih menyala. Aku berbalik dan melihat Ilyas hanya menoleh sedikit. Punggungnya masih menghadapku.

"Pulang. Tugasku sudah selesai."

"Bayaranmu—"

"Tidak usah," kataku. "Anggap saja harga teman."

Aku lanjut berjalan dan mulai menimbang-nimbang untuk menghubungi rekan kurirku di Radenal buat minta jemput, tetapi kemudian Ilyas menarik tanganku lagi.

Kenapa kami tarik-tarikan tangan terus?!

"Sori," katanya, "aku tidak bermaksud mengasarimu sama sekali."

"Kau juga bilang tidak bermaksud meninggalkanku di depan apotek," kataku sambil mengangkat bahu. "Cuma karena kau bilang tidak bermaksud, bukan berarti kau tidak melakukannya. Aku tahu kau masih dendam karena aku nakal waktu kecil, dan aku minta maaf karena pernah mengurungmu dalam mesin cuci Bu Miriam, merusak peta Nusa yang kau gambar sendiri, mencoreti perutmu pakai spidol permanen waktu kau tidur ...." Aku mengerutkan wajah dan memejamkan mata dengan jengah. "Iya, dosaku banyak. Maaf. Tapi sekarang aku berusaha keras buat memperbaiki itu supaya kau tidak marah lagi. Kalau kau tetap marah dengan apa pun yang kulakukan, aku bisa apa? Aku enggak bisa menciut lagi jadi 10 tahun dan mengulangi semuanya dari awal."

"Oke," ujarnya seraya mendesah. Napasnya beruap dingin. "Aku juga minta maaf sudah kasar dan meninggalkanmu, Cal. Aku punya ... kondisiku sendiri."

Aku mengamati kulitnya yang pucat, lingkaran gelap di sekitar matanya, tatapannya yang sayu dan berkesan putus asa, cara alisnya mengernyit, atau gaya bicaranya yang masih seperti berbisik tetapi kata-katanya lebih tegas ... yah, dia memang berubah sekali. Pada saat tertentu, dia mengingatkanku pada beberapa pelanggan yang pernah kusaksikan langsung mencoba membunuh diri mereka sendiri karena putus harapan dengan kiamat zombie. Namun, itu mustahil, 'kan? Dia punya adik. Ilyas tidak mungkin begitu.

Yang jelas, dia sama sekali berbeda dengan Ilyas yang dulu. Lalu, tatapan mataku jatuh ke tangannya yang masih memegangi lenganku. Kurasa, cuma ini yang tidak pernah berubah dari pertemanan masa kecil kami: tarik-tarikan tangan.

"Nenek Aya dan Emma pasti menunggu kita." Ilyas melepaskan lenganku dan menggaruk tengkuk dengan canggung. "Dan masih sangat banyak yang mesti dibicarakan. Kau belum menjelaskan lengkapnya klasifikasi zombie dan tentang kakek tetanggamu yang veteran itu. Aku juga butuh banyak peralatan, yang kurasa cuma bisa dicari olehmu, untuk memperbaiki radioku yang dirusak si tipe 4. Kita bisa ... bicarakan ini lebih lanjut sambil makan malam."

Bibirku berkedut saat mendapatinya salah tingkah sendiri. Wajahnya merah jambu sampai ke telinga. Aku tidak bisa menahan diriku dan langsung tertawa. "Oh, ya ampun. Sudah 4 tahun aku tidak mengobrol sama anak cowok—"

"Aku juga!" protesnya. "Maksudku, sudah 4 tahun juga aku tidak bicara sama anak perempuan!"

"—dan barusan itu mirip undangan kencan makan malam!"

Ilyas seperti akan meledak dan pecah berkeping-keping. Dia berjalan lebih dulu, masih menenteng-nenteng tas obat kami. Masih sambil terkekeh-kekeh, aku menyusulnya. Aku mencoba menggandeng lengannya, tetapi Ilyas berkelit dan aku bersumpah wajahnya yang merah jambu kini jadi merah padam sampai ke leher.

Di tengah tawaku, aku seperti mendengar suara gerungan—mirip zombie.

Aku menoleh, merasa kami sedang diawasi. Namun, tidak ada apa-apa di belakang. Beberapa lampu jalanan masih menyala terang, jadi mustahil ada zombie yang bisa sembunyi. Yah, kurasa hanya tipe 1. Tidak akan jadi masalah besar.

Aku lanjut berjalan mengekori Ilyas sambil menggandeng ujung mantelnya.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

//mencoba revisi biar tambah pendek dan nda ada kalimat mubazir


*pasca revisi*

MALAH TAMBAH PANJANG
o(〒﹏〒)o

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro