16. Cal dan Bencana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 16: Cal's pov | 3917 words ||

Aku tahu Ilyas marah saat kami mesti meminta pengawalan Polisi Nusa. Rahangnya mengencang, alisnya mengerut tak suka, terutama saat mendengar suara Inspektur Polisi Aryan dari balik penyekat kaca. Namun, pemuda itu menahan amarahnya.

"Harus ada minimal dua orang polisi yang siaga di pos," kata sang inspektur polisi dengan senyum menawannya. "Dan sekarang hanya ada saya dan Pak Bas. Bisa kalian menunggu sebentar sampai petugas patroli kembali? Tidak akan lama."

Rambutnya masih tersisir rapi dengan poni tersibak ke samping. Matahari pagi menyorot dari pintu yang terbuka di belakangku, menerangi mata Polisi Aryan yang cokelat madu. Pada dinding belakangnya, tergantung beberapa sabuk senjata, kantong amunisi bandoleer, dan shoulder holster—oh, sudah lama sekali aku kepingin model itu.

Dari kursi tempat Ilyas dan aku duduk di depan pos, kami bisa melihat tugu selamat datang pada batas kota Renjani dan bangunan apotek yang kami susupi tempo hari. Aku mengajak Ilyas bicara beberapa kali, tetapi pemuda itu pura-pura sibuk menguncir rambut Emma yang duduk di pangkuannya.

"Maaf aku tidak bilang-bilang dulu kita bakal minta kawal PN," bisikku. "Jangan marah begitu, Ilyas. Kau pasti sadar kita tak ada pilihan. Kita tidak ada kendaraan."

"Hmm," ujarnya tak acuh. "Aku mengerti."

"Kau mengerti, tapi kau masih mendiamkanku." Kucengkram pergelangan tangannya. "Dan rambut Emma sudah rapi dari tadi! Kalau kau butuh alasan buat mengabaikanku, rapikan rambutmu sendiri!"

Ilyas menepisku. Dia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah topi, dan memasangnya. "Selesai."

"Setidaknya beri tahu aku kenapa kau benci sekali sama PN," desakku. Lalu, sambil melihat ke arah Polisi Aryan di dalam, kurendahkan volume suaraku. "Atau, kasih tahu aku kenapa kau benci pada satu polisi spesifik yang itu."

Wajahnya berbayang di bawah lidah topinya, jadi Ilyas dua kali lipat lebih seram dari biasanya saat melirikku. Dia seperti sedang berusaha menikamku sampai mati dengan tatapan dari sudut matanya itu.

"Oke," kataku menyerah. "Pokoknya, kita tidak akan minta kawal terus, Ilyas. Cuma sampai batas kota Radenal, dan aku akan pinjam kendaraan teman. Soalnya naik angkutan umum sekarang terlalu berisiko."

Sebelum Ilyas merespons, seorang polisi seumuran Prama melangkah keluar dari pos. Beda dengan Aryan, Bapak polisi yang ini terlihat tua, kusut, lesu, mengantuk, dan bau keringat serta minuman keras menempel di badannya. Ada bekas luka gores yang masih baru di dagunya dan banyak sekali plester luka di punggung tangannya. Tanda pengenal di dada seragamnya mencantumkan "Bastian", jadi ini pasti Pak Bas yang bakal mengantar kami.

"Petugas patroli tidak menjawab panggilan, tapi kurasa mereka sudah dekat." Pak Bas merpikan kerah seragamnya sambil menguap. "Kalian ke Radenal, 'kan?"

"Maaf, Pak." Ilyas mengernyit. "Anda terlihat lelah. Anda yakin bisa mengantar kami? Radenal lumayan jauh dari sini."

"Tidak apa-apa." Pak Bas menguap lagi. "Habis membereskan pemabuk di wilayah Siring subuh tadi. Aku sudah tidur beberapa jam sebelum kalian datang."

"Tunggu," kata Ilyas lagi saat kami berdiri. Dia membenarkan posisi Emma di gendongan tangannya. Matanya menelaah penampilan si polisi dengan saksama. "Bisakah kalian memberi perbekalan atau pinjami kami senjata dan amunisi?"

Pak Bas mengernyit memandangi kami dengan skeptis. "Berapa umur kalian?"

"Kurir punya izin membawa senjata dan PN punya kewajiban memberi suplai, jadi saya rasa umur tidak masalah—"

"Kau tampak lebih kuyu dariku untuk ukuran kurir." Pak Bas tergelak. Sepertinya dia menyangka Ilyas kurirnya di sini. Yah, aku memang sedang tidak pakai seragamku. Tanda pengenal kurirku pun tak kupakai karena kupikir Aryan pasti sudah mengenaliku tempo hari. Pak Bas kemudian mengedik ke dalam pos jaga. "Baiklah, ayo. Pilih senjata yang kau suka."

Aku menarik lengan Ilyas dan mencoba memberitahunya bahwa pentungan peninggalan Pak Radi di dalam tasku saja sudah cukup, tetapi pemuda itu langsung memberiku tatapan yang jelas sekali menyuruhku tutup mulut dan ikut saja.

Yah, tidak ada ruginya, sih. Aku bisa dapat senjata gratis.

Di dalam, ada selemari senjata tajam, dua rak besar senjata api, berkotak-kotak amunisi, dan sepeti besar perkakas sokongan—tali tambang, pemicu alarm, jebakan zombie portable dan rakitan, sampai alat pengecek darah untuk mendeteksi orang yang terinfeksi. Ini barang-barang mahal yang mustahil kudapat kecuali aku bekerja bagai kuda selama setahun, dan kebanyakan PN sangat pelit untuk menyuplai kami dengan alat-alat ini. Aryan bahkan memperbolehkan kami membawa salah satu sabuk perkakas dan shoulder holster. Aku jadi makin menyukai kota ini.

"Tunggu di sini, oke?" Ilyas mendudukkan Emma di salah satu kursi yang paling jauh dari senjata-senjata berbahaya, lalu membiarkan anak itu memegangi topinya.

Sementara aku memilih-milih senjata tajam, Ilyas tampaknya lebih tertarik pada alat pengecek darah. Malah, tampaknya memang itu tujuannya sejak awal.

"Benda ini masih berfungsi?" tanya Ilyas. Bahkan sebelum Pak Bas menjawab, Ilyas langsung berdiri dan membuka-tutup alat yang mirip stepler itu di tangannya. "Bolehkah kami coba?"

"Tentu." Pak Bas melambai pada Ilyas. "Ada sekotak jarum baru di dalam laci. Pasang jarum yang baru, jepitkan alat itu ke salah satu jari tanganmu, lalu tekan tombolnya dan tunggu sampai—"

"Sejujurnya, saya fobia jarum." Ilyas melipat bibirnya ke dalam seperti merasa tidak enak. Tangannya bergerak cepat dan rapi sekali, membuka sekotak jarum, dan memasang jarum baru di sana. Pemasangan jarum itu dia lakukan dengan santai sambil mengatakan bahwa dia fobia jarum (heran tidak, sih?). "Jadi, Pak Bas—"

"Ah, baiklah. Kemarikan." Pak Bas mengulurkan tangannya meminta alat pengecek tersebut. Sementara si polisi ramah melukai jari tangannya dan menunggu hasilnya, aku memelototi Ilyas—aku tidak menyangka dia seudik itu sampai minta uji coba alat orang. Padahal, sudah syukur kami dikasih alat semahal itu.

Ilyas mengabaikan tatapanku dan mendekati Pak Bas. "Bagaimana, Pak?"

"Hasilnya belum keluar." Pak Bas menggoyang-goyangkan alat pengecek itu. "Yah, kurasa kau benar—alat ini sudah terlalu lama dalam peti. Sementara menunggu hasilnya, Nak, kau tadi bilang ingin perbekalan? Kami punya makanan instan di ruang penyimpanan. Kemari—ambil yang kau suka."

Aku sedang menimbang-nimbang antara brass knuckle (cocok untuk menghajar tipe 3) dan kapak bermata ganda (Prama dan yang lain bakal iri kalau melihatku menyandang ini) saat Ilyas tiba-tiba menarik lenganku, menyeretku ikut serta mengekori Pak Bas. Aku mengerang protes, tetapi dia tidak memedulikannya.

Di kursi dekat penyekat kaca, Aryan tengah memperhatikan Emma dengan gemas. Anak itu sedang menggigiti topi Ilyas sampai basah. Aryan sepertinya ingin menyentuh puncak kepala Emma saat Ilyas tiba-tiba mendelik keji dan berkata dengan dinginnya, "Adikku kurang suka disentuh orang asing, dan dia gampang sekali menangis. Jadi, tolong jangan buat dia menangis, Pak Inspektur."

Aryan mengangkat kedua tangannya sejajar kepala dan tertawa canggung. Di sebelahnya, Emma menatap si inpektur polisi, lalu menyodorinya topi Ilyas, seperti menawari Aryan apakah dia mau ikutan mengunyah topi juga.

"Emma tidak anti dengan orang asing, tuh," bisikku pada Ilyas. "Dan Emma sempat takut padaku karena melihatku bawa-bawa samurai. Kau yakin bukan kakaknya saja yang cemburuan?"

Tatapan mematikan Ilyas teralih lagi padaku. Mau tak mau, aku tutup mulut.

Di dalam ruang penyimpanan, Pak Bas bersandar ke satu sisi tembok, masih menggoyang-goyangkan alat pengecek darah. Dia melambai ke di dinding seberang, di mana rak besar menempel dan memuat berbagai makanan instan sampai bungkus-bungkus MRE. "Ambil apa pun yang muat di tas kalian."

"Asyik!" sorakku seraya mengekori Ilyas yang sudah mendekati rak. Pintu mengayun tertutup di belakang kami.

Aku membungkuk dengan tangan di lutut sementara Ilyas berjongkok dan memilah makanan instan dari rak bawah. Kami bahkan belum mengambil apa pun ketika Pak Bas tiba-tiba menodongkan pistol ke arah Ilyas.

"Jangan bergerak," ujar pria itu seraya mengalihkan arah pistolnya ke wajahku saat aku menegakkan badan. Sikap ramahnya telah lenyap, dan sang polisi paruh baya yang tadinya kebapakan kini tampak bengis dengan gigi menggertak. Pak Bas melangkah maju. Moncong pistol itu dia tempelkan ke kepala belakang Ilyas. "Dan jangan teriak. Atau kulubangi kepala teman priamu ini."

Aku membeku di sana, tidak mengerti apa yang terjadi sama sekali. Namun, Ilyas diam saja. Tangannya sudah berhenti di antara makanan-makanan instan.

"Kau sudah tahu, 'kan?" tanya Pak Bas pada Ilyas. "Bagaimana kau tahu?"

"Wilayah Siring," kata Ilyas tenang. "Tempat itu sudah sepenuhnya terinfeksi minggu lalu. Saat Anda bilang habis membereskan pemabuk tadi subuh, saya curiga yang Anda konfrontasi bukan pemabuk sama sekali."

"Dari mana kau tahu?" Pak Bas mendengus. Wajahnya mulai memerah. "Kami tidak memberikan laporannya—mustahil ditayangkan di mana-mana."

"Radio," jawab Ilyas. "Seorang wanita yang sedang mengandung meminta tolong lewat salah satu saluran radio dan mengatakan bahwa wilayah Siring sudah terkepung zombie, tiga anggota keluarganya terinfeksi, dan dia terkurung di rumahnya. Selain wanita itu, ada beberapa remaja juga yang menyiarkan melalui saluran radio amatir bahwa polisi setempat hanya mampu mengevakuasi beberapa orang, tapi menolak meminta bantuan pusat meski sudah didesak warga setempat."

"Karena pusat akan memindahkan kami ke distrik terpencil dan mengganti kami dengan tim baru jika mereka tahu kami sudah kehilangan wilayah sepenting Siring," geram Pak Bas. Dia mendorong kepala Ilyas dengan senjatanya. "Sudah kuduga, komunitas radio itu menyusahkan."

"Sudah seminggu ...?" tanyaku dengan jantung yang seolah berhenti berdetak. Kakiku terasa dingin dan perutku seperti teraduk, terutama saat Ilyas tak kunjung menjawab. "Artinya, hanya sehari sebelum aku datang ke rumahmu?"

Dadaku mencelus saat Ilyas mengangguk samar. Kubayangkan perempuan yang hamil itu, panik dan putus asa, terjebak dalam rumahnya bersama keluarganya sendiri yang terinfeksi, tanpa bantuan dan tak bisa keluar. Kubayangkan para remaja itu, meminta tolong dengan percuma.

"Sebelum aku berubah karena infeksi tolol ini, akan kuhabisi kalian dan ku—"

Kalimat Pak Bas belum selesai saat aku mengangkat satu kakiku dan menghantam tangannya yang bersenjata. Bunyi krak memuakkan terdengar dari tulangnya beserta jeritan panjang pria itu. Pistolnya terlepas dan Pak Bas jatuh terduduk. Sebelum dia bisa bangkit, aku menginjak anunya dan menggebuk wajahnya pakai tasku. Pentungan peninggalan Pak Radi menyembul keluar, menyodok pria itu di hidung sampai Pak Bas pingsan dengan mulut berdarah.

Ilyas ikut terduduk di sampingku. Keringat meluncur dari pelipisnya. Rupanya, sejak tadi pun dia juga ketakutan. "Untunglah aku membawamu ke sini."

Kucengkram kerah mantel Ilyas. "Kau mendengar orang-orang itu meminta tolong! Kenapa kau tidak melakukan apa-apa?! Setidaknya, beri tahu aku! Atau hubungi polisi dari luar! Atau, sekalian saja kau yang menghubungi pusat! Orang sepertimu, Ilyas ... orang sepertimu—" Tanganku gemetar. Pemuda itu sendiri hanya terdiam menatapku. "Orang sepertimu pasti bisa melakukan itu. Kenapa tidak kau lakukan ...?"

"Ada apa?" Aryan menggebrak pintu ruang penyimpanan dan menyeruak masuk sambil menggendong Emma.

Aku buru-buru melepaskan Ilyas. Kutendang tubuh Pak Bas. "Buka plester luka di tangannya—pasti ada bekas gigitan di situ. Dan periksa alat pengeceknya. Mungkin di sakunya."

Ilyas sendiri buru-buru melompat berdiri. Sopan santun lenyap darinya ketika pemuda itu merebut Emma dengan kasar dari Aryan.

"Pak Bas terinfeksi?" Aryan mulai mengecek rekannya yang masih semaput. "Uh ... ah, gawat, ini sudah 5 jam sejak dia kembali dari patroli."

"Kau pasti tahu apa yang mesti dilakukan." Kugoreskan ibu jari ke leherku.

"A—" Sang inspektur polisi membeku. Tatapan matanya goyah saat menatap Pak Bas. "Mu-mungkin kita bisa hubungi petugas karantina lebih dulu—"

"Tidak ada waktu buat jadi sensitif dan ragu-ragu hanya karena ini rekanmu!" Aku menggerung kesal dan menampik tangannya. Sementara Aryan terduduk syok, aku menyeret Pak Bas di kaki dan keluar dari ruang penyimpanan. Ilyas mengikutiku sambil menggendong Emma dan membawa tas-tas kami.

Kuraih kapak dari dalam lemari. Ternyata lumayan berat ....

Aku mengayun kapak. Ilyas pun menyadari kesalahannya membuntutiku ke sini. Dia buru-buru pergi ke pojok dan mengalihkan perhatian Emma, "Lihat, Emma. Semut! Tidak—jangan lihat Cal! Lihat semut ini! Semut-semut lucu, Cal tidak."

Ilyas berengsek!

Cras!

Aku bahkan belum selesai mengikat karung berisi jenazah Pak Bas saat sekat kaca diketuk. Dua personel PN menggedor gila-gilaan dan berteriak agar dibiarkan masuk. Di belakang mereka, mobil patroli telantar dengan satu roda depan tersangkut ke atas trotoar. Dari atas atap mobil itu, enam zombie merosot turun dan berjalan tertatih dengan kecepatan sedang.

Kedua PN ini petugas patroli yang sejak tadi tidak bisa dihubungi Pak Bas.

Alih-alih membuka pintu, Ilyas meraih dua alat pengecek darah, memasukkan jarum baru, dan mengeluarkan alat itu lewat lubang kecil di kaca penyekat. "Jika kalian tidak terinfeksi," kata pemuda itu dengan kejam, "aku akan buka pintunya."

"Hatimu tidak ada, ya?!" bentakku, lalu menerjang ke arah pintu dan membukanya. Ilyas kalah cepat dariku dan hanya bisa tersaruk mundur.

Yah, aku juga tersaruk mundur karena salah satu petugas patroli itu langsung menodongkan pistolnya ke arahku. Yang satu lagi menutup pintunya sebelum kemudian jatuh terduduk. Kalau sudah begini, artinya keduanya sudah terinfeksi.

"Itu," kata Ilyas jengkel padaku. Tangannya tertadah ke arah kedua patugas patroli. "Karena itu kau tidak bisa bukakan pintu untuk sembarang orang!"

Dari ruang penyimpanan, Aryan keluar dan nyaris terpeleset genangan darah Pak Bas. Jangan salahkan aku—mana sempat aku mengepel lantai sehabis memenggal orang?!

"Cal ..." panggil Ilyas yang beringsut-ingsut ke sisiku. Emma di gendongannya pun mencengkram lenganku dan merengek. Di samping kami, tepat di seberang sekat kaca, zombie-zombie mengantre untuk masuk ke dalam.

Enam ekor tipe 3. Dua menempel ke pintu kaca, tiga lainnya berusaha mendorong penyekat dengan wajar mereka, dan satu lagi mengintip ke celah di antara meja dan sekat kaca. Zombie yang mengintip menyengir dan mendorong kepalanya dengan bersemangat seperti berusaha masuk lewat lubang kecil itu.

Ilyas menggerung mual di sisiku.

"Salah satu dari kita harus keluar dan mengalihkan perhatian mayat-mayat hidup itu," ujar petugas patroli yang masih mengacungkan senjata api ke wajahku. "Jadi, sementara para zombie teralih ... Aryan—kau yang paling cepat di antara kita. Lari keluar dan gedor rumah besar di ujung jalan. Kau bisa memeras pemiliknya untuk mengambil mobilnya. Dan kau,"—petugas itu menunjuk Ilyas dengan moncong senjata. "Keluar. Alihkan para zombie itu."

"Kalian belum berubah jadi zombie." Ilyas, meski tampak gemetaran dan panik, dia masih sanggup berkata-kata. "Zombie-zombie itu masih menganggap otak kalian bisa dimakan. Kalian juga bisa menggunakan senjata."

"Ya!" Aku berseru. "Dan kalian, toh, juga sudah tergigit! Kenapa bukan salah satu dari kalian saja yang keluar?"

Petugas yang menodongkan senjata pun menelan ludah. Dia melirik temannya.

"Aku pincang," ujar si petugas patroli yang terduduk. Meski sudut matanya berair dan peluh membasahi wajahnya, petugas itu terkekeh. "Kau yang keluar, Ton. Kau yang bikin rencana, kau juga yang paling cocok jadi umpan."

Tony—begitulah yang terjahit di dada seragamnya—mengerang-erang ketakutan. Matanya menatap kami satu per satu seperti meminta belas kasihan. Bego benar, dia pasang raut muka itu sambil masih menodong kami pakai pistol.

Lalu, pistolnya terarah ke Emma. "Kalau kau tidak keluar, kutembak balita itu."

Ilyas membalikkan badan untuk melindungi adiknya, sedangkan aku menyeruak berdiri di depan keduanya sambil mengacungkan pentungan. Tepat saat Tony menarik pelatuk, Aryan menerjang maju dan menyikut muka si petugas patroli. Tembakannya meleset, mengenai kunci pintu kaca.

Kaca itu mungkin anti peluru, tetapi kuncinya langsung rusak. Pintu mulai terdorong ke dalam akibat bobot dua zombie yang menyandarinya dengan muka mereka.

"Tolong aku!" pekik si petugas yang pincang. Kedua tangannya menahan pintu agar tidak terbuka. Kakinya yang terluka terus merembeskan darah.

Aryan menghampirinya dan ikut menahan pintu. "Cal! Dorong peti itu kemari untuk menahan pintu!"

"Tidak akan mempan," kata Ilyas sementara aku menarik peti perkakas. "Itu tipe 3, artinya mereka akan menalar—"

Aku jengkel sekali karena Ilyas biasanya benar. Dan dia memang benar. Di pertengahan ucapannya, empat zombie lain sudah menjauhi sekat kaca dan mendekati pintu. Keenamnya mulai mendorong pintu itu dengan wajah dan segenap bobot badan mereka serta kaki yang mengayuh bersama-sama. Aku mesti meninggalkan peti dan ikut menahan pintu bersama kedua PN.

Enam lawan tiga. Kami masih unggul dan pintunya masih rapat, tetapi salah satu di antara kami mengalami pendarahan hebat di kaki dan kami akan kelelahan cepat atau lambat, sementara zombie-zombie tidak kenal batas.

Si petugas patroli yang disikut Aryan kabur ke dalam ruang penyimpanan dan mengunci dirinya di sana.

"Bisa kalian bertahan berdua untuk beberapa saat?" tanyaku pada Aryan. Perlahan, aku menarik diri dari pintu dan mengambil pentungan Pak Radi. "Mungkin aku bisa dorong zombie-zombie itu dari celah pintu—"

"Ide buruk!" jerit Aryan, dan pintunya langsung mengayun ke dalam, membuat celah yang lumayan besar. Satu tangan zombie sempat lolos dan menyabet bahu sang inspektur dengan kuku-kukunya. Jadi, aku buru-buru menempelkan punggung ke pintu lagi. Kami bertiga stuck dalam posisi itu.

"Ilyas—" panggilku, lalu kusadari pemuda itu tidak diam saja sejak tadi.

Ilyas telah membuat gendongan darurat untuk Emma di punggungnya menggunakan dua pasang shoulder holster yang dia modifikasi. Di balik punggungnya, Emma mengerang jengkel, tangan kecilnya menarik-narik percuma secarik kain yang melingkari kepala dan menutupi matanya. Setelah memastikan adiknya tidak akan menyaksikan setetes pun darah di sekitar kami, Ilyas meraih sebilah keris berbilah lurus sepanjang lenganku.

"Ilyas ..." kataku cemas.

Mukanya pucat sekali, matanya bergetar di balik rongganya, tangannya tidak berhenti gemetaran, dan keringat meleleh dari sisi wajahnya. Desah napasnya yang berat terdengar memenuhi ruangan. Namun, Ilyas tetap berdiri di depan lubang pada sekat kaca. Satu tangan menggenggam keris seperti siap menusuk. Mulanya aku tidak mengerti rencananya, jadi aku hanya bisa terperangah saat Ilyas mengeluarkan satu tangannya lewat lubang di kaca dan memukul-mukul meja dengan kepalannya.

Dia memancing pada zombie itu menjauhi pintu dengan tangannya.

Dua zombie menarik diri dari pintu dan mengejar tangan Ilyas, membuat kami yang menahan pintu sedikit lebih unggul dari empat zombie yang masih berdesakkan. Dengan ketepatan waktu yang luar biasa, Ilyas menarik kembali tangannya bersamaan dengan dua tangan zombie yang menyeruak masuk melalui lubang di kaca. Pemuda itu lantas menghujamkan kerisnya, menekan dengan sekuat tenaga sampai buku-buku jarinya memutih, berusaha memaku dua tangan zombie ke meja.

"Bertahanlah, kalian berdua," kataku, yang hanya dibalas anggukan samar Aryan. Kutinggalkan sang inspektur dan petugas patroli yang kini duduk di atas genangan darahnya, menahan pintu berdua melawan empat zombie yang tersisa.

Kugenggam tangan Ilyas dan, bersama-sama, kami menekan keris itu sampai menancap ke meja. Darah dari tangan zombie menyembur muka kami berdua, membuatku histeris untuk sedetik yang singkat.

"Tidak apa-apa," bisikku, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri. "Darah zombie tidak menularkan apa-apa. Tidak apa-apa ...."

Aku berjalan gontai ke rak dan mengambil pistol, lalu mengisinya dengan peluru. Kuambil penutup telinga dari dalam peti dan memasangnya. Pandanganku kabur karena lelah dan tegang, tetapi ini belum selesai.

Petugas patroli yang pincang sudah terkulai ke lantai karena kehilangan banyak darah. Celah pintu melebar karena Aryan sendirian menahannya. Aku menempel ke dinding di sisinya, menyiagakan pistol ke celah pintu, menyipitkan mata dan berusaha fokus.

Mata, kubisiki diriku sendiri. Membidik mata takkan membunuh atau menghentikan pergerakan mereka, tetapi mereka takkan bisa melihat. Aku menarik napas dan menarik pelatuk.

"Ayo, berdiri," desis Aryan dengan volume suara pelan karena enam zombie buta di luar masih bisa mendengar suara. Si polisi masih mendesak si petugas patroli—Faris, baru bisa kulihat tanda pengenal di bajunya—untuk bergerak. Aryan sudah membalut kakinya dan mencoba sebaik mungkin menghentikan pendarahannya, tetapi Faris masih tersandar lemas ke dinding.

"Sudahlah, empat jam lagi aku tamat. Pergilah." Faris berkelit dari Aryan, lalu merangkak ke bawah meja dan berbaring meringkuk. Tangannya menangkup bekas luka gigitan di pergelangan kakinya, tangan lain memeluk sekarung Pak Bas. "Aku belum mau mati, jadi tolong pergi saja. Biarkan aku di sini. Nanti, setelah berubah, aku akan makan Tony di ruang penyimpanan. Aku tergigit lebih dulu sebelum dia."

"Cepat," desisku seraya melesakkan apa pun yang bisa kami bawa ke tas. "Suara tembakan tadi pasti memancing zombie lainnya. Ilyas, kau bawa ini!" Aku mendorong sekotak amunisi ke gendongan punggung Ilyas yang kini kosong. Pemuda itu sendiri tengah mengisi ranselnya dengan cepat menggunakan satu tangan, dan menggendong Emma di tangan lain. Untuk ukuran orang yang gampang stres, Ilyas betul-betul cekatan.

Yah, dia memunggungiku, jadi kurasa aku saja yang tidak bisa lihat ekspresi wajahnya.

"Lekas!" Aryan berbisik panik. Pintu sudah terbuka. "Aku mendengar suara-suara dari luar batas kota, kedengarannya mirip banyak langkah kaki."

Kami keluar dan menyisir tanpa suara di emperan jalan. Enam zombie buta berkeliaran tak menentu di dekat trotoar, tersandung-sandung, dan sesekali menabrak satu sama lain. Hidung mereka mengendus-endus udara. Jika kami terlalu dekat, mereka bakal membaui kami dan mengejar kami dengan mudah.

Aryan paling depan, aku paling belakang. Tanganku terus memegangi lengan baju Ilyas karena dia sempoyongan dan tampak hampir jatuh berkali-kali.

"Rumah ini," kata Aryan seraya memanjati pagar besi setinggi dua meter. Dia membuka pagarnya dari dalam. "Tunggu di sini sampai aku dapat mobilnya."

Dia lari ke dalam halaman berumput yang dibelah jalan berbata merah menuju bangunan megah yang katanya itu 'rumah'.

"Rumahku di perbatasan pasti hanya seukuran bilik WC-nya saja," komentarku, masih mengagumi rumah tersebut. "Lihat halamannya—ini, sih, taman kota."

"Cal ..." ujar Ilyas dengan nada ngeri. "Lihat di batas kota ...."

Aku berbalik dan terhuyung ke belakang. Mataku mengerjap-ngerjap, otakku berusaha memprosesnya dan beberapa kali mencoba memungkiri apa yang kulihat.

Segerombolan zombie. 10, 15 ... tidak terhitung jumlahnya, berlari di jalan menuju ke dalam kota Renjani. Jarak mereka masih sekitar setengah kilometer, tetapi suara tapak kaki dan gerungan mereka terdengar sampai sini, serupa guntur tengah hari. Sekitar lima sampai tujuh zombie sudah melewati tugu dan menyebar di jalanan.

Semuanya tipe 4.

"Kita mesti ke dalam—"

Aku berbalik untuk menarik Ilyas, lalu kudapati pemuda itu tengah meraba ke belakang tubuhnya. Satu tangannya membawa ransel, tangan lainnya kosong. Darah seolah menyurut dari wajahnya.

"Mana Emma?" tanyanya. Matanya bergetar. Suaranya melirih. "Cal, mana adikku? Mana Emma?"

Kutangkup mulutku. Kakiku melemas. "Kupikir kau menggendongnya di depan ...."

"Kupikir dia masih masih di punggungku ...."

"Gendongan itu sudah kosong saat aku memasukkan kotak di belakangmu."

Mata Ilyas berkaca-kaca. Kakinya bergerak dan dia menerjang, berusaha melewatiku, tetapi aku buru-buru mendorongnya sampai kami terjerembab masuk ke halaman rumah mewah. Kuseret dia ke antara belukar yang membingkai jalan berbata merah.

Air mataku meleleh. Kubekap Ilyas karena dia sepertinya akan menjerit, kedua tangannya mencakari tanah dan dia berusaha sekuat tenaga untuk bangkit.

Aku mengintip dari balik semak dan jeruji pagar. Jalanan sudah dipenuhi tipe 4. Pos polisi sekitar 100 meter dari sini, pintunya tertutup. Namun, para tipe 4 itu sebentar lagi pasti akan ke sana.

"Emma ...." Ilyas terisak di balik lenganku sementara aku memeluknya. Wajahnya merah meradang sampai telinga. Tubuhnya berguncang. "Adikku—Emma ... Cal—biarkan aku ke sana. Adikku di sana ..."

Sebuah mobil sedan hitam membelah rerumputan dan menghampiri kami. Pintu depan terbuka dan Aryan keluar dengan alis mengernyit cemas. "Ada apa?"

"Emma," isakku. "Adiknya Ilyas—d-dia tertinggal di pos polisi. Dan, a-ada sekitar, mungkin, dua puluh zombie—datang d-dari luar. Tipe 4. Mereka sudah melewati batas k-kota."

"Bawa dia masuk ke mobil." Aryan memerintah dan melangkah ke luar belukar untuk melihat ke pos polisi. "Biar aku yang kembali."

"Tunggu, kau tidak tahu tipe 4—"

Namun, Aryan tidak mendengarkanku. Dia sudah berlari menghampiri mobil patroli yang tadi dikendarai Tony dan Faris, yang kini tersangkut di trotoar.

Pintu mobil patroli itu masih terbuka dan kemungkinan kuncinya masih terpasang karena, begitu Aryan masuk ke dalamnya, dia segera menghidupkan mesin dan membunyikan klakson.

Semua zombie yang ada di jalan, bahkan yang kubuat buta, spontan menoleh dan berlarian ke arah mobil patroli. Sambil masih membunyikan klakson dengan bising, Aryan memundurkan mobil sampai terbebas dari trotoar, lalu meluncur ke arah luar perbatasan kota. Semua zombie mengikutinya.

Manuver itu mengingatkanku pada Mobil Umpan yang pernah kulihat saat rumah susunku disusupi zombie empat tahun lalu.

"Ilyas, tunggu di sini," bujukku. Namun, pemuda itu bersikeras bangkit untuk mengikutiku. "Jangan tersinggung, Ilyas, tapi kau bakal memperlambatku. Tunggu di sini! Aku yang akan membawa Emma kembali!"

Aku berencana menggetok Ilyas sampai pingsan, tetapi sebelum aku sempat melakukannya, kami dikejutkan dengan suara tabrakan di luar sana, tak jauh dari batas kota. Tak berapa lama kemudian, Aryan muncul dan berlari menyusuri jalan, melewati tugu, dan dalam sekejap sudah berhasil mencapai pos polisi lagi sementara segerombolan tipe 4 yang mengejarnya masih tertinggal di belakang.

Ternyata yang dikatakan Tony bukan omong kosong. Si inspektur polisi memang paling cepat di antara kami, kemungkinan menyamai kecepatan Serge saat menguber kerbau di hutan. Yah, pantas saja sang polisi muda dipuja-puja dan naik pangkat secepat itu.

Aryan masuk ke dalam pos dan menutup pintu. Aku menghitung dengan cemas. Hampir sepuluh detik dan dia masih tidak keluar juga. Zombie-zombie itu sudah setengah jalan menuju pos polisi. Tipe 4 melihat dan memburu Aryan dengan mudah.

Lalu, pintu terbuka, tetapi bukan Aryan yang keluar. Itu Faris.

Dengan langkah terseok dan darah berceceran dari kain celananya, Faris meletuskan senjata api ke arah beberapa zombie yang bisa dibidiknya. Dia terpincang-pincang menyeberangi jalan, melompati trotoar susah payah, dan menuju salah satu rumah yang diberi garis polisi. Zombie-zombie berbelok seperti sekumpulan domba yang digembala, menyasar Faris.

Dari dalam pos polisi, Aryan berlari keluar. Dia sudah menanggalkan jaket polisinya—jaket itu dia selubungkan ke tubuh Emma yang dia gendong di bahunya.

Ilyas melemas melihat pemandangan itu.

"Lihat, Ilyas," kataku seraya mengusap air mata. "PN tidak semuanya buruk—"

"Aku tidak tahu lagi apa yang benar ...." Ilyas menggeleng lemah di bahuku. Sudut matanya masih berair. Dia tampaknya sudah setengah pingsan. "Dia menyelamatkan Emma, tapi membunuh Bu Miriam. Dia mencoba menembakku."

Aku mematung. Bahkan sampai Aryan menghampiri kami dan masuk ke dalam mobil, aku masih menganga.

Sedan itu kelihatan masih bagus meski radionya hilang dan kulit joknya mengelupas. Ilyas dan aku duduk di belakang, memegangi Emma erat-erat seolah anak itu bisa memental keluar kapan saja. Aryan di depan, menyalakan mesin mobil, memberi peringatan singkat pada kami untuk berpegangan sebelum tancap gas.

Kami melaju di jalanan, melintasi Faris yang berdiri timpang di atas pagar bata kelabu. Belasan zombie di bawahnya, menarik-narik kakinya. Sekitar enam sampai delapan zombie berbalik dan mengikuti mobil kami. Aku menoleh dan menatap Faris yang membuat gestur hormat yang mengantarkan kami keluar dari Renjani—tangan kanan dengan jari-jari dirapatkan di pelipis, tangan kiri tegap di sisi tubuhnya, lalu tubuhnya ditarik ke bawah sampai jatuh ke dalam lautan zombie.

"Emma ...." Ilyas menggumam, setengah mengigau. Wajahnya basah oleh keringat. Tangannya memegangi adiknya. Bahuku menyenggol belikatnya, dan aku terkejut merasakan detak jantung Ilyas yang masih begitu cepat dan nyaringnya.

Dari depan, Aryan melemparkan sebuah topi berliur ke pangkuanku.

"Dia memegangi itu," kata si polisi datar. "Tampaknya, dia turun dari punggungmu untuk mengambil topi itu."

Memandangi kakaknya yang nyaris tidak bisa membuka mata, Emma mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergetar. Tangannya menepuk-nepuk wajah Ilyas. Anak itu mulai menangis begitu kencangnya sampai aku hampir yakin orang-orangan sawah di sepanjang lahan yang mengapit jalanan ini pun mendengar. Tangisan yang ini malah lebih dahsyat daripada tangisan pertama yang kudengar saat baru datang ke rumah mereka minggu lalu.

Di belakang, semua tipe 4 berhenti mengejar, barangkali kecerdasan mereka yang setara manusia itu tahu mereka tidak bisa menyamai kecepatan mobil. Namun, satu zombie menyeruak keluar dari gerombolan. Ia masih berlari meski sudah tertinggal jauh.

Tengkukku terasa dingin dan, entah pikiranku sedang kacau atau apa, aku merasa seperti pernah merasakan tatapannya yang terpancang kuat—seolah ia bisa melihat melampaui jarak, menembus kaca belakang, dan menatap langsung ke arah kami.

Tak berapa lama kemudian, ia tertinggal. Zombie itu pasti sudah jauh sekali dan mustahil melacak kami meski ia tipe 4.

"Tidak masuk akal ...." Ilyas mengigau lagi. Keningnya panas. "Tipe 4 ... pasti ... mengincar sesuatu. Ada sesuatu ... di Renjani. Bukan Batavia."

Dengan satu tangan di roda setir, tangan lain Aryan menarik radio komunikasinya dari kantung shoulder holster-nya. "Inspektur Polisi Aryan melapor—" Suaranya tercekat. Jeda sesaat, sang polisi muda melanjutkan dengan suara bergetar. "Renjani telah jatuh. Saya ulangi, Renjani telah jatuh."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro