20. Cal dan Zarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 20: Cal's pov | 4108 words ||

Semua senjata dan sedan yang kami bawa dari Renjani terlalu berharga untuk ditinggal, tetapi kami tidak punya pilihan. Kami mesti meninggalkan semuanya dan jalan kaki ke distrik selanjutnya. Sementara Ilyas memilah apa saja yang mesti dibawa dari mobil, aku menggendong Emma sambil mengawasi zombie Joo.

"Cal," kata Ilyas dengan setengah badannya masih berada dalam mobil, "apa menurutmu zombie tipe 4 bisa lelah juga?"

"Tidak tahu, Ilyas. Selama ini aku hanya mendengar tentang tipe 4 dari mulut Serge. Tipe 4 yang kubunuh di rumahmu itu adalah tipe 4 pertama yang kulihat."

Zombie tidak bisa merasa lelah atau sakit, bahkan tipe 4 yang responsif pun masih tidak cukup responsif untuk dibilang 'merasa'. Mereka bisa saja kehilangan tangan, jantung mencuat keluar, kaki hilang, dan usus diseret-seret di jalan, tetapi masih kuat jalan-jalan di kota mencari otak. Namun, untuk saat ini cuma dugaan Ilyas yang masuk akal untuk diterapkan ke zombie Joo/Zohrah.

Zombie Joo masih duduk di tengah jalan. Darahnya keluar banyak sekali—aku habis menggilasnya tadi siang dan sekarang tubuhnya tersayat-sayat pecahan kaca belakang sedan. Manusia biasa pasti sudah mati. Namun, itu salahnya sendiri. Buat apa juga dia mencoblos kaca belakang pakai badannya? Ilyas juga jadi kerepotan memilah barang karena pecahan kaca di jok belakang.

Ilyas baru saja keluar ketika zombie Joo mendadak ambruk. Kami berhenti dan menatap Joo Bistik penuh antisipasi.

Zombie itu tengkurap di tengah jalan dan tidak bangun-bangun. Dia terlihat seperti korban tabrak lari sungguhan—kecuali fakta bahwa kakinya berkedut. Mayat keras kepala itu masih hidup.

"Kesempatan," kata Ilyas seraya menutup pintu mobil.

Ilyas menurunkan semua ransel kami, denah menuju Batavia, pentunganku, selembar foto, dan alat pengecek darah bersama kotak jarumnya. Sepucuk pistol dan beberapa pak amunisi tersimpan di saku shoulder holster di badanku.

"Nih," kata pemuda itu seraya mengoper ranselku, pentungan, dan selembar foto.

Kupandangi foto yang diberikannya. "Ini bukan punyaku."

Ilyas balas menatapku dengan bingung. "Tapi itu juga bukan punyaku. Ada di jok belakang, jadi kupikir ...."

Kami mengamati foto tersebut. Ia dilaminating sehingga gambarnya tidak dimakan usia, tetapi jahitannya sudah hampir lepas dan plastiknya sudah rusak dan terlipat-lipat. Noda kecokelatan di sekitarnya berbau anyir, yang kemudian kusadari itu bekas darah. Buru-buru kujatuhkan foto itu, yang malah dipungut Ilyas pakai saputangan. Kulap jari tanganku ke celana.

Ilyas mencopot plastik laminatingnya sampai kami bisa melihat dengan lebih jelas sebuah potret sepasang muda-mudi yang saling rangkul. Si pemudi menggendong seorang bayi perempuan. Kataku, "Kau yakin ini bukan punyamu? Anak ini Emma, 'kan?"

"Bukan ... adikku mukanya tidak segalak ini." Ilyas mengangkat foto itu, lalu menjajarkannya pada tubuh tergolek si zombie Joo. "Jangan-jangan ...."

Aku menghentikannya saat dia berusaha mendekati Joo. "Mau apa kau?"

"Mencocokkan mukanya dengan pemuda di foto ini. Dia sempat tersangkut di kaca belakang, ingat? Mungkin foto ini terjahit di saku belakangnya dan jatuh ke dalam mobil saat dia mengeluarkan badannya."

"Kalau dia mendadak bangun dan menerkammu, bagaimana?!"

Ilyas mempertimbangkan ucapanku, lalu kehilangan nyali. Dia akhirnya membolak-balikkan foto itu dan mengernyit ketika mendapati tulisan di bagian belakang kertas di pojok bawah: Harus pulang. Saskia & Zarah. 2085.

"Zohrah T17-85 Escapade," gumam Ilyas. "Itu cap di belakang leher si zombie, 'kan? Dan di sini 2085. Barangkali ... 85 itu maksudnya tahun 2085. Mungkin, ini anak-istrinya tahun 2085, sebelum dia berubah jadi zombie." Ilyas memicingkan matanya. "Ada huruf Z pada bandul kalung anaknya. Jadi, Zarah itu anaknya."

"Wow." Aku berdecak kagum. "Memang mirip Emma. Kecuali alisnya."

Ilyas memasukkan foto itu ke dalam ranselnya. "Makin banyak alasan kita untuk menjauhi zombie ini. Aku tidak mau adikku diadopsi zombie. Ayo."

Di pertengahan jalan, akhirnya ada kendaraan yang lewat—sebuah mobil pikap yang mengangkut pengungsi dari distrik sebelumnya. Setelah sopirnya yakin kami bertiga tidak terinfeksi, kami diizinkan menebeng di bagian bak bersama sembilan pengungsi lainnya menuju Distrik Arum.

Sepanjang jalan, aku mesti menjaga tangan Emma agar tidak mencomot pistol di sakuku. Aku duduk di ujung, mengabaikan tatapan para pengungsi pada pucuk senjata dan beberapa pak amunisi di badanku. Sementara itu, Ilyas mengobrol dengan beberapa orang. Saat dia akhirnya duduk di sebelahku, Ilyas berbisik, "Tak seorang pun menyinggung jasad di tengah jalan atau zombie. Artinya, zombie Joo sudah bangkit lagi sebelum mobil ini melewatinya."

"Atau," bisikku penuh harap, "si sopir tidak melihatnya, lalu menabraknya tanpa sadar. Jalanan ini berbatu—pasti tidak akan ada yang sadar. Mungkin si zombie sudah menggelinding ke sawah dan mati sunggguhan."

"Semoga saja." Namun, Ilyas masih tampak risau. Jari tangannya meraba keliman jaketnya, menyentuh kancing-kancingnya, merapikan rambut Emma, dan merapatkan jaket adiknya. Satu kali, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk lutut celanaku, lalu dia menarik kembali tangannya begitu sadar. "Sori, kebiasaan."

Berbeda dari distrik sebelumnya yang hanya berupa perkampungan, Distrik Arum lebih menyerupai kecamatan atau kota kecil yang biasa kulalui di sekitar Radenal. Begitu sampai, kami langsung diperiksa dengan ketat dan melalui satu jam tanya-jawab di balai pengungsian. Ilyas menjawab berputar-putar saat ditanyai dari wilayah mana kami berasal, kemudian aku keceplosan kami dari Renjani.

"Berita mengenai parahnya situasi Renjani pasti sudah tersebar hari ini." Ilyas menggaruk pelipisnya dengan satu jari sementara para petugas berbisik-bisik tak jauh dari kami. "Mereka takkan membiarkan kita masuk dengan mudah sekarang."

Aku terbengong-bengong. "Sori. Harusnya tadi aku menjawab kita dari distrik sebelumnya saja sepertimu."

Sesuai ucapan Ilyas, kami masih tertahan sementara pengungsi lain sudah pergi. Para petugas langsung menggiring kami ke ruangan terpisah untuk digeledah lebih jauh. Tas-tas kami disita sementara. Emma menangis sekencang-kencangnya karena dipisahkan dari Ilyas sampai membuat petugas yang menggendongnya kebingungan. Dua petugas wanita yang bawel memaksaku melepas pakaian dan terus menanyaiku tentang bekas luka lama di badanku. Setelah mereka memastikan tidak ada bekas gigitan zombie di tubuhku, aku dilepas ke ruang tunggu.

Sudah hampir tengah malam saat akhirnya Ilyas bisa keluar dan barang-barang kami dikembalikan—aku sempat heran kenapa proses pemeriksaannya bisa selama itu, bahkan lebih lama dariku. Sebelum kami keluar dari balai dan kamp. pengungsian, aku dan salah satu petugas adu mulut lagi karena mereka menolak mengembalikan semua senjata kami. Meski aku mengeluarkan tanda pengenal kurirku, para petugas tolol itu tetap menyita senjata api dan amunisinya. Mereka hanya mengembalikan pentungan dan sarung pisau.

"Orang-orang serakah!" Aku meneriaki mereka dari seberang jalan sementara Ilyas menyeretku menjauhi balai. "Pistol dan amunisi itu mahal kalau dijual—kalian menyitanya buat keuntungan kalian sendiri!"

"Iii!" Emma ikut menjerit marah seolah menyetujui pendapatku. Kurasa, dia juga masih kesal karena sempat dipisahkan dari kakaknya selama beberapa jam.

"Sudahlah, Cal!" Ilyas menarikku lebih kuat. "Jangan macam-macam di kota orang. Kita harus cari tempat menginap sekarang—ini sudah lewat tengah malam."

Kami melewati bangunan rumah sakit, bar sepi, warung kopi yang ditongkrongi kurir, hingga akhirnya menemukan penginapan murah yang cocok. Penginapan ini hanya setinggi dua lantai. Kami beruntung bisa dapat kamar di lantai bawah yang punya kamar mandi di dalam dan dua tempat tidur terpisah—menurut Aryan, kami mesti menghindari bangunan bertingkat-tingkat.

Ilyas langsung memandikan Emma sementara aku terkapar di atas tempat tidur, masih berpakaian lengkap dan belum lepas jaket. Kunyalakan televisi dan menonton berita. Benar saja, keadaan Renjani jadi tajuk utama di mana-mana. Tim evakuasi masih tidak bisa masuk sama sekali. Jumlah total orang yang selamat masih tidak diketahui sampai sekarang.

Ilyas keluar dari kamar mandi dengan bagian depan pakaiannya yang basah kuyup dan air sabun menetes-netes dari ujung poninya. Di gendongannya, Emma sudah bersih dan wangi, mengenakan kaus kaki bergambar kelinci, piama bermotif anak ayam bertudung kepala bentuk panda (apa, sih, maunya si pembuat baju?).

"Cal, bisa tolong keringkan rambut Emma?" Ilyas menaruh adiknya di atas perutku tanpa menunggu persetujuanku, lalu masuk lagi ke kamar mandi.

Masih rebahan, kugosok rambut Emma yang duduk di atas perutku. Pantatnya menghadap wajahku dan aku curiga Emma buang angin dua kali. Kutelengkan kepalanya ke kanan karena menghalangi layar televisi.

Emma bersin tiga kali sampai hidungnya merah. Akhirnya, aku mesti duduk dan buru-buru menyambar tisu di meja sebelum Emma menelan ingusnya sendiri.

Aku duduk lebih tegak saat Aryan muncul di layar, diwawancarai dari Dhavlen.

"Ya. Hanya kami berempat yang berhasil keluar. Tapi, pada akhirnya saya tidak punya pilihan selain meninggalkan kedua anak itu dan si adik kecil di Distrik Turan, bersama satu-satunya mobil yang kami selamatkan dari Renjani. Saya harus melayani negara dan segera berangkat ke Dhavlen."

Aryan terdengar begitu sedih dan cemas, padahal seingatku, kami berpisah dengan amat kasual—malah, dia beranjak tanpa membayar makanannya. Andai waktu itu tidak ada keributan zombie, biayanya pasti dibebankan pada kami.

"Saya sempat membekali mereka dengan persenjataan memadai dan peta menuju Batavia—saya harap, mereka sudah ada di sana sekarang, berkumpul bersama keluarga yang mereka cari."

Gadis muda yang mewawancarainya memuji ketulusan dan keteguhan sang polisi muda, lalu menyinggung tentang gelombang baru zombie di Distrik Turan, yang kemudian dibalas dengan ucapan penuh simpati lagi oleh Aryan.

Aku mengernyit. Seingatku, Aryan disuruh salah satu polisi di sana membuat laporan tentang Renjani sebelum meninggalkan distrik—seharusnya dia masih di sana saat kemunculan zombie yang ditunjuk Emma. Kalau dia sepeduli itu, dia bisa saja mengecek kami.

Yah, meski Aryan membantu kami lolos dari Renjani dan menyelamatkan Emma, pada akhirnya dia sendiri memiliki sisi individualis seperti orang-orang kebanyakan. Lagi pula, kurasa dia masih syok karena aku memenggal salah satu rekannya—Pak Bas yang terinfeksi. Sedangkan rekannya yang satu lagi mengorbankan diri agar kami bisa kabur.

Aku masih fokus ke televisi, dan Emma sudah ketiduran di kakiku, ketika pintu kamar mandi terbuka. Ilyas hampir keluar hanya dengan selembar handuk terlilit di pinggang, tetapi kemudian membeku saat melihatku. Kami saling tatap dan sama-sama membatu selama beberapa detik sampai dia buru-buru mundur kembali ke dalam kamar mandi dan menutup pintu.

"Maaf!" Ilyas berseru dari balik pintu. Kurasa, dia lupa kami tidak lagi di rumahnya, dan dia jelas lupa ada aku di sini. "Cal, bisa tolong ambilkan tasku?"

Setelah meletakkan Emma di tengah-tengah kasur, aku merosot turun dan membawakan ranselnya. Saat dia menyambut tas itu dari balik pintu, aku bertanya, "Ilyas, kenapa pemeriksaanmu di balai pengungsian tadi lama sekali?"

"Memang kau tidak lama?" balasnya dari balik pintu.

"Tidak selama kau."

Begitu Ilyas keluar, dia terperanjat karena aku masih di depan pintu. Wajahnya memerah, barangkali karena dingin—siapa suruh mandi tengah malam?

Aku mengekorinya duduk di tepi tempat tidur dekat Emma, tetapi dia masih tidak mau menjawab. Matanya menghindariku. Aku mendengkus tidak sabar dan menyingkap pinggang sweternya. Ilyas terlompat menjauhiku sementara aku terperangah. "Itu ... barusan, bekas luka apa?"

Dia menarik ujung sweternya dengan defensif. "Bukan urusanmu, Cal."

"Itu ...." Tanganku menggantung di antara kami. Aku sempat melihatnya saat dia keluar dari kamar mandi tadi, tetapi aku tetap saja kaget. "Itu bukan gara-gara aku waktu kita main tali, 'kan? Aku tidak sengaja mengikatmu ke tiang ...."

Ilyas yang tadinya tampak berjarak akhirnya melonggarkan tatapan matanya. Suaranya melembut. "Bukan, Cal."

"Atau saat kita main kejar-kejaran dulu? Aku tidak sengaja membantingmu."

"Benjol waktu itu langsung hilang setelah dua hari." Ilyas mendesah dan duduk kembali di sampingku. Jari-jari tangannya menelusup ke helaian rambutnya yang masih lembap. "Ini bekas luka lama, tapi bukan gara-gara kau."

Aku tercenung. Ini pertama kali aku melihatnya—bilur-bilur panjang, luka parut, dan bekas kulit mengelupas yang sudah memudar ... mirip bekas cambukan. Kemudian, kusadari aku kenal bekas luka macam itu saat, sebelum ke rumah Ilyas, aku mengantar pesanan seseorang yang habis memukuli istrinya pakai ikat pinggang—aku mengancam pemabuk itu pakai kapak dan membawa lari istrinya ke rumah sakit terdekat sampai bisa melihat lukanya. Bekas luka Ilyas persis seperti itu, hanya saja lebih pendek, yang artinya luka itu didapatnya saat masih anak-anak.

Lalu, luka lain di dada dan pundak kiri Ilyas yang kulihat sekilas ... kurasa itu bekas melepuh kena air panas.

Saat menginap di rumahnya, Ilyas selalu berhati-hati di sekitarku—dia tidak pernah keliaran tanpa baju. Sejak kami masih anak-anak pun, dia selalu memakai baju lengan panjang, celana panjang, dan kaus dalam di balik pakaian luarnya. Dia tidak pernah pakai celana pendek dan baju lengan pendek satu kali pun.

Baru sekarang aku kepikiran, kenapa dia membiasakan diri sekali kuhajar saat kami masih anak-anak? Dia bahkan tidak pernah melawan.

Kalau bukan aku ... siapa? Teman bermainnya cuma aku. Nenek Aya—mustahil. Pak Gun dan Bu Miriam juga bukan tipe orang tua tiri yang memukuli anaknya—maksudku, mereka bahkan tak pernah memarahiku meski kenakalanku luar biasa. Pak Gun dan Bu Miriam bahkan tidak pernah meninggikan suara meski Cal kecil sering bersikap seperti angin puyuh mini di kediaman mereka. Kalau bukan aku ....

Panti asuhan yang dulu menampungnya.

Tahu-tahu, aku sudah mengepalkan tangan dan seluruh tubuhku bergetar. Kugertakkan gigiku. "Siapa yang menyebabkan itu? Beri tahu aku namanya, di mana tinggalnya orang itu, dan pakai apa dia memukulimu—aku bisa sebabkan yang tiga kali lipat lebih parah dari itu di badannya."

"Makasih, Cal, tapi tidak perlu. Itu sudah lama sekali."

Tangan Ilyas terulur menepuk-nepuk kepalan tanganku. Dalam sekejap, aku jadi tenang, kemarahanku surut, kepalan tanganku pun melonggar. Senyum tipis terulas di bibirnya, tetapi sorot matanya menampakkan kesedihan. Dia mendorongku pelan sampai terbaring di samping Emma, lalu berdiri untuk mematikan televisi.

"Kau tidak masalah tidur dengan Emma?" tanyanya sebelum mematikan lampu.

"Hmm," jawabku singkat, masih terbayang-bayang tatapan matanya sebelum ini. Aku berbalik menghadap Emma dan menaikkan selimut. "Selamat tidur, Ilyas."

"Selamat tidur, Cal."

Tidak bisa bernapas. Sontak, aku terlonjak bangun dan, dengan bantuan cahaya samar-samar dari lampu jalan yang menembus tirai tipis di jendela, kudapati wajah Ilyas dalam kegelapan. Satu tangannya membekap mulutku, tangannya yang lain memencet hidungku. Begitu melihatku membuka mata, dia melepaskan jepitan tangannya di hidungku dan buru-buru meletakkan jari ke depan bibir.

Dia melirik ke pintu, yang kenopnya bergerak-gerak seperti sedang dibongkar paksa kuncinya.

Tanpa buang waktu, aku langsung bangun dan menyambar Emma yang lelap ke dekapanku. Ilyas mendorongku masuk ke dalam kamar mandi.

"Tunggu," bisikku seraya menarik tangannya saat dia akan menutup pintu dari luar. "Kau mau mengonfrontasi siapa pun itu di luar sana? Bisa saja itu Joo Bistik, melacak kita sampai sini."

"Manusia." Ilyas menjawab. "Sudah kulihat dari celah tirai. Kau jaga saja Emma—tetap bersamanya apa pun yang terjadi. Keluar dari jendela kecil di atas toilet dan lari ke warung kopi yang sebelum ini kita lewati. Aku punya rencana."

Aku masih berkeras menariknya. "Kalau manusia, aku bisa mengatasinya—"

"Cal," kata Ilyas dengan lebih mendesak. Dia melepaskan pegangan tanganku darinya. "Mereka berlima dan bersenjata. Percaya saja padaku."

Aku bersikeras bergerak keluar dan Ilyas tidak bisa menahanku. Kami sudah akan saling dorong ketika pintu kamar mendadak terbuka.

Sudah terlambat kembali ke kamar mandi. Aku segera menjatuhkan diri ke lantai dan bergeser ke bawah kolong ranjang bersama Emma. Ilyas melompat duduk ke atas kasur. Karena gelap, dia seolah-olah terlonjak bangun di atas tempat tidur.

Salah satu penyusup menyalakan lampu. Dari bawah kolong ranjang, kulihat kaki-kaki gempal besar bersepatu usang yang kelihatannya baru melalui badai lumpur. Salah satunya mendekati Ilyas dan langsung mengancamnya untuk tidak berteriak. Dari balik selimut dan seprai yang menjuntai, aku mengintip ke atas.

"Mana balita dan teman kurirmu?" tanya pria yang mengenakan brass knuckle berduri dan mengacungkannya ke bawah dagu Ilyas.

Orang itu tingginya pasti hampir dua meter dan lebar bahunya tiga kali lipat bahuku. Tato naga mengular dari lengan atasnya sampai siku. Keempat temannya malah lebih besar lagi, membawa-bawa gada dan parang. Dari sabuk celana mereka, satu set belati dan pisau lipat tampak mengilap diterpa cahaya lampu.

Dua temannya bergerak ke sisi Ilyas untuk mengunci pergerakan pemuda itu, dan dua lagi pergi ke sisi lain kamar yang tak bisa kulihat.

Siapa mereka? Buat apa orang-orang ini mencariku dan Emma segala?

"Cal ..." kata Ilyas tercekat, "membawa adikku keluar sejam yang lalu. Dia pergi ke warung kopi dekat sini karena ada seseorang yang dikenalinya di sana."

Baiklah, aku paham rencana Ilyas. Warung kopi yang sebelum ini kami lewati masih ramai oleh para kurir yang singgah sehabis mengantar pesanan. Kalau kami beruntung, pasti ada yang membawa senjata api di antara para kurir itu.

Pria yang mengenakan brass knuckle mengedik ke pintu kamar mandi, menyuruh temannya mengecek ke dalam—tentu saja mereka takkan percaya semudah itu sebelum menggeledah.

Gawat. Aku tidak memperhitungkan ini, tetapi aku tidak bisa menang melawan lima laki-laki sebesar itu sambil menggendong Emma dan memerhatikan Ilyas sekaligus. Kalau aku bersembunyi ke kamar mandi, aku bisa kabur lewat jendela sesuai perkataan Ilyas. Kalau mereka mengecek ke bawah sini, habislah sudah.

Sudah berapa kali aku bikin bencana karena tidak mendengarkannya?

Dengan susah payah, sambil masih tengkurap di bawah kolong tempat tidur, kubuka jaketku dan membungkus badan Emma. Untunglah badan kami berdua kecil dan Emma tampaknya benar-benar kelelahan karena dibawa jalan kaki sampai malam—matanya bahkan tidak berkedut sedikit pun dan suara dengkuran kecilnya damai sekali. Kuletakkan anak itu di ujung dengan lengan jaketku melengkung di atas hidungnya—bisa gawat kalau dia bersin karena debu kolong ranjang.

Aku bersiap saat salah satu pria mulai membongkar lemari pakaian. Kuraba shoulder holster di badanku, berharap setengah mati andai pistolku masih ada.

"Mereka keluar," kata Ilyas lagi. Dia kedengaran begitu tenang untuk ukuran orang yang diancam dengan brass knuckle berduri, tetapi lama-lama kusadari napasnya bergetar dan memberat seiring ucapannya untuk mengalihkan perhatian orang-orang ini. "Sudah satu jam. Bawa aku ke sana kalau kalian tidak percaya—"

"Diam!" Terdengar bunyi gebukan keras dan tempat tidur di atasku bergetar. Aku berjengit, mati-matian menahan diri untuk tidak melompat keluar. "Tom, ikat anak ini dan bawa ke bak mobil."

Aku menyingkap ujung selimut dan memerhatikan salah satu pria menyeret Ilyas ke luar. Pemuda itu masih membuka mata, tetapi tampak linglung dengan setetes darah mengucur dari sisi kepala di bawah poninya.

Saat itulah si tato naga mengangkat kakinya dan menginjak tanganku keras-keras. "Di sini rupanya." Dia tergelak. "Ternyata kurir ini perempuan!"

Dia menarikku sampai keluar dari bawah kolong ranjang. Aku tidak punya waktu untuk berpikir. Aku bahkan tidak sempat berdiri tegak. Kueratkan jari-jariku pada cengkraman tangannya lalu, melompat dan menjadikan lengannya tumpuan untuk berputar. Kemudian, telapak kakiku mampir ke mulutnya.

Giginya pretel. Tak kusangka si raksasa bisa tumbang semudah itu. Serge, si kakek tua yang kurus dan renta, lebih tahan banting sebagai teman sparring daripada pria dungu ini—Serge bahkan masih berdiri meski kutabrak pakai traktor.

Aku punya sekitar 20 detik sebelum pria ini pulih dari syok dan berhenti meratapi gusi depannya yang kosong.

Salah satu temannya melompati tempat tidur dan menerkam ke arahku. Tidak secepat Serge. Aku masih bisa bergerak ke bawah perutnya, menyikut pangkal pahanya, dan memberi sedikit dorongan sampai tubuhnya berdebum menimpa temannya yang sudah ompong.

Aku berusaha mengambil senjata mereka, tetapi tidak sempat karena dua pria lainnya juga bergerak. Aku melompat ke atas tempat tidur, berlari menaiki nakas sambil menendang lampu, meloncat ke atas meja, dan mendaki lemari baju yang kosong. Sambil bersandar ke dinding, kudorong bagian atas lemari pakai kaki, membuatnya miring dan jatuh menimpa pria ketiga.

Saat itulah Emma terbangun. Pada mulanya, terdengar suara rengekan kecil yang membuat si preman menoleh kanan-kiri, mencari-cari sumber suara. Teman-temannya yang masih tersungkur pun celingukan. Kemudian, Emma mulai menangis dan memanggil nama kakaknya. Mereka pun menatap kolong ranjang.

"Jangan!" Aku melompat dari bagian belakang lemari yang roboh, berusaha menghentikan si ompong bertato naga yang mengintip ke bawah tempat tidur, tetapi dua temannya segera memegangiku. Salah satunya melayangkan bogem, yang lain menendangku di rusuk. Ketika aku terguling ke lantai, pria yang terjepit di bawah lemari mencengkram kakiku dan menghela dirinya keluar.

Aku nyaris tidak bisa menghindar saat dia mengayunkan pisau lipat ke wajahku, tetapi aku terlambat bereaksi saat pria satu lagi menangkap tangan kananku dan menancapkan sesuatu ke bawah lenganku.

Napasku tercekat. Kuraba pinggang kananku, merasakan gagang belati mencuat dari sana. Pria yang menusukku tampak pucat dan memandangi teman-temannya, "He-hei, kita tidak disuruh membawa yang cewek ini hidup-hidup, 'kan?"

"Perintahnya hanya mengutamakan si pemuda dan adik balitanya," ujar si tato naga. Dia menjinjing Emma di satu tangannya yang tidak mengenakan brass knuckle. Dari balik buntelan jaketku, kepala panda menyembul dan kaki Emma menendang-nendang ke bawah.

Pandanganku memburam. Aku hampir menyerah pada pemikiran bahwa penghuni kamar sebelah atau pemilik penginapan akan mendatangi kami karena ribut-ribut, tetapi apa pula yang kuharapkan tengah malam dalam wabah zombie begini? Besar kemungkinan mereka malah akan mengunci pintu dan jendela rapat-rapat. Hal terbaik yang bakal mereka lakukan hanya menghubungi PN, tetapi aku pasti sudah mati dan Emma serta Ilyas sudah dibawa pergi saat patroli datang.

Kupaksa diriku merangkak di lantai, lalu menangkap kaki si tato naga sebelum dia keluar mengikuti teman-temannya. Dia menginjak kepalaku dengan kakinya yang bebas. Peganganku sempat melonggar, tetapi kueratkan lagi cengkramanku pada kain celana jinsnya. Tangisan Emma memaksaku terus bergerak masih dengan belati menancap.

Si tato naga menendangku beberapa kali. Pada sepakan keempat, peganganku akhirnya lepas. Ketika aku berusaha bangun, pria itu meludah ke wajahku yang terangkat. Sebutir gigi keropos dalam mulutnya menyangkut ke rambutku sebelum jatuh ke lantai.

Dijepit rasa sakit, marah, geram, dan terhina, kucabut belati di pinggangku, lalu menancapkannya ke betis si tato naga. Pria itu melolong dan segera mencabut belati dari kakinya, tetapi dia langsung menjatuhkan Emma.

Aku menangkap anak itu—gerakan spontan yang membuat luka tusukku berdenyut gila-gilaan. Titik hitam di penglihatanku bertambah. Aku tidak bisa merasakan ujung-ujung jariku sendiri saat berusaha mendekap Emma. Karena belatinya sudah tercabut, darahku mulai mengucur keluar.

Terdengar suara teriakan di luar sana. Keempat pria itu menatap pintu. Salah satunya menggumamkan nama Tom. Pria yang menusukku mendorong si tato naga untuk mengecek keluar. Tak berapa lama kemudian, si tato naga berteriak dan kembali ke dalam. Dia menutup pintu rapat-rapat di belakang punggungnya.

"Apa itu?" tanya salah satu preman seraya memandangi si tato naga. "K-kau ... itu—apa itu bekas gigitan?"

Ketiga temannya mundur darinya sambil mengacungkan senjata.

"Bukan!" raung si tato naga dengan suara yang ganjil. Gigi depannya tidak ada dan darah masih keluar dari luka tusuk di betisnya, tetapi yang dipeganginya erat-erat justru adalah luka bergerigi di lengannya. "I-ini bukan ... maksudku, si cowok tadi mendadak menggigitku. Dia manusia! D-dia bukan zombie, 'kan?"

"Dia terikat! Kita sudah suruh Tom mengikatnya!"

"Dia tidak terikat sama sekali! Tom tidak ada—anak lacur itu pergi entah ke mana! D-dan ... ada orang aneh di samping cowok itu ... mirip—"

"Zombie!" Salah satu pria menunjuk ke kaca jendela, di mana zombie Joo berdiri di baliknya, berkulit pucat bak mayat dan matanya yang kecil memicing lapar.

Semua mata menatap si tato naga. "Berarti kau terinfeksi!"

"Tidak mungkin! Ini bukan—i-ini pasti hanya ...."

Salah satu pria membacok si tato naga, kemudian kabur keluar. Dua lainnya mengikutinya. Pria yang menusukku masih bertahan. Dia menatap Joo di jendela, tangannya meraba-raba lantai, lalu mencoba mengambil Emma dari tanganku.

Aku mengerjap. Sepertinya aku berhalusinasi melihat Ilyas di ambang pintu.

Aku berkedip beberapa kali, lalu menyadari pemuda itu memang berdiri di sana. Jejak darah masih membasahi rambut dan sisi wajahnya. Matanya menatap nyalang pada preman yang memunggungi pintu, masih mencoba merebut Emma dariku.

Ilyas menarik lengan bajunya ke atas, lalu menggigit tangannya sendiri sampai berdarah. Dia melangkah masuk dengan menghantamkan bahunya ke pintu seperti orang mabuk, menarik perhatian si preman terakhir yang masih bertahan.

"Uuuh, aa—" Preman itu mengamati luka gigitan di lengan Ilyas, lalu bangkit berdiri sambil mengangkat kedua tangannya. "A-aku akan pergi. Jadi ... menyingkirlah dari pintu."

Ilyas menyingkir ke sisi, tetapi zombie Joo malah masuk dan memblokir jalan dengan badannya. Preman itu menggapai pisau lipat di sabuknya, yang langsung dia lempar dan menancap di dada kiri Joo—tepat di jantung. Si zombie berkedut sedikit, tetapi masih berdiri. Masih menatap lurus. Masih hidup.

Orang yang bisa melempar pisau setepat itu pasti punya kesempatan untuk melawan, tetapi preman itu segera kehilangaan akal. Dia melangkahi tubuh si tato naga, lari ke jendela, menabrak kaca sampai pecah, lalu kabur terbirit-birit.

"Cal!" Ilyas melewati Joo begitu saja dan menghampiriku. Dia berlutut, mencoba membantuku bangun. Saat dia menyentuh pinggangku, tubuhku mengejang. Ilyas lantas menarik kembali tangannya dan menyadari telapaknya yang memerah basah. "Cal?"

Kulirik lengannya yang tadi dia gigit sendiri. "T-tanganmu ... luka lagi ...."

"Cal," kata Ilyas kaku. Dia kelihatan marah sekali. "Kau mengalami pendarahan, dan yang kaupikirkan malah tanganku?"

Aku bernapas terengah-engah lewat mulut. "A-aku mengantuk. Kalau tidur sebentar ... pasti sembuh."

Dia meraba lukaku, lalu melepaskan sweternya sendiri, menyisakan baju kaus lengan pendek di badannya. Ilyas mengikatkan sweternya ke sekeliling pinggangku, kemudian menggunakan jaketku untuk mengikat Emma ke punggungnya. Semua itu dilakukannya hampir sekejap.

Aku jadi teringat betapa inginnya aku dulu untuk punya kakak laki-laki seperti dia saat ibuku masih hidup.

"Ibu ... aku tidak mau ditinggal lagi ..." erangku sambil terisak. Perutku mulai dingin, pinggangku masih perih tak tertahankan, dan kakiku kram karena menahan rasa sakitnya. Tubuhku menggigil meski banjir keringat. Aku menggeliat, tanganku mencengkram bagian depan kaus Ilyas. "Kenapa ... rasanya dingin sekali?"

Ilyas mendekapku ke dadanya, satu tangannya menyatukan kedua tanganku. Dia bernapas melalui mulutnya ke kepalan tanganku yang mulai kehilangan warna. Rasanya hangat walau hanya sesaat, lalu tanganku terasa beku lagi.

Satu tangan Ilyas di punggungku dan tangan lainnya menyelip ke bawah lututku, lalu dia mengangkatku perlahan sampai rasanya aku seperti dibuai supaya tidur lebih dalam. Kemudian, semuanya gelap.

Sekelebat, aku melihat sosok ibuku dan Pak Radi. Aku melihat rumah susun yang kami tinggali. Lalu, aku melihat kampung halamanku di perbatasan. Serge meludah dari jendela rumahnya, memanggilku dengan berbagai nama kecuali nama asliku. Dia belum pikun, tetapi dengan senang hati melupakan namaku.

Kemudian, aku melihat ayahku. Rambutnya mirip serat jagung dan kulitnya putih kemerahan dengan bintik-bintik di sekitar hidungnya. Sekop tergenggam di tangannya yang bersarung, baju dan sepatu botnya kotor oleh lumpur. Di bahunya, terpanggul busur dan sekantung besar anak panah. Ayahku selalu siap sedia untuk pekerjaan apa pun di pinggiran Distrik Nava—jadi tukang gali kubur, pemburu, penggembala, tukang sembelih hewan ternak, penebang kayu, tukang bersih-bersih, pembajak sawah, kuli angkut. Dia bisa melakukan segala hal.

"Cattleya," panggilnya sambil menyengir. "Mau ikut Ayah lagi pagi ini? Kita bisa mencari ubi untuk Ibu memasak makan malam."

Dia satu-satunya yang memanggilku dengan nama lahirku sementara satu kampung memanggilku 'Cal Junior'. Itu gara-gara aku selalu mengekorinya seperti anak ayam membuntuti induknya ke mana-mana. Dirinya adalah Cal yang sebenarnya—Loudan Callahan. Begitu ayahku meninggal, aku jadi satu-satunya Cal di sana. Tidak ada lagi alasan orang-orang memanggilku 'Cal Junior' karena Cal senior sudah tiada, bahkan ibuku mulai memanggilku 'Cal' saja.

Tinggal selangkah lagi, aku sudah menyambut tangan ayahku. Kami bisa cari ubi sama-sama di surga. Surga pasti banyak ubinya, 'kan? Ada Ibu dan Pak Radi juga. Kami bisa makan sama-sama.

Lalu, kurasakan tangan seseorang memegangiku erat-erat. Nyawaku yang sudah separuh melesak di ubun-ubun pun mundur teratur, masuk lagi ke badan.

Aku membuka mata, lalu melihat ubun-ubun Ilyas dan rambut hitamnya yang bergelombang. Satu tangannya terkulai di samping wajahku, tangan lainnya menggenggam tanganku. Kepalanya menunduk, dahinya bersandar pada buku-buku jari tanganku yang dipeganginya. Sepertinya dia ketiduran.

Aku menatap langit-langit putih yang rasanya tinggi sekali. Plafon dan lampu itu kelihatan bengkok dan tidak wajar seolah aku melihat dari bawah air. Tubuhku bau obat. Tangan kiriku diinfus, dan rasanya tidak enak. Pinggangku nyeri, rusukku seperti mengembang, pinggulku terasa salah posisi, dan pantatku mungkin hilang. Seluruh tubuhku seperti habis diinjak-injak segerombolan badak yang marah, meski aku tak pernah diinjak badak dan tak mungkin tahu bagaimana rasanya.

Aku memejamkan mata sampai ketiduran. Lalu bangun lagi. Lalu tidur lagi. Lalu terbangun ....

Satu kali, aku melihat sosok tinggi yang kukira adalah ayahku. Aku mungkin melindur. Aku merengek, lalu menarik ujung kemejanya, berusaha memeluknya.

"Ayah ...." Aku terisak sebentar, lalu syok karena menyadari wajah Joo Bistik berada di atasku. Tanpa ekspresi, masih memiliki luka di alisnya, dan potongan rambut aneh di satu sisi kepalanya. Dia mengenakan sweter hitam punya Ilyas. Kudorong lagi badannya. "Kau bukan ayahku. Kau zombie peliharaannya Emma, si Jojoo. Uuh, kenapa pula kau di sini? Emma dan anakmu si Zarah itu cuma mirip."

Aku berusaha meraih suatu tombol di atas nakas—pikiranku tak terlalu jalan, tetapi kurasa itu tombol untuk memanggil perawat. Terkutuklah tanganku yang pendek, aku tidak bisa mencapainya.

Melihatku kesusahan, Joo mengulurkan tangan ke atas nakas, seperti hendak membantuku, tetapi zombie udik ini malah menggeser gelas air mineral di sebelah tombol dengan telunjuknya yang kaku sampai masuk ke raihan tanganku.

Aku sesenggukan karena frustrasi dan mengutuk Ilyas karena tega-teganya dia meninggalkanku dengan Joo Bistik. Aku menangis sampai ketiduran.

Ketika aku bangun kembali dan cukup sadar untuk paham bahwa aku tengah berada di rumah sakit, Ilyas sudah kembali duduk di sampingku. Tangannya di atas tanganku. Dia melihatku membuka mata, dan ekspresi wajahnya yang mendung mendadak jadi cerah. Sudut bibirnya terangkat.

"Bagaimana perasaanmu?" Satu tangannya menelusup ke helaian rambutku, menyibakkannya dari mukaku. Wajahnya terlalu dekat. Aku tahu Ilyas punya mata kecokelatan, tetapi dari jarak sedekat ini, aku baru memerhatikan warna matanya mirip madu. "Perawat bilang kau sudah bangun beberapa kali, tetapi tidur lagi karena pengaruh obat. Kau terus-terusan bangun saat aku tidak lihat."

Aku melirik ke samping untuk menghindari matanya, tetapi malah disuguhi pemandangan absurd. Di sofa dekat jendela, Joo dan Emma duduk berhadapan. Emma bersin-bersin, lalu memeper ingusnya ke lutut si zombie. Joo merenungi lutut celananya seolah tak tahu apa yang mesti dilakukannya pada ingus Emma.

"Ndong," kata Emma seraya mengulurkan kedua tangannya. Si zombie lantas berdiri, lalu mengangkat Emma dengan kaku. Alih-alih seperti menggendong, zombie itu malah mirip gantungan baju yang seram, dan Emma seperti baju mungil dengan kaki menendang-nendang.

Ilyas menunjuk si zombie. "Jangan. Pegang-pegang. Adikku."

Joo meletakan Emma ke sofa dengan patuh. Aku tidak paham apa yang terjadi dan wajahku terbakar saat sadar satu tangan Ilyas masih memegangi tanganku, jadi aku pingsan lagi saja.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro