13. Ilyas dan Permintaan Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 13: Ilyas's pov | 2335 words ||

Pada akhirnya, aku baik-baik saja karena Cal terus menarikku. Secara harfiah menarikku—di tangan, di kerah, di ujung mantel. Persis kebiasaannya waktu anak-anak dulu. Dia tidak memberiku jeda untuk berpikir atau berhenti sejenak. Kurasa, memang itu intinya. Aku tidak punya cukup waktu untuk jadi ragu-ragu.

Malam sudah turun dan lampu jalan menyala otomatis. PN yang seharusnya berjaga di depan portal perumahanku tidak ada di tempatnya, sama sekali tidak mengejutkanku. Sudah setahun belakangan ini para polisi jadi sering meninggalkan pos jaga mereka, entah untuk minum-minum atau kelayapan di tempat lain. Karenanya mereka butuh 10 menit lebih untuk tiba di TKP tiap kali penghuni kompleks membuat panggilan darurat.

Kami baru berbelok ke blok rumahku dan Cal sedang mengoceh tentang rekan-rekan kurirnya di Radenal saat mataku terpancang pada rumah terakhir di sisi kanan blok. Di blok ini, hanya tersisa tiga rumah yang belum diberi garis polisi: rumahku, rumah Nenek Aya, dan rumah terakhir di sisi kanan itu yang didiami lima orang mahasiswa putus kuliah sejak keruntuhan Tembok W.

Rumah itu kini diberi garis polisi, dan ....

Pintu rumah Nenek Aya terbuka lebar.

Rumahnya begitu gelap, padahal si nenek selalu menyalakan lampunya sebelum pukul 6. Aku dan Cal baru akan berlari ke sana ketika seorang laki-laki memelesat keluar dari pintu Nenek Aya. Dia adalah salah satu mahasiswa penghuni rumah yang kini diberi garis polisi itu.

"Chica! D-dia ternyata tergigit dan sekarang sudah berubah!" Lelaki itu menerjang ke arah Cal, mencoba merebut pedangnya, yang dengan lihai dihindari oleh gadis itu. "Berikan senjata itu kalau tidak mau mati, Dik! Perempuan itu sudah memakan dua teman sekamarku!"

Seorang perempuan berpundak timpang dan separuh wajah yang terkelupas parah keluar dari rumah Nenek Aya. Sekujur tubuhnya bermandikan darah, kakinya menghadap ke arah yang salah, matanya yang putih dan kecil fokus pada kami, kedua tangannya terulur seperti ingin memberi kami semua pelukan.

Lelaki itu pun melupakan ide untuk membela diri dengan pedang Cal dan memilih lari melewatiku.

"Tipe 2," geram Cal. Dia menggapai ke tas yang kubawa, mencabut pentungan keluar karena menurutnya, pedang samurai tidak efektif untuk tipe 2.

"Sini!" Cal berteriak dan menepukkan tangannya. Awalnya, kupikir dia bicara padaku—aku terlalu korslet untuk memahami situasi, apalagi bergerak. Lalu, kusadari dia tengah memaksa si zombie agar mengikutinya. "Ayo, sini, Manis! Ilyas, masuk sana!"

Aku mengerjap, menampar wajahku sendiri untuk menyadarkan diri, lalu berlari masuk ke dalam rumah Nenek Aya. Aku menekan sakelar dengan panik, tetapi listrik tetap tidak menyala di rumah si nenek.

Napasku mulai memburu, bagian dalam kelopak mataku sakit luar biasa, dan degup jantungku bertalu-talu. Aku meraba dalam kegelapan, dengan pandangan biru dan hitam, dan semua perabot yang tampak seperti bayang-bayang seseorang.

Tenang, kubisiki diriku sendiri. Berpikir .... Aku menarik napas, tanganku menempel ke dinding sebagai penuntut arah. Gelap, sunyi ... aku tidak bisa memastikan apakah masih ada zombie di dalam rumah ini.

Lima orang mahasiswa yang menghuni rumah di seberang itu; satu jadi zombie, satu lagi baru saja berlari melewati kami, dua teman sekamarnya sudah dimakan. Rumah itu sudah diberi garis polisi, artinya PN sempat mengamankan seseorang—penghuni kelima rumah tersebut, kemungkinan besar teman sekamar perempuan zombie tadi. PN hanya mengamankannya, tetapi tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dan si Chica tadi terinfeksi hingga akhirnya berubah. Mengasumsikan semua zombie tipe 1 siang tadi sudah dibereskan oleh tim krematorium, seharusnya aman bagiku untuk berteriak.

"Emma!"

Aku berhenti sejenak, mencoba mendengarkan di sela detak jantungku sendiri. Tidak ada zombie. Namun, ada suara tangisan samar-samar. Tangisan Emma.

Aku mempercepat langkah, tersandung-sandung, dan terus meloncat kaget karena hal-hal kecil. "Emma?! Nenek Aya! Emma!"

Sekujur tubuhku seperti dibungkus es. Benakku terus melayang pada semua kemungkinan-kemungkinan mengerikan. Meski sudah memperhitungkan tidak ada zombie lagi di sini, segala hal bisa terjadi, sekecil apa pun kemungkinannya.

Aku bersimpuh di salah satu ruangan, meratakan badan dengan lantai, lalu menemukan Emma sedang merengek, tengkurap sendirian di bawah kolong ranjang. Aku meraihnya, dan adikku mulai menangis dengan suara pelan. Sekujur tubuhnya basah karena berkeringat dan popoknya penuh.

"Maaf ..." isakku seraya menggendongnya, mengecup pipinya berkali-kali. "Aku tidak akan meninggalkanmu lagi ...."

Aku menemukan carikan kain kotak-kotak dalam tas Cal, membuat gendongan kain pada tubuhku untuk membawa Emma. Sambil menepuk-nepuk punggungnya agar Emma tetap tenang, aku mengendap keluar.

"Nenek?" panggilku. Mataku membelalak karena gelap. Kakiku lemas, tetapi aku memaksanya tetap bergerak. "Nenek Aya?"

Aku sampai di ruangan lain, yang dari baunya adalah dapur. Aku ingat ada senter di sini. Sambil meraba-raba dengan satu tangan, lututku mengenai meja kayu. Barang-barang di atasnya berjatuhan saat aku mencari-cari. Kutemukan senternya saat ia jatuh ke atas kakiku. Seraya meraba tombolnya, aku bangkit dan melangkah mundur, lalu membentur sesuatu. Sesuatu yang bergerak.

Aku berbalik, tetapi langsung terduduk. Sesuatu itu mengayunkan sesuatu yang lain. Saat senter menyala di tanganku, cahayanya menyorot Cal yang memegangi pentungan. Kami mematung selama beberapa detik, saling tatap dengan campuran perasaan lega sekaligus jengkel.

Suaraku bergetar. "Zombie-nya ...?"

"Sudah beres." Matanya memicing ke arahku. "Apa itu kain sarung dari tasku?"

"Ini sarung?"

Dia memelotot. "Kau kira apa? Gaun malam kotak-kotak?"

Dia membantuku berdiri. Entah bagaimana aku bisa bernapas dengan lebih tenang saat bahuku bersentuhan dengan bahu Cal. Rasanya lebih baik saat aku tahu ada gadis yang bisa membereskan zombie sekali pentung di sampingku.

"Nenek?" Aku memanggil lebih tegas. Senterku menyorot punggungnya—Nenek Aya sedang duduk di depan meja makan. Bergeming.

Aku memelesat ke depannya, mengeceknya. Si nenek bernapas dengan berat, wajahnya pucat, bibirnya memutih, keringat membasahi rambutnya yang beruban. Tubuhnya yang kurus menggigil di balik kardigan tuanya.

"Kita ke rumahku, ya?" Tanpa menunggu jawabannya, aku menyerahkan senter ke Cal, mengganti posisi Emma ke punggungku, lalu menggendong si nenek.

Kubiarkan Cal memimpin jalan menuju pintu yang terarah ke lorong bata. Dia mengambil kunci dari saku bajuku, lalu melangkah masuk lebih dulu. Dia menekan sakelar lampu, menerangi dapur nyaris seketika.

Setelah aku masuk, Cal menutup pintu lorong di belakangku dan menguncinya.

Kubaringkan Nenek Aya ke sofa, lalu menurunkan Emma ke karpet. Kutatap keduanya bolak-balik dengan linglung.

"Biar aku bantu si nenek," kata Cal. Dia mengambil alih tas dari punggungku. "Kau urus adikmu. Apa nenek butuh makan sesuatu dulu sebelum minum obat?"

"Ada bubur dalam panci, tinggal dipanaskan." Aku menatap Cal penuh rasa syukur. "Bisakah kau menjerang air juga? Ketelnya dekat kompor—terima kasih."

Sementara Cal menyalakan kompor, kuambil setumpuk selimut dari lemari dan popok serta baju ganti buat Emma. Aku menyelimuti tubuh si nenek yang bergelung. Begitu air di ketel mendidih, aku mencampurnya dengan air dingin di baskom sampai jadi air hangat dan memandikan Emma. Di ruang tengah, Cal menyuapi Nenek Aya bubur.

Ketika memakaikan Emma baju, aku bergumam, "Kau mau belajar tidak pakai popok lagi?"

Dia membalasku dengan buang angin. Kurasa, itu artinya belum.

Kami baru keluar dari kamar mandi saat Cal memanggil, "Ilyas."

Suaranya agak goyah, ada desakan juga di dalamnya. Saat aku menghampirinya, Cal sedang berlutut di depan Nenek Aya. Obatnya masih utuh, belum disentuh. Nenek Aya sedang duduk, kedua tangan saling tangkup di atas lutut.

"Nek," kata Cal dengan suara lembut. "Tidak apa-apa. Ilyas harus melihat."

Dengan tarikan ringan dari Cal, si nenek mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan punggung tangan kirinya.

"Bekas gigi," ujar Cal seraya menatapku dengan hati-hati.

Aku jatuh berlutut, hampir menjatuhkan Emma dari gendonganku. Mataku tidak bisa lepas dari bentuk luka di punggung tangan kiri Nenek Aya—luka bergerigi panjang, melintang dari buku jari telunjuk sampai pergelangan, terkelupas sampai warnanya merah meradang dan darahnya masih mengalir sedikit.

Emma merayap turun dari tanganku, lalu duduk di sampingku. Matanya ikut memandangi si nenek tanpa memahami apa kiranya yang terjadi.

Masih dalam keadaan bersimpuh di depannya, aku menyentuh pergelangan tangan Nenek Aya, tepat di bawah luka gigitan itu.

"A—" Aku mencoba bersuara, tetapi sesuatu menyumbat tenggorokanku. Yang keluar dariku cuma rengekan kecil, suara tercekik, dan engah napas tak keruan.

Tangan kanan si nenek bergerak ke puncak kepalaku, membuatku berjengit. Bibirku mulai bergetar, dan air mataku akhirnya berjatuhan.

"Aku sudah bilang berkali-kali," kataku dengan suara bergetar dan tersendat-sendat. "Jangan—jangan lagi me-membiarkan orang asing—masuk ke ru-rumah ... ke rumahmu. Ja-jangan membukakan pintu untuk—siapa pun."

Tangan Nenek Aya mulai mengusap kepalaku, membuat tangisanku makin pecah. Emma, masih duduk bersila, mulai terbawa dan ikut menangis.

Aku mendengking, "Salahku—"

"Bukan, Sayangku." Nenek Aya berucap lembut. Suaranya begitu tenang meski bunyi berat napasnya masih ada. "Sama sekali bukan. Ilyas, kau anak baik."

Nenek Aya jarang sekali memanggil namaku. Dia hampir tidak pernah mengingat namaku dan Emma. Namun, kali ini dia menyebutkannya dengan jelas. Dengan lugas. Dan tenang. Sangat tenang hingga aku nyaris yakin luka ini tak pernah ada, tangan terinfeksi ini bukan miliknya, dan segalanya masih baik-baik saja.

Detik berikutnya, aku menyaingi tangisan Emma. Keningku bertumpuk ke lutut Nenek Aya yang begitu kecil dan menonjol di balik rok dasternya. Satu tanganku mengepal pada ujung kardigannya di sofa, tanganku yang lain masih memegangi pergelangan si nenek.

Aku mungkin menangis selama sepuluh menit penuh sampai Nenek Aya mengangkat wajahku. Sorot matanya tampak letih. Dengan suaranya yang lemah, dia berkata, "Aku punya permintaan."

Matanya menatap Cal, lalu aku, lalu Cal lagi. Kusadari Cal beringsut-ingsut ke arahku, seperti hendak menutupi sarung pedang samurainya.

"Pertama, aku ingin kau dan Emma pindah dari sini," kata Nenek Aya. "Carilah suatu tempat di mana kau tidak akan menoleh ke makam ibu angkatmu tiap jam. Tempat di mana kau tidak perlu memaku jendela dan pintu."

Aku tidak menjawab.

"Lalu, aku ingin tidur di rumahku sendiri malam ini," lanjutnya. "Di kamarku. Di ranjangku sendiri. Aku ingin mati dalam tidur. Maukah kalian menanganiku saat aku tidur?"

Kepalaku terasa berat. Mataku sembap. Kulirik pedang Cal. "Tidak bisa." Aku menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak bisa."

"Biar aku." Cal angkat suara. Matanya yang redup terus menatap tungkai Nenek Aya. "Aku saja. Aku sudah pernah melakukannya."

Aku berjengit, menatapnya tidak percaya. "Tidak."

"Aku mungkin baru beberapa minggu jadi kurir, Ilyas." Cal bertutur pelan seolah menungguku untuk menyerap ucapannya kata demi kata, huruf demi huruf. "Dan aku sudah jadi algojo buat dua pelangganku atas permintaan mereka sendiri. Saat kau tergigit, lebih baik mati selagi masih menjadi manusia."

Kami menyalakan lilin.

Setelah memastikan rumah Nenek Aya tidak dimasuki zombie, dan semua pintu serta jendela tertutup rapat, lebih banyak lilin lagi kami nyalakan untuk menerangi rumah. Aku membersihkan seprai dan selimutnya, memastikan bantalnya nyaman, membantunya berbaring, kemudian menutupi luka gigitan di tangannya dengan perban. Di toilet, Cal menyalakan keran dan mengisi ember sampai penuh.

Nenek Aya sempat menyuruhku membuka laci nakasnya, memperlihatkan padaku sehelai kain putih panjang yang terlipat dan masih bersih seolah-olah selalu dicuci meski menurutnya dia tak pernah menggunakannya. Kali ini, dia hendak menggunakannya. Kafannya, yang disiapkannya jauh-jauh hari.

Kubawa Emma masuk untuk mengucapkan selamat tinggal. Emma sudah tidak menangis, tangannya menyentil-nyentil kancing kardigan si nenek.

"Jaga kakakmu, ya?" Nenek Aya berkata sembari menyisir rambut Emma dengan jari tangannya yang sehat. "Belajarlah berjalan, berlari, dan bicara. Sering-sering ajak kakakmu mengobrol—dia membutuhkan itu. Ah, matamu mirip sekali dengan Miriam. Dan tanganmu ini sekuat tangan ayahmu."

Nenek Aya menceritakan pada kami tentang Pak Gun yang menjebak dirinya sendiri dalam galian bawah tanah di batas kota, tangannya mempertahankan tang dan tambalan tua pada pipa selama lima jam non-stop, sampai temannya membawa pipa baru. Lalu, dia menceritakan saat Bu Miriam membeli begitu banyak buku dan baju anak laki-laki, dengan gembira menyampaikan pada semua tetangga bahwa Pak Gun sedang dalam perjalanan untuk menjemputku di panti asuhan di Batavia.

Nenek Aya mengulang cerita lama tentang masa kecilnya di distrik pinggiran, tentang lubang-lubang di tembok, generasi terdahulu dalam keluarganya yang menjadi saksi perang saudara sampai kemunculan zombie untuk pertama kalinya.

Lama-lama, suara Nenek Aya memelan, berganti jadi gumaman lirih dan letih. Matanya mulai memejam. Kurasa, alprazolam-nya mulai bekerja. Aku kemudian memeluknya lama, melepaskannya, dan menyelimutinya. Emma menelungkup di atas tubuh si nenek dan dia sempat menolak melepaskan pelukan.

Kami menunggu sampai satu jam lebih untuk memastikan. Setelah yakin Nenek Aya betul-betul lelap, kubawa Emma keluar.

Cal tetap di dalam, mengunci pintu di belakangku.

Aku duduk di depan meja makan Nenek Aya, memandangi poci dan cangkir-cangkir teh kesayangannya. Aku masih membaui aroma kardigan tuanya dan minyak kayu putih. Aku menatap kursi, dan rasanya telingaku mendengar suaranya dari masa lalu, menceritakan hal-hal yang kadang tidak sungguh-sungguh kusimak.

Cal keluar hampir satu jam kemudian. Dia buru-buru menutup pintu kembali. Pedangnya dia tinggalkan di dalam. Keputusan bagus—aku tidak akan sanggup menatapnya jika dia membawa-bawa senjata yang memenggal Nenek Aya. Dan kutebak, Cal juga merasakan hal yang sama—dia tidak bisa menatap tangannya membawa-bawa senjata sehabis menggunakannya pada manusia.

"Aku sudah membersihkan dan mengafaninya," kata gadis itu. Dengan gerakan pelan, dia duduk di sampingku. Matanya mengamati Emma yang mengemut cangkir teh di atas meja. "Kau ingin memakamkannya di pekaranganmu atau pekarangannya?"

"Pekarangannya," jawabku. Suaraku bergetar. "A-apakah dia—"

"Sama sekali terlelap." Cal mendahuluiku. "Tidak ada rasa sakit," janjinya. "Tidak ada lonjakan atau kedutan atau suara. Benar-benar pergi dalam tidur."

Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari kebohongan di matanya. Aku tidak bisa membaca wajahnya, tetapi paling tidak, Cal balas menatapku, sama sekali tidak menundukkan kepalanya. Cahaya lilin membias oranye di sisi wajahnya.

Aku memejamkan mata. "Andai kita menunggu lebih lama ... mungkin—mungkin saja itu bukan seperti yang kita pikirkan—"

"Kau ingin mengambil risiko pada wanita tua nan malang itu?" tanya Cal dengan suara dingin. "Itu bekas gigitan, Ilyas. Kau tahu itu, sekeras apa pun kau memungkirinya. Itu bukan gigitan manusia."

Aku menelan kepedihan dengan susah payah.

"Asumsikan kita menunggu sampai enam jam untuk sekadar memastikan," kata Cal lagi. "Lalu, transformasinya sungguhan terjadi, apa kau sanggup menebas kepalanya selagi dia mencoba menerkammu? Memotong dan membakar jasadnya sampai jadi abu? Atau kau tega membiarkannya berkeliaran mencari otak?"

Aku membuang muka.

"Pikirkan permintaannya tadi, Ilyas." Cal menyentuh tanganku. "Meski ini sudah jelas, biar kukatakan lagi: ini bukan salahmu. Tapi, jika kau ngotot, maka lakukanlah sesuatu untuk menebusnya. Pikirkan permintaan si nenek."

Aku masih bersikeras untuk tak menatapnya.

"Dengar, Nusa sudah tidak aman lagi. Percayalah. Kau lihat perempuan zombie yang tadi masuk ke sini? Dia baru saja berubah dan sudah jadi tipe 2—makin banyak saja hal aneh yang terjadi. Belum lagi tipe 4 yang membuntutiku dari luar kota, juga tipe 3 yang tadi mengejarku di depan apotek. Mereka mengarah ke Batavia, Ilyas. Mereka mulai menginfiltrasi ke lingkar dalam Nusa."

"Kalau begitu kita akan mati."

"Jangan bicara begitu!"

Cal menghantamkan kepalan tangannya ke meja, membuat Emma terperanjat dan langsung melompat ke dalam lenganku. Tangannya masih menggenggam cangkir antik milik Nenek Aya.

"Aku yakin ada tempat lain di luar sana. Pulau, daratan—tanah hijau selain Nusa. Tanah yang tidak dihuni zombie." Cal merendahkan suaranya. "Masalah utamanya adalah: lewat mana? Tembok W masih berdiri mengurung kita dari segala sisi, tetapi menganga lebar di sisi tenggara. Maka dari itu, aku sedang berencana mengumpulkan apa yang bisa kukumpulkan sebagai kurir. Aku kepingin pergi ke ibu kota—mereka punya banyak helikopter dan pesawat di sana. Dengan itu ...."

Cal meraih wajahku, memaksaku menatapnya.

"Dengan itu, aku bisa keluar melewati bagian atas Tembok W. Kau dan Emma—ikutlah denganku."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro