21. Ilyas dan Batavia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 21: Ilyas's pov | 5409 words ||

Aku tidak pernah menyia-nyiakan peluang seperti ini. Padahal, aku bisa meninggalkan Cal detik itu juga dan pulang ke Renjani.

Aku sudah mengingat peta menuju Batavia dan denah kotanya. Aku sudah menelepon Randall Duma untuk mengonfirmasi di mana kami bisa bertemu. Sang Kepala Polisi bahkan sudah memiliki beberapa nama keluarga di berbagai wilayah aman yang bisa kupilih sebagai keluarga baru Emma. Dia sudah menyiapkan transportasi udara yang Cal inginkan berikut dengan pilotnya—bahkan dia menyanggupi saat kubilang, Cal punya permintaan gila untuk melakukan penerbangan ke luar Tembok W.

Cal pingsan sampai empat hari karena kehilangan banyak sekali darah. Empat hari itu lebih dari cukup bagiku untuk memanggil kurir atau PN dan bertolak ke tempat Randall. Aku bisa meninggalkan pesan di sebelah Cal, atau menitipkan surat kepada perawat rumah sakit, bahwa transportasi udara yang diinginkannya sudah siap dan dia tak perlu lagi menabung dengan bekerja sebagai kurir.

Namun, kudapati diriku membalut luka di tanganku, menelepon Randall dan memintanya menunda pertemuan kami, lalu duduk di samping brankar Cal, menunggu sampai gadis itu sadar. Aku membuang satu-satunya kesempatan sempurna untuk pulang ke Renjani.

Aku tidak bisa tidur. Aku malas makan. Aku bisa saja menunggu Cal sadar di kamar penginapan karena aku benci rumah sakit. Namun, kudapati diriku membereskan barang-barang kami dari penginapan dan bermalam di kamar inap Cal. Aku tidak bisa melepaskan mataku darinya.

Aku marah-marah saat PN memintai keterangan tentang penyergapan itu. Seharusnya aku tidak perlu sampai membentak, tetapi kemudian aku mengingat darah Cal di tanganku, tiap bilur dan memar di wajahnya, bibirnya yang memutih, kedua tangannya yang gemetaran mendekap Emma—terutama, aku tersadar bahwa itu pertama kalinya aku melihat Cal menangis. Lalu, aku kembali menggebrak meja kantor polisi, hampir membaliknya, mengkritisi lambannya petugas patroli dan bagaimana bisa Distrik Arum punya keamanan sejelek ini. Aku begitu marah sampai menginginkan semua orang dihukum, termasuk petugas lembaga pengungsi yang menyita senjata Cal. Seharusnya aku tidak menghentikan gadis itu saat dia berusaha mendapatkan kembali pistolnya.

Aku mulai yakin bahwa akal sehatku pasti sudah hilang saat aku mulai mengobrol dengan si zombie.

Pada mulanya, Joo berdiam diri di balik bayang-bayang sebuah pohon besar dekat parkiran rumah sakit. Dia masih mengawasi kami, tidak pergi, tidak pula masuk. Lalu, beberapa orang mulai menyadari kehadirannya. Aku mulai mendengar para perawat bergosip.

"Ada pria aneh di bawah pohon."

"Mungkin hanya orang gila. Coba kau yang cek."

"Kau saja."

Kalau mereka memanggil PN, dan patroli menyambangi Joo, lalu menyadari ia zombie ... pasti akan ada keributan. Ini rumah sakit, tetapi aku ragu Joo akan memahami itu. Ada kemungkinan dia akan mengamuk dan mengganas mendadak.

Jika itu terjadi ... akan sejauh apa kerusakan yang disebabkannya sebelum PN bisa melumpuhkannya? Itu pun dengan asumsi PN mampu membunuhnya. Cal benar—orang-orang itu takkan tahu apa yang mereka hadapi. Renjani bahkan sudah jadi wilayah mati dan terputus sama sekali dari dunia luar karena banyaknya tipe 4.

Jadi, aku membuat taruhan dengan nasib. Aku meminta beberapa perawat memberiku sampel tertentu dari rumah sakit untuk percobaan. Aku mengenakan pakaian berlapis, mengantongi pisau lipat yang kubeli di toko pinggir jalan, menamengi perut dan punggung dengan ransel, memakai helm yang kupinjam dari salah satu perawat, dan menyambangi zombie Joo.

"Apa kau bakal menggigitku?"

Geleng.

"Apa kau ingat aku?"

Angguk.

"Ingat Cal?"

Angguk.

"Kau akan membawa lari adikku?"

Geleng.

"Kau bisa bertahan hidup tanpa makan otak?"

Angguk.

"Apa bau darah adalah salah satu rangsangan yang membuatmu bereaksi?"

Jeda sebentar. Lalu, geleng.

"Tapi, kau bisa mencium bau darah?"

Angguk.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan—membuntuti kami seperti ini?"

Jeda lagi, lalu dia mengangkat bahunya. Percakapan kami terbatas—aku cuma bisa melontarkan pertanyaan dengan jawaban 'ya' atau 'tidak'.

Wawancara itu berlangsung sampai sore. Beberapa perawat mengawasi dari kejauhan dengan takut-takut. Namun, sampai senja turun, aku masih hidup. Zombie Joo tidak melakukan apa pun. Bahkan saat aku melakukan percobaan itu, dengan sampel yang diselundupkan para perawat ... hasilnya mengejutkan. Dengan pertimbangan itu, aku mengarang cerita tentang 'pria stres yang kehilangan anaknya', maka para perawat membiarkan si zombie di sana tanpa gangguan.

Kuberikan salah satu sweter kerah tinggi milikku pada si zombie. Dia butuh 30 menit lebih untuk mengganti pakaiannya, tetapi saraf motoriknya berfungsi dengan baik. Aku sempat mempertimbangkan untuk bertanya apa aku boleh minta sampel giginya, tetapi aku masih tidak punya nyali kalau-kalau dia mendadak marah.

Kutinggalkan Joo di bawah pohon itu dan mengawasinya tiap jam lewat jendela kamar inap Cal. Hujan sempat turun dengan lebat, dan Joo bertahan berdiri di sana. Dia tidak tidur, tidak makan, tidak duduk, tidak berkedip, hanya berdiri terbengong-bengong seolah telah menyatu bersama pohon di sebelahnya.

Pada hari ketiga Cal di rumah sakit, aku keluar untuk makan bersama Emma. Ketika kami kembali, personel PN berkeliaran di sekitar lapangan parkir, menanyai orang-orang tentang 'pria stres yang meresahkan pengunjung rumah sakit'.

Aku kembali ke kamar inap Cal dengan hati gelisah, lalu hampir memekik ketika mendapati Joo sudah berdiri di belakang pintu.

Emma menunjuk si zombie. "Joo jombi."

Di atas brankarnya, Cal mengigau, "Uh ... zombie tolol ... Ilyas juga ...."

"Dan kau biarkan dia nebeng di sini?" tuntut Cal.

Gadis itu memberengut. Bengkak di wajahnya sudah mengempis, sisa-sisa memarnya mulai samar, dan dia bilang luka jahitnya sudah baikan. Dokter yang menanganinya memuji tentang betapa tangguhnya gadis itu melewati masa kritis.

"Sejujurnya aku hampir berangkat ke surga yang banyak ubinya," omel Cal sampai si dokter tertawa. Mata Cal mendelik ke arahku. "Tapi seseorang memegangi tanganku sampai nyawaku masuk lagi."

Aku merasakan wajahku memerah gara-gara ucapannya.

Setelah si dokter pergi, Joo keluar dari persembunyiannya di dalam kamar mandi. Kini, responsnya makin cepat. Dia bahkan mulai tanggap dengan sekitarnya.

"Jadi?" desak Cal. "Lanjutkan yang tadi. Percobaan apa yang kau maksud? Kenapa zombie itu di sini? Sekarang dia jadi peliharaan kita atau bagaimana?"

Joo memicingkan mata. Kurasa, itu caranya menunjukkan kalau dia tersinggung.

"Pertama," kataku, "dia punya tato Escapade. Kau pernah cerita tentang kakek-kakek veteran perang di Distrik Nava, yang melatihmu menyerang zombie."

"Ya, ya, aku pernah cerita. Kakek bangkotan itu juga Eskepet."

"Escapade."

"Sekepet." Cal membenarkan. "Lalu?"

Aku merentangkan tangan, mempertanyakan bagaimana bisa gadis itu masih tak bisa melihat koneksinya.

"Tapi Serge tidak punya tato macam itu." Gadis itu menyangkal. "Dan Serge bukan zombie!"

"Bukan lagi zombie." Aku mengoreksinya. "Aku sudah mengecek Joo. Luka-lukanya masih ada, tapi tidak ada tanda-tanda pembusukan. Coba kita runut. Tipe 1 yang paling baru jadi zombie, lamban, tidak responsif, setengah buta, dan selalu mengincar kepala—mereka hanya bergerak sesuai insting mengonsumsi otak.

"Tipe 2 mulai memiliki pola dalam menyudutkan, melukai, dan melumpuhkan mangsanya. Karenanya, korban infeksi yang terkena gigitan tapi otaknya selamat biasanya adalah korban tipe 2.

"Tipe 3 mampu melakukan gerakan dasar seperti berlari dan mencengkram. Mereka juga mampu mengintai mangsanya. Mereka mulai responsif, attention span mereka lebih panjang, tetapi insting mereka masih hewan liar—predator."

"Dan tipe 4 ini macam anjing rumahan jinak," kata Cal sambil beradu pelototan dengan Joo, "yang duduk diam saat dapat perhatian, lalu mengunyah wajah majikannya kalau kita lupa kasih dia makan. Mereka bermutasi jadi berbahaya."

"Bukan mutasi." Aku menukas. "Tapi sembuh."

"Apa?"

"Semua orang pasti tidak lagi peduli karena kekacauan yang disebabkan zombie terlalu besar, tapi jangan lupa: zombie bukan monster yang turun dari langit. Mereka orang sakit. Jangan lupa, ini penyakit. Tipe 4 yang masuk ke rumahku kulitnya menghijau sampai hampir busuk. Joo juga berkulit pucat. Karena Agen penginfeksi Esc-z-3 membuat penderitanya menyerupai mayat. Sekarang, lihat dia. Jaringan tubuhnya memperbaiki diri dan—"

"Sebentar!" Cal menyetopku. "Kau bilang, otak yang bikin mereka naik tingkat ke tipe selanjutnya. Bukankah artinya si Joo ini bakal butuh otak lagi?"

"Jangan kira aku tidak memikirkannya." Aku menyengir puas. "Jadi, tentang percobaan itu, aku meminta tolong beberapa perawat mencuri sampel otak—"

Cal menjulurkan lidah dan memasang wajah mual. "Ada sampel macam itu?"

"Banyak rumah sakit di Nusa sudah punya bank otak sejak tahun 2119." Aku mengangkat bahu. "Walau aku terkejut rumah sakit di distrik kecil seperti ini juga punya bank otak. Pokoknya, aku membuat percobaan kecil dan membuat teman zombie kita memakannya. Dia sempat menelannya, lalu dia muntah."

Cal mulai mengamati Joo dengan sorot mata berbeda. "Benarkah?"

"Sampai air matanya keluar." Aku mengangguk. "CTZ, pusat muntah, saraf vagus, otot perut dan kerongkongannya bekerja. Dan, kelenjar air matanya juga. Dari sana aku akhirnya paham—klasifikasi tipe 1 sampai 4 yang kau buat itu bukan mutasi, tapi tahap pemulihan. Kalau kau bisa sakit, kau juga bisa sembuh. Jadi, setelah Joo memuntahkan otak itu, para perawat akhirnya percaya dia hanya orang stres. Tentu saja aku tak menceritakan Joo sempat menelannya sedikit."

"Kalau perutnya sudah tidak menerima otak, bagaimana Joo bisa sembuh dari penyakit zombie-nya?" Cal mengerutkan kening. "Kalau dipikir-pikir lagi, Serge pasti juga pernah begitu. Bagaimana cara kakek tua itu balik jadi manusia? Memaksakan diri makan otak? Egh!"

"Ada faktor lain," kataku, menepuk-nepuk badanku sendiri. "Tubuh manusia."

"Ah, tentu." Cal mengangguk-angguk dengan tampang serius, kemudian dia terkikik sendiri. "Tentu saja, aku tidak paham."

"Ada ribuan reaksi kimia dan biologis terjadi sepanjang hari dan malam—asumsikan, tubuh zombie juga demikian. Saat kau terluka, neutrofil menangkal infeksi, sedangkan monosit membersihkan jaringan yang mati dan membantu mengendalikan peradangan. Jika kau mengalami patah tulang, osteoblas berperan memperbaikinya kembali. Dalam kasus kanker, hepatitis, dan penyakit lain—semuanya sama. Penyakit zombie juga tidak berbeda. Tapi, tubuh zombie butuh waktu lebih lama untuk proses ini. Asumsikan saja, satu dekade."

Cal membulatkan matanya. Tangannya terulur ke arahku, seperti mengajak tos. "Lubang di tembok—10 tahun sekali!"

Kusambut tos tangannya. "Tipe 1-3 mustahil punya insting untuk menyerang tembok. Pasti tipe 4 yang menginfiltrasi tiap dekade—hanya mereka yang akan terpikir untuk membobol tembok menggunakan keuntungan dari morfologi tubuh zombie. Sebelum Tembok W runtuh di Duane, para zombie tidak mendapat otak dari mana-mana selama 7 dekade, tapi tetap ada tipe 4 yang masuk secara bertahap."

"Tapi," kata Cal, "bukankah itu artinya para zombie di luar tembok seharusnya sudah sembuh semua setelah 7 dekade?"

"Aku juga memikirkan itu. Barangkali ini disebabkan banyaknya zombie dan luasnya area di luar tembok. Jadi, skenarionya barangkali begini: Dari seribu zombie di luar sana, ada seratus tipe 4 tiap 10 tahun, tetapi hanya sepuluh tipe 4 yang berhasil menyusup masuk ke Nusa karena terbatasnya lubang dan luasnya area di luar tembok. Tipe 4 yang masih tertahan di luar dan tidak bisa mencapai tembok tepat waktu itu sembuh, kembali jadi manusia dalam keadaan masih terjebak di tengah ribuan zombie, lalu terinfeksi dua kali dalam hidup mereka. Hanya ini penjelasannya kenapa zombie masih ada di luar tembok."

"Atau," kata Cal, "ada beberapa warga Nusa yang dengan konyolnya keluar, tergigit, dan menambah populasi zombie di luar. Karenanya, sering ada orang-orang hilang di perbatasan. Sebagai orang asli perbatasan, bisa kupastikan padamu, orang-orang tolol macam itu banyak."

Aku tergelak. "Termasuk kau?"

"Terutama aku! Aku selalu penasaran dengan apa yang ada di luar sana—aku bakal langsung menjejalkan badanku keluar andai aku melihat lubang yang cukup besar buat kumasuki."

"Tapi, kalau kau yang keluar, para zombie itu yang celaka, Cal."

Cal ikut tergelak, lalu dia memegangi pinggangnya. "Aduh, jangan bikin aku tertawa. Masih sakit!"

"Yah ... tapi yang barusan itu masih teori." Kuusap rambutku sambil berdecak-decak. "Kau boleh percaya, boleh tidak."

"Aku percaya." Gadis itu menggembungkan sebelah pipinya. "Aku mengacau berkali-kali karena tidak memercayaimu. Bahkan waktu kita disergap preman, aku terlalu percaya diri, mengira bisa menyelesaikan segalanya pakai kekerasan. Apa pun yang kau katakan, mulai sekarang, aku bakal memercayainya."

Tanpa kusadari, gigiku mengatup rapat-rapat dalam mulut. Dadaku berdenyut. Berhari-hari ini, kuhabiskan waktuku mempertimbangkan untuk meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Perkataan Cal seperti menonjokku di ulu hati.

"Tidak," kataku, "jangan memercayaiku sepenuhnya."

"Kau juga sering memercayakan Emma padaku, dan buatku kepercayaan itu sangat berarti," balas Cal, dan rasanya aku telah ditonjok dua kali. "Kau bisa bergantung padaku, Ilyas, seperti aku bergantung padamu."

Seperti ada beban puluhan kilo tak kasat mata yang membuat berat punggungku. "Aku pernah meninggalkanmu di depan apotek. Jangan lupakan itu."

"Itu, 'kan, dulu." Cal melambaikan tangannya. "Berapa tahun itu? 10 tahun?"

"10 hari." Aku mengusap wajah dengan frustrasi, lalu mengalihkan pembicaraan. "Kau masih ingin keluar dari Nusa, Cal?"

Gadis itu mengangguk. "Dan aku akan menyeretmu dan Emma ikut denganku bagaimana pun caranya." Dia mengerling Joo yang berdiri di samping sofa. "Joo juga boleh ikut kalau dia sungguhan bisa balik jadi manusia lagi."

"Kerabatku yang berada di Batavia sudah menyiapkan yang kau mau—pesawat, helikopkter, apa pun yang kau kehendaki. Bahkan pilotnya."

Cal mengernyit. "Siapa, sih, kerabatmu yang sakti ini?"

Aku menyandar ke depan dengan siku bertumpu ke lutut, mempertimbangkan, barangkali tidak masalah kalau Cal tahu. "Randall Duma."

Cal menegakkan punggungnya, lalu meringis memegangi pinggang. "Kepala Polisi? Yang dengan satu gerakan jari tangannya saja bisa membuat sekompi personel PN melompat sukarela ke lautan zombie?"

"Tidak segitunya, tapi iya. Dia. Orang itu sempat membiayai hidup kami saat pensiunan Nenek Aya tidak mencukupi. Dia juga yang mengirimi semua jebakan zombie yang memenuhi rumahku."

"Kau benci PN, tapi hidupmu dibiayai Kepala PN."

"Jangan ditegaskan begitu."

"Aku pernah dengar dari ibuku kalau Pak Gun sebetulnya berkerabat jauh sama orang penting." Cal memajukan duduknya. Refleks, aku berdiri dan membetulkan bantal di belakang punggungnya. "Malah, ibuku pernah bilang Pak Gun ada hubungan saudara dengan sang presiden sendiri. Kukira itu bercanda."

"Itu benar. Pak Gun memang ... kerabat jauh Presiden Angkara."

"Sungguhan? Kau pernah bertemu dengannya? Maksudku, orang itu tak pernah muncul lagi sejak Tembok W runtuh, 'kan? Yah, semua pejabat negara pada mengurung diri di Batavia, tapi setidaknya masih muncul di televisi. Hanya Presiden Angkara yang tidak pernah kelihatan. Segala urusan kenegaraan dia serahkan ke para menteri, dan semua keamanan negara dia lepaskan begitu saja ke Kepala PN si Randall Duma. Jadi, Pak Gun itu apanya si presiden?"

Aku teringat album foto yang pernah diperlihatkan Bu Miriam, caranya membicarakan silsilah keluarga Pak Gun, dan bagaimana mereka bertemu. Aku punya kecurigaan sendiri, tetapi aku masih merasa konyol jika harus mengatakannya keras-keras. Namun, Cal memandangiku dengan sorot mata ingin tahu yang menekan.

"Sepertinya," kataku pelan, "Pak Gun dan Presiden Angkara itu saudara tiri."

Genap seminggu, Cal memutuskan bahwa dia sudah pulih sepenuhnya. Biaya rumah sakit ditanggung oleh lembaga pengungsi Distrik Arum. Mereka segera mencairkan dananya karena aku tidak mau berhenti bicara, "Andai kalian tidak menyita senjata temanku."

Cal menelepon teman-teman kurirnya dari Radenal untuk meminta bantuan transportasi, tetapi karena jalan utama terputus sejak jatuhnya Renjani, tak banyak yang bisa mereka lakukan. Prama, salah satu kurir Radenal, akhirnya menghubungkan Cal dengan kurir Distrik Arum yang dikenalnya.

Empat kurir Distrik Arum setuju menderek sedan yang kami tinggalkan di tengah jalan. Mereka mengisi bahan bakar, menyesuaikan tekanan ban, mengganti kaca belakang, dan memasang kaca film baru tanpa banyak tanya—sebagai gantinya, mereka mengambil sebagian besar senjata yang kami bawa dari Renjani.

Hubungan antar kurir lebih rumit dari dugaanku. Mereka diselimuti persaingan kerja yang kadang mengarah ke tawuran sampai pembunuhan. Meski kurir punya keistimewaan yang hampir serupa dengan PN—izin kepemilikan senjata, kebal hukum untuk kasus tertentu, pengawalan khusus—kurir tidak mendapat tunjangan dan bonus ini-itu sebanyak PN dari negara. Kurir juga tidak difasilitasi secara berkelanjutan seperti PN.

Karena inilah aku sempat mengira apakah penyergapan kami dilatari dendam antar komunitas kurir. Kemudian, Cal memberi keterangan di kantor polisi sebelum kami meninggalkan Distrik Arum—bahwa para preman itu secara spesifik hanya menginginkanku dan Emma, bukan dia. Ada yang memerintah mereka untuk melakukan penyergapan itu, dan mereka bahkan tak peduli saat Cal hampir mati.

Kupandangi Cal yang mengebut di jalanan sepi. Kami baru saja keluar dari Distrik Arum dan langsung tancap gas ke Batavia. "Kau yakin bisa menyetir sampai Batavia? Kau baru pulih."

"Tidak masalah." Cal menepuk-nepuk pinggangnya yang baru beberapa hari lalu berlubang, dan kini dia sudah mengenakan kemeja putih serta shoulder holster-nya lagi. Pistol dan beberapa pak amunisinya sudah dikembalikan. Seragam atasan kurirnya dia sampirkan di bahu. "Kalau aku akan mati di balik roda setir, kau tinggal pegangi tanganku lagi seperti waktu itu—"

"Cal." Aku menutupi wajah yang terasa panas dengan topi Emma. Sudah beberapa hari ini dia terus mengatakan itu untuk membuatku malu. Sepertinya dia jengkel karena pegangan tanganku telah menghentikannya dari memanen ubi surga.

"Lihat itu," kata Cal seraya melirik spion tengah. "Kita baru keluar dari Arum dan Joo sudah muncul lagi di belakang kita. Aku heran bagaimana caranya dia melewati semua pemeriksaan portal dan tidak dipergoki orang yang dilaluinya."

"Kau ingat waktu dia muncul mendadak di belakang mobil kita yang mogok malam itu?" Aku ikut melirik ke belakang. Emma berdiri di pangkuanku dan mengoceh, mungkin menyemangati si zombie agar menyusul kami. "Bahkan saat aku belum selesai diikat oleh salah satu preman itu, Joo muncul begitu saja entah dari mana. Dia juga masuk ke kamar inapmu tanpa ketahuan satu perawat pun. Langkahnya hampir tidak berbunyi. Untuk ukuran zombie, luka di badannya tergolong sedikit, artinya dia bisa lolos setelah terinfeksi dan bersembunyi sampai tak menarik perhatian sama sekali—mungkin, saat masih manusia, dia orang yang sangat sangat sangat gesit, pandai mengendap dan bersembunyi."

"Mungkin dia dulu semacam mata-mata, atau ninja, atau maling," kata Cal. Dia membetulkan posisi spion. "Bisa gawat kalau kita diekori terus seperti ini."

"Kalau dia mau mencelakai kita, itu sudah dilakukannya dari dulu."

"Bukan. Maksudku, sesampainya di Batavia nanti. Kalau sedan kita punya iring-iringan zombie, besar kemungkinan PN di portal bakal menembaki mobil kita." Cal menepikan mobil. "Bagaimana kalau kita masukkan dia ke dalam?"

Kueratkan peganganku pada Emma. "Itu ... entahlah."

"Kalau dia mau mencelakai kita, itu sudah dilakukannya dari dulu." Cal menirukanku. "Kalau dia mau membawa adikmu, itu sudah dilakukannya dari dulu juga. Begini saja, aku akan coba bujuk dia untuk masuk bagasi. Dia tidak akan mati walau terkurung beberapa jam, 'kan? Dia masih zombie."

Dengan cemas, kuperhatikan lewat spion saat Cal membimbing Joo mendekati mobil. Cal membuka bagasi belakang, tetapi Joo tetap berdiri di sana. Aku menurunkan kaca, mendengarkan dengan frustrasi selama Cal meminta Joo masuk ke bagasi dengan kata-kata perintah sederhana seperti "Masuk", "Naik", "Ayo", dan "Krrrr sini, ckckck" sambil menjentik-jentikkan jarinya.

Aku mengusap muka dengan jengkel, lalu turun dari mobil. Kubuka pintu belakang, dan si zombie langsung masuk. Dia duduk di jok belakangku, kemudian mengangguk padaku seperti memberi apresiasi.

"Zombie kurang ajar." Cal berderap kembali ke kursinya di belakang setir. "Berlagak elit. Dalam bagasi nyaman, kok."

"Tapi kita juga bakal dapat masalah kalau PN Batavia memutuskan memeriksa bagasi. Setidaknya, mereka takkan pernah curiga ada zombie duduk manis di jok belakang seperti itu. Kalau mereka memutuskan untuk memeriksa tubuh kita seperti di Distrik Arum ... itu baru masalah." Kupandangi langit mendung di sekitar kami sambil mengancang-ancang cara untuk lolos dari pemeriksaan di Batavia.

"Jo Joo." Emma meraih-raihkan tangannya ke belakang, membuat pikiranku buyar. Dari jok belakang, Joo juga mengulurkan tangannya. Kuku-kukunya yang hitam kotor hampir membuatku pingsan.

Kumajukan posisi dudukku seraya menatap si zombie dengan ngeri. "Sori ... bisa hentikan itu? Aku masih tidak mau memercayaimu dengan adikku."

Joo mengangguk, lalu kembali duduk bungkuk di kursinya. Aku mengerjap kaget saat menyadari zombie itu memasang sabuk pengaman sejak tadi.

"Joo," kata Cal, sampai si zombie mendongak. "Meski kau mirip manusia sekarang, kau tetap zombie. Jadi, aku kepikiran tentang gigimu itu. Kau bisa saja tanpa sengaja menggigit salah satu dari kami. Jadi, kalau kau tidak keberatan, Joo, aku dulu pernah bercita-cita jadi dokter gigi."

Joo mengerutkan kening, masih kesulitan memahami kalimat kompleks.

"Maksudnya," kataku, "dia mau mengikir gigimu."

"Sebetulnya, aku kepikiran untuk mencabutinya." Cal memutar roda setir mengikuti liku jalan tanpa menurunkan kecepatan, membuat seisi mobil doyong ke sisi, termasuk isi perutku. "Ingat preman yang bertato naga? Gigi depannya aku yang mencabuti. Pakai kaki! Bayangkan apa yang bisa kulakukan pakai tangan!"

Aku mengernyit. "Salah satu preman yang tewas dibacok temannya itu kehilangan gigi depannya saat diperiksa polisi—kau yang melakukannya?"

Cal menyengir bangga. "Kalau sparring satu lawan satu, aku bisa rontokkan gigi belakangnya juga. Sayang sekali, empat lawan satu."

"Bagaimana dengan luka tusuk di kakinya?" tanyaku sambil membelalak. "Kau juga yang lakukan?"

"Aku menusuknya pakai belati yang menancap di badanku—soalnya dia mau membawa Emma." Cal menoleh padaku. "Terus? Waktu polisi tadi bicara denganmu, apa katanya? Mereka sudah menemukan jejak keempat temannya?"

Aku mengerjap begitu sadar sejak tadi aku tak berkedip menatapnya. "Ha? Oh, iya. Belum. Tapi, aku tidak berharap banyak pada PN sejak awal, terutama dari distrik. Mereka biasanya akan lebih fokus pada kasus zombie ketimbang kejahatan manusia—karenanya, pembubaran organisasi militer itu keputusan bodoh."

"Aku senang mereka bubar." Wajah Cal jadi kaku. Sepertinya dia betul-betul membenci organisasi militer lebih daripada aku membenci PN.

"Tapi di saat-saat darurat seperti ini seharusnya Nusa memanfaatkan semua sumber daya manusia yang mereka punya," pancingku. Seharusnya aku tutup mulut, tetapi ada bagian dalam diriku yang ingin mengetahuinya—dia sudah tahu masalahku dengan si Aryan, tetapi aku tak tahu apa-apa tentang Cal dan kebenciannya terhadap organisasi militer. "Karena sudah gagal mendirikan ulang KPPZ, Nusa bisa saja mengumumkan martial law."

"Dan membuat organisasi militer mengambil kekuasaan sepenuhnya?!"

Suaranya meninggi sampai Emma dan aku terperanjat. Bahkan Joo menegakkan punggungnya di jok belakang.

"Sori, aku tidak bermaksud membentak." Gadis itu menurunkan volume suaranya, tetapi bisa kulihat tangannya mencengkram roda setir erat-erat. "Ada komunitas kurir yang menyebalkan di perbatasan timur—sebagian dari mereka adalah mantan anggota militer yang kehilangan pekerjaan empat tahun lalu. Mereka semena-mena dan sering merampok barang pesanan yang tengah diantar kurir dari komunitas lain, termasuk dari komunitasku."

Aku yakin ada hal lain selain itu, tetapi aku tidak mendesaknya lebih jauh karena tidak mau membuatnya marah. Jadi, aku mengalihkan pembicaraan.

"Yah, tentang para preman yang menyerang kita—kurasa mereka bukan kurir dari komunitas lain seperti yang diduga polisi tadi." Kurenungi pola warna pada topi Emma. "Orang-orang itu sepertinya dibayar secara khusus untuk membawaku dan Emma. Tapi, ada satu hal yang paling mengganjal di pikiranku ...."

Cal melirikku. "Setiap kau pasang tampang berpikir seperti itu, kau selalu mendapatkan sesuatu. Jadi, apa yang paling mengganjal di pikiranmu?"

"Bagaimana caranya orang yang membayar mereka tahu kita ada di Distrik Arum? Kita baru sampai malam itu."

Cal mengangkat bahunya. "Bagaimana dengan Randall?"

"Kita akan menemuinya, Cal. Tidak ada alasan buatnya sampai menyewa preman. Bahkan, meski dia tahu kita dalam perjalanan ke Batavia, dia tidak tahu kita naik apa dan sudah sampai mana. Timing-nya pas sekali."

"Mungkin orang yang membayar preman itu juga berada di Distrik Arum? Dia melihat kita waktu kita masuk atau digeledah, lalu dia mengirim para preman itu."

"Itu juga mustahil. Dari kesaksianmu, salah satu preman itu terkejut saat mendapati kau adalah perempuan, 'kan? Mereka disuruh membawa 'seorang pemuda, adiknya, dan teman kurirnya', tapi tidak tahu bahwa si kurir ini perempuan. Terlebih, namamu 'Cal' bukan nama yang biasa untuk nama perempuan—artinya, orang yang menginginkan kita itu tak melihat kita secara langsung. Dia bahkan tidak berada di Distrik Arum. Dari mana orang itu tahu ...? Maksudku, keberadaan kita, 'kan, tidak diumumkan di radio atau televisi."

Mobil mendadak berhenti. Cal menatapku dengan intens. "Aryan."

"Hmm?"

"Waktu kau mandi malam itu," kata Cal, "aku nonton tv. Aryan ada di berita, diwawancarai tentang pelarian kita dari Renjani. Dia mengatakan nama kita, detail perjalanan kita, perpisahan kita di Turan ... siapa pun yang menontonnya pasti tahu kita sampai di Distrik Arum malam itu."

Kujatuhkan kepalaku ke sandaran jok. "Aku benci si tengik itu."

"Tingik." Emma meniru ucapanku sambil menyundul-nyundul wajahku. Dari sekian banyak ucapan bagus yang keluar dari mulutku selama ini, dia memutuskan untuk meng­-copy 'tengik'.

"Jadi, apa Aryan terlibat dengan siapa pun itu yang mengincarmu dan Emma?"

Aku menggeleng. Kupejamkan mataku seraya merasakan mobil kembali jalan. "Dia cuma tengik, tapi itu bukan dia. Kalau memang dia ada hubungannya, dia tak perlu bicara di tv. Aryan bisa langsung menelepon siapa pun orang itu yang mengincarku dan Emma. Dia bisa langsung memberi tahu lokasi kita."

Cal meringis. "Coba ingat-ingat lagi—apakah ada tetanggamu yang mungkin pernah dendam sama kau dan Emma?"

Aku membuat daftar dalam benakku—tetangga, kerabat, mantan anak didik Bu Miriam, teman-teman Pak Gun. Kueliminasi satu-satu. Semuanya mustahil. Sebagian besar tetanggaku sudah terinfeksi atau mengungsi ke tempat terpencil. Aku juga jarang sekali keluar rumah. Emma tidak pernah kubawa keluar rumah sejak ibunya tewas. Seseorang dari komunitas radioku ...? Tidak. Aku tak pernah menyebutkan informasi personal pada mereka, jadi tidak ada yang tahu aku punya adik, kecuali ....

"Ginna?" Aku menggumam sendiri dan membuka mata.

"Apa?"

"Sebetulnya ada satu orang ... satu-satunya teman bicara tetapku sejak Bu Miriam meninggal. Dia anggota PN di Batavia dan kami sering bicara lewat ham radio. Kurasa, aku pernah kelepasan omong tentang kehidupan pribadiku padanya."

"Lucu sekali," kata Cal sambil mengernyit. "Aku kenal orang yang namanya juga Ginna. Tapi wanita itu pasti sudah mati sekarang."

"Apa yang terjadi?"

"Terinfeksi. Langsung dibawa buat, kau tahu, 'kan—dimusnahkan. Lagi pula, Ginna yang kukenal itu remaja ketuaan, kriminal, pengutil, pemabuk, bukan PN. Jangan-jangan, waktu kau mengobrol dengan Ginna temanmu itu, kau pernah kelepasan omong tentang kebencianmu ke PN, lalu dia dendam."

Rasanya itu juga mustahil—aku selalu berhati-hati saat bicara lewat radio. Namun, aku juga bisa salah. Mungkin aku memang pernah tanpa sengaja menyinggung Ginna. Hanya saja, aneh sekali dia sampai menyewa preman.

"Ilyas," kata Cal tiba-tiba. "Sudah memikirkan cara meloloskan Joo dari pemeriksaan individu di perbatasan ibukota?"

Aku mendongak, lalu melihat alasan gadis itu bertanya demikian. Tampak gedung-gedung tinggi menghujam langit sore yang mendung. Di kedua sisi jalan yang kami lalui, ruko-ruko sepi membingkai emperan. Bekas perimeter bertebaran hingga Cal mesti berbelok-belok.

Batavia pasti masih satu kilometer lagi, tetapi sekitar 20 meter di depan, orang-orang berseragam PN sudah menghadang. Ada beberapa mobil dan kendaraan roda dua yang berbaris dalam antrean pendek, berhenti pada pos-pos yang disediakan sementara para polisi menggeledah isi kendaraan mereka. Ada pagar kawat yang membentang dari salah satu pos sampai ke sisi jalan. Para pemilik kendaraan yang sedang digeledah digiring ke sana dan berbaris, mungkin untuk diperiksa satu-satu.

"Kepala Polisi kenalanmu itu," kata Cal gelisah. "Tidak bisakah kau pakai namanya supaya orang-orang itu membiarkan kita langsung lewat? Suruh salah satu polisi itu menelepon Randall Duma biar mereka percaya."

"Tindakan nepotisme terang-terangan begitu berisiko, apa lagi kalau para polisi ini malah jadi kesal dan menolak menelepon karena menganggap kita menghina mereka. Kecuali ...." Aku meraih seragam atasan kurir Cal yang tersampir di bahunya. "Ada berapa seragam yang kau bawa?"

"Tiga lembar. Cek saja di tas yang diduduki Joo. Tapi, buat apa?"

Kulempar atasan kurir Cal ke pangkuan Joo, lalu membongkar tasnya untuk mengambil dua seragam kurir lain. Kusampirkan selembar seragam Cal di bahuku karena ukurannya tidak pas buatku. "Pasal 25 ayat 3 tentang ketenagakerjaan kurir. Kita bisa lewat tanpa pemeriksaan, tapi dengan dikawal sampai tujuan, jika sedang dalam tugas pengantaran atau pengawalan darurat. Tentu saja kita bakal langsung diperiksa setelah tugas selesai, tapi itu akan kupikirkan nanti."

Sambil masih menyetir dengan menurunkan kecepatan, Cal mengenakan seragamnya susah payah. Bahkan meski dengan pakaian berlapis, seragam itu masih kebesaran di badannya. "Dan barang sepenting apa yang mesti diantar oleh kawalan tiga kurir sekaligus ke Batavia?"

Aku mengangkat Emma, yang membuat suara brrrr dengan bibirnya. "Anak pejabat polisi."

Aku cemas setengah mampus. Tak hanya berbohong, aku juga mencemarkan nama baik Randall. Pria itu duda dan tidak punya anak. Namun, pejabat punya anak diam-diam tanpa sepengetahuan publik itu hal biasa. Karenanya, saat polisi yang menelepon Randall Duma akhirnya mengonfirmasi dan mengizinkan kami lewat, aku merasakan isi perutku naik ke rusuk.

"Tak bisa kupercaya Kepala Polisi itu mau bekerja sama meski kita memfitnahnya punya anak diam-diam." Cal terkikik heboh. Saat suara sirene dilolongkan oleh kendaraan polisi yang mengawal kami di belakang, gadis itu memekik girang, bersahut-sahutan dengan suara Emma.

Aku mulai mual. "Entah bagaimana aku akan menghadapinya nanti. Rasanya, aku tidak punya muka lagi."

"Tut-tut." Emma menunjuk tugu dari bekas gerbong kereta di taman kota, lalu menganga memandangi gedung museum yang terang benderang. Wajahnya menempel erat ke kaca jendela, mengagumi dan memuja semua tiang listrik, ruko-ruko tua, lampu lalu lintas, dan perumahan elit. Begitu kami memasuki pusat kota yang dipenuhi gedung pencakar langit—hotel, bank, restoran cepat saji—Emma mulai memukul-mukul bahuku dan merengek minta turun.

"Jam berapa ini—cuma mendung sedikit saja lampu-lampu sudah menyala! Di kampung halamanku, kami tidak dapat akses listrik!" Cal mengomel sambil memelototi patung putra dan putri duyung di tengah-tengah air mancur yang dikalungi lampu warna-warni.

"Di sana." Aku menunjuk salah satu hotel bintang lima setinggi 15 lantai yang memiliki gerbang besar dengan pilar-pilar putih berukiran teratai.

Aku menarik napas dengan gugup sementara Cal memarkir mobil. Kulirik Joo di kursi belakang, seragam Cal menempel menempel pas di badannya.

Randall Duma mungkin tidak akan senang melihat wajahku setelah aku membuat beberapa polisi mengira dia punya anak diam-diam, tetapi dia pasti bakal mengerti. Dia harus mengerti—terutama karena kami membawa zombie yang hampir sembuh. Ini kemajuan besar yang baru dicapai Nusa setelah 7 dekade lebih.

Kecuali mereka sudah tahu ada kesembuhan untuk penyakit ini ....

Kugelengkan kepalaku untuk membuang pikiran tersebut. Aku bisa mengerti jika pemerintah menyembunyikan eksistensi negara lain, perang saudara di masa lalu, atau lubang-lubang di Tembok W—itu informasi yang hanya akan memecah-belah dan tidak ada manfaatnya untuk pengetahuan umum. Namun, zombie yang bisa kembali jadi manusia, peluang untuk mengembangkan obat, dan harapan kesembuhan? Tidak ada alasan untuk pemerintah menyembunyikannya.

Joo tetap di dalam sementara aku dan Cal turun dari mobil. Randall Duma, mengenakan seragam dengan banyak sekali lencana di balik mantel panjangnya, langsung menyambut kami di parkiran dan tak disangka-sangka memberiku pelukan hangat. Dia menyapa Cal, lalu menggendong Emma. Karena adikku pernah melihatnya beberapa kali, dia tidak menangis.

Dua orang anggota kepolisian yang mengawal kami dari perbatasan berdiri menunggu dengan sabar. Setelah Randall mempersilakan mereka, barulah keduanya mengeluarkan alat pengecek darah untuk memeriksaku dan Cal.

Emma menangis keras sekali sampai bergema di lahan parkir saat jarinya ditusuk jarum kecil alat pengecek darah, jadi tidak ada yang mendengar bunyi pintu mobil dibuka dan ditutup—kecuali aku yang berada tepat di samping mobil. Keringat dingin mengucur di tengkukku, tetapi aku tidak berani menoleh untuk memastikan.

"Mana kurir satunya?" tanya salah satu polisi seraya mengintip kaca belakang.

Cal dan aku bertemu pandang. Cal yang kemudian menjawab dengan tampang lugu, "Kurir satunya?"

"Ya. Kurir satunya. Kalian bertiga mengantar anak ini." Polisi satunya memukul-mukulkan kepalan tangannya ke pintu belakang. "Buka pintunya, bagasinya, dan bumper depannya."

"Kami cuma bertiga sama anak ini, Pak." Namun, Cal tetap membukakan kunci pintu mobil, bagasi, lalu bumper depan. Kedua polisi itu menggeledah mobil sampai mencopoti alas jok, tetapi Joo benar-benar tidak ada di dalam.

"Aku turut berduka untuk Nenek Aya." Randall berkata padaku penuh simpati. Dia mengeluarkan selembar sapu tangan di sakunya, lalu membiarkan Emma membuang ingus ke sana. Entah dia pandai berakting jadi ayah atau pria ini punya anak haram sungguhan—aku tak tahu. "Kalian pasti lelah sekali setelah perjalanan panjang ke ibukota. Kebetulan malam ini aku ada acara di kantor wali kota. Jadi, kalian bisa istirahat lebih dulu sebelum kita bicara besok pagi."

"Terima kasih, Pak." Kurasakan wajahku memanas. Seharusnya aku memberinya kabar baik tentang zombie yang bisa kembali jadi manusia, untuk menyelamatkan muka dan membuka pintu harapan kesembuhan dari penyakit zombie. Namun, aku tak bisa melakukan itu tanpa bukti. Tanpa Joo.

Rasa kecewa menelanku—aku berbuat kesalahan besar. Apa yang kuharapkan dari zombie tipe 4? Dia mungkin keliaran di dalam hotel sekarang, mencari otak.

"Pak," kataku pelan. "Ini hanya pertanyaan remeh saya setelah menyaksikan Renjani dan Distrik Turan diserang gelombang zombie—apakah Batavia punya sistem pertahanan untuk infiltrasi zombie?"

Randall tersenyum seraya menepuk kepalaku. "Kau tidak perlu cemas."

"Joo jombi." Emma menunjuk ke luar lahan parkir. Lalu, masih sambil berceloteh 'jombi jombi' dia menyandarkan kepalanya ke bahu Randall sembari memainkan lencana di seragam sang Kepala Polisi sehingga pria itu hanya terkekeh-kekeh gemas tanpa memerhatikan apa yang sebelumnya ditunjuk Emma.

Saat aku mengikuti arah telunjuk adikku, mataku membeliak—Joo duduk di kursi panjang di bawah pohon yang dikelilingi pagar tanaman bonsai. Dia berada tepat di tengah-tengah pengunjung hotel yang lalu lalang. Di pangkuannya, seragam kurir Cal terlipat rapi. Luka-luka di badannya tersembunyi di balik celana panjang dan sweter berkerah tinggi milikku. Namun, jika sepasang muda-mudi yang duduk di kursi sebelahnya itu memutuskan untuk memerhatikan Joo lekat-lekat, mereka akan menyadari kulit mayatnya dan luka robek di alisnya.

Kurasakan sekujur tubuhku gemetar. Bagaimana caranya aku memanggil zombie itu ke sini tanpa menyebabkan kepanikan? Bagaimana caranya menjelaskan duduk perkaranya pada Randall sementara Joo duduk di ujung sana, menongkrong santai di tengah-tengah manusia? Kapan dua polisi ini menyerah menggeledah mobil kami dan pergi?

"—kamera pengawas setiap sudut." Randall berucap. Rupanya sejak tadi dia menjelaskan sementara kepalaku diguncang rasa syok. "Petugas patroli juga selalu siaga. Untuk empat sisi perbatasan ibukota, ada menara pengawas, bekas pangkalan militer. Jika ada infiltrasi satu atau dua korban infeksi, petugas yang mengawasi kamera pengintai atau patroli atau penjaga portal pasti menyadarinya dan menurunkan perintah isolasi lewat radio. Jika ada kedatangan gelombang zombie besar seperti di Renjani dan Distrik Turan, pengawas menara akan melihatnya melalui teropong jarak jauh dan membunyikan alarm. Bunyinya seperti—"

Ngiiuuuuuuuuung ....

"Ya, seperti itu." Randall menunjuk langit-langit, lalu terdiam sendiri. Dia bertemu pandang dengan kedua polisi yang menggeledah mobil kami. "Aku tidak ingat memberi perintah latihan siaga zombie di luar jadwal."

"Ini bukan latihan, Pak," tukas polisi yang memegangi radio komunikasinya.

Satu tangan Randall yang bebas meraba-raba seragamnya, mungkin mencari radio komunikasinya. Randall mengerjap saat mendapati benda itu sedang dipegangi Emma. Apa pun itu yang dipencet adikku keras-keras telah memblokir panggilan radio dari perbatasan.

"Gelombang zombie dari sisi barat daya," lapor si polisi yang sudah melupakan sedan kami sepenuhnya. Dia dan rekannya berderap ke hadapan Randall. "30 km dari menara pengawas."

"Dan kenapa Distrik Cadis yang berada di jalur itu tidak menghubungi kita?" Randall terdengar gusar. Dia mengoper Emma padaku, lalu menghidupkan radio komunikasinya. "Mustahil mereka jatuh secepat itu tanpa sempat menghubungi ibukota sama sekali! Bahkan Renjani saja sempat meloloskan laporan."

Di tengah keriuhan alarm dan kasak-kusuk gugup orang-orang, pekerja hotel mulai memberi peringatan mengenai isolasi dan situasi darurat. Petugas patroli turun ke jalanan untuk mengatasi kericuhan, tetapi mereka pun tampak sama panik dan pucatnya dengan orang-orang sipil.

Aku mengajak Emma bicara untuk mengalihkan perhatian karena aku sadar Randall Duma tengah mengawasiku dari sudut matanya. Satu sisi benakku yang kurang rasional memunculkan pemikiran aneh bahwa pria ini curiga aku membawa zombie ke Batavia—karena aku memang memasukkan satu zombie kemari. Namun, pasti bukan itu. Gelombang zombie yang ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kami. Barangkali aku salah menafsirkan tatapan pria itu karena rasa bersalahku yang menyelundupkan Joo kemari.

Ketika Cal menghampiriku, radio komunikasi ketiga polisi di hadapan kami berbunyi lagi dan laporan-laporan baru terus masuk berturut-turut.

"Gelombang zombie dari utara Batavia, 17 km dari menara pengawas. Mohon kirim bantuan untuk blokade dan unit pembasmi segera—"

"Infiltrasi di portal 14. Empat zombie menginfeksi dua penjaga pos dan enam warga sipil. Dua di antaranya lolos dan menghilang di wilayah perumahan."

"Distrik Madan telah jatuh. Saya ulangi, Distrik Madan telah jatuh. Gelombang zombie baru berderap dari Madan menuju Batavia sejak pukul 16.00."

"Infiltrasi di portal 11. Satu zombie menginfeksi tiga sipil dan—"

"Gelombang zombie dari selatan Batavia, 20 km dari—"

"Distrik Arum telah jatuh. Saya ulangi—"

"Infiltrasi di portal 5—"

"Distrik Lidya telah jatuh—"

"Gelombang zombie dari timur Batavia—"

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro