15. Ilyas dan Rencana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 15: Ilyas's pov | 3319 words ||

Beberapa hari seharusnya cukup. Aku menambah barikade pada jendela dan pintu, menutupi perabot dengan koran agar tidak berdebu, lalu memesan jebakan zombie tambahan untuk jendela. Namun, beberapa hari itu tidak berjalan terlalu baik. Cal masih ada. Dia beberapa kali mengkritisi usahaku untuk memapan semua jendela.

"Kau, 'kan, tidak bakal tinggal di sini lagi! Buat apa melakukan ini semua?!"

Lalu, setelah berbicara macam-macam, Cal mendadak diam. Diam yang dipaksakan. Tidak sekali dua kali aku melihatnya mengepalkan tangan dan menggigit bibir ke dalam seperti sedang menahan diri. Jujur saja, itu mengusikku.

"Bukankah sudah beberapa kali kau bilang kau akan pulang?" tanyaku pada Cal. Di depan televisi, Emma duduk sambil mengobok-obok telur dadar di piringnya.

"Setelah yang kau coba lakukan tempo hari? Tidak, aku akan menunggumu sampai kau mau ikut denganku keluar dari sini."

Dia memberikan secangkir teh padaku. Padahal baru beberapa detik yang lalu gadis ini mencoba menghentikan pekerjaanku, tetapi tindakanya sekarang—membuatkan teh, memegangi papan—seperti menyemangatiku. Inkonsistensinya benar-benar menggangguku.

"Kau juga tidak bisa mengusirku—akui saja, aku cukup banyak membantumu di sini." Dia menyengir. "Tenang saja. Aku akan menjadi sangat tenang dan kalem sampai-sampai kau takkan menyadariku di sini."

"Panci burik ini betul-betul cari perkara denganku!" Cal langsung mengingkari janjinya beberapa menit kemudian.

Emma tidak mau makan pagi itu. Perutnya bermasalah, membuatnya tak nyaman dan merengek seharian. Emma hanya memainkan makanannya di piring, buang angin, lalu membuat popoknya penuh. Kusuruh Cal menjaga bubur di panci karena Emma tidak bisa dilepas, tetapi gadis itu terus mengkritisi caraku mengurus Emma.

"Anak 4 tahun harusnya sudah lepas dari popok!" Cal berkomentar, membuatku sakit kepala. "Aku saja tidak pernah pakai popok—ibuku memakaikanku kain yang mesti dicuci tiap hari. Umur dua tahun, aku sudah bisa pakai jamban sendiri!"

Begitu melihat ekspresi wajahku, dia jadi diam lagi. Matanya berkedut-kedut, bibirnya ditekan sampai begitu tipis dan putih.

Tengah hari, aku membujuk Emma lagi, tetapi dia juga melemparkan mangkuk makan siang yang bahkan baru kuletakkan di depannya. Buruknya, lantai jadi kotor. Bagusnya ... bubur panas itu mendarat di wajah Cal.

Gadis itu merah meradang, giginya menggertak marah. Saat dia mendapatiku menyengir, aku buru-buru mengatur ekspresi dan memarahi Emma.

Emma ingin digendong seharian, tak peduli tanganku bakal lepas dari badan. Ketika Cal memaksa untuk menggendongnya, adikku menangis sekeras-kerasnya sampai wajahnya merah.

Keadaan tambah parah menjelang petang. Dua orang Polisi Nusa mengetuk kaca jendelaku. Mereka memperingatkan masalah tangisan adikku, lalu memberi tahu bahwa seluruh rumah di blok sebelah sudah sepenuhnya terinfeksi.

Jadi, dari tiga blok dalam kompleks ini, rumahku adalah satu-satunya yang masih berpenghuni, dan saat ini para polisi itu sedang mencari-cari beberapa zombie yang lepas dari blok sebelah. Tak lama setelah mereka pergi, zombie-zombie dari blok sebelah yang mereka cari berdatangan ke depan jendela rumahku. Seperti biasa, saat aku menghubungi pos jaga mereka, tidak ada yang mengangkat.

Karena tidak bisa tidur siang, Emma jadi rewel. Karena mendengar suara tangisannya, zombie-zombie menggila. Karena melihat keadaan di luar dan di dalam rumah, aku jadi stres. Karena melihatku kambuh, Cal ikut depresi.

Cal dan aku saling lempar tugas sambil berdebat. Dia menuntutku tenang, yang gagal kupenuhi; aku memintanya untuk satu kali saja tidak berkata kasar atau mendengkus-dengkus, yang juga tidak dia turuti.

Walau mesti kuakui, Cal betul-betul tangguh. Aku sempat lepas kendali dan membanting peralatan makan sambil membentaknya. Saat kukira dia bakal menangis, Cal balas membanting mangkuk sampai pecah di atas meja. Itu terjadi saat kami menyiapkan makan malam. Aku hampir menganiayanya dan diriku sendiri dengan sup mendidih dalam panci. Tangisan Emma yang kemudian membuat kami berdamai sesaat; Cal akhirnya membersihkan pecahan mangkuk di atas meja, dan aku mengalihkan persiapan makan malam ke ruang tamu. Aku jadi punya waktu menjernihkan kepalaku dan memutuskan meminta maaf pada Cal, yang dibalasnya permintaan maaf pula meski dilakukannya sambil memunggungiku.

Ketika aku berbalik untuk mengambil piring-piring, kulihat dari jendela: satu zombie berhasil memanjati pagar belakang, saking kerasnya tangisan Emma. Jantungku mencelus saat ia melalui makam Bu Miriam. Namun, dengan tangkas, Cal berderap keluar sambil membawa pentungan. Gadis itu melemparkan si zombie melampaui pagar. Lalu, dia sendiri memanjat naik dan melompat keluar.

Aku terpana di ambang pintu, menunggu Cal. Aku mendengarnya berteriak seperti kesetanan, dan bunyi pukulan-pukulan yang terdengar menyakitkan. Saat dia kembali, gadis itu tersenyum semringah sambil memutar-mutar pentungan berdarah di tangannya. Katanya, "Lega banget! Kurasa, temanku memang benar—memukuli zombie bisa jadi terapi yang bagus. Kau harus coba sekali-sekali."

Darah dari pentungannya menetes ke karpet, yang buru-buru dia seka dengan handuk kesayanganku. Aku pun lari ke wastafel untuk muntah. Aku harus membuang handuk itu besok.

Saat makan malam, aku berhasil memaksa adikku menghabiskan setengah porsi supnya. Namun, perang sesungguhnya datang setelah itu. Meski aku menggendongnya berkeliling rumah, Emma masih tidak bisa tidur, padahal usai makan malam adalah jam-jam paling mengantuk baginya.

Cal tidak memperbaiki keadaan. Kelaparan membuatnya cepat marah lagi. Dia terus berteriak di depan wajahku, "Biarkan aku menggendongnya! Kegelisahanmu menularinya! Kau cuma membuatnya makin takut! Dan kau harus makan!"

Emma masih tidak terima. Cal baru menyentuh pinggang Emma dan adikku langsung berontak dengan mendaratkan tendangan ke dagu Cal. Namun, bukan Cal kalau dia menyerah begitu saja. Mengabaikan tangisan histeris adikku, Cal merebut Emma dari tanganku dan membawanya ke seberang ruangan.

Kutahan dorongan hati dari menghubungi PN dan melaporkan penculikan adikku. Cal hanya mencoba membantu meski caranya kontroversial.

Aku tidak bisa makan dengan tenang. Mataku menatap nanar pada Emma yang, dari ujung ruangan, mengulurkan kedua tangannya ke arahku seperti meminta tolong. Cal memeganginya erat sekali.

Lalu, keajaiban terjadi. Tangisan Emma memelan, dan berhenti. Cal menatapku dengan alis terangkat dan cengiran bangga. "Nah, kurasa dia sudah menyukaiku."

"Pintu itu." Kuhancurkan kebahagiaan singkat Cal dengan menunjuk pintu yang disandarinya. "Pintu yang terhubung ke lorong bata menuju rumah Nenek Aya."

Emma menempelkan sebelah tangannya ke pintu itu, mulutnya mengemut tangan yang satu lagi. Matanya menatap Cal seperti meminta persetujuan.

"Kau mau ke sebelah?" tawar Cal. "Kangen Nenek?"

Mereka pergi ke rumah sebelah selama kurang lebih 10 menit. Tepat ketika aku meneguk air minum sampai habis, tangisan Emma meledak lagi. Kali ini, dia meneriakkan, "IYAASSS" yang sangat panjang.

Aku menghampiri pintu ke lorong itu bersamaan dengan Cal yang keluar dari sana. Emma melompat dari tangan Cal, berpindah ke tanganku. Ingus bercelemot di wajah adikku dan meleleh sampai ke bahu kemejaku. Di meja makan, Cal menghabiskan seluruh sup di panci seperti penyedot debu serakah.

Tidak seorang pun dari kami yang bisa tidur sampai lewat tengah malam. Namun akhirnya, dengan kompres air hangat di perutnya, delapan kali ganti popok, dan enam kali bolak-balik toilet, Emma tertidur pulas pukul 01.13 di depan televisi.

"Aku tak percaya kau menjalani ini tiap hari," bisik Cal yang entah sejak kapan merayap ke atas kepalaku bersama selimutnya.

Aku memejamkan mata. "Kau tadi berjanji akan sangat hening sampai-sampai aku tak menyadarimu ada di sini."

Kudengar Cal berdecak. "Kenapa kau begitu membenciku? Bukannya dulu kita sering main bareng?"

Aku mengingat-ingat: dia pernah menekan badanku ke dalam kardus sempit saat kami main petak umpet dengan Bu Miriam, menginjak kakiku sampai lecet dan menyikut wajahku saat rebutan bola, menulis kata tak senonoh di pipiku pakai spidol saat kami disuruh menggambar dengan tenang, dan mengancam akan membunuhku kalau aku lebih unggul saat main ular tangga. Hasil akhirnya selalu tangisanku dan Cal yang pulang sambil dijewer ibunya.

"Definisi kita tentang main bareng pasti sangat berbeda."

"Aku, 'kan, sudah mengakui kalau aku memang agak nakal dulu."

"Agak?"

"Banget," imbuhnya. "Puas?"

"Hmm."

"Sori," katanya dengan suara pelan. Aku membuka mata, mengernyit, lalu mendongak. Kudapati wajahnya di atasku, kedua tangan bertumpu ke lantai di kedua sisi kepalaku. "Aku memang brutal waktu kecil. Masalahnya, teman-teman dekat rumahku juga sama bandelnya. Jadi ... waktu bertemu kau yang lembek—"

"Lembek?"

"Lembut," ralatnya sambil memasang senyum jail. "Waktu bertemu kau yang lembut, aku jadi kebablasan. Kalau dipikir lagi sekarang, aku juga malu atas kebobrokanku dulu. Aku memang keterlaluan saat itu."

"Oke ...." Aku mengerjap. "Aku juga minta maaf karena pernah mengelabuimu beberapa kali dan membiarkanmu main sendiri."

Di luar, zombie-zombie sudah mulai berhenti membuat kaca bergetar, tetapi siluet-siluet mereka masih terlihat. Mereka masih berkeliaran dengan hening. Di saat seperti ini, biasanya aku tidak akan bisa mengalihkan pandangan dari kaca, pintu, atau ventilasi. Aku akan duduk sepanjang malam, menghitung ruas-ruas jariku sendiri, memeluk sapu sebagai senjata. Namun, malam ini aku agak teralih.

Mungkin, karena kelelahan seharian menggendong Emma, aku jadi merasa terlalu letih untuk melakukan apa-apa. Namun, kurasa ini juga ada hubungannya dengan Cal. Maksudku, sungguh aneh, perasaan tenang itu malah berlangsung selama Cal terus mengoceh. Dia berbicara dengan suara pelan, sesekali mengangkat kepalanya seperti memastikan kalau aku masih menyimak.

"Semua yang ada di depan itu tipe 1," kata Cal. "Aku tidak paham kenapa zombie yang menggigit nenek tempo hari bisa langsung jadi tipe 2 hanya dalam sehari. Siapa namanya? Cigak?"

"Chica. Cigak itu kera." Kutangkupkan punggung tanganku ke mata yang terpejam. "Kau dengar kata temannya kemarin—Chica memakan dua teman sekamar cowok itu. Yang dibutuhkan zombie tipe 1 untuk menjadi tipe 2 bukanlah seberapa lama mereka menjadi zombie, tetapi sumber nutrisi mereka: otak."

"Ah, masuk akal. Tipe 1 sangat lambat—kau lari pakai hak tinggi di kaki kanan dan bakiak di kaki kiri pun, kau masih lebih unggul daripada mereka. Tentu saja mereka butuh waktu lebih lama untuk bisa dapat otak daripada tipe lain. Nah, ini membuktikan Serge juga bisa salah."

Aku menguap. "Aku belum membuka sampel gigi apoteker itu lagi. Andai mikroskop punya Bu Miriam masih ada, aku pasti sudah melihatnya lagi."

"Sejujurnya, aku cemas sama obsesi imutmu pada gigi itu," kata Cal. Kurasakan puncak kepalanya menekan ubun-ubunku. "Itu cuma gigi. Gigi yang mengerikan."

"Banyak yang bisa didapat dari gigi. Kita semestinya menguji apakah gigi itu masih keropos atau tidak. Tidak masuk akal gigi yang keropos bisa menimbulkan luka koyak besar sampai membelah batok kepala manusia. Mungkin enamel giginya menguat lagi begitu perubahan menjadi zombie selesai. Atau barangkali, agen infeksi yang diinjeksikan giginya juga bisa melelehkan tulang tengkorak dan kulit manusia—akan bagus sekali kalau kita bisa dapat sampel gusi mereka."

"Jijik." Cal mendengus. "Tapi, andai kau bilang dari kemarin, aku mungkin bisa copotkan gusi tipe 4 yang waktu itu menyerang rumahmu."

"Yang kau bawa."

"Sayangnya, sudah telat—sudah dibakar tim kremasi."

"Tipe 4," desahku. "Ya, andai aku berpikir jernih waktu itu, aku pasti sudah menyuruhmu buat menyimpan beberapa potongannya. Ia benar-benar responsif terhadap rangsangan sampai pada titik ia berhenti bergerak ketika kau menusuknya dengan samurai. Dan kulitnya itu—kurasa itu pembusukan. Itu tidak terjadi pada tipe 1 sampai 3, 'kan? Dan bagaimana bisa tipe 4 punya kekuatan sebesar itu ...."

"Aku sudah tanya Serge berkali-kali—dia masih menyembunyikan banyak hal!" Cal mendengkus. "Tipe 4 ... yang kutahu, mereka cepat, berpendengaran tajam, dan—seperti tipe 3—mereka juga membaui daging manusia. Dan, mereka punya kekuatan di luar nalar. Ingat saat ia mencopot terali jendelamu? Manusia rata-rata saja tidak bisa melakukan itu."

"Dan mereka mampu berpikir serta menalar sendiri." Aku menggeram jengkel. "Ada banyak sekali yang bisa diteliti. Ke mana perginya para dokter bedah, peneliti, profesor, dan cendekiawan Nusa lainnya?!"

"Serge bilang, ada orang-orang dalam pemerintahan Nusa yang tidak bisa dipercaya dan menyembunyikan sesuatu. Menyembunyikan apa, aku tak tahu. Maksudku, buat apa mereka melakukan itu?"

"Menyembunyikan aib?" usulku. "Maksudku, mereka pasti tak ingin kita mengetahui tentang negara sebelah."

Hening sesaat, lalu kepala Cal membentur kepalaku ketika dia bangkit mendadak. "Apa—negara sebelah? Apa maksudmu?!"

"Kukira kau menyimak kata-kata Nenek Aya," keluhku seraya mengusap kepala. "Sudah berapa kali dia bilang 'perang saudara'? Itu artinya ada negara tetangga di samping Nusa. Mungkin dulunya kita satu negara dan terpecah. Pernah ada tim ekspedisi yang dikirim ke luar tembok untuk mencari peradaban lain, tetapi tim itu dibubarkan karena seringkali diinfiltrasi zombie. Yang aneh, tim itu seharusnya melaporkan—atau setidaknya menyinggung tentang negara saudara itu, 'kan? Tapi, tidak. Masalahnya, kita tak tahu keadaan mereka sekarang. Apakah lebih baik, lebih parah, atau malah sudah lenyap sama sekali."

"Tapi, itu artinya ada harapan!" seru Cal seperti dugaanku. "Kita harus coba—"

"Ini," kataku sembari menunjuknya. "Ini mungkin alasan pemerintah Nusa menyembunyikan eksistensi negara sebelah—menghindari kemunculan orang-orang sepertimu, Cal. Seluruh penduduk Nusa pasti akan berpikiran sepertimu, menuntut evakuasi dengan kendaraan terbang, lalu akan muncul orang-orang yang melakukan segala cara agar jadi prioritas, sementara sisanya memberontak ke Batavia dan mengacaukan sistem yang sudah rapuh. Aku tidak membela pemerintah, tapi jika informasi tentang negara sebelah bocor, Nusa yang masih bertahan di ujung tanduk ini akan benar-benar jatuh ke dalam jurang kehancuran karena pemberontakan jutaan penduduk. Dan, itu artinya kehancuran negara sebelah pula—kalau mereka memang masih ada—karena mereka akan kebanjiran pengungsi serta imigran gelap dari Nusa."

Cal merengek jengkel dan kembali berbaring. Setelahnya, tidak ada lagi di antara kami yang berbicara. Tak lama kemudian, aku ketiduran.

Saat aku membuka mata, Emma sudah bangun dan tampaknya telah merasa baikan. Begitu pun Cal. Keduanya dalam posisi tengkurap berhadap-hadadapan saat aku menoleh mencari-cari mereka.

"Lihat!" sorak Cal tanpa bisa menyembunyikan kegirangannya. "Dia mulai menyukaiku!"

Emma membuat suata brrr! dengan bibirnya, menyembur Cal yang terlalu dekat.

Cal menyeka wajahnya dengan punggung tangan. "Oke, mungkin aku terlalu cepat merasa senang."

Mau tak mau, aku tertawa. "Itu semacam cara Emma memberi salam."

"Oh, ya?" Cal berbinar. Dia ikut membuat suara dengan bibirnya, yang kemudian dijawab lagi oleh Emma. Selama hampir setengah menit kemudian, mereka terus berbalas salam.

Aku mengusap wajah, lalu memandangi sekitar. Semua jendela sudah dipapan dan perabot sudah ditutupi koran. Pandanganku kemudian jatuh pada pintu bergembok di antara konter dapur dan kulkas, yang dulu tiap hari pasti kubuka untuk menyeberang ke rumah Nenek Aya, tetapi kini ia hanya akan berdiri di sana. Aku sudah tidak punya alasan untuk membukanya.

Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Kupakai celana jins kelabu, kemeja biru gelap, dan mantel kebesaran yang kuwarisi dari Pak Gun. Setelah keluar, aku memantapkan suara, "Cal, ayo bersiap-siap."

Cal mengangkat wajah. "Ha?"

"Ke ibu kota, 'kan?" tanyaku. "Kebetulan, aku kenal kerabat Bu Miriam dan Pak Gun di sana."

Senyum lebar mengembang di wajah Cal. Dia segera bangun dan dengan langkah melonjak menerjang ke arahku. Aku sempat terdorong sampai punggungku membentur pintu kamar mandi saat dia menyerbu dengan kedua tangan terkalung di leherku. Kakinya menginjak-injak kakiku.

"Kau diberkati apa di dalam kamar mandi sampai tiba-tiba mau?! Tidak, tidak—jangan jawab! Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak mau tahu urusanmu di dalam sana. Ya, ya, ayo segera pergi!"

Kami butuh waktu satu jam untuk bersiap dan berkemas. Selain bajuku dan Emma, aku juga membawa sehelai kemeja milik Pak Gun, baju terusan milik Bu Miriam, dan selembar foto keduanya—Emma akan membutuhkannya suatu hari.

Cal selalu bawa-bawa baju gantinya sendiri dalam ransel (kini berganti jadi tas yang kami ambil dari apotek). Saat aku bertanya apakah semua kurir seperti dia, gadis itu mengernyit. "Kayaknya cuma aku. Masalahnya, aku pernah pergi dua hari mengantar paket dan barang-barangku dibongkar teman-teman kurirku di markas. Sampoku habis dan sikat gigiku hilang. Salah satu baju hangat kesayanganku mereka tumpuk jadi bahan api unggun."

Kuberi Cal ide untuk menyuapi Emma makan di rumah Nenek Aya, yang dengan senang hati dituruti gadis itu. Lagi pula, Emma mulai terbiasa dengan Cal.

Setelah mereka pergi, aku menunggu di depan telepon. Pukul 08.00 seperti biasa tiap awal bulan, Randall Duma selalu menghubungiku.

Randall Duma, orang kepercayaan Presiden Angkara sendiri sekaligus kerabat Pak Gun. Dia selalu menelepon tiap tanggal 1, memberi tahu bahwa dia akan mengirimiku sejumlah uang dan kebutuhan pokok, menawariku beberapa jebakan zombie, dan bertanya apakah Emma dan aku butuh sesuatu yang lain. Seorang dermawan, tetapi bekerja untuk PN. Yah, ada plus, ada minus.

Ketika telepon berdering, aku langsung mengangkatnya. Kulirik pintu menuju rumah Nenek Aya, memastikan Cal tidak muncul dari sana.

"Ilyas!" Suara pria itu, seperti biasa, terdengar lantang dan penuh semangat. "Cepat sekali angkat teleponnya, Nak. Apa ada masalah?"

"Begini," kataku memulai, "maaf, saya akan langsung ke intinya, Pak Duma, karena sedang terburu-buru."

"Silakan. Silakan."

"Saya akan keluar rumah hari ini."

Lama pria itu terdiam. Aku hampir mengira Pak Duma sudah pergi di ujung sana. Lalu, dia berkata, "Oke ... mengapa tiba-tiba?"

"Nenek Aya meninggal."

Jeda lagi. "Aku akan menyempatkan ke sana kalau begitu hari ini."

"Tidak perlu. Sungguh. Beliau sudah dikebumikan beberapa hari lalu. Saya bersama seorang teman sekarang. Dia yang mengajak saya. Kami akan ke ibu kota."

"Aku turut berduka cita, Nak. Sungguh. Baiklah, apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Kutangkupkan satu tanganku ke mulut yang mendekat ke gagang telepon. "Apakah di ibu kota betul-betul ada pesawat terbang, helikopter, dan sejenisnya?"

"Ada. Aku bisa meminta pada seorang teman untuk mengantar kalian. Kau mau ke mana? Ah, ya, kusarankan kau ke perbatasan utara. Di sana adalah tempat teraman saat ini selain ibu kota. Lebih sedikit bandit, belum ada kerusuhan yang terjadi, dan perbatasan antar kabupatennya sangat ketat. Tentu aku bisa membuat kalian masuk dengan mudah—"

"Sebenarnya ...." Aku menyelanya. "Kalau boleh, hmm ... begini, sebetulnya, saya dan teman saya mungkin akan berpisah jalan di ibu kota. Dia bilang ingin pergi ke suatu tempat, dan saya ingin membantunya saja. Sedangkan Emma ... emm, bisakah Anda mencarikannya keluarga baru di perbatasan utara yang Anda sebut tadi?"

Randall Duma menyentakkan napasnya. "Tunggu, Nak—bagaimana denganmu sendiri?"

"Setelah memastikan Emma dapat keluarga baru, dan teman saya bisa mendapat transportasinya ke tempat yang dia inginkan, saya ingin diantar kembali ke sini. Ke rumah Pak Gun dan Bu Miriam."

"Resapi saja," kata Cal seraya menepuk-nepuk lenganku. Saat itu, aku dan Emma sedang memandangi rumah untuk terakhir kali. Meski aku dan Emma sudah mengunjungi makam Bu Miriam dan Nenek Aya, dan berkeliling rumah untuk terakhir kali, rasanya tetap saja berat. Emma bahkan merengek kecil tiap saat seolah tahu dia takkan kembali lagi. Sedangkan Cal tampak susah payah menyembunyikan kegembiraannya demi berempati. "Kau boleh memeluk pilar dan mencium lantai kalau kau mau—aku akan menunggu di luar."

"Tidak." Aku mendesah, lalu melangkah keluar dan mengunci pintu.

Aku celingukan dengan resah, jantungku menggedor rusuk hingga bunyinya memenuhi telingaku sendiri, tetapi itu sebenarnya tidak perlu. Jalanan sepi sekali—tidak ada zombie maupun manusia. Zombie-zombie yang semalam sudah dibereskan oleh PN. Sebagian besar rumah di sini juga sudah kosong.

Ini masih pukul 10 dan matahari belum di atas kepala, maka aku membuka tudung jaket Emma agar dia bisa benar-benar merasakan udara hangat. Emma berseru tertahan saking girangnya.

"Bilang dadah sama rumah, mama, dan nenek," kataku sembari mengangkat dan melambai-lambaikan tangan kecil Emma ke rumah.

"Daa-da-daa." Emma berucap. Wajahnya murung sebentar, mungkin karena kemuramanku sendiri memengaruhinya, tetapi tak butuh waktu lama bagi Emma untuk terperangah pada rumah-rumah tetangga, tiang listrik miring, jalan retak-retak, dan pepohonan yang selama ini hanya bisa dilihatnya dari atas balkon. Aku tersenyum tipis melihat Emma yang terus menatap sekitar seolah-olah dia sedang menelan segala hal dengan matanya.

Aku menoleh untuk melihat rumah terakhir kali, tetapi Cal buru-buru mencengkram pipiku dengan satu tangan—seperti biasanya, cengkramannya kuat.

"Jangan menoleh," katanya.

Aku mengerjap. Masih dengan mulut melonjong karena cengkramannya, aku bertanya, "Khenapha?"

"Pokoknya jangan," ujarnya, lalu langsung menarikku. Suaranya riang lagi saat dia berkata, "Kita bisa mampir sebentar ke supermarket buat makan siang. Supermarket yang sudah kosong, tentu saja, soalnya semuanya gratis."

Aku menunduk memandangi kakinya yang melangkah lincah, lalu lengan bajunya yang menyembunyikan luka cakaran zombie beberapa hari yang lalu. Ocehannya begitu menyemarakkan suasana yang hening, membuatku lupa untuk toleh kanan-kiri atau mencemaskan tiap sudut jalan. Semangatnya memberi kehidupan padaku dan Emma. Andai dia tahu rencanaku untuk kembali lagi ....

"Kita harus cari bekal untuk ke ibu kota. Omong-omong ibu kota, sudah lama aku pengen lihat taman yang terkenal itu, yang ada tugu—"

Dia orang baik—aku tahu itu. Di luar keteledoran, sifat impulsif, sisi keras serta kasarnya, dan meski sikapnya seringkali tak menunjukkan empati yang cukup, Cal memiliki kepedulian yang besar terhadap segala hal. Bahkan terhadapku dan Emma. Sayangnya, aku tidak membutuhkan kepedulian itu—karena aku memang tidak pantas mendapatkannya.

Aku menanggapi ocehan Cal dengan jawaban singkat. Pikiranku bekerja cepat. Aku harus mempelajari beberapa hal lagi tentang zombie. Mungkin ... aku bisa pura-pura tergigit di tengah jalan. Aku harus memaksa Cal membawa Emma dan meninggalkanku. Aku akan hubungi Randall Duma lagi untuk menyusun rencana. Aku juga akan cari cara menghubungi beberapa orang dalam—seperti Ginna.

Di belakangku, seolah ada tangan-tangan tak kasat mata yang menjulur dari rumah, menangkap leher dan kakiku. Tangan itu memanjang, mengikutiku ke mana dan sejauh apa pun aku pergi. Aku tahu, suatu hari aku akan kembali kemari karena aku sendiri yang merencanakannya. Entah kapan, aku akan pulang ke sini lagi. Tanpa Emma. Tanpa Cal. Seperti Nenek Aya, aku akan mati di rumahku. Di kamarku. Di ranjangku sendiri.

Masih sambil berbicara, Cal melempar senyum padaku. Aku membalas senyumnya.

Maaf, Cal ....

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro