19. Ilyas dan Zohrah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 19: Ilyas's pov | 3511 words ||

Meski Cal tepat seraihan tangannya, zombie itu tidak melirik gadis itu sama sekali. Terpintas di benakku, jangan-jangan Cal benar—zombie memang lebih menyukai nutrisi dari otak yang sering dipakai. Meski bukan maksudku menyebut Cal jarang pakai otak, asumsi itu terbentuk sendiri di benakku.

Lalu, dalam sekejap aku kena karma karena secara tak sadar menghina Cal. Aku terjebak di ruangan yang tidak memiliki jalan keluar kecuali bolongan jendela dan plafon yang tersingkap. Padahal ini lantai teratas.

Sebuah tangga lipat berdiri di bawah lubang langit-langit. Jendela atau atap ....

Sambil masih menggendong Emma di satu tangan, aku memanjati tangga dan mendorong diriku melewati lubang pada langit-langit. Kudengar suara geraman, lalu tangga di bawah kakiku bergoyang.

Zombie itu tahu cara memanjat tangga.

Aku buru-buru merayap ke atap, lalu merosot ke tepi karena kemiringannya. Lengan atasku tergores hingga berdarah. Di tanganku yang satu lagi, Emma mulai gelisah. Pada kemiringan atap, aku salah mengambil langkah dan terpeleset. Lukaku bergesekan dengan ujung genting. Napasku tercekat dan kakiku kehilangan tenaga karena rasa sakitnya. Aku berhenti sambil tersengal-sengal.

Dari lubang di atap, si zombie melompat keluar. Tubuhnya memelesat tanpa rem melampaui aku dan Emma sampai ia jatuh terperosok, lalu lenyap di bawah sana diikuti suara hantaman. Namun, aku ragu kejatuhan itu membunuhnya.

Darah meleleh sampai ke pergelangan tanganku. Aku membeku di tepian atap dan bertahan pada kemiringannya, tidak bisa bersuara atau pun bergerak. Gelombang rasa panik mulai menyerang. Napasku memendek dan rasanya dadaku dibakar dari dalam. Jika begini terus, bukan zombie yang akan membunuhku, tetapi serangan panikku sendiri.

"Ilyas—zombie-nya! Jatuhkan zombie-nya!" Cal memekik di belakangku. Dia ikut naik, melewatiku pada keimiringan atap, mencoba mengecek ke tepi. "Ya, Tuhan—dia sudah jatuh, tapi ternyata belum mati-mati jug—gaaaah!"

Aku menangkap lengan bajunya tepat saat kaki Cal menggelincir ke ujung.

Cal berhenti jatuh, tetapi Emma memutuskan saat itu untuk menggeliat. Emma mengerang karena aku terlalu kencang memeganginya. Mataku berkunang-kunang dan rasanya aku hampir tidak bernapas. Aku terlambat menyadari peganganku pada Emma terlepas, dan adikku meluncur ke tepi genting.

Cal mencoba menangkap Emma, tetapi dia hanya sempat menyambar punggung jaketnya. Dalam posisi tergantung yang luar biasa tidak enak itu, Emma menangis. Kedua tangannya mulai melesak keluar dari lengan jaketnya sedikit demi sedikit.

Di bawah sana, si zombie masih berdiri dan menatap ke arah kami. Dia menunggu, dan itulah yang paling menakutkan darinya. Dia menunggu kami jatuh ke hadapannya.

Untuk ukuran zombie, wajahnya masih lumayan utuh, kecuali robekan kecil yang hampir membusuk pada pelipis kanannya. Rambutnya yang hitam agak botak membentuk garis horizontal di atas telinga kanan, berselubung debu dan bekas darah. Bola matanya yang kecil dan abu-abu memerhatikan kami.

Emma merosot lagi. Kedua tangannya sudah hampir keluar dari lengan jaketnya.

"Jangan lepaskan dia!" Aku memohon pada Cal. Satu tanganku yang masih berdarah gemetaran mencengkram tepi genting yang tajam. Aku menggeram dan menarik Cal, menyambar gadis itu di pinggang. "Jangan lepaskan adikku! Aku akan menarik kalian—"

Cal menjerit ketika Emma meluncur keluar dari jaketnya.

Pikiranku sempat kosong.

Aku merasa isi perutku ikut jatuh ke tanah, dengan pikiran yang masih tertinggal di atas, dan jantungku berhenti. Terlintas di benakku untuk melepaskan pegangan dan ikut melompat. Aku sempat lupa Cal masih berpegangan padaku.

Yang ada di otakku hanya: Kalau Emma mati, aku juga mati.

Teriakan Cal yang menyadarkanku lagi, "Ilyas! Dia menangkapnya!"

Aku berkedip dan pikiranku kembali berada di tempatnya. Jantungku berdegup sedemikian cepatnya sampai seluruh tubuhku ikut berdenyut. Aku mengernyit, mengamati Emma yang sudah mendarat dengan aman di tangan si tipe 4. Zombie itu memegangi Emma di bawah lengannya layaknya manusia menggendong anak.

Si tipe 4 membungkuk dan mendudukkan Emma di tanah. Masih menggelantung di tepi atap, Cal dan aku memerhatikan dengan syok saat zombie itu duduk bersila, berdiam diri, menyimak Emma menangis keras-keras di depan wajahnya.

Tidak satu pun dari kami paham apa yang terjadi.

Ketika Cal dan aku sudah turun, Emma masih menangis. Si zombie masih duduk diam menatapnya. Dan kami masih tidak mengerti apa yang terjadi.

Sementara Cal mengeluarkan mobil kami, kuraih Emma ke gendonganku. Aku berkedut kaget ketika zombiee ikut berdiri, matanya terpancang pada kami dengan tatapan dingin. Namun, dia tidak menerkam kami berdua.

Cal keluar dari mobil, tetapi dia tidak mematikan mesinnya. Dia mengeluarkan gergaji dari jok belakang, lalu si zombie mendadak mendesis, memamerkan gigi-gigi tajam yang menghitam bekas darah. Luka robek di pelipisnya mengerut, menampakkan daging merah muda di balik alisnya.

"Jangan." Aku memperingatkan Cal. "Masukkan lagi gergajinya, Cal."

"Tapi—"

"Lakukan saja," kataku. Ketika Cal melemparkan kembali gergajinya ke dalam mobil, zombie itu mundur dan berhenti mendesis.

Cal menyiagakan pentungannya dan menghampiriku, tetapi si zombie semata memicingkan matanya.

"Satu." Cal memulai.

Aku tergagap, "Tung—apa?"

"Dua."

"Cal—"

"Tiga!"

Cal mengayun pentungannya, menghantam zombie itu di wajah. Aku berlari ke arah mobil sambil membawa Emma. Cal menyusulku; malah, dia mendahuluiku masuk ke mobil, padahal dia sempat tertinggal beberapa langkah. Di belakang kami, si zombie tidak tersungkur lama-lama dan langsung lari hampir secepat Cal.

Kami masuk ke mobil, tetapi pintuku berderak sebelum aku sempat menutupnya. Zombie itu menarik pintuku, tetapi Cal sudah menghidupkan mesin dan langsung menginjak gas.

Aku menoleh ke spion. "Dia masih mengejar."

Cal mengangguk. "Mau tahu pendapatku? Menurutku, dia—"

"Mengincar Emma." Aku mendahuluinya. Sambil menepuk-nepuk Emma yang masih rewel, aku bernapas lewat mulut. "Dia sudah mengikuti kita dari Renjani."

Kepalaku mendongak ke sandaran jok. Rasa mualku membuncah. Jantungku berdentum-dentum sampai ke telinga, kepalaku berdenyut hebat, dan pandanganku menggelap. Lukaku terasa pedih, darahnya menetes-netes ke pengatur gigi mobil. Di sampingku yang lain, pintuku bergetar karena tidak bisa tertutup sempurna lagi.

"Lukamu ...." Cal terdengar cemas. Matanya melirikku dan spion bergantian. "Tapi, kita tidak bisa berhenti sekarang. Zombie itu masih di belakang."

"Di distrik selanjutnya, kita berhenti di pos polisi ..." kataku lemah. "Kalau kita beruntung ... seseorang akan menangkapnya."

"Entahlah Ilyas." Cal menukas. "Para polisi itu tak tahu apa yang mereka hadapi. Aku tahu betapa berbahayanya tipe 4, dan tetap saja aku membunuh satu di rumahmu saat itu hanya dengan keberuntungan—zombie itu sedang membelakangiku dan fokus padamu dalam lemari."

"Zombie di belakang ini mengincar Emma ...." Aku berpikir. "Jadi, kalau Emma kita sembunyikan di pos polisi, lalu aku membawa jaket dan baju yang habis dipakai Emma, dan berdiri di jalan di depan zombie itu, mengalihkan perhatiannya, kau bisa mengendap—"

"Tidak." Cal menegakkan punggungnya. Tangannya mencengkram roda setir sampai buku jarinya memutih. "Tidak boleh. Itu berbahaya."

Cal membanting setir ke kiri, memasuki area bekas persawahan yang sudah ditinggalkan dan tampak kering. Dia mencoba memotong jalan, tetapi pengejar kami masih begitu gigih di belakang.

"Joo." Emma berdiri di pahaku, tangannya berpegangan ke pundakku, dan dia menatap ke belakang. "Jo jombi bistcik."

"Oke, aku mulai jengkel pada si Jojo ini." Cal kembali ke jalan beraspal dan melambat dengan sengaja. Ketika zombie itu hampir mencapai bumper, Cal menginjak gas sedikit lebih dalam, lalu mengerem tiba-tiba.

Gedubrak.

Isi perutku terkocok dan kepala Emma membentur daguku karena momentum mobil. Namun, luka kami pasti tak seberapa dibandingkan dengan si zombie.

"Kau menabrak zombie itu," kataku ngeri.

"Wah, ya ampun." Cal pura-pura terkejut. "Aku bakal ditangkap PN karena tabrak lari dan menewaskan satu mayat hidup."

Cal mengatur gigi, matanya mengamati spion. Mobil bergerak mundur dan menghantam sesuatu. Aku tidak berani menoleh.

Mobil maju dan mundur berkali-kali, tersentak-sentak dan menabrak dan menggilas. Cal mengemudi dengan beringas sembari berseru, "Mati! Mati! Mati!"

Karena guncangan, aku berkata, "Mual ...."

Emma menyetujuiku, "Ueek."

"Sip." Cal kembali melaju. Matanya mengerling spion. "Belum mati dan masih berkedut sambil tengkurap di sana. Dia takkan bisa bangun untuk sementara waktu. Mari kita berdoa ada truk enam belas roda yang sebentar lagi akan melewatinya."

"Joo Bistcik?" Emma mengangkat kepala dan menatapku seolah bertanya, Apa zombienya tidak ikut sama kita?

Kueratkan pelukanku. Ini gawat. Adikku akrab dengan zombie lebih cepat daripada dia akrab dengan Cal dan Nenek Aya.

"Waktu umurku 4 tahun, aku punya ikan mas. Aku menamainya Justin." Cal memberi tahu. "Adikmu malah menamai zombie—itu patut diapresiasi, Ilyas."

Kami berhenti beberapa kali untuk istirahat dan mendinginkan mesin mobil. Lewat tengah hari, kami kembali berhenti untuk mengisi bahan bakar.

Pom bensin itu sepi dan tidak ada penjaganya, jadi menurut Cal, bensinnya gratis. Bahkan minimarket di sebelahnya juga tidak ada pegawainya. Aku hampir merasa bersalah memakan makanan dan mengambili barang-barang tanpa membayar, tetapi menurut Cal tidak ada gunanya buang-buang uang simpanan untuk penjual yang barangkali tidak akan pernah mengambil uangnya.

"Zombie tadi," kata Cal seraya membantuku membalut lengan yang sudah diobati. "Jangan-jangan dia lebih suka otak bayi daripada otak orang dewasa. Ih!"

"Tidak," tukasku seraya bersandar ke rak obat-obatan di belakangku. "Kalau memang demikian, dia tak perlu repot-repot mendudukkan Emma di tanah tadi. Dia bakal langsung memakannya. Malah, dia seharusnya sudah menggigit Emma sejak awal kita masih mencari-carinya. Aku sudah mengeceknya, tapi tidak ada bekas gigitan. Bekas kuku saja tidak ada."

"Bisa saja dia menunggu Emma selesai menangis. Mungkin dia tidak suka santapan yang sedih."

"Jangan aneh-aneh, Cal."

"Kalau begitu, mungkin zombie itu mengincarmu."

"Tidak juga."—Kuinjak ujung baju Emma saat dia mulai merangkak menjauhi kami lagi—"Arah tatapannya jelas sekali ke Emma. Dia juga baru mulai mengejar saat aku membawa Emma lari. Kurasa, jauh lebih masuk akal kalau ... itu bagian atau ciri khas tipe 4-nya."

"Maksudmu?"

"Tipe 4 mulai menalar dan berpikir," kataku, "jadi mungkin mereka juga punya ingatan. Entahlah, mungkin beberapa bagian dari masa lalu mereka saat masih jadi manusia? Zombie tadi menggendong adikku dengan menyelipkan tangannya di bawah lengan Emma seperti manusia menggendong anaknya. Zombie biasa pasti cuma menjinjing lengan atau kaki—gerakan sederhana yang mampu dilakukan otot-otot mereka. Tipe 4 yang kau bunuh di rumahku memecahkan kaca, mencopot terali, menaiki tangga, mendobrak pintu kamar, dan membuka lemari baju—itu juga gerakan yang takkan bisa dilakukan kecuali mereka ingat cara melakukannya dan otot mereka mendukung untuk melakukan itu."

"Jadi, maksudmu, zombie itu mungkin mengenali dan mengingat wajah kalian? Barangkali, dia keluarga kalian yang berubah jadi zombie?"

"Kalau begitu, aku pasti mengenalinya," tukasku. "Aku juga sudah pernah melihat album foto semua kenalan Pak Gun dan Bu Miriam—aku ingat semuanya. Aku tidak mengenali wajah zombie tadi. Lagi pula, sedikit sekali orang yang pernah melihat adikku. Pak Gun dinyatakan mati saat Emma belum lahir. Bu Miriam tewas saat Emma masih tujuh bulan. Emma tidak pernah difoto sejak itu, dan aku tidak pernah membawa Emma ke mana-mana. Yang pernah melihat Emma hanya Nenek Aya, kurir asing, kau, dan kerabatku yang dari Batavia. Mustahil kurir asing yang hanya sekali melirik wajah kami bisa seingat dan seniat itu mengejar adikku. Kerabatku di Batavia juga masih hidup, bukan zombie."

Kalau Randall Duma juga jadi zombie, pasti sudah heboh di berita, tambahku dalam hati. Lagi pula, zombie tadi sama sekali bukan orang yang kukenal.

"Kalau begitu ... mungkin Emma mirip dengan seseorang yang pernah dikenalnya?" usul Cal. "Barangkali anaknya. Zombie tadi kelihatannya akhir usia 20-an. Dia mungkin pernah punya anak."

Aku mengerutkan alis. "Bisa saja."

Cal mengikat balutan lenganku sampai bahu, lalu membuatku terperanjat saat bibirnya mendarat ringan di atas lukaku yang tertutup perban. Dia kemudian tampak menyadari perbuatannya dan tergagap, "Eh—itu, b-biasanya, i-ibuku melakukan itu saat aku terluka. Kayak, supaya lukanya cepat sembuh. Supaya rasa sakitnya kabur. Su-supaya—"

"Oke." Aku berpaling dan menutup mulut dengan punggung tangan. Kurasakan wajahku panas sampai leher. "Makasih."

"Bek." Emma memecahkan keheningan. Jarinya menuding bebek-bebekan karet di atas rak dekat spons mandi dan sabun-sabun. "Bek-bek. Iyas, bek-bek."

Benar juga. Bebek-bebekan karet kesayangannya hilang baru-baru ini karena dilempar ke zombie dari atas langkan rumah.

Aku baru berdiri untuk mengambilkannya salah satu bebek karet itu ketika mendadak Cal menarik kami ke lorong antara dua rak. Satu tangannya terulur ke samping lenganku, menekan rak di belakangku. Satu jari tangannya yang lain berada di bibir. Sorot matanya memancarkan sinyal awas.

Zombie. Dia berbisik tanpa suara.

Aku membenarkan posisi Emma di bahuku dan menutupi mulutnya dengan satu tangan, tetapi untungnya Emma sedang tidak rewel.

Kami mengintip dari balik rak dan melihat seorang pria berbaju staf minimarket penuh darah keluar dari sisi deretan kulkas minuman dingin. Luka kepalanya besar sekali sampai matanya tidak terlihat. Sepertinya ia pingsan saat diserang zombie dan baru saja berubah—sekarang, ia bangun dan mencari otak pertamanya.

Tipe 1—tidak bisa dibunuh. Cal berkata lagi. Dia menunjuk mata dan hidungnya bergantian. Mungkin buta, dan belum mengendus bau sebaik tipe 3. Lalu, dia menunjuk telinganya. Tapi, pendengarannya ada.

Baiklah, artinya, percuma saja melawan—tipe 1 tidak merasakan sakit dan badannya masih mampu bergerak selama beberapa waktu meski dipenggal. Jadi, kami hanya perlu mengendap ke pintu tanpa suara. Lagi pula, pintunya sudah terbuka dari tadi dan tinggal lurus saja. Kami hanya perlu menunggu zombie itu lewat. Kemudian—

Ngek ngok!

Aku menoleh dan dengan ngeri mendapati tangan Emma telah mencengkram bebek karet di atas kepalaku.

"Bek." Emma berujar senang dan tangannya memencet-mencet si bebek sampai bunyinya tak terkendali. Ngek ngok ngek ngok ngek ngok.

Cal dan aku segera berlari ketika si zombie mengintip dari balik rak yang kami sandari. Dia berjalan lurus ke arah kami, artinya zombie ini cuma setengah buta.

Aku melakukan kesalahan karena berlari tanpa melihat Emma yang masih membawa bebek karetnya. Jadi, meski kami menyingkir dari jarak pandang si zombie ke rak sebelah, ia masih mengejar karena dipandu oleh ngek ngok ngek ngok ngek ngok ngek ngok ngek ngok.

Kami berbelok ke sisi rak camilan dan jadi makin jauh dari pintu.

"Hentikan!" Cal lepas kendali dan merebut bebek karet dari tangan Emma.

Emma syok untuk sedetik lamanya. Bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Dia merengek kecil. Sebelum tangisan melengkingnya pecah, aku menggigit bebek karet di tangan Cal dan merebutnya, lantas mengapitnya erat-erat di antara gigi-gigiku sampai penyet. Terdengar bunyi ngeeek panjang satu kali, lalu bebek itu tak berbunyi lagi meski dipencet oleh Emma.

Kami berlari lagi ke balik rak lain. Setelah dua kali belokan, kami berhasil keluar dari minimarket bersama semua bawaan kami. Karena panik, kami segera naik ke mobil dan tancap gas. Kami melupakan sesuatu.

Aku melepaskan bebek karet dari mulutku dan meludah ke samping. "Puah! Rasa karet!"

"Sori, aku membentakmu, Emma." Cal terdengar menyesal sungguhan. Jari tangannya menotol-notol pipi Emma. "Maafkan Cal. Cal tadi marah pada bebeknya, bukan pada Emma. Aku minta maaf, ya?"

Emma kembali memencet-mencet bebek karetnya. Kepalanya merebah di dadaku. Dari cebikan bibir dan sisa air di matanya, dia masih ngambek.

Cal menatapku dengan paras mengiba sampai kelihatannya hampir lucu.

"Nanti dia akan lupa sendiri," kataku. Kukeluarkan peta dari dasbor. "Sekarang kita harus pikirkan harus berhenti di distrik selanjutnya atau tidak. Tapi sebentar lagi matahari terbenam, jadi—"

Mesin mobil mendadak mati.

"Kenapa lagi ini?!" Cal memukul-mukul setir dan menyalakan mesin dengan percuma.

"Cal," kataku tersadar betapa bodohnya kami, "kau ingat kenapa kita berhenti di minimarket tadi siang?"

Cal mengernyit. "Buat isi bens—" Dia terdiam, lalu menjatuhkan kening ke atas roda setir. "Ah, geblek."

Kami berhenti di pom bensin, tetapi tidak mengisi bahan bakar. Kami malah beranjak ke minimarket lebih dulu untuk isi perut, istirahat, dan mengobati lukaku, lalu langsung lari karena berpikir zombie staf minimarket tadi mengikuti.

Sekarang, kami terdampar di tengah jalanan kosong. Tak ada apa-apa selain lahan persawahan dan jalan beraspal yang mulai retak-retak sejauh mata memandang. Kami bahkan belum mencapai jalan berbatu yang Aryan singgung karena berhenti beberapa kali. Hari mulai gelap, pom bensin tadi sudah terlewat 2 kilometer jauhnya, dan distrik selanjutnya masih 5 kilometer.

"Ilyas," kata Cal, "kau cowok, 'kan?"

Aku hampir tersinggung, lalu aku menyadari maksud di balik pertanyaan yang diajukannya. Aku langsung berharap andai saja aku bisa menjawab, Bukan.

Dengan sebal, aku keluar dari mobil dan mulai mendorong bumpernya.

Cal menurunkan kaca jendelanya. "Nanti gantian, kok, Yas. Hanya untuk mempersingkat jarak kita ke distrik selanjutnya. Berdoa saja ada mobil lain yang lewat sebelum kita tepar."

Kami tepar bahkan sebelum mencapai distrik selanjutnya, dan tak ada kendaraan yang lewat untuk dimintai tolong. Hanya sekitar sepuluh menit setelah Cal ikut bergabung denganku mendorong mobil, dan Emma membunyikan bebek-bebekannya dari kaca yang terbuka untuk menyemangati, jalan mulus berubah jadi jalanan berbatu. Aspalnya habis. Ban mobil jadi macet. Malam mulai turun.

Kami tidak punya pilihan selain masuk ke mobil dan siap siaga dengan senjata di tangan. Cal memangku pentungannya dan memasang shoulder holster yang diambilnya dari pos polisi Renjani, lalu mengisi peluru senjata api—barangkali, peluru akan mempan untuk tipe 4.

Pada saat-saat seperti inilah aku merindukan radioku. Kami bisa meminta pertolongan andai saja radioku tidak rusak. Atau mungkin kami seharusnya meminta radio komunikasi dari pos polisi distrik sebelumnya. Atau akan lebih praktis lagi kalau ada telepon yang bisa dibawa-bawa—kurasa, dulu kami memiliki benda macam itu sebelum kiamat zombie pertama tahun 2096, tetapi aku tak pernah menemukan catatan sejarahnya kenapa penemuan-penemuan macam itu punah.

"Zombie aneh tadi pasti sudah bergerak lagi untuk melacak kita," kataku.

Cal menggertakkan giginya. "Kau harusnya berdoa truk 16 roda menggilasnya."

Aku mendesah menatap sarung pisau di tanganku. "Perlu kuingatkan, aku tidak pernah pakai pisau untuk hal lain selain memasak, Cal. Dan aku gampang muntah saat berhadapan dengan zombie."

"Ah, kau akan baik-baik saja," kata Cal. Dia menurunkan sandaran joknya dan menelusup ke belakang untuk mengambil tasnya. "Ayo kita minum dulu. Tadi aku bawa jus dan susu dari minimarket—"

Cal membeku. Aku juga. Mataku terpaku pada spion tengah yang menampakkan kaca belakang, di mana seseorang berdiri tepat di belakang sedan kami. Pikiran pertama yang telintas di benakku adalah: Sejak kapan? Kemudian, Kemeja putih bebercak darah itu, 'kan ....

"Joo Bistik!" Cal terpekik, bertepatan dengan kepalan tangannya yang terangkat menghantam kaca belakang, memecahkannya seketika.

"Mana truk 16 rodanya?!" Aku mendesak Cal karena histeria membuatku tak bisa berpikir jernih.

"Doamu yang seharusnya memanggil truk itu!" balas Cal.

Joo Bistik merangkak masuk lewat kaca belakang. Kemejanya sobek dan darah mengucur dari punggungnya karena gesekan kaca.

Cal tidak bisa menembak dalam tempat sesempit ini dan pergerakan kami terbatas untuk melawan zombie tipe 4. Jadi, kami hengkang dari sedan itu.

Zombie itu menarik diri dan membebaskan badannya dari kaca belakang. Tak seperti sebelumnya, zombie ini berhenti mengejarku dan Emma. Ia benar-benar hanya terfokus pada Cal sekarang, dengan dendam kesumat maksimal.

Ini dia. Zombie ini memang punya daya ingat. Mengingat sama sekali bukan pekerjaan zombie—itu sebabnya orang-orang terinfeksi tidak pandang bulu saat menyerang. Mereka bahkan tidak tahu lagi siapa diri mereka. Namun, zombie yang ini tampaknya ingat apa yang telah Cal lakukan padanya, mulai dari mementungnya di muka, menabraknya, sampai menyumpahinya digilas truk enam belas roda.

Cal berdiri tegap menantang zombie Joo, matanya menyorot tegas tanpa rasa takut, shoulder holster mengikat dari bahu sampai pinggang dan begitu pas di badannya, tangan kanannya menyiagakan pentungan dan tangan kirinya bersiap mencabut pistol pada saku samping. Entah untuk alasan apa, aku tidak bisa melepaskan mataku sedikit pun darinya.

Tangan Cal bergerak begitu cepatnya sampai aku tak menyadari dia sudah mencabut pistol. Namun, si zombie punya refleks di luar dugaan. Dia bergerak ke samping saat Cal menembak, lalu menerjang gadis itu tanpa jeda.

"Cal!" Aku berteriak dan berlari ke arahnya. Bahkan Emma ikut memekik dan terisak-isak, entah menyadari Cal dalam bahaya atau dia hanya kaget dengan suara tembakan.

Pergerakan zombie itu melambat di saat-saat terakhir hingga Cal berhasil menghindari dan memukulkan pentungan ke sisi wajah Joo. Cal terduduk karena momentumnya.

"Dia mengingatmu!" Aku menghampiri Cal. "Masukkan lagi senjatamu, Cal!"

"Kau tidak lihat dia mencoba membunuh kita?!" Cal menukas.

Dia memekik kaget saat aku merebut pentungannya. Aku berbalik, menghadap si zombie yang kini berjalan gontai ke arah kami. Pipinya bengkak. Matanya mengerling Emma di gendongan tanganku, lalu dia kembali menatapku. Namun, zombie Joo tidak menyerang.

Cal mengeluarkan suara mencicit tak percaya saat aku menggeletakkan pentungannya ke jalan. Kualihkan Emma ke tangan Cal—kalau zombie ini memang mengincar adikku, aku lebih percaya jika dia di tangan Cal daripada di tanganku. Kuangkat kedua tanganku sejajar kepala, dan zombie itu pun meragu di sana.

"Senjatamu." Aku berbisik. "Dia menyerang kita sebelum ini karena mencoba menyerangnya lebih dulu. Matanya terus terarah ke senjatamu."

Dengan enggan, Cal menurut dan melepaskan pistolnya. Lalu, hal yang tak kuduga sama sekali terjadi: zombie itu berhenti, lalu jatuh terduduk. Darah mengucur dari tempat-tempat kaca mobil menancap di tubuhnya. Dia tersengal.

"Baiklah," kata Cal lamat-lamat, "sekarang pilihannya cuma dua, Ilyas. Kabur atau membunuhnya."

Zombie itu mengangkat kepala lagi. Matanya berkilat menatap Cal. Kami tersaruk mundur.

"Dia bisa mengerti ucapanmu," kataku. Suaraku diliputi campuran aneh antara rasa ngeri, syok, dan kekaguman.

Zombie itu masih bersimpuh di dekat mobil kami. Tangannya menggerapai perlahan pada serpihan kaca di sisi-sisi tubuhnya, mencabutinya.

Cal mencengkram ujung bajuku. Satu tangannya membenarkan posisi Emma. "Apa pun yang kita lakukan sekarang, dia akan terus mengikuti kita. Mobil kita mogok. Kau tahu pilihannya tinggal satu, Ilyas. Kita bun—" Si zombie memelototi Cal lagi, jadi gadis itu belajar menghindari kata 'bunuh'. Dia meralat, "Kita habisi—" Masih melotot. "Kita anu saja dia."

"Tapi, kau lihat gerakannya tadi." tukasku. "Kau hampir mampus. Kita tidak bisa membu—menganunya tanpa risiko tergigit atau luka parah atau mati."

"Kabur dulu?" usulnya. "Lari sekencang-kencangnya dan berdoa ada truk enam belas roda?"

Aku mengangguk kaku. "Kalau ada sepeda roda dua saja aku sudah bersyukur."

Kami melangkah pelan-pelan, memutari zombie itu dengan hati-hati. Ia masih berusaha mencabuti beling dari pinggangnya, mengotori pakaiannya dengan lebih banyak darah.

"Lihat ...." Aku berhenti. Tanpa kusadari, tanganku mencari-cari tangan Cal dan menggenggammnya. "Itu ... di lehernya."

Cal memicingkan mata.

Ada sesuatu di leher belakang zombie Joo, serupa bilur-bilur atau mungkin luka parut. Namun, alur-alurnya menyerupai tulisan, seperti dirajah di kulit tengkuknya, amat kecil dan mustahil terbaca kecuali kami mengambil jarak cukup dekat.

Karena zombie itu sedang tidak berdaya, kami mampu berbuat nekat dan beringsut-ingsut cukup dekat untuk mengamati tato itu. Tanganku yang gemetar memegangi Cal begitu erat.

"Joh ... rah ...." Cal membaca sambil memiringkan kepala.

"Joo!" tukas Emma yang tidak setuju dengan Cal. "Joo Bistcik!"

"Zohrah." Aku meralat, melanjutkan membaca dengan mata membelalak. "Zohrah T17-85 Escapade."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro