22. Cal dan Ibu Kota

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 22: Cal's pov | 3462 words ||

Kamar hotel yang dipesankan Randall Duma sangat nyaman dan berkelas, jadi aku tidak mengerti kenapa terdengar suara tangisan dan kasak-kusuk ribut dari lorong atau kamar lain. Ada yang komat-kamit berdoa juga—karena hanya pada momen-momen macam ini mereka ingat Tuhan masih ada.

Menurut Ilyas, aku saja yang tidak normal, masih bisa rebahan di saat seperti ini. Menurutku, mereka saja yang tidak tahu cara menikmati hidup. Si Kepala Polisi baik sekali—dia memesankan banyak sekali makanan untuk diantar ke kamar kami sebelum pergi. Yah, acara ke kantor wali kotanya pasti batal karena para polisi sekarang bergegas-gegas ke hampir sepenjuru Batavia yang kedatangan zombie.

Sebetulnya, ada dua kamar yang dipesan oleh Randall untuk kami, tetapi karena perintah isolasi darurat, Ilyas dan aku harus berjejalan lagi dalam satu kamar. Hotel ini harus menerima dan melindungi sebanyak mungkin orang yang sedang berada di jalanan, jadi kamar-kamar yang kosong pun langsung penuh dan satu kamar kami diberikan ke satu keluarga beranggotakan lima orang.

Untungnya, di kamar ini hanya ada aku, Ilyas, Emma, dan zombie Joo. Si zombie mengekor dengan patuh dan tidak menarik perhatian saat kericuhan. Namun, Ilyas tetap marah sekali padanya karena keluar dari mobil tanpa bilang-bilang.

Pemuda itu membuka tirai dan mengintip keadaan di luar lewat jendela—sudah empat kali dia melakukan itu setelah kami selesai makan. Kamar kami di lantai 7, dan aku senang melihat pemandangan dari atas, tetapi Ilyas tak bisa diajak senang-senang. Dia terus melontarkan dugaan-dugaan tentang infiltrasi zombie, estimasi waktu jatuhnya Batavia, dan keanehan kenapa gelombang zombie berbelok dari Renjani ke Batavia.

Ranjang di kamar ini cuma satu, tetapi ukurannya luar biasa besar. Kutepuk-tepuk tempat di sebelahku. "Tidur sini. Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu. Nanti, kalau ada zombie—selain Joo, maksudku—akan kubangunkan kau."

Ilyas akhirnya menjauhi jendela dan duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Joo yang duduk di sofa di samping televisi.

"Jangan bergerak diam-diam lagi," kata Ilyas menggurui Joo. "Aku hampir mempertimbangkan untuk langsung melaporkanmu pada Randall tadi."

"Ya, ya, Papa." Aku mendengkus jenuh dan berguling memunggungi Ilyas.

Ilyas mengabaikan ejekanku dan terus berceramah. "Jangan berkeliaran di sekitar manusia sembarangan—pertama, kau bisa menyebabkan kepanikan; kedua, kau bisa saja digerakkan oleh insting memangsa otak lagi secara tiba-tiba. Setidaknya, selalu berada di sisi Cal, paham?"

Aku berguling menghadap Ilyas. "Aku bukan pengasuhnya."

"Tapi, cuma kau yang cukup tangguh buat mengatasinya kalau dia melakukan hal yang tak terduga."

Senyum dan raut wajah tersipuku muncul tanpa bisa kukendalikan. "Oke, deh."

Aku baru akan berguling lagi menghadap Emma yang sudah tidur pulas, kemudian Ilyas menjatuhkan dirinya di sisiku. Dia berbaring telentang dan matanya menerawang ke plafon. Dia memasang tampang berpikirnya lagi—bibir terkatup rapat, rahang mengencang, mata menatap lurus dengan pandangan menerawang. Kudapati diriku tidak bisa memunggunginya dan malah memandanginya dari samping.

Listrik padam sejak setengah jam yang lalu—tidak boleh ada cahaya, bunyi keras, atau sesuatu yang bisa menarik kawanan zombie. Kamar kami hampir gelap, hanya dengan temaram cahaya matahari sore yang sesekali menyorot dari balik awan mendung tipis. Senja yang biasanya oranye kini tampak biru-ungu kelam karena hujan tak turun-turun dan matahari makin dekat untuk terbenam.

Wajah Ilyas tampak berbayang dan kontur mukanya memukau karena dia berbaring di sisi yang dekat jendela (soalnya dia masih tidak suka berdiam diri dekat pintu). Garis rahangnya tegas. Matanya yang cokelat jadi tampak gelap. Rambutnya berombak lembut dan poninya mengikal di sekitar wajahnya. Sebelah tangannya terlipat di belakang kepala, tangannya yang lain lurus di sisi tubuhnya dengan jari telunjuk yang sesekali bergerak di atas seprai—itu tangan yang dia pakai buat memegangiku selama aku tak sadarkan diri di rumah sakit.

Aku mengerjap begitu Ilyas memiringkan kepalanya, balas menatapku. Katanya, "Kenapa? Ada sesuatu di wajahku?"

"Ti-tidak," jawabku, lalu berbalik memunggunginya.

Kucengkram seprai erat-erat dan mencoba bernapas meski yang kuhirup adalah kaus kaki Emma. Jantungku tidak mau berhenti menggedor rusuk. Kurasakan dorongan buat berbalik lagi dan memandangi wajah Ilyas lebih lama. Aku memang suka melihat wajah cakep—wajah Aryan, misal, tetapi tidak sampai berkeinginan menatapnya terus-terusan begini. Dan biasanya aku juga tidak takut terpergok.

Aku merasa panik mendadak. Biasanya tidak. Namun, baru sekarang aku kepikiran bahwa yang di belakangku ini bukan lagi Ilyas kecil yang dulu bisa ku-unyel-unyel lalu kubogem dua detik kemudian. Bukan pula Ilyas cengeng yang sering tidur siang satu selimut denganku sementara Bu Miriam membacakan sesuatu buat kami berdua. Dia ini pemuda 16 tahun, sejangkung 177 cm, dengan lebar tangan yang membuat tanganku tenggelam dalam genggamannya.

Jangan-jangan, aku ....

Aku ketiduran.

Aku terbangun karena merasakan beban di sekeliling lengan dan torsoku. Aku berbaring miring menghadap Emma, kaki kecilnya yang terbalut kaus kaki menempel ke jidatku. Anak itu masih tidur telentang seperti kakaknya ....

Ilyas sudah tidak tidur telentang—kesadaran itu menamparku sampai melek. Dia bahkan tidak tidur di ujung ranjang lagi, tetapi di tengah. Yang tengah membebani sisi badanku ini lengannya. Yang kurasakan berembus di ubun-ubunku ini napasnya. Yang menekan punggungku ini dada dan perutnya.

"I—" Aku tergagap. "Ilyas ...."

Yang bangun malah Emma.

"Emma," kataku dengan suara mencicit aneh. "Tolong, cubit tangan kakakmu."

Anak itu duduk dan menggosok-gosok matanya. Dia membuat capit dengan dua jari tangannya yang mungil, lalu menarik bulu tangan kakaknya sampai pemuda itu berkedut dan terperanjat bangun. Akhirnya aku mampu bernapas dan jantungku berhenti membentur-benturkan dirinya ke sekujur badanku.

Emma menguap lebar-lebar sementara Ilyas meringis dan mengusap-ngusap tangannya. Pemuda itu kemudian bergumam mengantuk, "Jam berapa ini?"

Sebelum bisa menjawabnya, kami dikejutkan oleh suara mengorok serak.

Mata Ilyas terbuka lebar menatapku. Ini bukan suara mengoroknya, dan dia tahu ini bukan suaraku. Kami lantas melihat ke samping televisi, di mana zombie Joo terkapar telentang di sepanjang sofa. Mulutnya terbuka, meloloskan suara gemuruh parau. Sebelah kaki dan tangannya menggantung dari sofa, tangan lainnya terlipat di perut, dan satu kakinya yang lain terangkat ke sandaran sofa.

"Dia tidak tidur sedikit pun selama kita di rumah sakit," kata Ilyas.

Kami bergegas-gegas mendekati sofa dan mengamati si zombie. Dia memang tidur. Matanya terpejam meski agak renggang. Suara napasnya berat dan serak.

Lalu, guntur menyambar. Hujan turun mendadak bak air tumpah melalui ember raksasa dari langit. Zombie Joo bergerak kaget, matanya terbuka nyalang, dan seluruh tubuhnya meloncat dari sofa. Ilyas dan aku ikut terlompat menjauhinya.

"Hei, hei, tenang!" kataku sementara si zombie mulai mengelilingi ruangan dengan panik. Suara terengah sumbang lolos dari mulutnya. Aku berusaha menangkap si zombie, tetapi dia terlampau gesit. Dia naik ke meja, ke ranjang, ke atas televisi, menabrak dinding dan pintu, berputar-putar dengan mata membeliak seperti anak kecil ketakutan.

Aku dan Ilyas berhasil menangkapnya di atas ranjang. Kami menahannya di sana, tetapi Joo baru berhenti memberontak setelah Emma mendekat.

Emma menempelkan kedua tangannya di bahu Joo seperti ikut menahannya. Anak itu bergumam bernada, kedengarannya seperti lagu angka-angka yang dikarang Bu Miriam, yang juga pernah dilantunkannya saat Ilyas mengalami serangan panik di Distrik Turan. Kutatap Ilyas kagum. "Adikmu penjinak zombie."

Ilyas mengamat-amati Joo. "Jangan-jangan zombie ini ... mimpi buruk."

"Dia tidur dan bermimpi," kataku. "Ini kemajuan, 'kan?"

Ilyas mengangguk, masih tampak terpukau.

"Kami bakal melepaskanmu, Joo," kataku pada si zombie yang berbaring miring. "Jangan jadi gasing dadakan lagi, oke?"

Ilyas dan aku melepaskan pegangan dari tangan dan kakinya. Joo melemas sedikit, lalu bergeming sama sekali.

"Kita harus potong kukunya kalau-kalau yang semacam ini terjadi lagi," kata Ilyas seraya membongkar tas. "Kita juga harus lakukan sesuatu pada giginya ... tapi kita tidak bisa menyentuh giginya sembarangan kecuali ingin terinfeksi."

"Aku punya mouth guard untuk olahraga." Kuraih tasku. Sebetulnya itu barang pesanan seseorang bulan lalu, tapi dia tidak mau bayar. Orang itu kira aku bisa digertak untuk menggratiskan jasa hanya karena dia mantan petinju.

Aku butuh sepuluh menit untuk mengajari Joo cara memasang penahan gigi itu—aku tidak mau menyentuh mulutnya. Jari-jari tangannya kaku dan gemetaran. Beberapa kali, mouth guard itu salah sasar ke hidung, dagu, mata, atau jidatnya. Aku mesti memegangi siku si zombie untuk mengarahkan tangannya; kulitnya dingin sekali seperti mayat. Setelah terus-terusan copot, akhirnya mouth guard itu terpasang juga di giginya.

"Kuharap gelombang zombie di sini lekas ditangani," kata Ilyas gelisah. Meski begitu, tangannya bekerja dengan cepat dan efisien memotongi kuku si zombie dan membasuhnya. Dia bahkan sempat membuat masker dadakan menggunakan carikan handuk hotel dan tali sepatu untuk menutupi mulut Joo. "Orang-orang harus tahu tentang Joo sesegera mungkin. Kita bisa kembangkan obat atau vaksin—"

Terdengar suara gemuruh, lalu getaran samar di kaca jendela. Mulanya, aku mengira itu suara petir. Namun, tidak ada kilat, dan bunyi tersebut kedengarannya berasal dari permukaan tanah ketimbang langit. Melalui jendela, kami melihat asap hitam membumbung dari kejauhan. Dari balik gedung-gedung tinggi, ada cahaya merah kekuningan yang menerangi langit mendung di atasnya.

Aku membuka pintu dan langsung bertatap muka dengan penghuni kamar seberang. Para penghuni kamar lain pun tengah mengintip dari balik pintu mereka, saling bertanya mengenai suara barusan dan berapa lama lagi kiranya masa isolasi berlangsung. Di lorong, dua staf hotel menenangkan para penghuni kamar, tetapi mereka juga tidak punya jawaban apa yang kiranya terjadi.

Aku menutup kembali pintu kamar karena sepertinya tidak ada informasi bagus—semua orang terputus akses komunikasinya. Lalu, kudapati Ilyas berdiri bersandar di samping jendela, kedua lengannya terlipat di depan dada, jari-jari tangannya mengepit denah Batavia. Matanya menerawang ke luar.

Dia memasang wajah berpikirnya yang legendaris itu. Kuduga, tak lama lagi dia tahu apa yang—

"Gardu listrik," ujarnya. Jarinya mengetuk-ngetuk kaca. "Sejak awal, tidak ada alasan buat mereka memadamkan listrik di sepenjuru kota. Mendengar alarm dan perintah isolasi saja pasti sudah cukup membuat orang-orang mengurung diri dengan hening dalam rumah mereka. Justru, memadamkan listrik dan membuat kota sesunyi ini malah berisiko—zombie jadi lebih peka terhadap suara sekecil apa pun. Pemadaman ini malah akan menyulitkan mobilitas polisi, ambulans, dan pemadam kebakaran. Artinya, pemadaman ini bukan bagian dari protokol isolasi. Listrik padam karena terjadi sesuatu di gardu listrik ... misalnya, infiltrasi zombie."

"Dan sekarang gardu listriknya meledak," kataku seraya mendekati jendela. "Artinya, gelombang zombie di wilayah itu sudah tidak terbendung. Tinggal hitungan menit sampai mereka masuk ke tengah kota."

"Kurasa, mereka sudah masuk." Ilyas menunjuk bagian lain kota. Ada dua titik asap hitam lain di tempat yang berseberangan. Mobil pemadam kebakaran dan ambulans melintas tiga kali di jalanan depan hotel tanpa membunyikan sirene. Ilyas menjauhi jendela dan memasang mantelnya, lalu mengoper shoulder holster serta seragam atasan kurirku. "Kita ke lantai satu sekarang. Terlalu banyak gelombang zombie, ini akan lebih parah daripada Renjani. Bakal ada perintah evakuasi sebentar lagi dan kemungkinan selamat sangat kecil kalau kita di lantai 7."

Aku membantunya membereskan barang-barang. "Bagaimana kalau evakuasi dilakukan ke atap dan ada helikopter?"

"Pasti banyak orang di hotel ini yang berpikir begitu," balas Ilyas. "Pokoknya, kita ke lantai satu dulu. Pastikan kau memegang tanda pengenal kurirmu."

Aku sudah berbuat kesalahan berkali-kali dengan tidak memercayainya, jadi aku mengikuti Ilyas meski tidak memahaminya sama sekali.

Ilyas keluar lebih dulu sambil menggendong Emma, diikuti Joo yang sebagian besar wajahnya sudah tertutup masker mulut, dan aku berjaga paling belakang sambil memanggul pentungan. Aku sengaja membuka kancing seragam atasan kurirku agar petugas hotel bisa melihat senjata api dan tanda pengenal kurir yang kucantolkan pada saku kemeja. Pada dasarnya, peraturan isolasi tidak berlaku buat kurir, jadi mereka membiarkan kami berada di luar kamar.

Namun, saat kami sampai ke lantai satu, PN yang berjaga di lobi langsung mencegat—mereka punya wewenang untuk menanyai sedarurat apa tugas kurirku sampai harus berkeliaran saat isolasi berlangsung. Saat itulah Ilyas merogoh sakunya dan mengacungkan salah satu lencana polisi yang dipinjamnya dari baju Randall—lengkap dengan surat pengantar berstempel serta bertanda tangan sang Kepala Polisi.

"Kapan kau minta itu?" bisikku saat kami melenggang bak iring-iringan raja melewati semua personel PN yang berjaga di depan hotel.

"Saat meneleponnya beberapa hari lalu, aku sudah meminta Randall menyiapkan ini—jaga-jaga andai kita terpisah darinya dan mesti punya kebebasan bergerak sendiri." Ilyas memasukkan kembali surat pengantarnya ke saku mantel, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa terhadap lencananya karena Emma tidak mau melepaskannya. "Cal, kaca film yang baru dipasang pada sedan kita saat di Distrik Arum ... itu cukup gelap, 'kan?"

"Sangat gelap," kataku. "Semua kurir juga tahu aturan pertama naik mobil: kaca yang gelap. Untuk mengurangi risiko diketuk zombie saat tidur dalam mobil."

Hujan tinggal rintik-rintik saat kami naik ke mobil—aku mengemudi, Ilyas dan Emma di sampingku, sedangkan Joo di belakang. Namun, Ilyas menyuruhku menepi dan berhenti tepat di samping gerbang. Aku tinggal berbelok, dan kami bisa langsung keluar ke jalanan, tetapi Ilyas malah menyuruhku mematikan mesin.

Ilyas mengeluarkan denah Batavia yang lebih baru, spidol merah, dan radio komunikasi dari sakunya, lantas meletakkan semuanya di atas dasbor—lagi-lagi pasti didapatnya dari Randall. Dia bisa saja menyembunyikan pelontar roket atau mobil tank berhiaskan foto Randall dalam mantelnya itu, dan aku takkan terkejut.

Matahari sudah tenggelam dan lampu emergency yang kemerahan dinyalakan di setiap sudut jalan. Kami mengamati jalanan yang mulai ramai—ambulans, mobil polisi, pemadam kebakaran, mobil pejabat, bahkan kurir. Dari dalam hotel, makin banyak pengunjung yang memaksa keluar. Beberapanya berhasil lolos dari polisi dan lari ke parkiran untuk mengambil kendaraan mereka. Bahkan staf hotel mulai gelisah dan tampak mempertimbangkan untuk pergi.

"Ilyas," kataku, "kalau kita tidak pergi sekarang, nanti perbatasan bakal penuh oleh orang-orang yang mencoba keluar kota juga. Portal kota bakal ditutup. Kita bakal terkurung di Batavia."

"Kita sudah terkurung, Cal. Kita takkan keluar Batavia. Tidak sekarang."

"Kenapa?"

"Dari laporan yang masuk melalui radio Randall, infiltrasinya terjadi di semua portal. Segala sisi perbatasan ibu kota pasti jadi lautan darah sekarang." Ilyas mengawasi arlojinya sambil menggoyang-goyangkan kakinya gelisah. "Kita harus keluar Batavia lewat jalur yang lebih lengang zombienya. Jalur yang sudah terinfeksi dan ditutup sejak lama sehingga tak ada manusia masuk sana—itu jalur paling aman dibandingkan yang baru terinfeksi."

Aku mengingat-ingat adakah jalur macam itu, lalu teringat peringatan Aryan tentang salah satu jalur. "Jalan tol yang sudah ditutup."

"Tepat. Tapi kita harus bertemu dengan Randall lebih dulu. Kalau dengannya, kita praktis punya akses ke semua tempat—bahkan bandara. Lagi pula dia sudah menemukan keluarga baru—" Ilyas menghentikan dirinya. Matanya melirikku. Seperti ada rasa bersalah dalam tatapannya. "Maksudku, kita telanjur bohong bahwa Emma ini anaknya. Para polisi itu bakal curiga kalau kita tidak mengantar kembali anggota keluarganya pada Randall. Dan dia juga harus tahu tentang Joo yang bisa kembali jadi manusia."

"Kalau begitu, ayo! Orang-orang di sini mulai panik—klakson, bunyi mesin kendaraan, dan suara mereka bakal membuat sekompi zombie menyasar ke sini. Apa lagi yang kita tunggu sekarang?"

"Kita menunggu zombie menyerang kemari."

Aku terpekik. "Kenapa?!"

"Karena kalau kita jalan sekarang, kita tak tahu gelombang infeksinya datang dari mana dan bergerak ke arah mana! Aku benci bergerak dalam ketidakpastian!"

"Tapi—"

"Sst! Sudah dimulai."

Aku bahkan tidak menyadarinya. Pergerakan patroli PN dan arus kendaraan tiba-tiba sudah berbalik arah, menyebabkan dua kecelakaan dalam sekejap. Salah satu mobil pikap menerobos marka jalan dan melaju melawan arah, sebuah ambulans menabrak seorang polisi saat berbelok, dan banyak sekali pengemudi roda dua yang menggendong kendaraannya melompati trotoar.

Bunyi tembakan terdengar. Sekitar dua sampai tiga lusin PN bermunculan dari satu sudut jalan, diikuti sosok-sosok yang bergerak timpang dan menggelepar. Ilyas membuat tanda pada garis jalan tersebut dalam denah menggunakan spidol.

Dalam sekejap, trotoar dan aspal jalan mendapat cat baru merah darah. Lampu emergency menyemarakkan warnanya. Beberapa kurir pemberani/tolol berkendara dengan bunyi knalpot nyaring, bertindak sebagai umpan untuk membuyarkan titik fokus zombie yang terlampau banyak—bayaran para kurir ini lumayan tinggi kalau bisa bertahan hidup untuk menerima gaji.

Arus zombie serupa pasukan artileri yang terus mendorong maju sementara PN yang menghadang mereka dibabat hampir sekejap. Dalam satu menit saja, banyak yang kocar-kacir setelah tergigit. Seragam mereka mestinya tahan untuk menerima satu atau dua gigitan, tetapi yang ini kepungan dari segala arah—cakar-cakar yang meraih, gigi-gigi yang berusaha menembus pelindung kepala, darah menutupi pandangan, dan pekikan menulikan telinga.

Keadaannya kacau sekali sampai aku tidak bisa mengenali lagi tipe apa yang mendominasi. Orang-orang dalam hotel membanjir keluar. Pekik klakson berlomba menyayat telinga. Sudah ada empat tabrakan terjadi di halaman hotel.

Ilyas menunduk gugup saat arus zombie pertama melewati gerbang dan melintasi mobil kami. Emma di pangkuannya sibuk menggigiti lencana polisi Randall. Joo duduk bersandar dengan sabuk pengaman terikat kencang di perutnya yang kurus (zombie ini lebih layak dapat SIM daripada sebagian besar dari kami).

Sedan kami diserempet tiga kali dan hampir ditabrak. Satu per satu zombie sudah masuk ke dalam hotel. Lalu lima. Sepuluh. Dua puluh. Dan tak terhitung lagi. Ada mayat dengan batok kepala terbelah menggeletak tersandar di pintuku. Ada seorang wanita yang basah kuyup mengetuk pintu Ilyas, memohon-mohon ingin masuk, lalu bergerak ke mobil lain, tetapi diabaikan juga.

Seorang pria yang rambutnya lepek oleh air hujan dan darah menyingkirkan mayat di sisi mobil kami, lalu mencoba mencongkel pintuku. Aku membuka jendela sambil mengacungkan pistol, dan pria itu pun pergi. Sebelum ada zombie yang memutuskan untuk bertandang juga, kunaikkan kembali kaca rapat-rapat.

"Aku masih tidak paham," kataku, "kenapa kita tidak menunggu tim evakuasi?" Kupandangi bangunan hotel. Beberapa jendela sudah diterangi lampu emergency yang menyala otomatis saat sumber utama listrik terputus. Titik-titik cahaya bergerak kilat menembus kaca yang gelap, mengarah ke atas, barangkali dari senter, dibawa oleh orang-orang yang mencoba naik ke atap. "Kalau kita ke atap dan membuat barikade—"

"Apa kau tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan tim evakuasi untuk mencapai Renjani, Cal?" bisik Ilyas. Tubuhnya mengejang tiap mobil kami menerima hantaman dari luar. "Satu hari. Bersamaan dengan reporter berita. Helikopter baru dikirim ke Renjani setelah 24 jam—setelah mereka mengonfirmasi bahwa kota itu sudah terlalu parah hingga gangguan bunyi baling-baling helikopter tak lagi jadi soal. Tim evakuasi jalur darat baru bisa masuk setelah tiga hari. Kalau kita naik ke atap, tidak ada jaminan tim evakuasi akan langsung datang. Malah ...."

Setelah Ilyas mengatakan itu, sesuatu jatuh dari langit. Aku menoleh, lalu melihat satu tubuh di tanah, bocor dan patah di mana-mana, membentuk mozaik abstrak memuakkan. Darah bercipratan sampai pintu depan. Orang-orang berhenti untuk berteriak, membeku karena syok, tetapi zombie di sekitar mereka tidak melakukan itu dan tetap bergerak untuk mengoyak.

Aku mendongak ke atas, memerhatikan dua tubuh lagi terjun bebas. Tanganku gatal sekali ingin mengemudikan kami keluar dari sini, tetapi aku menahan diri.

"Pasti ada banyak orang dalam hotel yang saat ini berpikiran untuk menuju atap." Ilyas melanjutkan. "Itu akan membuat jumlah manusia terkonsentrasi di atas. Dengan kondisi atap yang terbuka, tipe 3 akan melacak manusia yang bergerombol di sana dengan mudah. Tipe 2 akan mengekori mereka karena tertarik dengan suara. Barikade akan runtuh jika jumlah zombie sebanyak ini. Kalau kita membuat barikade di atap sekarang, barikadenya takkan bertahan sampai tengah malam, padahal tim evakuasi bisa saja baru datang besok siang. Paling cepat besok siang."

Aku menatap nanar pada hotel. "Jadi, takkan ada satu pun yang selamat di sini?"

"Tidak juga. Kemungkinan untuk bertahan hidup justru lebih besar jika orang-orang ini bertahan dalam kamar hotel, menutup lubang ventilasi, berkelompok dalam jumlah kecil, tidak keluar setidaknya sampai besok. Artinya, bertahan tanpa makanan dan air mengalir 24 jam. Tergantung keberuntungan dan ketahanan fisik."

Sekarang aku paham. Ilyas dan Emma tidak punya ketahanan fisik, sedangkan aku sering sial—kombinasi yang jelek sekali untuk mengurung diri di satu tempat. Jadi, kami tak ada pilihan selain bergerak ke lingkungan yang kurang padat.

Ilyas meraih spidol, lalu mencoreti denah Batavia di atas dasbor dengan tangan bergetar. Sesekali, matanya mengecek jalanan yang masih dipenuhi pembantaian. Melalui radio komunikasi, Randall Duma menghubungi kami. Suaranya pelan dan hampir tidak ada suara lain di latar belakang selain noise radio.

"Kami masih terjebak di menara pengawas perbatasan timur, dan gelombang zombie baru terus datang," sengalnya. "Bagaimana keadaan di sana?"

Ilyas menyampaikan laporan keadaan sesingkat mungkin. Meski kalimatnya tertata, aku bisa melihat tubuhnya gemetaran. Suaranya goyah. Matanya terarah ke bawah, menghindari pemandangan di sekitar kami, tetapi dia harus mengangkat kepala sesekali untuk mengobservasi keadaan di sekitar hotel.

Kupegangi pergelangan tangan Ilyas sampai tremornya berhenti. Ilyas merosot di sandaran joknya, masih berjuang untuk mengatur napas.

Percakapan antara Randall dan Ilyas dibuat sangat singkat dan lugas—mereka bertukar informasi, menyampaikan perkiraan-perkiraan arus infeksi, mengancang-ancang jalur yang belum ditutup dan jalan yang masih berfungsi. Randall mungkin sudah berpengalaman di lapangan, tetapi Ilyas mengejutkanku. Situasi ini sudah masuk operasi militer, dan kebanyakan PN saja masih kesulitan karena perbedaan lingkup tugas yang biasa mereka tangani, tetapi Ilyas tahu apa yang dilakukannya.

Satu kali, kurasa Ilyas bahkan mengejutkan Randall karena pemuda itu bisa memprediksi sisi utara dan selatan kota adalah yang paling parah. Dugaan Ilyas dikonfirmasi oleh laporan anak buah Randall yang selamat di dua wilayah itu. Menurut Ilyas, Batavia Utara mendapat gelombang zombie dari Renjani, sedangkan arus infeksi Batavia Selatan adalah kiriman Kotatua.

"Dari hotel kalian, dan menara pengawas tempatku berada sekarang," kata Randall, "ada satu titik tengah di mana kita bisa bertemu—paling dekat dengan jalan tol dan paling rendah tingkat infeksinya. Aku yakin kau tahu tempat yang kumaksud, Ilyas? Kau kenal tempat itu hampir separuh hidupmu."

Ilyas melingkari satu tempat pada denah, lalu terdiam sejenak. Dia menelan ludah. "Ya, tapi, Pak—"

"Kita bertemu di sana, paling lambat tengah malam ini. Jangan gunakan radio ini kecuali sangat terdesak. Lewat tengah malam, jika salah satu dari kita tidak datang, pergilah langsung ke jalan tol itu dan keluar dari Batavia."

Sambungan berakhir. Kuamati tempat yang dilingkarinya di denah—titik pertemuan kami dengan Randall, lalu menatap Ilyas. Aku pasti gagal menyembunyikan keterkejutan dan simpati di mataku. "Ilyas, apakah ini ...?"

"Rumah lamaku," katanya begitu saja, kedengaran cuek sekali, "panti asuhan tempat Pak Gun memungutku."

"Oh, hmm." Aku ingin memastikan apakah dia akan baik-baik saja mendatangi tempat itu lagi, tetapi Ilyas pasti bakal menarik diri lagi dariku kalau aku melangkah kejauhan. "Omong-omong, tentang tanda di denah dan percakapan tadi—bagaimana kau bisa tahu prosedur orang militer keluar dari zona infeksi?"

"Empat tahun bicara dengan orang asing lewat ham radio," katanya dengan mata menerawang pada denah. "Banyak mantan prajurit militer di sana."

Bumper depan dijatuhi mayat lagi, sedangkan bumper belakang ditabrak oleh satu mobil yang tidak mau berhenti membunyikan klakson. Tubuh Joo bergoyang seperti boneka kain karena goncangan, tetapi dia tidak bereaksi sama sekali. Aku makin tidak sabar meninggalkan neraka ini. "Boleh aku jalan sekarang?"

"Belum." Ilyas mengecek arlojinya. "Tunggu satu jam lagi."

Kucengkram roda setir. "Kenapa?"

Jari Ilyas menuding gerbang depan, yang masih penuh sesak oleh kendaraan, mayat-mayat terlindas, korban terinfeksi berlarian, Polisi Nusa yang bertahan, dan gerombolan mayat hidup yang membanjir masuk.

"Jalan sekarang sama saja seperti mencoba menabrakkan diri ke tembok bata. Setelah satu jam, kerumunan ini entah sudah pergi atau mati, dan gelombang zombie akan terkonsentrasi ke dalam bangunan hotel atau tempat lain. Setelah satu jam, aku takkan menghalangimu—kau boleh menabrak zombie sesukamu."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro