24. Cal dan Jalan Pintas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ehehe

Kelamaan tidak update, saya kadang lupa Escapade itu siapa dan Ilyas itu apa

Jadi, karena mungkin ada pembaca yang lupa juga sama ceritanya, ini rekap singkatnya untuk mengikuti chapter 24:


Setelah selamat dari Renjani, berpisah jalan dengan Aryan (Polisi Nusa yang membunuh Bu Miriam), dan melalui penyerangan preman bayaran, Ilyas dkk melanjutkan perjalanan ke ibu kota dan membiarkan zombie Joo ikut bersama mereka.

Ilyas, Emma, Cal, dan Joo masuk ke Batavia, ibu kota Nusa. Hanya beberapa saat setelah bertemu Randall (Kepala Polisi Nusa sekalgus teman lama orang tua angkatnya Ilyas), seluruh portal masuk Batavia diinfiltrasi gelombang zombie dari distrik-distrik terinfeksi terdekat.

Randall berangkat ke perbatasan Batavia yang paling awal terinfeksi sementara Ilyas dkk keluar dari hotel pusat kota untuk menyelamatkan diri. Ilyas dkk dan Randall menentukan titik pertemuan di panti asuhan tempat Ilyas dibesarkan sebelum tengah malam agar mereka bisa keluar dari Batavia.

Namun, semua jalan alternatif yang Ilyas tandai tidak lagi bisa dilalui. Jalan terakhir melalui kantor walikota pun diblokade defense wall yang didirikan oleh ratusan personel PN beserta para pejabat yang terjebak dalam kantor walikota.

Saat melalui kompleks apartemen yang berbatasan dengan kantor walikota, Cal bersikeras ingin menyelamatkan seorang anak yang hampir jatuh dari balkon kamar lantai tiga. Meski sempat ragu, Ilyas akhirnya setuju untuk membantu.


|| 24: Cal's pov | 5750 words ||

Berdiri di atas tembok yang lebarnya hanya lima sentimeter, aku bisa melihat ke arah balkon yang kami tuju. Anak perempuan itu bergelantungan dari balkon kamar apartemen lantai tiga, masih mengenakan seragam Sekolah Dasar. Kakinya menjuntai ke lantai dua, satu tangan mencengkram ujung bawah pagar balkon, tangan lain mendekap sesuatu.

Pintu kamar yang mengarah ke balkonnya terbuka lebar-lebar. Gorden putih melambai keluar-masuk ditiup angin. Di ambangnya, sesosok wanita muda berjalan susah payah—pada satu saat melangkah mundur, lalu menyamping, lalu maju, lalu mundur lagi. Kemudian, kusadari dia tidak bisa melihat arah saat melangkah karena kepalanya terpuntir 180 derajat.

Zombie itu barangkali ibunya sendiri.

Kutarik Ilyas yang berusaha melompat naik sambil membawa Emma. Dia sempat berkata dengan nada rendah, "Tunggu aba-abaku, jangan turun dulu—"

Namun, aku sudah telanjur turun. Kini aku berdiri di halaman samping kompleks apartemen, di atas jalan setapaknya yang dibordir rumput pendek berbatu kecil-kecil dan disekat-sekat pagar tanaman bonsai setinggi lutut. Tidak ada zombie di sini, jadi aku mengacungkan jempol ke arah Ilyas.

Sambil memberengut, pemuda itu melompat turun sampai tersandung-sandung. Satu tangannya di mulut Emma, mengantisipasi suara yang kemungkinan akan dibuat adiknya.

"Mana Joo?" tanyaku. Kami memandangi pagar semen setinggi dua meter yang habis kami panjati. Joo masih di sisi satunya dan tidak kunjung menampakkan diri.

"Mungkin dia lebih suka menunggu." Ilyas mengangkat bahu dan membenarkan posisi Emma di tangannya. "Kalau jadi dia, aku akan lakukan hal yang sama."

"Untung, deh, kau bukan dia."

Di atas sana, si anak perempuan tengah melongok ke bawah, menatap kami putus asa. Paling tua, anak itu masih kelas 6—kurasa sekitar 11 atau 12 tahun.

"Lompat ke sini!" Aku berbisik agak keras. "Tidak apa-apa, akan kami tangkap kau—" Aku tercekat. "A, akan kami tangkap kalian berdua."

Sekarang aku bisa melihat apa yang tengah dipeluk oleh si anak perempuan: bocah laki-laki, hanya satu atau dua tahun lebih tua dari Emma. Paling tua 8 tahun. Itu sebabnya si anak perempuan hanya berpegangan dengan satu tangan.

Ilyas menepuk bahuku, lalu menunjuk ke ujung jalan setapak. Arahnya dari bagian muka bangunan apartemen, muncul bayang-bayang memanjang—kian lama kian dekat. Ada yang datang ke arah kami. Dari gerak-geriknya, itu bukan manusia.

Kami berdua membeku. Tanganku siaga pada pentungan dan Ilyas sudah siap lari, tetapi tidak jadi karena kemudian menyadari bahwa itu cuma Joo.

"Bagaimana—" Ilyas tercekat saat Joo berjalan santai ke arah kami. "Astaga, apa kau datang dari gerbang depan?"

Seingatku, gerbang depan dipenuhi mayat hidup. Namun, Joo juga zombie, jadi tampaknya dia diabaikan oleh teman-temannya dan melenggang melewati mereka begitu saja. Aku bertanya-tanya apakah normal merasa dengki pada zombie.

"Lepaskan peganganmu!" Aku mendesak lagi pada si anak perempuan yang masih bergelantungan di balkon. "Ayo! Tidak apa-apa!"

"Itu lantai 3, Cal." Ilyas mengoper Emma ke tanganku. "Entah mereka yang patah leher atau kau yang patah tangan."

Pemuda itu melompat dan menyambar pagar balkon lantai dua. Enaknya punya badan jangkung. Dasar tukang pamer.

Dia mencoba menghela dirinya ke atas, tetapi hampir jatuh sampai dua kali. Ilyas bukan ahli panjat. Lengan dan tungkainya juga bergerak canggung. Bisa kulihat pemuda itu meragu beberapa kali, wajahnya pucat pasi, dan napasnya beruap beku.

"Ayo, Ilyas," bisikku menyemangati. "Jendela lantai dua itu gelap dan tertutup rapat. Tidak akan ada zombie yang menyengir mendadak ke arahmu saat kau naik."

Pemuda itu memelotot jengkel ke arahku. "Makasih banyak, Cal."

Dia mencoba naik lagi. Kaki kirinya berhasil mengait ke atas, tetapi tergelincir. Dia mendengus frustrasi dan mengulurkan tangannya ke arahku. "Aku tidak bisa naik. Kau saja yang panjat. Kubantu kau, Cal."

Kuoper Emma pada Joo, kurang lebih membuat Ilyas marah-marah dengan suara berbisik. Namun, dia masih bergelantungan di lantai dua. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Toh, Joo tidak melakukan apa-apa pada Emma. Zombie itu menggendongnya dengan baik. Bahkan sepertinya Emma lebih santai di tangan Joo daripada saat kugendong.

Ilyas menarikku di pinggang dan mendorongku naik sampai aku bisa meraih ruas pagar. Kuayunkan kakiku ke atas, bersalto 180 derajat dan mendarat ke lantai balkon. Aku menyengir saat Ilyas berujar sengit, "Tukang pamer."

Aku menariknya ke atas. Di bawah tanganku, degup jantung Ilyas kerasnya bukan main dan peluh membuat poninya menempel di dahi. Namun, kami tidak punya waktu untuk berhenti. Ilyas kembali melompat dan menarikku. Bibirnya komat-kamit berdoa supaya wanita zombie di atas sana masih kebingungan dengan arah kepalanya.

Aku tidak langsung bersalto naik seperti sebelumnya. Sambil mempertahankan pegangan pada ruas-ruas pagar balkon, aku menghela diriku ke atas dan menilai keadaan. Ibu zombie masih menghadap kami (badannya) dan membelakangi kami (kepalanya). Jadi, kurasa masih aman.

Kedua anak malang itu sama-sama banjir keringat, gemetar hebat, bertelanjang kaki, dan bersimbah air mata. Hebatnya, mereka masih bertahan di sana tanpa suara.

Si anak perempuan menggigit bibirnya ke dalam, menahan jeritan dan isakan sekuat tenaga. Rambutnya kusut masai dan lepek karena keringat, dua jepit rambutnya melorot sampai bahu. Si anak laki-laki (kuasumsikan itu adiknya) melingkarkan kedua tangan dan kaki ke badan kakaknya seperti koala. Wajahnya merah padam. Bibirnya terbuka seperti hendak terisak, jadi buru-buru kutempelkan jari ke bibir untuk memberi isyarat padanya agar menahan diri lebih lama.

Ilyas ikut menghela dirinya ke atas. Tangan kanannya melintang di punggungku hingga aku bisa merasakannya tak kalah gemetar dari kedua anak yang hendak kami tolong. Tangan kirinya yang lebih panjang dariku menjangkau dan memegangi si anak perempuan beserta adik laki-lakinya.

"Lepaskan peganganmu," bisikku pada si anak perempuan.

Anak itu berusaha susah payah—tangannya sudah kaku dan membiru keunguan. Entah sudah berapa lama dia bergelantungan seperti ini. Aku tidak bisa mencapai tangannya untuk membantu, sedangkan kedua tangan Ilyas terpakai untuk menyangga kami semua.

"Tali," lirih Ilyas, nyaris tak terdengar olehku. "Di tasmu. Tali. Ikat ke ruas ini."

Aku bahkan belum sempat meraih tasku ketika si anak perempuan akhirnya melepaskan pegangan dari pagar. Dia secara spontan meringis dan mengisak. Zombie ibunya mendadak berbalik sampai kepalanya menghadap kami. Aku menggigit lidahku agar tidak berteriak, tetapi Ilyas telanjur kelepasan, "Ah!"

Aku tidak menyalahkan Ilyas. Pipi wanita itu robek, jadi kelihatannya ia tengah tersenyum pada kami. Giginya mengoyak keluar dari kulit wajahnya. Pupil matanya kecil, tetapi kelopaknya membelalak lebar seperti orang yang mati terkejut.

Kami panik, padahal seharusnya tidak perlu. Begitu melihat kami, si ibu zombie mendadak berjalan maju—yang artinya, dia malah mundur menjauhi kami, masuk lebih dalam ke kamar apartemennya karena ke sanalah badannya menghadap.

Namun, kami kepalang kaget. Ilyas melepaskan pegangan dari pagar. Meski aku sempat menyambar bagian depan bajunya, tanganku pada ruas pagar juga menggelincir. Yang bisa kulakukan hanya menghambat laju jatuh kami sedikit dan sedikit mengayun Ilyas agar lehernya tidak patah menghantam pagar balkon lantai dua. Ilyas jatuh di atas punggungnya pada balkon lantai dua, untuk kemudian ditimpa oleh kami bertiga yang masih dipeganginya.

"Ilyas?" panggilku. Dia tidak menjawab. Matanya terbuka, jadi kurasa dia masih hidup. Atau di pingsan dengan mata terbuka. Kucek lengan dan kakinya, lalu meraba punggungnya. "Tidak ada yang patah, 'kan?"

"Belum," erangnya. "Bisa kau cari tempat duduk lain selain perutku, Cal?"

Aku berguling ke lantai balkon, duduk dengan meluruskan kaki dan menarik napas dalam-dalam. Kutatap kedua anak di depanku. "Kalian tidak apa-apa?"

Si anak perempuan menggeleng, masih histeris. Bahunya berguncang dan air matanya tidak berhenti mengalir di pipi. Hidungnya merah dan bibirnya nyaris putih. Adik laki-lakinya masih meringkuk dan mendekap perut kakaknya erat-erat seolah mereka masih bergelantungan, sesekali melirikku dan Ilyas takut-takut.

"Siapa nama kalian?"

"Rani," tangis si anak perempuan sesenggukan. "Ini—adikku—Bahaduri."

Ilyas akhirnya ikut duduk dan sanggup bertanya, "Kalian tergigit?"

Rani menggeleng keras-keras. "A-aku dan Baha cuma berdua di rumah waktu Ibu pulang dan memaksa masuk. Dia belum berubah waktu itu. Ada tiga Polisi Nusa yang mengejarnya. Para polisi itu melarang kami membuka pintu. Lalu, p-pintunya mendadak ambruk ke dalam dan Ibu sudah seperti itu. Kami sembunyi ke balkon, tapi aku tidak sempat menutup pintunya karena Ibu langsung ke dalam."

"Polisinya?"

Bibir Rani bergetar dan suaranya mirip cegukan saat berusaha menjawab, tetapi dia tidak mampu berkata apa-apa. Jadi, nasib ketiga polisi itu jelas telah menjadi pemandangan yang akan sama menghantuinya dengan penampakan zombie ibunya.

"Sekarang," kataku, "kita harus coba jalan melewati kantor walikota. Itu yang tercepat dan teraman."

"Dan bagaimana kita bisa ke mobil sekarang?" Ilyas mengangkat salah satu alisnya. "Jalanan penuh mayat hidup. Bahkan kalau kita masih bisa mencapai mobil lagi, jalan kantor walikota tertutup. Mereka mungkin akan mengizinkan kita masuk kalau kita jalan kaki, tapi kita jelas butuh mobil untuk tiba di titik pertemuan dengan Randall sebelum tengah malam"

"Pikirkan satu-satu." Aku berdiri dan melongok ke bawah. "Kita turun dulu—"

Kami tidak bisa turun. Di bawah sana, Joo tengah mengangkat Emma tinggi-tinggi di atas kepalanya, sementara enam orang mayat hidup mengelilinginya dengan tangan menggapai-gapai ke arah Emma.

"Emma, anak pintar, ayo ke Cal," ajakku dengan nada seceria mungkin. Satu tanganku berpegangan ke pagar balkon, tangan lain mencoba meraih Emma. Ilyas mencengkram bahu bajuku erat-erat untuk menjagaku tidak jatuh. Di bawah sana, sekumpulan mayat hidup merentangkan tangan bercakar mereka ke atas, mengelilingi Joo yang bergeming mengangkat Emma tinggi-tinggi.

Emma mengangkat satu tangannya, lalu menepuk tanganku. Dalam kondisi hidup-mati, si balita mengira aku butuh diberi tos tangan.

Aku meraih jauh-jauh, tetapi tanganku hanya mencapai hiasan telinga panda yang menyembul di tudung jaketnya. Aku sudah hilang akal dan hampir berniat menjewer telinga pandanya ketika Emma akhirnya mengayun tangan ke atas, mencoba memberiku tos tangan lagi. Aku menangkap pergelangannya kali ini.

"Dapat," erangku. Aku menariknya ke atas, dan Ilyas buru-buru menarikku ke arahnya sampai kami terduduk di balkon.

Selama tiga detik yang celaka, aku jatuh ke dalam pelukan Ilyas secara harfiah. Jantungku berulah dengan berdentam tiga kali lebih cepat daripada biasanya. Lalu, jantungku berhenti sebentar saat menyadari muka Emma di depanku. Dia memberiku ciuman berliur di hidung dan ingusnya meleleh ke wajahku.

Wajah anak itu merah karena udara malam, lalu dia bersin ke mataku.

Kudorong Emma ke dada Ilyas dan buru-buru berdiri. "Mataku!"

"Sst!" Semua orang berdesis-desis memperingatkanku karena kami masih di tengah-tengah area padat zombie. Mudah bagi mereka melakukan itu—bukan mereka yang wajahnya kena bersin.

"B, bagaimana dengan Joo?" tanyaku sambil mengusap muka.

"Dia tidak perlu naik." Ilyas berdiri di sampingku sambil menggendong Emma. "Kita yang perlu turun."

Kurasa, Ilyas benar. Para zombie lain di bawah sana mendongak dan mencakar-cakar udara seolah itu bisa membuat mereka naik. Joo berdiri di tengah-tengah mereka seperti patung batu, mulut tertutup masker dan bola mata sepucat mutiara berdebu, tampak tak terusik sama sekali.

Di belakangku, Rani tersaruk mundur bersama adiknya. "D-dia tidak digigit?"

Ilyas dan aku berpandangan sejenak.

"Ya, dia tergigit." Ilyas menggaruk-garuk kepalanya dan berusaha tampak sedih. "Jadi, dia akan tinggal di bawah. Sekarang, kita harus cari jalan—"

"Tidakkah para zombie itu seharusnya memakan otaknya? Seperti yang terjadi pada para polisi itu saat ibu kami menyerang mereka?" Rani rupanya susah dibohongi. Karena kegugupannya, adik laki-lakinya pun mulai mengerang takut. "Bagaimana bisa pria di bawah itu masih berdiri—"

"Kamar siapa ini?" Ilyas menunjuk pintu kamar apartemen yang balkonnya tengah kami tempati. Pertanyaannya mengalihkan Rani. Anak itu menoleh mengamati pintu kaca yang gelap total dan tertutup tirai di belakangnya. "Kalian kenal siapa yang menempati kamar ini?"

Untuk alasan tertentu, Rani terlihat tidak nyaman dan memeluk adiknya lebih erat. "Miranda. Dia keluar tadi sore. Seharusnya, sih, dia belum pulang."

"Kau yakin?"

"Ayah belum pulang," cetus adiknya begitu saja. "Jadi, seharusnya Miranda juga belum pulang. Mereka biasanya pergi sampai tengah malam—"

Rani menutup mulut Baha dengan tangannya. Satu tangannya yang lain buru-buru menunjuk ke seberang jalan. "Mereka menghadiri acara di kantor walikota. Urusan pekerjaan. Miranda bawahan ayahku."

Sudut bibir Ilyas terangkat sedikit. Dia menunjuk ke seberang jalan. "Jadi, ayahmu sedang ada di sana—di kantor walikota?"

Rani mengangguk.

"Kau tahu cara menghubunginya?"

"Aku hafal nomor telepon ruangan kantornya, tapi dia bisa saja tak berada di sana. Ayah bilang acaranya di halaman belakang kantor walikota."

"Mereka terjebak di sana. Mustahil mereka masih berada di halaman. Mereka pasti mengevakuasi diri ke dalam bangunan. Lagi pula, ada kemungkinan ayahmu menunggu telepon darimu di ruangannya karena dia tidak bisa ambil risiko menelepon sendiri—bunyi deringnya akan menarik perhatian mayat hidup ke kamar apartemen kalian."

"Tapi listrik padam, Ilyas." Aku mengingatkannya. "Telepon tidak bakal tersambung."

Ilyas melambai ke cahaya merah temaram yang menerangi bagian depan dan belakang bangunan apartemen. "Generator darurat yang dimiliki kompleks apartemen mewah seperti ini pasti masih menyambungkan telepon."

Saat itulah mataku mendapati seorang laki-laki yang berdiri di balkon lain, berselang dua kamar dari balkon yang kami tempati. Ketika aku melihat ke arahnya, laki-laki itu langsung melambaikan kedua tangannya, bibirnya bergerak, barangkali meminta pertolongan. Pada balkon di sebelahnya, seorang wanita muda ikut melambai-lambaikan satu tangan.

"Ilyas—"

"Kita tidak ada waktu menolong mereka," tegas Ilyas seketika, yang rupanya juga memperhatikan apa yang kulihat. "Kita harus mengeluarkan diri kita sendiri lebih dulu dari sini." Dia berjongkok di depan Rani dan menunjuk jepit rambut yang melorot di rambutnya. "Boleh aku pinjam itu?"

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku saat Ilyas mengoper Emma ke gendonganku dan berlutut di depan kaca pintu kamar Miranda. Tangannya melengkungkan ulang kawat jepitan rambut itu, lalu memasukkannya ke lubang kunci.

"Jika kita kehabisan jalan alternatif," ujarnya, lalu terdengar bunyi klik dan pintu kaca pun terbuka, "kita buat jalan pintas sendiri."

Aku berdengap. Aku nyaris memekik, tetapi buru-buru menekan suara. "Petak umpet! Saat umur kita 9 tahun. Aku sembunyi dalam kamar Bu Miriam dan yakin betul sudah mengunci semua pintu dan jendela. Tapi kau tetap bisa masuk." Kuhentakkan kakiku gemas, terutama saat melihatnya menahan cengiran. "Kau bilang padaku kau bisa menembus tembok waktu itu."

"Dan kau percaya."

Kami masuk tanpa menggeser tirai dengan langkah sehening mungkin, mengantisipasi serangan atau seseorang dalam kamar apartemen nan gelap gulita. Pintunya tidak bisa ditutup lagi setelah dibuka paksa oleh Ilyas.

Aku menginjak sesuatu sampai terdengar bunyi penyok, Ilyas menyenggol sesuatu yang lain sampai hampir jatuh, dan Rani menendang sesuatu pula yang menimbulkan bunyi gelindingan di lantai.

Ilyas menyalakan lampu—cahayanya redup dan agak kekuningan, cukup untuk memberi kami penglihatan, tetapi takkan menarik perhatian dari luar. Ruang tengah Miranda bersambung dengan dapur, tampak mewah tetapi berantakan sampai terasa sesak. Begitu banyak perabot-perabot mahal—sofa bersandaran kaki yang terlalu lebar, lemari televisi super besar, tiga lampu lantai kayu, meja-meja berlaci dan rak buku yang memakan tiap sudut. Dua pilar besar menjulang di sisi-sisi konter dapur memanjang yang disesaki empat bangku. Kalau ada zombie di sini, akan susah sekali untuk mengatasi atau lari darinya.

Yang tadi kuinjak rupanya sampah kaleng minuman. Sedangkan yang disenggol Ilyas barangkali adalah salah satu lampu lantai kayu. Dua buah tabung oranye mirip tong seukuran ember dan silinder-silinder merah sebesar lenganku berserakan dekat kaki meja—mungkin yang tadi tertendang oleh Rani. Baha memungut seuntaian silinder itu dan dengan gembira berkata, "Ini petasan yang Miranda berjanji akan membelikannya untukku kemarin—"

"Sst!" Rani buru-buru mendekap adiknya, menyuruhnya mengecilkan suara.

Di belakang sofa, terdapat pintu menuju kamar tidur dan kamar mandi yang berhadapan. Aku mengecek ke dalam untuk memastikan memang tidak ada siapa-siapa. Seprai tempat tidurnya bahkan tidak berkerut, selimutnya terlipat rapi.

Emma di gendonganku meraih-raih ke arah bantal bulu kecil bertotol hitam-putih, sekilas mirip bola sepak, tetapi kemudian mirip Emma saat anak itu mendekapnya—warna corak bantal itu sama dengan motif jaket pandanya.

"Mana telepon—" Ilyas mengernyit saat melihatku keluar dari kamar sambil menggendong panda tambahan. "Kau suka sekali menambah bawaan, Cal."

Kududukkan Emma di atas sofa bersama teman berbulunya. "Setidaknya adikmu diam dan tenang."

"Ini telepon." Rani menunjuk. Dia berdiri di samping lemari televisi bersama adiknya. "Sepertinya masih tersambung."

Seolah hendak mengonfirmasi, telepon itu berbunyi seketika. Suaranya setara dengan ledakan bom di tengah kesunyian kami. Rani dan Baha membelalak, terlalu syok untuk bergerak. Aku buru-buru menyeberangi sofa untuk menghentikan bunyi deringnya, tetapi tungkaiku malah menabrak meja kopi. Ilyas yang akhirnya sampai lebih dulu dan mengangkat gagangnya, lalu menutupnya lagi.

"Kenapa bisa pas sekali?" gerutuku sambil terduduk di karpet. Tungkaiku lecet dan meja kopi sialan itu tidak minta maaf.

"Terlalu pas." Ilyas tersengal seraya menatap telepon. "Ini pasti salah satu orang dari kamar lain yang tadi melambai ke arah kita."

Kami menoleh ke balkon, pintu keluar, jendela-jendela—tidak ada zombie yang tampaknya mendekat. Belum. Lagi pula, ibu zombie di lantai atas akan kesulitan bernavigasi ke bawah sini dengan keadaan kepalanya.

Rani langsung menekan nomor telepon kantor sang ayah. Kami bahkan tak perlu menunggu lama sampai teleponnya diangkat dan Rani berujar lega, "Ayah ...."

Selama semenit penuh, Rani menceritakan keadaan dengan singkat dan diselingi isak tangis. Saat anak itu mengatakan bahwa dia dan adiknya baik-baik saja di kamar apartemen Miranda, Ilyas mulai mengetuk-ngetukkan jari tidak sabar ke meja telepon.

"Boleh aku bicara pada ayahmu, Rani?" tanya pemuda itu, yang kemudian mendapatkan gagang teleponnya dari tangan Rani meski anak itu tampang enggan.

Aku mengesot mendekat dan ikut menempelkan telinga ke gagang telepon di kuping Ilyas untuk ikut mendengarkan. Pada mulanya, kami mendapat ucapan terima kasih sampai enam kali. Ilyas juga benar-benar sopan dan mampu membuat kami terdengar sebagai orang yang dengan senang hati menyelamatkan kedua anak itu tanpa terkesan tinggi hati atau minta pamrih. Pria itu sendiri kedengarannya betul-betul bersyukur anak-anaknya selamat meski istrinya kini punya kepala yang menghadap belakang secara permanen. Sampai kemudian Ilyas berkata, "Saya dan teman saya tidak bisa membawa anak-anak Anda dengan selamat ke kantor walikota jika jalannya terblokade."

"Ada satu unit PN yang tadi sempat kami kirim melakukan penyelamatan ke sana. Aku akan coba kirim beberapa orang lagi ke tempat kalian—"

"Tidak." Ilyas menukas. "Kami punya mobil, dan kami bisa bawakan anak-anak Anda ke sana dengan selamat jika defense wall pada jalan kantor walikota dibuka cukup lebar untuk kami lewat. Jika tidak begitu, saya khawatir kami tidak bisa mengantarkan Rani dan Bahaduri ke Anda."

Hanya perasaanku atau kesannya aku dan Ilyas sedang menculik anak pejabat? Tutur kata Ilyas masih sopan—biasanya dia memang sopan, kecuali ke Aryan—tetapi tetap saja kesannya dia sedang meminta tebusan dan mengancam kedua anak ini takkan selamat jika tuntutannya tidak dipenuhi. Mungkin perasaanku saja.

"Kau mengancamku, Nak?" Baiklah bukan perasaanku saja. Pria di telepon juga merasa demikian. "Kau sadar betapa besar risikonya kalau defense wall di jalan dibuka hanya untuk kalian lewat?"

"Zombie-zombie di jalan akan mengikuti kami dan kemungkinan menginfiltrasi kantor walikota—atau, menjebol mobil kami dengan anak-anak Anda masih di dalamnya jika jalan masih ditutup. Kalau saya jadi Anda, Pak, saya akan bergegas meyakinkan semua penjaga di sekitar defense wall untuk membuka jalan sekarang juga. Kalau saya jadi jadi Anda, dan keluarga saya jadi taruhannya, saya takkan berpikir dua kali. Kami akan tiba di sana dalam sepuluh menit."

Ilyas menutup teleponnya begitu saja.

"Kenapa kau lakukan itu?" desisku jengkel. "Kedengarannya kita sedang menyandera anak-anaknya!"

"Kalau tidak jadi tukang sandera, apa kau mau kusuruh merampok salah satu mobil pejabat di kantor walikota itu? Kita butuh mobil untuk perjalanan, Cal."

Aku berjengit. "Kau oke saja jalan-jalan sama perampok?"

"Mobil sedan yang kita bawa-bawa selama ini juga hasil rampokan dari rumah seseorang di Renjani, Cal. Tidak ada bedanya."

"Berbeda, Ilyas. Pemilik sedan itu memang harus memberikan mobilnya. Aryan mendapatkan sedan itu karena dia PN yang sedang dalam tugas evakuasi. Dia mengevakuasi kita."

"Aryan bukannya dalam tugas. Dia memanfaatkan loophole pada hukum yang mengatur keuntungan pekerja PN, Cal. Cuma karena dia pakai seragam polisi, bukan berarti semua perbuatannya jadi legal."

"Kau cuma membenci semua yang PN lakukan."

"Dan kau membenci semua jalan keluar yang kutawarkan sampai kita terjebak di sini."

"Jadi, ini salahku lagi?"

"Yang jelas ini bukan salahku."

"Kalian tidak perlu membicarakan ini di depan kami, 'kan?" Rani menyela. Alisnya bertaut jengkel mengamatiku dan Ilyas. Kedua tangannya memegangi Baha yang meringkuk di balik ketiaknya. "Kalau mesti mendengarkan pertengkaran suami-istri lagi, kami sudah sering mendapatkannya di rumah tiap hari. Tidak usah dapat dari kalian juga."

Aku melipat bibir ke dalam dan seketika menyesal sudah berdebat di depan dua anak kecil dalam situasi macam ini. Ilyas sendiri tampak malu seraya menempelkan punggung tangan ke bibirnya dan menggumamkan 'maaf' dengan suara kecil.

"Jadi, kalian akan jejalkan kami di mobil kalian," pungkas Rani sambil berkacak pinggang, "lalu menerobos barikade untuk sampai ke kantor walikota. Baiklah. Selama Baha dan aku bisa ke tempat Ayah—terima kasih. Tapi bagaimana kita keluar dari sini?"

Ilyas baru akan menjawab ketika telepon berdering lagi. Dia buru-buru mengangkatnynya, tetapi itu bukan ayahnya Rani dan Baha. Itu suara seorang laki-laki yang menyumpahi kami dimakan zombie karena mengabaikan permintaan tolongnya—salah satu penghuni apartemen yang tadi melambai ke arah kami. Ilyas hampir seperti membanting gagang telepon itu untuk memutuskan sambungan, lalu mencabut kabel teleponnya.

Kemudian, terdengar suara gedebuk dari balkon. Kami menoleh tepat waktu untuk melihat siluet seorang wanita pada sisi lain tirai, bangkit susah payah setelah jatuh dari lantai atas. Lekuk tubuh bagian depannya berlawanan arah dengan wajah.

Kudengar Rani berdengap, "Ibu ...."

Dengan keadaan kepalanya, wanita itu butuh satu menit penuh untuk ke dalam. Waktu yang rasanya cuma seperti sedetik karena kami panik—Ilyas mengangkat Baha dan lari ke kamar tidur, sedangkan aku menarik Rani ke dalam kamar mandi. Karena pintu kami berhadapan, kudapati Ilyas memelototiku dari seberang. Baru kemudian aku paham alasannya saat membaca gerak bibirnya: Mana Emma?

Paru-paruku seperti kempis dibuatnya. Tadi aku mendudukkan anak itu di sofa bersama bantal bulunya.

Aku memberi isyarat pada Ilyas untuk tenang karena dia kelihatan seperti akan pingsan. Pemuda itu terduduk di ambang pintu, tampak pucat. Dia hampir merangkak, mencoba bergerak keluar, tetapi aku mendahuluinya.

Aku berhasil mencapai bagian belakang pilar tepat saat ibu zombie masuk, menyibak tira dengan seluruh badannya. Ia berjalan menyamping, cakar mengais-ngasi udara, wajah menghadap sisi ruangan. Dalam posisi ini, dia akan melihatku dari sudut matanya jika maju sedikit lagi.

Wanita itu terus maju melewati sofa. Aku memutari pilar untuk menghindar dari jarak pandangnya. Sungguh aneh dia belum memakan Emma. Maksudku, anak itu menggeletak begitu saja di atas sofa—

Anak itu meringkuk tengkurap dengan punggung menghadap zombie, kusadari. Jaketnya bermotif panda dan berwarna hitam-putih, bantal di sisinya pun totol-totol hitam-putih ... itu kamuflase yang hebat. Lagi pula, si ibu zombie ini baru berubah. Meski sudah memakan tiga otak personel kepolisian, paling banter ia masih tipe 2. Ia belum mengendus daging dan darah manusia. Ia juga cukup lamban ....

Aku mengambil risiko dan melesat ke pilar satunya. Sepertinya barusan jantungku melambung sampai tenggorokan dan kutelan kembali.

Ibu zombie masih melangkah tak terkendali, jadi aku mesti memutari pilar lagi karena ia seperti bisa menangkapku menggunakan sudut matanya. Saat ia mendekati meja telepon, aku nekat merangkak ke belakang sofa.

Si ibu zombie menggeram, mungkin menangkap pergerakanku, tetapi kemudian terdengar bunyi gedebuk dan kelontang kaleng. Aku memberanikan diri mengintip dan melihat si ibu zombie tengah jatuh telentang, wajah mencium karpet, dan kakinya terlilit kabel telepon yang tadi dicabut Ilyas. Kaleng minuman menggelinding di sisinya sampai si ibu zombie meraung-raung merespons suara di sisi telinganya.

Apakah tadi aku sempat mengkritisi kamar Miranda adalah tempat yang sulit untuk mengatasi zombie? Kutarik kembali ucapan itu.

Aku berdiri, membungkuk di atas sofa dan mengambil Emma, lalu kembali meringkuk di belakang sofa. Kudekap anak itu di perutku.

Kemudian kusadari aku salah ambil. Ini bantal, bukan Emma.

Aku buru-buru berdiri untuk menukar muatan, lantas mendapati si ibu zombie sudah berdiri dan menatap tepat ke arahku.

Aku hampir berteriak—mukanya bikin asam lambungku naik. Aku mencoba berlindung ke balik sofa, tetapi rupanya tidak perlu. Si ibu zombie meraung dan menyerbu maju, yang artinya dia menyerang televisi di belakang kepalanya.

Kumanfaatkan kesempatan ini untuk berdiri dan melongok ke sofa lagi. Emma sudah duduk tegak, tangannya memainkan remote. Ibu jarinya memencet, lantas menyalalah televisi dengan suara yang lumayan pelan, tetapi tetap membuat si ibu zombie berbalik mengikuti arah suaranya. Artinya, kini zombie itu berjalan ke arah kami karena kepalanya menghadap televisi.

Buru-buru kuangkat Emma, dan dia menyapaku, "Cal!" sampai si ibu zombie berbalik lagi ke arah kami, kembali menyerang televisi.

Kudekap Emma dan kusembunyikan wajahnya di lekuk leherku. Aku mencabut pistol dan memasang peredam suaranya, bersiap membidik.

Namun, kudapati Baha keluar dari kamar tidur. Tangannya mencengkram ujung bajunya, pipinya berderai air mata, bibirnya bergetar mengucapkan, "Ibu ...."

Aku teralih. Jeda tiga detik yang berharga kubuang sia-sia sampai si ibu zombie mampu berjalan menyamping dan menyerang tanganku. Aku berkelit, dan berkat bobot tubuh Emma di tangan kanan, aku mampu memutar tubuhku menghindari gigi wanita itu. Namun, pistol menggelincir jatuh dari genggamanku.

Zombie itu tersungkur ke meja kopi, dan kumanfaatkan momentum itu untuk meloncatinya, lari ke arah dapur.

Kuambil pisau daging dan benar-benar siap mengakhiri si zombie meski itu bakal merusak mental anak 8 tahun selamanya, tetapi Rani kemudian keluar dari kamar mandi. Dia menatapku sejenak, lalu mendorong Baha kembali ke kamar tidur. Ilyas menutup pintu di belakang mereka.

Ketika si wanita zombie menyerbu lagi, aku menyepak sisi tubuhnya dan menindihnya ke lantai dengan lutut, lalu mengayunkan pisau daging ke lehernya.

Emma mengambek karena jaket pandanya kubuang bersama seragam kurirku. Mau bagaimana lagi, darah zombie sudah mencemarinya. Anak itu bahkan menolak kugendong dan malah lengket ke Rani.

Setelah membersihkan diri seadanya, kulemparkan kepala ibu zombie yang masih berkedut beserta badannya ke koridor luar. Aku buru-buru masuk lagi begitu mendengar suara langkah dan erangan dari tikungan lorong.

"Sekarang bagaimana?" tanya Rani, yang kini digelayuti dua balita sekaligus. "Zombie-zombie di bawah balkon sudah bubar, tapi mereka masih keliaran di taman samping."

Ilyas menatap tabung-tabung petasan yang sejak tadi dipegangi Baha dengan sayang. "Kalian berdua cukup menjaga diri kalian untuk tidak tergigit. Masalah zombie, serahkan padaku dan Cal."

"Tentu." Aku mengangguk percaya diri. Kemudian, kutarik Ilyas ke sudut. "Percayakan padaku dan Cal apanya? Aku tidak punya ide sama sekali."

"Kalau begitu, percayakan padaku." Ilyas memasang topinya, tetapi melepaskan jaket, lalu mendadak berlutut di depanku. Dia menarik kakiku dan melilitkan sehelai kain tipis panjang pada luka lecet di tungkaiku—sepertinya itu sapu tangan kesayangannya. Dia berdiri lagi dan melilitkan jaketnya di pinggangku, menutupi bercak darah zombie yang menyebar di kain celana. "Aku punya rencana, tapi kita harus cepat. Dan kau paling cepat di antara kita semua. Kalau ini gagal, kita akan jadi bangkai di sini."

Aku terpaku pada jaketnya di pinggangku. Ilyas lumayan rewel masalah kebersihan dan dia pernah hampir semaput saat aku menggunakan handuknya untuk mengelap darah zombie. Sekarang, dia malah memberikan jaket yang selalu dipakainya untuk menutupi corak darah di celanaku. Aku tidak bisa memutuskan apakah ini hal bagus atau buruk.

Dia membawa semua petasan dan kaleng-kaleng minuman kosong ke pelukannya, lalu memimpin jalan ke balkon. Dari sini, bisa kulihat Rani benar—para zombie tidak lagi menunggu di bawah, tetapi mereka berkeliaran di taman samping. Kami tetap tidak bisa turun jika mereka memenuhi area ini.

Joo masih berdiri di tempatnya. Bisa kulihat Rani memicingkan mata curiga pada si zombie, tetapi anak itu tak berkata apa-apa.

Ilyas mengambil seutas tali tambang dari ranselku, mengikatkannya ke ruas pagar balkon. Dia kemudian menyerahkan semua petasan ke tanganku bersama sebuah mancis. "Saat kulempar kaleng ini ke sana,"—dia mengacungkan sampah kaleng ke arah berlawanan—"aku ingin kau ke sana." Ditunjuknya pohon besar yang tumbuh di taman kecil pada siku-siku pagar kompleks apartemen. "Gantung untaian petasan yang ini ke dahannya dan sangkutkan yang paling besar ke dahan lain, lalu nyalakan semuanya, dan dari sana aku yakin kau bisa langsung memanjat naik ke pagar sendiri, 'kan?"

Rani memelototi Ilyas seolah pemuda itu baru saja meludahi muka kami semua. "Kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau menimpakan semua itu hanya padanya?!"

"Aksi sirkus macam itu bagi Cal hanya seperti jogging keliling rumah."

"Terima kasih untuk kecemasanmu," kataku sebelum Rani berusaha menukas lagi. "Tapi Ilyas betul. Yang begini, buatku cuma seperti juggling keliling—"

"Jogging." Ilyas membetulkan.

Aku mengangkat bahu. "Tidak ada bedanya bagiku."

Ilyas melemparkan kaleng pertama sampai mengenai tembok pagar, mengalihkan perhatian zombie-zombie yang berada di halaman samping. Begitu area depan kosong, aku meloncat turun dan berlari ke arah pohon yang ditunjuknya. Sambil memeluk dua tabung petasan besar di satu tangan dan berkalung petasan-petasan kecil, aku mulai memanjat. Di balkon, Ilyas masih melempar beberapa kaleng lagi secara berkala, mengalihkan para mayat hidup dariku.

Panjatanku baru setengah jalan dan zombie-zombie dari gerbang depan sudah menyadariku. Beberapanya mulai berlari—tipe 3, dan sepertinya jumlah mereka tidak sedikit. Tentu saja. meski awalnya mereka hanya tipe 1 dan 2, ada banyak sekali otak manusia di sini yang pasti telah mereka kunyah untuk membuat mereka naik ke tipe 3. Salah satunya pasti bisa memanjat, dan tamatlah aku.

Begitu sudah cukup tinggi, aku bisa melihat jalan raya. Ada sekitar delapan sampai sepuluh zombie berkeliaran di sekitar mobil kami yang masih terparkir di emperan jalan.

Sambil mengatur petasan di dahan, aku memikirkan semua perkataan Ilyas. Mobil itu memang hasil rampokan. Meski pemilik rumah yang mobilnya kami ambil itu masih memiliki mobil lain, kami tidak menolong mereka keluar tepat waktu. Pekerjaanku sebagai kurir juga mengizinkanku untuk melakukan hal yang sama—mengambil properti orang lain di tengah situasi darurat selama dalam tujuan evakuasi. Masalahnya, saat itu Aryan juga mengevakuasi dirinya sendiri. Kemudian, dia muncul di televisi, memasang tampang berduka meski itu bukan perasaan aslinya, dan mendapat semua pujian karena meloloskan laporan pertama atas kejatuhan Renjani.

Aku sendiri pernah melakukan hal yang serupa selama menjadi kurir—aku pernah memanfaatkan keuntungan profesiku. Dari semua pelanggan yang pernah kuakhiri nyawanya karena mereka merasa terinfeksi, aku ragu setengahnya benar-benar terinfeksi.

Terutama, aku mulai bertanya-tanya apakah menyelamatkan Rani dan Baha memang kesalahan. Kami sekarang terjebak di sini, di tengah-tengah area padat penduduk dan mayat hidup. Kami akan menerobos barikade kantor walikota karena hanya itu satu-satunya jalan yang tersisa. Kami menyelamatkan dua anak sekaligus membahayakan lebih banyak orang lagi untuk keluar dari situasi ini.

Lagi pula, setelah melihat lambaian tangan putus asa penghuni apartemen lain, aku akhirnya paham kenapa Ilyas bersikeras memalingkan muka. Dia benar—kami tidak bisa menyelamatkan semua orang, dan melihat mereka yang memohon pertolongan sampai menyumpahi kami lewat telepon rasanya seperti hantaman di ulu hati. Pegang senjata atau pun tidak, punya jalan keluar atau pun terjebak—kami semua sama tidak berdayanya. Andai kami memalingkan muka dan tak mengetahui wajah-wajah mereka, mungkin semuanya akan jadi lebih mudah.

Salah satu tipe 3 telah memanjat pohon dan aku baru menyadarinya saat merasakan cakaran di kakiku.

Aku kehabisan waktu. Aku menendang wajahnya, lalu menyalakan petasan paling besar lebih dulu karena sumbunya paling panjang dan akan memberiku waktu tambahan. Namun, untuk petasan yang lebih kecil, sumbunya menolak terbakar. Terlalu lembab. Bahkan badan silindernya mulai ditetesi air bekas hujan pada dedaunan.

Satu zombie lagi memanjat, merobek sepatuku dengan kuku-kukunya, nyaris menancapkan giginya juga. Aku menghantamkan tumit ke tengah matanya dan terus berusaha membakar sumbu terakhir.

Begitu sumbunya terbakar, petasan pertama yang kunyalakan sudah hampir kehabisan sumbunya. Aku melompat ke atas pagar. Darah pada tungkaiku meleleh membasahi sapu tangan Ilyas yang kini tercabik dan melorot di kaki. Aku merangkak di puncak pagar, berusaha menjauh saat petasan pertama menyembur keluar dan meluncur bak roket. Zombie-zombie di jalanan berlari ke ujung pagar pembatas kompleks apartemen, tertarik pada sumber suara. Dalam sekejap, mobil kami bebas zombie.

Rani menuruni tali lebih dulu dengan Baha di punggungnya. Meski tampak ngeri, dia membiarkan Joo menangkapnya. Barulah Ilyas turun bersama Emma.

Aku bergabung dengan mereka, membantu Rani memanjat pagar beton, lalu menarik Ilyas. Baha dan Emma menganga ke langit, mengagumi kembang api.

Begitu berada di jalan lagi, kami tak membuang waktu dan langsung berlari ke mobil.

Dari tikungan jalan raya dan persimpangan, lebih banyak siluet sosok-sosok mayat hidup berdatangan. Mereka datang dari jalan lain, tertarik pada suara kembang api. Dari pintu utama bangunan apartemen, orang-orang berlari keluar, tumpah ruah seperti gelombang laut, memanfaatkan kekosongan area untuk meninggalkan lokasi. Penghuni lantai dua dan tiga nekat memanjat turun melalui pohon-pohon terdekat dan tangga darurat. Penghuni lantai atas mulai menyalakan lampu-lampu, berusaha melarikan diri pula.

Sebentar lagi, begitu petasan-petasan ini kehilangan triknya, tempat ini akan jadi jauh lebih parah dari sebelumnya. Dan ini gara-gara aku mendesak kami kemari.

"Gara-gara aku."

Aku mengerjap, mengira aku salah dengar. "Apa, Ilyas?"

"Kau melihat ini semua,"—Ilyas melambai pada pohon yang mulai menyala oranye dan mulai terbakar ranting-rantingnya—"seolah-olah merasa ini salahmu. Tapi ini bukan salahmu. Ini rencanaku. Semua akibat dari kejadian ini—aku yang bertanggung jawab untuk semuanya."

Dia mengatakan itu dengan nada yang mengesankan kewajaran, jadi aku tak tahu harus menjawab apa.

Rani, Baha, Joo, serta Emma sudah masuk dan berjejalan di jok belakang. Aku sendiri hampir masuk ketika sebuah batu menghantam punggung tanganku di pintu mobil. Aku terpekik, nyaris tak merasakan tangan kiriku lagi, lalu rasa sakitnya datang perlahan, kemudian membakar. Aku menoleh dan mendapati seorang pria tinggi besar dengan ketapel di tangannya, ransel pendaki serta tongkat kayu di punggung, dan seorang bayi dalam pada gendongan kain yang terikat ketat di dadanya. Dia membidikkan ketapel lagi, kali ini mengenai kakiku yang terluka sampai jeritanku pecah lagi.

Pesannya jelas sekali: berikan mobil itu.

Ilyas menghampiriku. Kulihat rahangnya menggertak, matanya merah, menyiratkan campuran kemarahan dan menggigil ngeri pada darah yang mengaliri kakiku.

"Dia bawa bayi," kataku seraya memegangi tanganku yang berdarah.

"Dia juga bawa ketapel dan meremukkan tanganmu. Mau tahu apa yang tidak dia bawa?" Ilyas meraih pistol dari shoulder holster-ku, menarik penutup geser seakan dia tahu fungsinya, lalu membidik. Satu kali lihat saja, aku langsung sadar ini bukan pertama kalinya Ilyas pegang senjata.

Dia menembak satu kali pada aspal jalan tepat di depan sepatu pria berketapel—sebuah peringatan. Ilyas menggeser penutup geser lagi, benar-benar tahu cara memasukkan selongsong pelurunya, lalu menaikkan arah moncongnya.

Pria berketapel itu akhirnya berhenti. Dia tahu Ilyas tengah membidik bayinya.

Pria itu mengangkat tangan tanda menyerah, mundur perlahan, lalu berlari ke arah berlawanan. Ilyas sendiri langsung menurunkan senjata, matanya mengerjap-ngerjap, tampak lega sungguhan—entah karena pria itu menyerah atau karena dia tak harus menembak.

Aku membelalak. "Kau bisa menembak."

"Hmm, ya." Ilyas melemparkan pistol ke atas dasbor mobil.

"Selama ini kau bisa menembak dan tidak mengatakan apa-apa."

"Hmm, aku bisa menembak, Cal."

Kugaplok lidah topinya.

"Aku cuma belajar otodidak pakai peluru karet dan peluru kosong waktu umur 11," kata Ilyas. Tangannya menyelip ke bawah lengan dan kakiku, membantuku naik ke jok pengemudi. "Kau bisa mengemudi dalam keadaan begini?"

"Aku pernah mengemudikan traktor dengan tiga jari yang patah sementara Serge mencoba membidikku dengan anak panah berburunya. Menurutmu?"

Dia menyengir, lalu menutupkan pintuku.

Setelah Ilyas berada di dalam, aku menyalakan mesin mobil dan tancap gas. Kembang api mulai berkurang, api yang melalap puncak pohon pun tidak cukup besar, dan gelombang zombie mulai bercampur dengan orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri. Tidak ada yang mengekori mobil kami karena apa yang terjadi di belakang sana lebih menyita perhatian mayat hidup ketimbang sedan kecil yang melaju di jalan.

Tangan dan kakiku cenat-cenut. Darahku meleleh ke roda setir, menetes-netes pada pedal gas dan rem serta tuas gigi. Di jok belakang, Baha merengek dan terus bertanya apakah tanganku tidak apa-apa. Rani sendiri mengubur wajah di tengkuk Emma yang tengah dipangkunya, tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

"Jadi, kenapa kau bisa punya pistol di umur 11 tahun?" tanyaku. Aku butuh mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang membakar tangan dan kakiku.

"Randall pernah mengirimiku pistol dengan peluru kosong untuk menakut-nakuti kurir preman waktu gelombang zombie pertama terjadi."

"Dan kenapa selama ini kau suruh-suruh aku menembak ini-itu di saat kau sendiri bisa menembak?"

Ilyas butuh beberapa detik lebih lama untuk menjawab. "Aku tidak suka membayangkan residu tembakannya di bajuku."

Kurasa, sebabnya bukan itu saja. Namun, jika dia tidak mau mengatakannya, apa boleh buat, aku tidak bisa memaksanya.

Kami mencapai defense wall tepat saat salah satu untaian pagar kawat digulung sampai jalannya terbuka. Jebakan-jebakan di aspal telah dilepas. Beberapa personel membidik ke jalan, sisanya membidik mobil kami untuk antisipasi.

Aku berhenti di tengah jalan tepat di hadapan seorang pria berpenampilan parlente dan tampak salah tempat di antara jajaran personel PN. Dia terlalu rapi untuk seorang pria yang terjebak di tengah krisis zombie, terlampau tenang untuk seorang ayah yang menunggu dua anaknya diselamatkan—jadi aku langsung tahu dia adalah ayahnya Rani dan Bahaduri.

Rani mendudukkan Emma di samping Joo, lalu mengikuti adik laki-lakinya yang sudah lebih dulu menghambur keluar mobil. Kedua anak itu memeluk ayah mereka, lalu berpaling kembali ke arah mobil.

Ilyas mencondongkan tubuhnya ke belakang dan meraih gagang pintu. Rani baru berkata, "Terima ka—" dan Ilyas sudah menghela pintunya sampai tertutup. Tanpa buang waktu lagi, aku menginjak gas dan mengemudi melewati barisan PN yang masih tampak kebingungan.

Kami membelah jalanan sunyi dan gelap tanpa berkata apa-apa lagi.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro