23. Ilyas dan Jalur Keenam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 23: Ilyas's pov | 4877 words ||

Setelah satu jam berlalu, jalanan tidak lagi penuh sesak oleh pawai orang mati dan gerbang pun lengang. Begitu kubilang kami bisa jalan, Cal tidak buang waktu. Dia langsung meluncur, melindas zombie pertama yang kami temui di depan gerbang, lalu menabrak satu lagi mayat hidup yang tengah menyeberangi jalan. Aku melirik ke belakang, tetapi Joo tampak tak peduli kaumnya jadi korban tabrak lari Cal.

Ada beberapa orang terinfeksi duduk-duduk di trotoar yang basah setelah hujan berhenti, sebagian besarnya personel PN. Meski radio telah menurunkan perintah untuk mundur dan mengganti shift pasukan patroli, mereka tak mengacuhkannya.

Para polisi itu hanya menongkrong di jalan, menunggu putusan nasib, membereskan beberapa zombie yang tersisa dengan tampang bosan. Beberapanya berbicara ke radio komunikasi sambil berurai air mata, barangkali menyampaikan wasiat pada rekannya. Yang lain mulai menyelonong ke toko yang kosong, bersenang-senang sebelum waktu mereka habis.

Masih ada lima jam sebelum mereka berubah jadi zombie. Lima jam untuk membuat keputusan—antara memasukkan moncong pistol itu ke mulut atau menembaki satu sama lain. Yang jelas, berubah menjadi mayat hidup sama sekali bukan pilihan bagi PN—mereka dituntut mencegah penyebaran infeksi dengan cara apa pun. Keluarga inti mereka—orang tua, istri, suami, anak—mendapat asuransi dan dibiayai negara, dan keistimewaan ini juga menjadikan mereka sandera. Jika seorang personel PN terbukti melalaikan tugas dan membiarkan dirinya berubah menjadi mayat hidup, bantuan terhadap keluarganya akan dicabut.

Kami membelah kegelapan dan kesunyian. Gemerlap cahaya ibukota sudah hilang. Mayat hidup yang masih keliaran di jalan mencoba mengejar sedan, tetapi tidak cukup cepat untuk balapan dengan Cal. Sesekali kami melewati petugas patroli yang masih berjaga, yang berburu dengan anjing-anjing pelacak, atau yang membakar jasad korban terinfeksi di emperan jalan. Tidak ada yang menyetop kami, tetapi mereka mencatat plat semua kendaraan yang lewat.

Kuamati tiap sudut jalan dengan resah. Apakah suara mesin mobil tidak terlalu keras? Tidakkah Cal menyalakan lampu depan terlalu terang? Jika ada satu atau dua zombie tipe 3 di sini, mudah sekali bagi mereka untuk melompat ke tengah jalan dan menghadang kami, menaiki bumper depan, lalu memecahkan kaca, kemudian menerobos masuk ke dalam—

"Ilyas?"

Aku mengerjap dan menoleh ke arah Cal. Gadis itu tengah melirik tanganku dengan cemas. Saat itulah aku tersadar tanganku mengepal terlalu keras. Kuku-kuku jariku menghujam ke dalam dan kedua telapak tanganku berdarah.

Kuambil tisu di atas dasbor dan menggenggamnya sampai darahku terserap. Cal sendiri tidak bertanya lagi, tetapi bisa kurasakan lirikan matanya sesekali.

Emma melanjutkan tidurnya di pangkuanku, tangannya masih memegangi lencana polisi Randall dengan keras kepala. Hidungnya merah karena pileknya tambah parah—dia sudah terlalu lama di perjalanan. Aku harus segera mengantarnya ke rumah barunya ....

Kulirik Cal diam-diam. Dia mungkin belum tahu, tetapi sadar aku merencanakan sesuatu. Dia jelas-jelas curiga saat tadi aku hampir keceplosan. Aku harus lebih hati-hati ke depannya. Gadis ini menyimpan tali tambang dalam tasnya dan tidak satu atau dua kali menyiratkan dia bisa menggunakan tali itu untuk mengikatku.

Satu kali, kami berbelok ke jalan yang sudah ditutup dan dipenuhi polisi—sepertinya ada kesalahan pada perkiraan jalur yang kubuat pada denah. Kami terpaksa putar balik dan mengambil jalan alternatif. Kutandai jalan yang gagal kami lewati pada denah. Tersisa empat alternatif lagi.

"Artinya Batavia sudah jatuh, 'kan?" tanya Cal.

"Tapi, kurasa mereka takkan mengumumkan kejatuhan ibu kota setidaknya sampai tiga hari lagi," kataku. "Jumlah personel PN terbanyak ada di sini. Mereka bakal berusaha membersihkan Batavia setidaknya sampai kasus infeksi menurun dan menyebut kota ini Zona Kuning."

"Kalau tidak bisa dibersihkan?"

"Celakalah kita semua."

Kami melewati pertigaan dan sekian banyak belokan besar. Tidak ada lampu lalu lintas yang menyala. Namun, lagi-lagi jalan ditutup di depan rumah sakit swasta. Trotoar di sepanjang jalan ini pecah-pecah dan ada satu tiang lampu rubuh tak jauh dari perimeter yang dipasang. Salah satu personel PN berseragam lengkap dengan pelindung kepala melambaikan tangan ke arah kami, memberi isyarat agar kami berbalik pergi. Artinya, jalan kecil di sisi rumah sakit itu juga tidak bisa dipakai.

"Itu dua jalur alternatif sekaligus," geramku jengkel. Kuraih spidolku, yang malah meluncur jatuh ke bawah karena tanganku gemetaran dan tisu berdarah masih lengket di telapak. Sambil masih menjaga posisi Emma agar tidak terbangun di pangkuanku, aku menjangkau ke bawah dengan susah payah.

Lalu, denah di atas dasbor ikut merosot jatuh.

"Argh!" Aku meninju dasbor dengan kesal. Cal berjengit, bahkan Emma langsung terbangun dan menangis.

"Ilyas, biar aku—"

Kutepis tangan Cal. "Aku bisa! Kau menyetir saja!"

Kuambil botol susu Emma dan menyumpalkannya ke mulut adikku sampai dia terdiam. Setelah memunguti semua yang jatuh, aku kembali menandai jalur kedua dan ketiga. Sisa dua jalur yang bisa kami lewati. Kalau yang dua ini juga ditutup, kami terpaksa mengambil jalan padat penduduk.

Jalan yang sudah pasti menjadi lautan zombie saat ini.

Kemungkinan terbaiknya, kami akan takkan sampai ke panti asuhan terkutuk itu tepat waktu, dan Randall Duma bakal pergi meninggalkan kami jika sudah lewat tengah malam. Kemungkinan terburuknya, kami takkan sampai sana sama sekali.

Kucengkram tisu erat-erat sampai warna darahku menebal di sana. Andai aku dan Emma masih di rumah, kami akan baik-baik saja. Meski Renjani sudah lumpuh, aku masih bisa bertahan di lantai dua setidaknya sampai Randall mengirim bantuan ke sana. Kami seharusnya tidak perlu melalui perjalanan berbahaya ini.

Jalur keempat adalah area perumahan sederhana yang bersisian dengan tempat pemakaman umum—seharusnya tempat ini minim zombie karena ini hari kerja. Namun, lagi-lagi jalur kami tertutup, bukan oleh PN, melainkan oleh warga lokal yang memasang barikade dengan batang pohon besar merintangi jalan dan timbunan batako agar tak ada orang luar yang masuk ke perumahan mereka.

"Mungkin aku bisa bicara dengan mereka agar mengizinkan kita lewat." Cal bersiap keluar dari mobil ketika aku menarik tangannya. Kutunjuk pos ronda dan pohon-pohon pisang di sekitarnya, di mana moncong-moncong senjata berkilat dalam kegelapan.

"Mereka takkan membiarkan kita lewat," kataku. Kucoret jalur keempat dengan kasar, hampir merobek kertas denahnya. "Balik arah. Kita terpaksa melewati kompleks apartemen karena hanya tinggal itu jalur terbaik yang tersisa."

Jika yang ini juga ditutup, opsi terbaik hanya melewati area perkantoran. Sudah bisa dipastikan akan sebanyak apa manusia di sana pada hari kerja seperti ini, terlebih serangan zombie Batavia terjadi sore hari saat lalu lintas sedang padat-padatnya. Kalau kami sampai harus melewati area perkantoran ....

"Tidak ditutup," ujar Cal lega begitu kami memasuki jalan besar yang diapit bangunan-bangunan tinggi kompleks apartemen dan ruko. Meski begitu, jantungku tetap melompat-lompat saat mataku menangkap sosok-sosok berkelebat di balik bayang-bayang di bawah cahaya merah lampu darurat.

Saat kami akan melewati bundaran jalan, aku menunjuk belokan. "Ke kanan."

Cal melirik denah di atas dasbor. "Tapi, kalau lurus lebih cepat."

"Kalau lurus, kita akan melewati kantor walikota." Aku mengingatkannya. "Di sana ada acara yang semestinya dihadiri Randall tadi sore. Artinya, banyak orang berkumpul—banyak infeksi zombie."

"Apa aku tidak boleh lihat-lihat zombie pejabat? Kapan lagi bisa mementung kepala pejabat tapi tidak masuk penjara?" Meski mengeluh, gadis itu tetap menurutiku dan berbelok.

"Gelombang zombie Batavia belum enam jam, Cal," kataku. "Kalau pun tergigit, para pejabat itu masih pejabat, belum zombie. Ah, berhenti sebentar di tikungan itu. Menurut laporan anak buah Randall, mereka melihat zombie yang bisa berlari di dekat tugu pahlawan. Entah tipe 3 atau tipe 4."

Cal menghentikan mobil dan mematikan mesinnya. "Kalau begini, bukannya lebih aman kita membesuk sekawanan zombie pejabat?" Kemudian, Cal menarik napas dramatis. "Ilyas, jangan bilang kau mau memungut satu lagi Joo Bistik?"

Joo menegakkan punggung, merespons panggilan nama itu.

"Tidak memungut," desisku seraya menggigiti kuku ibu jari. "Cuma mengecek."

"Kau hampir mengompol melihat gerombolan zombie di hotel tadi, bertingkah senewen karena empat perencanaan jalur amanmu meleset, dan sekarang berlagak mau mengecek zombie tipe 4?"

"Tutup mulut, Cal." Kupelototi kegelapan di sekitar kami. Cahaya lampu emergency menyiram satu sudut jalan, tetapi tidak cukup terang untuk menerangi jalur menuju area wisata. Aku bahkan hampir tak bisa melihat tugu dan taman di sekitarnya kalau tidak fokus ke puncak bebatuan tugu. "Siapkan pistolmu. Kalau benar ada tipe 4, tembak kakinya."

Gadis itu menggerutu, tetapi tangannya tetap mampir ke sarung pistol.

Kami menunggu selama sepuluh menit sampai ada yang bergerak dari pagar taman. Cal menarik pistol, tetapi itu hanya seorang lelaki yang terseok-seok sambil memegangi pinggangnya. Orang itu mengetuk jendela Cal, lalu berlari lagi saat dua petugas patroli muncul dari gerbang taman wisata dan mengejarnya.

"Korban infeksi," kata Cal. Gadis itu berdecak. "Kalau dia terinfeksi tapi keras kepala mau bertahan hidup sebagai zombie, setidaknya dia mesti mengurung diri di kamar dan tulisi 'awas zombie' di depan pintu. Dia bisa saja berubah di jalanan begini, menginfeksi orang tidak bersalah. Bikin kerjaan tambah banyak saja!"

Kami mengamati kejar-kejaran itu sampai mereka menghilang dalam kegelapan.

"Jalan, Cal," desahku. "Kalau memang ada tipe 4 di sini, mustahil ia tidak mengincar orang-orang tadi. Mungkin laporan itu salah."

"Barangkali, si pembuat laporan itu salah lihat." Cal menyalakan mesin, tetapi dia tidak menjalankan mobil. "Kau pasang muka berpikir lagi. Ada sesuatu?"

Memangnya bagaimana wajahku saat berpikir sampai dia terus-terusan menyadarinya?

"Ada dua hal yang sejak tadi membebani pikiranku," kataku. Yah, selain penyesalanku keluar dari Renjani dan terjebak di Batavia, beban pikiranku memang cuma dua. "Pertama, gelombang tipe 4 yang kita lihat masuk Renjani waktu itu besar sekali. Tapi kenapa yang menginfiltrasi Batavia hanya tipe 1 sampai 2? Bahkan laporan adanya zombie yang berlari hanya sedikit. Karena inilah keadaan Batavia tidak separah Renjani, tapi kenapa?"

Cal menoleh ke belakang. "Joo, kau tahu sesuatu?"

Joo cuma pelanga-pelongo. Entah kemampuan linguistiknya belum cukup untuk memproses percakapan, atau otot dan bagian otak yang mendukung kemampuan bicaranya belum bisa digunakan. "Dia takkan menjawab pertanyaanmu, Cal."

"Tapi dia mungkin tahu sesuatu. Misal, waktu dia menongkrong bareng teman-teman zombie-nya. Barangkali ada semacam bos dalam gengnya, bicara pakai bahasa zombie. Kalau Joo sempat menguping, dia bisa memberi tahu kita."

"Itu bodoh seka—" Aku menghentikan diriku dan menegakkan punggung. "Sebetulnya ... itu brilian sekali. Kata-katamu random semua, tetapi ada benarnya."

"Betulkah?" Lalu senyum Cal turun. "Tunggu, yang barusan itu pujian?"

"Artikan saja sesukamu." Aku membalikkan badan ke belakang menghadap Joo. Si zombie masih duduk bersandar dengan perut terlipat ke dalam dan punggung bengkok nyaris membentuk sudut siku-siku, sabuk pengaman melintangi dadanya yang ceking. Mulut dan hidungnya tertutup masker yang menggembung karena dia masih memakai mouth guard di baliknya. Kutatap matanya yang kelabu pucat dan bertanya, "Kau bukan mata-mata, 'kan?"

Cal menertawakan pertanyaanku, tetapi aku dan Joo tetap bersinggungan pandang. Inilah keuntungannya sebagai zombie—selain dia tidak bisa mati—ekspresi wajahnya tidak bisa dibaca sama sekali. Apa pun yang berada dalam kepalanya, terajut dalam pikirannya, rencana yang dimilikinya, motif dari semua tindakannya—aku takkan pernah mengetahuinya. Dan dia bisa mendiamkan pertanyaanku selama yang dia mau dengan alasan dia belum bisa bicara.

Barangkali aku teralu meremehkan tipe 4. Persepsiku terhadap mereka hanya sebatas "Zombie yang berada dalam masa penyembuhan", tetapi sudah sejauh apa proses pemulihan mereka?

Kalimat Cal barusan menyembulkan satu lagi pertanyaan dalam benakku: bagaimana kalau ada tipe 4 yang telah pulih sampai pada titik di mana ia mampu menalar dan membangun kelompoknya sendiri?

Jika begitu, zombie tersebut tidak lagi mencari mangsa manusia menggunakan insting primitifs, tetapi juga komunikasi dengan satu sama lain—mungkin ada tipe 4 yang sudah cukup sadar dan terbangun sempurna kognitifnya, mengarahkan zombie lain menginfiltrasi kota-kota, dari Renjani sampai Batavia. Meminjam istilah Cal, ada bos di antara mereka. Joo mungkin sudah berhenti menginginkan otak manusia, tetapi bagaimana dengan tipe 4 yang lain?

Proses pemulihan pada semua zombie bisa saja tak sama persis. Bisa saja ada tipe 4 yang pemulihannya hampir sempurna, tetapi masih mencari otak—bukan karena kebutuhan, melainkan keinginan. Bertahun-tahun hidup mengonsumsi otak, tidak ada jaminan pola makan mereka kembali seperti manusia biasa.

Selama ini aku terpaku pada pemulihan fungsi-fungsi dasarnya saja. Jadi, selama kondisi fisiknya masih zombie, aku mengasumsikan pola pikirnya juga sama. Aku mengasumsikan tipe 4 tak mungkin bisa merancang perencanaan atau melakukan tipu daya. Bagaimana kalau ternyata mereka bisa melakukan itu? Bagaimana kalau Joo dikirim kemari membuntuti kami untuk suatu tujuan? Apakah zombie ini secara sadar menguntit kami atau dia bahkan tak memahami apa yang dilakukannya?

Jika benar ada tipe 4 yang merencanakan ini semua, maka penyerangan terhadap Renjani sampai Batavia jadi masuk akal, akan tetapi si tipe 4 pasti akan memerlukan sistem bahasa sendiri untuk mengarahkan para zombie. Barangkali aku harus memancing Joo untuk memastikan. Dia mungkin saja bisa bicara, tetapi menyembunyikan itu untuk membodohi kami ....

Atau aku hanya terlalu banyak berpikir?

Ujung sepatuku merasakan ransel di bawah dasbor, di mana foto keluarga si zombie berada. Aku bisa memprovokasinya, tetapi ....

"Yah, kurasa kita bodoh bicara pada zombie," kataku pada Cal dan kembali menghadap depan. Emma menggeliat di pangkuanku dan mengerang kecil sebelum terlelap lagi.

Tidak di sini, di tengah-tengah kegelapan zona darurat yang baru saja diserbu gelombang zombie. Emma masih tidur, aku masih merasa spaning, dan Cal mungkin letih karena menyetir berjam-jam. Joo belum membahayakan kami meski dia punya banyak sekali kesempatan untuk itu, aku juga masih bisa mengorek sesuatu darinya sedikit demi sedikit, dan aku belum melihat alasan yang bagus untuk mengakhiri mutualisme aneh kami.

"Lalu?" tanya Cal. "Tadi kau bilang ada dua hal yang mengganjal di pikiranmu."

"Tentang apa yang diincar para zombie ini. Arah infeksinya terus mengikuti kita. Terlalu banyak kebetulan untuk disebut kebetulan."

"Mungkin ini salah Joo," kata Cal. "Mungkin para zombie membaui sahabat karib mereka bersama kita."

"Tapi Joo baru membuntuti kita sejak kita keluar dari Renjani, sesudah gelombang zombie datang."

"Sebetulnya," kata Cal sambil menggaruk-garuk tengkuk, "waktu kita menuju rumahmu sehabis dari apotek malam itu, beberapa hari sebelum Renjani jatuh, aku sudah merasakan ada yang membuntuti kita. Bisa saja itu Joo."

Aku menatapnya tak percaya karena dia baru bilang sekarang—hal sepenting itu bukan sesuatu yang semestinya dia abaikan begitu saja. Namun, yang di depanku ini Cal, gadis yang bungkam selama tiga tahun lamanya perihal lubang di Tembok W, bukan karena dia punya maksud jahat, melainkan karena dia semata tidak kepikiran. Aku tidak kaget, tetapi tetap saja jengkel.

"Apa lagi yang lupa kau katakan?" desakku.

"Itu saja, kok ... kurasa."

"Kau yakin?" tanyaku. "Barangkali kau lupa menyebutkan satu atau dua lusin zombie tipe 4 lagi yang kau bawa ke Renjani? Seperti saat kau lupa menyebutkan masalah lubang pada Tembok W bertahun-tahun lalu?"

Gadis itu seketika mengerutkan muka sedemikian rupa. Pipinya menggembung dan wajahnya memerah. "Aku tidak membawa mereka! Tipe 4 yang mengekoriku cuma satu, dan aku sudah bertanggung jawab menghabisinya dengan samurai waktu itu! Kau menuduhku jadi penyebab gelombang infiltrasi ini lagi, 'kan?!"

"Tipe 4 pertama datang ke Renjani bersamamu, lalu Joo, lalu lusinan lainnya menyusul. Saat kita singgah di Distrik Turan, gelombang zombie baru masuk ke distrik itu dalam hitungan menit. Sekarang Batavia. Sudah kubilang, terlalu banyak kebetulan untuk disebut kebetulan." Kutatap kaca depan, di mana kegelapan membentang. "Artikan itu sesukamu."

Suasana di dalam mobil jadi senyap dan tegang, hanya dengan suara mesin dan dengung lembut pendingin udara di antara kami. Suara dengkur Emma yang seperti meniup napas dari mulutnya terdengar sesekali.

Cal memecah keheningan. "Aku tahu kau orangnya memang dingin sejak dulu," ujarnya pelan, "tapi tidak keterlaluan sampai seperti ini."

Dia tiba-tiba melepaskan sabuk pengaman, meraih tasnya, dan mengepit pentungannya di bawah lengan. Aku kehilangan suara saat Cal membuka pintu dan beranjak keluar. Kusambar tangannya sebelum dia pergi. "Kau mau ke mana?"

"Ke mana pun—sesukaku saja. Bakal kupanggilkan PN terdekat buat mengawalmu kalau kau takut ditinggal di sini tanpa penjagaan, Tuan Ilyas."

"Bukan itu maksudku—"

"Aku paham maksudmu," katanya dingin, dan mendadak perutku seperti dipuntir. "Aku bawa sial. Lubang di tembok, infiltrasi zombie, kita diserang preman, dan gelombang infeksi membuntuti kita—semuanya salahku. Aku bakal menjauh dari kalian supaya kesialanku berhenti menempelimu dan Emma. Barangkali, Joo juga bakal mengekoriku setelah ini, jadi kau bisa bebas."

Cal menarik tangannya dariku sampai badanku tersentak ke samping. Tuas gigi menyodok sisi rusukku. Saat aku meringis sakit dan Emma mengerang terbangun, Cal sempat terhenti. Aku mengangkat wajahku dan melihat gadis itu menatapku—wajahnya seperti menahan tangis. Lalu, dia menutup pintunya dan melangkah menyusuri tepi trotoar, kembali ke arah bundaran jalan.

"Emma, tunggu di sini," kataku panik seraya mendudukkannya di kursi pengemudi. Kumatikan mesin mobil dan kucabut kuncinya. Kuarahkan tangan Emma memegangi setir untuk mengalihkan perhatiannya. Kutunjuk Joo di jok belakang. "Sentuh adikku seujung jari saja, kukejar kau sampai ujung dunia."

Aku berlari keluar sambil membawa kunci mobil, mati-matian mengabaikan bau amis-busuk sisa gelombang zombie di jalanan. Kukejar Cal dan memotong jalan di hadapannya.

"Aku," kataku sambil tersengal-sengal dan memegangi bahu Cal untuk menahannya. "Aku—minta—maaf. Aku salah bicara."

"Aku paham kau stres menghadapi dunia luar, Ilyas." Cal berkata dengan nada datar yang kemudian meninggi di akhir ucapannya. "Aku paham kau punya kondisi sendiri. Aku salut kau sudah bertahan cukup lama tanpa obat-obatan penenang itu dan mulai mengurangi kebiasaan kompulsifmu. Aku juga paham kita hampir celaka di tangan para preman di Distrik Arum waktu itu gara-gara aku tidak menuruti rencanamu. Karena itu aku juga menahan diri—kubiarkan kau marah-marah sesukamu. Kubiarkan kau mengejekku pakai sindiran-sindiran yang kau kira tidak kupahami. Tapi, kau tidak perlu menyebutkan dosaku yang itu—masalah lubang pada Tembok W, tak usah kau sebutkan, aku sudah memimpikannya tiap malam!"

Aku mengangkat kepala untuk menatapnya. Bibir gadis itu kini terkatup rapat, rahangnya kaku sampai dagunya mengerut, pipinya bergetar, matanya merah, alisnya hampir menyatu. Dia benar-benar menahan tangis dan rasanya aku jadi kepingin menonjok wajahku sendiri.

"Lubang di tembok 8 tahun lalu bukan salahmu," kataku dengan napas pendek-pendek. "Masuknya zombie ke Duane juga bukan salahmu. Umurmu 7 tahun, Cal, tentu saja itu bukan salahmu. Tentang para preman itu—mereka mengincarku dan Emma, jadi itu salahku. Dan gelombang infeksi ini juga tidak ada hubungannya denganmu. Aku mengatakan itu karena aku marah kau baru mengatakan tentang Joo—tapi aku tidak serius saat mengatakan itu salahmu. Jadi ... maafkan aku."

Aku menatap mobil dengan cemas. Kaca belakang begitu gelap sehingga aku tidak bisa melihat bagian dalam sedan. Dan, di luar sini, kami begitu terekspos ....

"Kumohon, Cal. Aku meninggalkan Emma dengan Joo, dan di luar sini berbahaya. Zombie masih keliaran. Korban infeksi masih di mana-mana, dan—"

"Kau butuh bernapas," ujarnya. Baru kemudian aku ingat untuk menarik napas.

Udara terasa dingin menyayat dan membebani paru-paruku. Spontan, mataku jelalatan ke semua sudut jalan yang gelap gulita, pada tiap titik yang disiram lampu darurat yang menyakiti mata. Seluruh rambut di tubuhku berdiri. Makhluk apa pun bisa melihat kami di tengah sini sementara aku tak bisa melihat mereka.

"Masuklah," kata gadis itu dengan lebih lembut. Tangannya mencoba menyingkirkan tanganku dari bahunya. "Kau kelihatan mau ambruk."

Kueratkan peganganku pada bahunya. "Aku tidak akan masuk tanpamu."

"Kalau kau cuma butuh bodyguard atau sopir, aku bisa panggilkan—"

"Aku yang akan menyetir kalau kau capek!" bentakku. Buru-buru kukecilkan suara begitu menyadari keheningan tak berujung di sekitar kami. "Dan aku tidak butuh bodyguard. Aku bisa melindungi diriku sendiri dan Emma—"

"Pakai sapu," kata Cal datar, "sambil menjebak diri dalam lemari. Kemudian muntah ke kakiku."

"Tidak semua orang terlatih pakai samurai," tukasku jengkel. Aku meringis. "Ternyata kau bisa balas menghinaku."

"Sudah kubilang, selama ini aku cuma menahan diri."

Kedua tanganku menangkup lutut yang mulai gemetar. "Aku mulai panik sekarang, Cal. Kau bisa pilih—antara kita masuk ke mobil sekarang; atau kau bisa menggendongku ke mobil karena, satu menit lagi saja, aku bakal roboh di sini."

Kusadari ujung bibirnya berkedut. Saat melihat tatapanku, Cal buru-buru mengatur wajahnya. "Masuklah duluan. Beri aku dua menit untuk menenangkan diri di sini."

"Tapi—"

Dia mencabut pentungannya. Matanya menatap jauh melewati kepalaku. "Kau mau tinggal dan menontonku menenangkan diri? Boleh saja."

Aku menoleh dan melihat siluet seseorang yang terpincang-pincang ke arah kami. Jarak kami terpaut lima atau enam meter, dan aku masih tidak bisa melihat wajahnya saking gelapnya tempat ini. Kakinya pengkor seperti huruf X, tangannya menggelepar di kedua sisi badannya, kepalanya terteleng miring sampai kusadari lehernya patah.

Aku menuruti Cal dan tertatih-tatih masuk ke mobil sementara gadis itu maju menyambut si mayat hidup.

Di dalam, Emma sedang menirukan bunyi mesin mobil. Tangannya memutar-mutar roda setir dengan susah payah. Dia memukul-mukul klakson dengan pipinya karena kedua tangannya terpakai untuk memegangi kemudi—untunglah kuncinya kucabut. Di jok belakang, Joo mencondongkan badannya ke kiri dan ke kanan mengikuti arah putaran roda setir Emma. Satu kali, Emma membuat bunyi "Bum!", dan badan keduanya terlonjak seolah mobil menabrak lubang jalan yang besar.

Setelah napasku lebih teratur dan debaran jantungku berhenti menyakiti dadaku sendiri, aku mengamati Cal lewat kaca belakang—dia masih mementungi sesuatu yang tak bisa kulihat. Ayunan tangannya begitu bertenaga sampai membuatku bergidik. Aku sudah pernah membawakan pentungannya beberapa kali. Bobotnya lumayan, hampir seberat Emma, tetapi Cal sering memutar-mutarnya seolah benda itu cuma pensil.

Catatan untuk diri sendiri: jangan buat Cal marah lagi kalau tidak mau mati muda.

Lalu, tiba-tiba aku tersadar, kenapa tadi aku mengejarnya? Ini kesempatan sempurna—aku bisa memisahkan diri darinya tanpa perlu meninggalkannya. Cal sendiri yang akan meninggalkanku. Kalau tadi aku membiarkannya memanggilkan polisi terdekat untuk mengawalku sampai titik pertemuan dengan Randall, segalanya akan berjalan lancar. Aku bisa bawa Emma ke keluarga barunya. Aku bisa serahkan Joo dan lepas tangan. Cal tidak ada untuk menggerecokiku. Jadi—

Kenapa. Aku. Mengejarnya?

Kubenturkan jidatku ke dasbor. Emma terlonjak dan mengamatiku dengan mata membelalak.

"Apa yang sudah kulakukan ...?" sesalku. "Emma, apa yang sudah kulakukan? Biasanya aku tidak begini ...."

Emma mengerjap sebentar, lalu kembali teralih ke roda setir. Hanya dalam dua detik, dia melupakanku dan kembali berpura-pura menyopiri satu zombie.

"Aku tolol ..." gumamku. "Aku yang akan menyetir kalau kau capek apanya?! Kenapa aku mengatakan itu? Aku tidak bisa menyetir. Kenapa tadi aku membujuknya kembali ...."

Aku memukul dasbor dengan dahi beberapa kali lagi sampai puas, lalu menegakkan badan dan melirik spion. Cal sudah melenggang ke arah mobil sambil mengelap pentungannya menggunakan secarik kain yang entah di dapatnya dari mana. Dia membuang kain itu ke emperan jalan sebelum masuk ke dalam. Mungkin aku harus membuatnya marah lagi agar dia pergi ....

"Wah, lihat siapa yang sudah belajar menyetir!" seru gadis itu dengan mata berbinar. Mood-nya sudah membaik dalam waktu singkat. Untuk sesaat, aku lupa tujuanku dan malah terpaku pada caranya tersenyum pada adikku. "Tapi, kau harus belajar berjalan dulu sebelum menyetir, Emma."

"Ngeeeng ngeeeng!" Emma menirukan cara Cal membalap zombie. Telunjuk kecilnya menuding kaca depan dengan marah. "Jombi!"—Lalu badannya tersentak-sentak seperti memeragakan adegan tabrak lari Cal.

Cal menelan ludah dan menatapku. "Apa aku sudah memberi pengaruh buruk pada adikmu?"

Kutarik badan Emma dari jok pengemudi. Mengabaikan jeritan protesnya, kududukkan Emma ke pangkuanku lagi. "Sebelum ini, dia menirukanku mengatai Aryan tengik. Jadi kurasa, filter Emma yang bermasalah."

Sebelum duduk, Cal membuka seragam atasan kurirnya yang kotor, lalu melemparkannya ke belakang bersama pentungannya. Seragam itu menyangkut ke kepala Joo dan pentungannya menghantam si zombie di dada.

"Maaf, Joo!" Cal berseru, tetapi si zombie hanya mengerjap linglung begitu seragam kurir Cal tersingkap dari wajahnya.

Catatan baru: jika zombie ini sesungguhnya memang sudah bisa bicara, minimal dia bakal menggerung secara spontan. Artinya, dia sungguhan belum bisa bicara. Dia bahkan lebih lamban lagi dalam merespons rasa sakit.

Kuamati Cal dengan penuh apresiasi. Berkat dia, aku tidak perlu memakai provokasi untuk membuktikan apakah Joo bicara atau tidak.

"Ayo, lanjutkan perjalanan." Cal menyalakan mobil. Matanya menatapku penuh harap. "Kau yakin kita tidak bisa cek zombie pejabat dulu?"

Buat dia marah. Kugigit bagian dalam pipiku, lalu berkata, "Sebentar saja."

Cal memekik gembira dan segera banting setir, kembali ke arah bundaran jalan. "Masih ada beberapa jam sebelum tengah malam, Ilyas. Lagi pula, lewat kantor walikota malah lebih cepat daripada jalur lain."

Ayo, buat dia marah! Kudapati tanganku menandai jalur baru pada denah, lurus melewati kantor walikota, lalu menyilang jalur kanan yang lebih aman. "Hmm."

Tolol, Ilyas. Kau baru saja membuang jalur aman kelima dan malah membuat jalan alternatif keenam yang padahal lebih berbahaya daripada area perkantoran.

Mau bagaimana lagi? Aku membisiki benakku sendiri. Dia kelihatan senang.

Ilyas, kau TOLOL sekali, rutuk sudut benakku lagi. TOLOL pakai kapital.

Pasti ada sesuatu yang salah dengan kepalaku. Mungkin ini efek 4 tahun tidak keluar rumah dan berhari-hari bertahan di tengah serangan panik.

Namun, sebelum kantor walikota terlihat, jalan sudah ditutup. Marka pembatas jalan berjajar di kedua lajur, dua palang pintu bergaris hitam-kuning melintang dari ujung trotoar ke sisi satunya, lusinan karung pasir bertumpuk-tumpuk sampai membentuk dinding setinggi satu setengah meter, dan pagar kawat membentang di balik itu semua.

"Apa ini?" Cal menghentikan mobil di depan marka pembatas jalan. "Kalau jalan ini ditutup, kenapa tidak ada patroli atau PN penjaga yang mengalihkan jalur kita seperti penutupan jalan sebelumnya?"

"Defense wall." Aku menyadari. "Cepat putar balik, Cal."

Kami berbalik arah. Cal melaju pelan sambil masih melirik spion tengah. "Itu apa, sih? Kenapa sunyi sekali di sana? Apa mereka sudah habis dimakan zombie?"

"Itu defense wall—para polisi bersembunyi di balik karung-karung pasir itu dengan teropong dan pembidik senjata mereka. Dinding pertahanan macam ini sering didirikan di perbatasan medan perang, terutama pada agresi zombie pertama tahun 2097 saat ratusan zombie hampir menerobos masuk istana negara untuk kali pertama. Kita takkan bisa melihatnya dari sini, tapi jelas ada jebakan zombie tak jauh dari marka pembatas jalan. Maju semeter lagi saja, sedan kita bakal terjebak."

Cal masih mengamati spion dengan tidak puas. "Buat apa dinding itu di sana? Tidak ada zombie di sekitar sini."

"Kau yakin?" Aku menunjuk sudut jalan, di mana seseorang tengah membungkuk di atas tubuh lain yang menggeletak tak jauh dari siraman lampu darurat. Meski tidak terlihat dari sudut ini, aku bisa tahu zombie itu tengah memakan isi kepala manusia yang telentang di depannya.

Aku menunjuk lagi ke bangunan apartemen di sisi lain, di mana lampu-lampu pada beberapa jendela berkedip korslet, dan dari jendela lain tampak tubuh-tubuh manusia berjatuhan bagai tetes air hujan turun dari langit.

Cal menepikan mobil ke sisi jalan, tepat di depan gang yang diapit bangunan apartemen dan kantor pos. Dia menatap sekitar kami dengan tak percaya.

"Jalanan ini gelap sekali, wajar kau tidak melihat sebelumnya," kataku sambil menundukkan pandangan. "Tempat ini padat penduduk."

"Tapi para polisi di balik dinding pertahanan itu punya teropong ...." Cal menunjuk ke belakang, bola matanya bergetar, tatapannya menunjukkan bahwa dia masih berusaha memproses apa yang terjadi di sini. "Dan senjata, dan pertahanan ... mereka melihat apa yang terjadi di sekitar sini? Mereka lihat orang-orang yang terkurung di sana, berjatuhan di situ, dimakan di sini—mereka lihat itu semua?"

Aku mengangguk.

"Kenapa mereka tidak melakukan apa-apa?"

"Di balik dinding pertahanan itu," kataku, "ada kastel yang mesti mereka jaga. Aku luput memperkirakan ini. Acara di kantor walikota itu sampai mengundang Randall—pasti banyak sekali PN yang sudah siaga di sini, bahkan meski tak ada yang tahu mengenai infiltrasi zombie. Begitu pesan peringatan menyebar, mereka langsung mendirikan benteng di sini."

Cal mengatupkan bibirnya. Dia menatap lurus ke belakang kami, pandangannya seolah menembus semua barikade yang membentang, jauh di balik dinding pertahanan, lalu menusuk tepat ke kantor walikota—kastel yang masih tak tersentuh. Gadis itu tampak murka. "Itu egois."

"Tapi, itu masuk akal." Aku mengangkat bahu sementara Cal mengubah arah pelototannya padaku. "Puluhan bisnis restoran atau hotel di sini bisa saja bangkrut dan ratusan pemukiman boleh terinfeksi, tapi Batavia bakal tetap berdiri meski hanya dengan satu kaki. Beda cerita jika pusat kota yang jatuh. Dari sini ke jalan itu adalah instansi pemerintah; kantor walikota, sekretariat, kantor pusat PN, lembaga-lembaga penting, dan akhirnya istana negara—kalau itu semua runtuh, Batavia tinggal nama, dan umur Nusa tinggal hitungan hari."

"Tapi—"

"Kalau kau akan mengalami kecelakaan lalu lintas dan mustahil menghindar, Cal, mana yang bakal kau lindungi lebih dulu? Apakah kau bakal melindungi kepala dan memasrahkan kakimu patah, atau kau bakal melindungi kakimu dan membiarkan kepalamu bocor?"

Cal membuka mulutnya, tetapi kemudian mengatupnya lagi. Dia bernapas dengan kasar dan baru akan menjalankan mobil kembali, tetapi mendadak membeku. Gadis itu berdengap, menatap ke arah salah satu bangunan apartemen.

Kuikuti arah pandangannya. "Apa yang kau lihat?"

Cal mencengkram sisi kepalaku dan membelokkan pandanganku sedikit lebih rendah, lebih ke kanan. Lalu, kulihat apa yang dilihatnya: dari balkon jendela lantai tiga bangunan apartemen, tampak sesosok anak bergelantungan. "Anak kecil. Kalau kita masuk ke gang di samping apartemen itu, kita bisa masuk dan mencapainya, 'kan?"

"Cal." Aku memperingatkannya, tetapi gadis itu sudah memelesat keluar.

Aku menimbang-nimbang situasi. Di sini ada terlalu banyak zombie—kalau aku menyusul Cal dengan meninggalkan Emma dalam mobil, ada kemungkinan zombie menyasar sedan ini dengan Emma masih di dalam. Kalau aku membawa Emma bersamaku, tragedi bebek karet bisa terulang—Emma mungkin akan bersuara keras dan menarik perhatian mayat hidup di jalan.

Pilihan teraman adalah diam di dalam mobil dan membiarkan Cal berbuat sesukanya. Itu risikonya. Dia yang memilih keluar.

Kupejamkan mataku sambil menarik napas dalam-dalam. "Awas kau, Cal."

Kuraih Emma ke dalam gendonganku dan mendekapnya erat-erat. Kusandang tasku dan ransel Cal serta karena aku yakin benar, dalam situasi macam ini, sangat kecil kemungkinannya kami bisa kembali ke mobil. Ketika kami mengendap turun dari mobil, Joo mengekor.

Aku mengendap dan berusaha sebaik mungkin tetap berada di bawah kegelapan, menghindari sorot lampu darurat. Aku menghampiri Cal tepat saat gadis itu mati-matian memanjati tembok bata yang membatasi gang dengan lahan apartemen. Kakinya merosot berulang kali.

"Ilyas," bisiknya, "dorong aku ke atas!"

"Ini bukan urusan kita, Cal!" balasku berbisik. "Ada banyak sekali orang jadi mangsa di sini! Kau tidak bisa menyelamatkan semuanya—"

"Tidak semuanya!" balas gadis itu. "Tapi, yang ini bisa kita capai. Anak ini hanya tiga lantai, Ilyas, tepat di depan mata kita! Kalau aku punya kesempatan menyelamatkannya, tapi tidak kulakukan, aku akan menyesal seumur hidup!"

"Cal—"

"Dan kalau aku masuk neraka, kau akan kuseret bersamaku!"

Tinggalkan dia! Sudut benakku menyemangati lagi. Kalian sudah mengabaikan banyak sekali orang jadi mangsa zombie sepanjang jalan, sepanjang sore—hanya mengabaikan satu anak lagi saja takkan membuat perbedaan apa pun!

Itu masuk akal. Masuk ke mobil. Mendekam dengan aman di dalam. Tunggu sampai bantuan datang. Biarkan Cal melakukan apa pun sesukanya—

Kudorong kaki Cal sampai gadis itu bisa melompat melampaui tembok bata.

Kulirik jam tanganku. Pukul 8 malam. Waktu kami tinggal empat jam untuk bisa sampai ke tempat perjanjian dengan Randall, dan aku makin pesimis—kami mungkin takkan pernah bisa sampai ke sana.

Namun, aku tetap ikut memanjat mengikuti Cal.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro