17. Ilyas dan Jombi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 17: Ilyas's pov | 1980 words ||

Hari sudah petang ketika kami memasuki distrik kecil yang didominasi lahan gambut. Beberapa perumahan dilengkapi portal serta pagar beton, sedangkan rumah-rumah dan pondokan di sisi jalan dikelilingi parit besar yang diseberangi jembatan kayu penuh jebakan zombie.

"Batavia masih cukup jauh," kata Aryan seraya memasuki antrean di pom bensin. Polisi Nusa berkeliaran di luarnya. "Dari sini, jalannya berbatu—karena jalan bebas hambatan sudah dipenuhi zombie dan ditutup total. Jika kita berangkat lagi besok subuh, paling cepat kita baru akan sampai sore hari karena macetnya dan prosedur masuk yang lebih ketat di siang hari. Jika kita berkendara sekarang juga, tengah malam ini mungkin bisa sampai. Tapi aku perlu memperingatkan—kalau disuruh menyetir 5 menit lagi, aku mungkin akan pingsan di belakang roda setir."

"Kalau aku yang menyetir di jalan berbatu, akan ada orang yang muntah di dalam mobil." Cal mengangkat bahu. "Atau, kita bisa menerobos jalan tol—aku sudah sering balapan dengan zombie."

"Besok saja." Aku menyahut parau dengan punggung tangan menutup mata dan tengkuk bersandar ke sandaran jok. Jangankan naik mobil yang disetiri Cal, duduk di sini satu menit lagi saja aku pasti muntah. "Lagi pula,"—kutunjuk Emma yang masih setengah tidur, menelungkup di pangkuanku, giginya mengunyah kerah bajuku—"kita belum makan seharian."

Di tengah antrean, salah satu polisi mengetuk kaca jendela mobil dan terkejut saat mendapati pengemudinya juga personel PN.

"Dari Kota Renjani." Aryan memperlihatkan tanda pengenal dan lambang di dada seragamnya. "Mobil pinjaman dalam situasi darurat, jadi saya tidak punya surat izinnya."

Polisi itu tampak mengerti dan mengangguk. "Kebetulan sekali. Kami baru akan memperingatkan orang-orang di sini bahwa kota itu telah jatuh. Apa ada pengungsi lain yang mengikuti mobil ini?"

"Tidak ada. Hanya kami."

"Sudah berapa lama kalian berkendara?"

"7 jam. Tidak ada yang tergigit."

Si polisi meminta Aryan untuk memberi laporan lengkap ke kantor polisi distrik itu, lalu memberi pengarahan singkat agar kami singgah ke penginapan atau pos pengungsian terdekat. Tampaknya kami memang harus melanjutkan perjalanan besok karena semua akses jalan akan mulai ditutup malam ini.

Sementara Aryan mengisi bahan bakar mobil, Cal memapahku masuk ke rumah makan di sebelah pom bensin. Salah satu pelayan sempat ketakutan melihatku, jadi aku mesti memakai alat pengecek darah untuk membuktikan aku tidak terinfeksi.

Emma terus terpana ke sekelilingnya. Dia menunjuk-nunjuk lampu gantung, memekik antusias pada meja kasir, dan memelototi wadah tusuk gigi. Dia masih tidak terbiasa dengan pemandangan di luar rumah.

"Jadi," kata Cal setelah kami duduk. Kami mengambil tempat dekat jendela di mana Aryan bisa melihat kami. "Aryan sungguhan membunuh Bu Miriam?"

"Ya," jawabku. "Tembakan nyasar."

"Saat kerusuhan zombie?"

"Setelah kerusuhan." Kugertakkan rahangku saat mengingat lagi wajah si polisi muda di bawah cahaya lampu jalan. "Setelah sadar Bu Miriam manusia, dia melihat ke arahku—karena aku satu-satunya saksi di sana—dan mengganti arah bidikannya ke kepalaku." Tanganku mengepal mencengkram taplak meja. "Dalam keadaan aku masih menggendong Emma."

Cal menggaruk pelipisnya. "Tapi, kita tak punya pilihan selain bertahan dengannya sedikit lebih lama lagi. Kita mungkin dapat akses masuk Batavia lebih mudah kalau bersama Polisi Nusa."

Sambil menghindari mata Cal, aku berkata, "Atau kau bisa pergi dengannya. Akan kuhubungi kerabatku di Batavia untuk menyiapkan transportasi udara yang kau butuhkan."

Meski tidak melihat wajahnya, aku bisa merasakan aura menekan dari Cal. "Bagaimana denganmu dan Emma?"

Ingatanku melayang pada Rifan—kurir muda yang pernah datang ke rumah Nenek Aya empat tahun silam. Aku masih ingat pada janjinya bahwa aku dan Emma bisa mencarinya jika Nenek Aya sudah tidak ada. Perbatasan timur tempatnya berasal termasuk zona berbahaya, tetapi beberapa kota di sana belum jatuh, termasuk alamat yang Rifan sebutkan.

"Perbatasan timur," kataku, "aku punya teman di Harris. Kota itu belum jatuh."

Aku bisa ke kantor polisi di distrik ini dan meminta tumpangan ke Harris besok pagi. Kami bisa menetap di sana dengan Rifan selama beberapa minggu sampai Randall Duma bisa menemukan keluarga baru untuk Emma di perbatasan utara sesuai janjinya. Setelah semuanya beres, aku akan kembali ke Renjani, pulang ke rumah Pak Gun dan Bu Miriam. Dengan kenyataan Renjani kini sudah jatuh dan dipadati zombie, aku mungkin harus siapkan rencana cadangan lagi, tetapi itu bisa kupikirkan nanti.

Dari sudut mataku, kudapati Cal tengah mengecek sesuatu dalam tasnya.

"Apa itu tali tambang?" tanyaku.

"Yap, buatmu."

"Apa?"

"Tidak apa-apa." Cal tersenyum. Entah untuk alasan apa, aku merasakan leherku meremang. "Nah, makanannya datang. Pas sekali Aryan juga mengarah kemari."

Emma berjuang memanjati meja dengan kakinya yang menendang-nendang pangkuanku demi menonton si pelayan meletakkan makanan kami.

Tangan Emma langsung menjiplak ke kuah bistik di salah satu piring, yang artinya porsi itu buatku. Namun, Cal mendahuluiku mengambil piring yang diacak-acak Emma. "Emma makan denganku, Ilyas. Kau mesti makan porsi yang masih utuh dan paling banyak supaya tidak dikira zombie lagi."

"Tapi—"

"Ini kentang." Cal sengaja mengajak Emma bicara agar tak perlu mendengarku. Dia sudah mengambil alih adikku ke pangkuannya. "Bistik. Ayo, Emma, bilang 'bistik'. Eh, kau tidak akan mencret lagi kalau dikasih makan ini, 'kan, Emma?"

Emma memerhatikan Cal lekat-lekat, tetapi tidak mau membuka mulutnya sama sekali. Setelah menyadari Emma cuma menerima suapan dari tanganku, Cal menyerah dan memakan makanannya sendiri.

"Aku tidak akan ke Batavia," kata Aryan tiba-tiba ketika dia baru duduk di seberangku. Tangannya menarik piringnya seperti gerakan otomatis dan dia makan dengan terburu-buru. Dari sabuknya, radio komunikasi masih menggantung. "Ada tiga kota lain yang jatuh hari ini bersamaan dengan Renjani. Semua Polisi Nusa yang selamat dari kota-kota ini langsung dipindahtugaskan ke pebatasan timur tanpa perlu melapor ke Batavia, termasuk aku. Kalian bisa pakai mobilnya besok pagi—sudah kumasukkan peta ibukota ke laci dasbornya."

"Perbatasan timur? Kebetulan sekali." Cal menyengir sambil melirikku. "Ilyas juga, katanya—"

"Tidak," potongku cepat-cepat. "Mungkin memang lebih baik aku menemui kerabatku di Batavia. Kami ikut denganmu, Cal."

Cal berbisik ke Emma yang masih duduk di pangkuannya. "Kita jadinya tak perlu mengikat kakakmu."

"Apa?"

"Aku cuma bilang ke Emma kalau dia harus makan banyak."

"Bukan itu yang tadi kau katakan!"

Namun, Cal sudah mengalihkan perhatiannya pada Aryan. "Kau makan bergegas seperti itu—jangan bilang kau berangkat malam ini juga."

"Aku harus pergi sekarang," kata Aryan setelah menghabiskan segelas besar kopi hitamnya. Entah sejak kapan piringnya sudah kosong. "Aku ditugaskan di Dhavlen, 14 jam berkendara dari sini." Dia terdiam sebentar, lalu meringis. "16 jam. Karena mustahil lewat Renjani, aku harus memutar lewat Larus. Jika menunda lagi, aku akan jadi petugas terakhir yang sampai di sana."

Cal mengernyit. "Bagaimana dengan barang-barangmu dan keluargamu—"

"Kampung halamanku di Duane—kota pertama yang jatuh empat tahun lalu—jadi hanya aku yang masih hidup. Dan kalau kau belum memerhatikan, Cal, kami para polisi juga hidup berpindah-pindah seperti kalian para kurir sekarang. Kami tidak menyimpan atau membawa barang-barang berharga. Semua kebutuhan kami disediakan pemerintah daerah, termasuk tempat tinggal."

Cal mengerutkan pipinya. "Yang terakhir itu, pekerjaan kita tidak sama."

Kulirik Aryan sekilas. Artinya, dia pun jadi sebatang kara hanya dua minggu setelah membunuh Bu Miriam. Aku hampir merasa simpati, tetapi ketika tatapanku jatuh pada Emma, mulutnya terbuka lebar menunggu tanganku menyuapinya—rasa simpatiku pada si polisi lenyap. Aryan pantas mendapatkan itu.

"Kurasa, sampai sini saja," kata Aryan seraya meletakkan kunci mobil ke tangan Cal. "Aku harus ke kantor polisi terdekat untuk memberi laporan mengenai keadaan di Renjani. Aku juga harus cari kopi banyak-banyak agar tidak pingsan di jalan. Jika kalian akan bermalam, kusarankan kalian tidur dalam mobil atau cari motel—apa saja, asal bukan penginapan bertingkat. Tempat macam itu akan menyulitkan evakuasi kalau-kalau gelombang zombie kejutan sampai ke sini. Lagi pula, di distrik kecil begini sering ada pembobolan mobil. Akan lebih aman jika kalian tetap menjaga mobil itu dalam jarak pandang."

Cal mencengkram tangan Aryan dan matanya menampakkan kekhawatiran yang menurutku sangat tidak perlu. "Kau akan naik apa ke Dhavlen?"

"Jika tidak ada kendaraan yang disediakan kantor polisi di sini, PN yang sedang dalam tugas bisa mengambil kendaraan milik orang sipil atau penyewaan secara cuma-cuma. Tidak perlu cemas, Cal."

Sambil menepuk-nepuk tangan Cal, Aryan melemparkan senyum bersinarnya lagi. Aku mengerutkan kening saat mendapati Cal tersipu membalas senyumnya.

"Nah, dadah, adik kecil—" Tangan Aryan yang akan menepuk kepala Emma terhenti saat dia mendapati tatapan mataku. Aryan tertawa gugup dan mengangguk sekilas padaku. "Y-ya ... pokoknya, hati-hatilah kalian."

Si polisi baru akan beranjak, tetapi langkahnya mendadak terhenti dan dia kembali lagi ke meja kami.

"Aku baru teringat," ujarnya. Aku menoleh ke belakang, memastikan apakah lelaki ini memang sedang bicara padaku. "Ya, aku bicara padamu ... hmm, siapa namamu lagi?"

"Ilyas." Cal yang menjawab.

"Ilyas," lanjut Aryan. "Apa maksud perkataanmu di mobil tadi siang?"

Aku berdecak dan lebih memilih menatap nasi di depanku. "Yang mana?"

"Saat kau bilang 'Tipe 4 mengincar sesuatu,' dan 'Ada sesuatu di Renjani. Bukan Batavia.' Kau mengatakan persis seperti itu, ingat?"

"Tidak."

"Ilyas mungkin melindur dan asal mengoceh." Cal melambaikan tangannya pada Aryan. "Ilyas orangnya gampang teler."

"Aku tidak teler!"

"Apa sebenarnya 'tipe 4' yang kau maksud?" Aryan masih mendesak meski dia seharusnya bisa membaca wajahku kalau aku enggan bicara dengannya. "Lalu, saat kau bilang ada sesuatu di Renjani dan bukannya Batavia—apakah kau sedang membicarakan arah infeksi? Semua orang sudah yakin para zombie itu mencoba menginfiltrasi Batavia yang paling padat penduduknya. Apakah maksudmu, para zombie itu seperti punya tujuan, dan tujuan mereka adalah Renjani?"

Untuk ukuran PN, orang ini lumayan tajam.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Pak Polisi." Aku masih bicara pada nasiku. "Barangkali, Cal benar—bukan bagian telernya. Maksudku, mungkin tadi aku melindur."

Aryan mengerutkan alisnya, tampak tidak puas dengan jawabanku, tetapi pada akhirnya dia hanya berkata, "Baiklah," dan sungguhan pergi.

"Kakakmu judes, ya," kata Cal pada Emma. Aku mengabaikannya kali ini. Namun, Cal tidak membiarkanku makan dengan tenang. Katanya, "Jadi, kenapa kau berpikir para tipe 4 itu memang menuju Renjani dan bukannya Batavia?"

"Jalur dan arahnya," kataku. Kuingat-ingat semua titik yang belakangan diinfiltrasi zombie, terutama tipe 3 dan 4. "Di antara Renjani dan Batavia, ada Radenal dan Larus. Radenal bisa dibilang sudah jatuh, tetapi komunitas kurir di sana mempertahankannya."

Cal mengangguk-angguk bangga sampai aku akhirnya teringat yang di Radenal itu adalah komunitasnya.

"Di sisi barat Batavia secara berturut-turut ada Kotatua, Sandria, Thiva, dan Hevron. Jalan tol yang tadi disinggung Aryan telah dipenuhi zombie sebenarnya menghubungkan Kotatua-Hevron-Batavia-Radenal-Renjani. Setahun lalu, ada kasus infeksi massal di Kotatua—ia ditangani dengan cepat, tetapi gelombang zombie memasuki jalan tol dari sana. Tidak ada gelombang zombie yang memasuki Hevron dan Batavia sampai sekarang, artinya para zombie itu terus bergerak. Pertanyaannya: ke mana?"

"Artinya ... Radenal atau Renjani," jawab Cal sambil mengetuk-ngetuk dagu.

Aku mengangguk. "Semua laporan zombie yang mencoba masuk ke Batavia datangnya juga dari tiga kota ini—Larus, Radenal, dan Renjani. Tapi, bagaimana kalau ternyata gelombang zombie tersebut tak pernah mengarah ke Batavia? Jatuhnya Renjani siang ini adalah bukti. Segerombolan tipe 4—barangkali berasal dari Kotatua, Radenal, dan Larus—masuk ke Renjani."

"Bahkan belakangan ini Renjani juga terus kedatangan tipe 3 dan 4 yang padahal mulai jarang ditemui di kota lain." Cal tersadar. "Mulai dari zombie yang kubawa ke rumahmu sampai yang menyerangku di depan apotek."

Aku berjengit. Terpintas di benakku bahwa jangan-jangan Cal yang bawa sial.

"Heh, aku tahu apa yang kau pikirkan dari wajahmu itu." Cal menudingku di muka. "Waktu itu aku cuma kebetulan berada di tempat yang salah di waktu yang salah, ya. Bukan berarti aroma badanku mengundang zombie atau apa."

Aku mengangkat bahu. "Jaga-jaga saja—mungkin habis ini kita harus beli parfum atau pengharum udara untuk diletakkan di mobil."

"Begini, ya, Tuan Ilyas yang sok pintar. Zombie itu makan otak, jadi akan lebih masuk akal kalau mereka mengincar-mu. Soalnya otak orang genius pasti lebih enak dan banyak nutrisinya. Mereka mustahil mengincarku—"

Cal berhenti karena menyadari balasannya malah berbalik menghina dirinya sendiri, sementara aku mengangkat alis tinggi-tinggi dan menunggunya menyelesaikan ucapannya.

"Ayo, lanjut makan." Cal mengakhiri diskusi.

Aku makan sambil merenungi rencanaku lagi. Jelas sekali Cal takkan tinggal diam kalau tahu rencanaku untuk pulang lagi ke Renjani. Jadi, pertama, aku harus membuat Cal meninggalkanku—mungkin aku bisa pura-pura kena gigitan zombie dengan asumsi dia akan lebih memilih hengkang daripada menyerang leherku sekali tebas. Kedua, aku harus menghubungi Randall Duma—aku harus segera menghafal denah Batavia untuk menentukan di mana kami bisa bertemu. Tokoh masyarakat seperti dia pasti sulit ditemui. Ketiga—

Ketiga, pikiranku buyar saat Cal mendadak tergelak dan teh panas dalam mulutnya tersembur ke wajahku.

"Sori!" Cal tersedak, masih terbahak histeris. "Masalahnya, Emma mendadak menoleh dan wajahnya belepotan saus bistik sampai ke jidat—lihat itu! Kau pasti tidak punya hati nurani kalau tidak tertawa!"

Pada akhirnya aku tidak bisa berpikir jernih.

Sementara aku mengelap muka kami berdua dengan tisu, Emma menambah noda saus lagi dengan menimbun beberapa tulang ayam yang masih berdaging di pangkuannya, lalu membungkusnya dengan ujung bajunya sendiri. Kepalanya menoleh kanan-kiri seperti mencari-cari sesuatu.

"Apa yang kau cari?" tanya Cal seraya menyejajarkan wajah mereka. "Emma, kau mesti katakan apa yang kau mau supaya kami paham."

Emma memandangiku. Tangannya mengulurkan salah satu tulang ayam. Begitu aku menerimanya, dia merengek seolah aku melakukan kesalahan.

Melihatnya mengerutkan bibir, mata berkaca-kaca yang memandangi sekitar seperti mencari sesuatu, potongan ayam kecil-kecil yang disimpannya seolah dia ingin memberikannya ke seseorang tetapi bukan padaku—aku pun tersadar ....

"Emma," kataku perlahan seraya menjumputi potongan ayam di bajunya. "Nenek Aya sudah tidak ada di sini. Kau tidak bisa memberikan ini padanya."

Emma bersikeras mencengkram tulang-tulang ayamnya makin erat dan menolakku mengambilnya. Alisnya berkerut marah.

"Sini." Cal mengulurkan tangannya. "Berikan ke Cal. Nanti, Cal yang antar ke Nenek Aya."

Dengan patuh, Emma meletakkan semua potongan tulang-tulang ayam di roknya ke tangan Cal.

"Hanya sampai dia bisa diberi pengertian." Cal berkata sembari membungkusi sisa makanan Emma dalam tisu, lalu diam-diam membuangnya. "Tapi, pertama-tama, kita harus ajari adikmu ini bicara. Dan berjalan. Sudah waktunya dia belajar lari dari zombie dengan kakinya sendiri. Nah,"—Cal menghadapkan Emma ke arahnya. "Ayo, Emma, bilang sesuatu." Cal meraih sayap ayam yang masih disembunyikan Emma dalam kantung bajunya. "Ayo, coba, bilang 'bistik'. B-i-s-t-i-k. A-y-a-m."

Emma membulatkan matanya. "Bi!"

Aku menegakkan punggung, sedangkan Cal berseru girang. "Ya! Ayo, bilang bis-tik. Emma pintar! Sebutkan b-i-s-t-i-k. Bi—"

"Bi." Emma menuding ke jendela di belakang kami. "Jombi."

Wanita di meja kasir memekik bersamaan dengan bunyi keretak kaca di belakangku.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro