25. Ilyas dan Rumah Kasih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 25: Ilyas's pov | 4221 words ||

Ketika melewati flyover, kami bisa melihat blokade untuk jalan tol yang telah ditutup pasca infiltrasi zombie—tiga lapis pagar kawat, dua parit beton besar, dan banyak sekali jebakan zombie tersebar pada lahan gersang di sekitarnya. Portal masuk jalan tol kira-kira setengah kilometer dari Rumah Kasih—panti asuhan tempatku berasal. Dan kami masih lima kilometer jauhnya dari tempat itu.

"Kudengar, banyak orang di area ini pindah karena takut tinggal berdekatan dengan jalan tol," ujar Cal seraya melirik bentangan pagar kawat. "Tapi sekarang, malah lokasi ini yang paling aman. Para mayat hidup tidak bergerak kemari karena konsentrasi penduduknya ada di pusat kota. Sedangkan zombie-zombie yang menginfiltrasi jalan tol terjebak di sana tanpa ada otak yang bisa dimakan."

Aku melirik tangannya di roda setir sementara dia terus bicara.

"Berhenti, Cal."

Dia mengernyit, tetapi tetap memelankan sedan. Kami bahkan tak menepi, hanya berhenti di tengah-tengah jalan layang karena tak ada satu pun kendaraan melintas.

Kukeluarkan air botolan, perban, disinfektan pembersih luka, dan salep antibiotik. Semua ini kubawa dari rumah sakit Distrik Arum untuk jaga-jaga karena dia punya bekas luka tikaman. Aku turun dari mobil dan membuka pintunya. Cal tampak ragu. "Pakai antiseptik saja."

"Itu bakal membuat iritasi." Kupaksa dia mengeluarkan kakinya. Sepatunya sudah lengket oleh darah dan lumpur mengerak, nyaris tidak bisa dilepas. Kusiramkan air ke tungkainya, menyibak sisa darah dari luka robek pada kulitnya. Gadis itu bahkan tidak berjengit.

Punggung tangan kirinya membengkak sampai keunguan. Saat aku menekan ruas-ruas jarinya, Cal akhirnya meringis kecil. Tangan kanannya mencengkram bahuku. Kubalut tangannya dengan perban sampai pergelangan. Benar-benar mengherankan dia masih bisa menyetir sambil mengoceh panjang lebar dalam keadaan seperti ini.

"Darahku menetesku ke aspal," katanya cemas ketika aku membalut luka kakinya. "Bagaimana kalau ada tipe 3 yang mengendusnya di sekitar sini?"

"Kau lihat sendiri di sini hampir tak ada manusia, apalagi zombie." Aku melirik Joo, yang masih tak bisa kutebak arah maupun arti tatapan matanya. "Yah, kecuali yang kita bawa-bawa di jok belakang."

"Kau yakin mau menyerahkan Joo ke Randall?" tanya Cal tiba-tiba.

"Ke mana lagi kita mesti mengantarnya?"

"Dia bisa ikut sama kita."

Aku mendongak begitu saja dan langsung menyesalinya. Melihat pengharapan di matanya seperti tikaman ke jantungku. Cal bahkan tidak berkedip, seperti menungguku menjawab. Seolah-olah dia masih butuh mendengarnya langsung dari mulutku bahwa kami masih akan bersama-sama keluar dari lubang neraka ini dan pergi ke Neraka sungguhan di luar Tembok W sana.

Aku berdusta saat masih di rumah dan berkata akan ikut dengannya di saat aku punya rencana lain, semestinya aku bisa mengulangi itu untuk menurunkan kewaspadaannya. Sekarang, kudapati diriku tidak mampu berucap apa-apa. Sejak kapan aku merasa begitu bersalah membohonginya?

"Berlama-lama satu mobil dengan zombie rasanya tidak nyaman," kataku seraya mengalihkan pandang ke kakinya. "Dan adikku mulai terlalu terbiasa dengan kehadirannya. Satu hari lagi saja duduk di pangkuan Joo, Emma bisa-bisa salah mengenali kakaknya."

Cal menengok ke belakang. "Joo, umurmu berapa, sih? 30? 28? 25?"

"Dia tidak bakal menjawab."

Namun, terdengar suara gelontoran napas serak dari balik masker si zombie. Kami berdua menoleh dan mendapati Joo seperti sedang menghela napas lama sekali, lalu berusaha menghembuskannya jadi suara. Hal itu dia lakukan berulang.

"Sepertinya dia mencoba bicara," kata Cal takjub. "Haruskah kita lepas mouth guard-nya?"

Aku menggeleng ngeri pada ide itu. "Saat dia masih memangku adikku? Jangan. Nanti saja, kalau kita sudah aman di antara PN dan Randall."

"Bagaimana kalau Randall malah mengeliminasinya karena menganggap Joo ancaman?"

"Aku akan berusaha meyakinkannya."

Kumasukkan kembali obat-obatan ke tas, lalu mencuci tangan di pinggir jalan dengan sisa air dalam botol. Kupandangi telapak tanganku yang mulai gemetaran. Meski aku sudah mencucinya berkali-kali, aku merasa semua darah, tanah, dan bakteri masih menyelubunginya. Aku sudah menahannya berhari-hari dan hampir mencapai batas. Jantungku berdentam sampai telinga, memikirkan noda di tanganku yang sebetulnya sudah tidak ada.

Sedikit lagi. Aku membisiki diri sendiri. Tahan sebentar lagi. Hanya sampai Emma aman dan Cal bisa mendapatkan keinginannya, aku bisa kembali ke kehidupan lamaku di rumah Bu Miriam dan Pak Gun yang bersih, steril, dan terisolasi. Sedikit lagi aku bisa pulang.

"Ilyas?" panggil gadis itu dari jendela samping yang diturunkan. "Kenapa?"

"Hanya melihat seberapa jauh lagi jalan layang ini," dustaku, sekali lagi merasakan denyut aneh karena menyadari bahwa aku berbohong padanya.

Kami melewati rumah-rumah yang sebagian besarnya sudah ditinggalkan dan dipenuhi rumput liar setinggi pinggang. Lapangan serba guna yang dulu dipakai untuk olahraga pagi anak-anak panti kini tampak tak terurus, dipenuhi tenda-tenda pengungsian dan segunung sampah yang juga tak pernah dibersihkan. Tampak beberapa pos jaga PN di tiap persimpangan, tetapi semuanya kosong.

Tiga jam sebelum tengah malam, hujan kembali turun dan kami sampai di tempat perjanjian dengan Randall. Cal memarkir sedan di depan sebuah griya setinggi dua lantai tanpa halaman depan. Undakan setinggi tiga langkah menyambungkan jalan beraspal becek ke pintu depannya. Semua lampu jalanannya mati.

Aku memantau sisi-sisi jalan dan rumah lain. Tidak ada tanda-tanda zombie. Atau kegelapan menyembunyikannya.

"Pertama-tama, kita harus memastikan orang-orang dalam panti asuhan ini masih hidup. Kita bisa ambil risiko menunggu dalam mobil sampai Randall datang, tapi kurasa kita bakal mati beku di sini sebelum tengah malam. Masalahnya adalah jika penghuni panti masih ada dan mereka tidak membiarkan kita masuk ...."

"Biar aku saja." Cal menawarkan diri.

Kuberikan alat pengecek darah ke tangannya dan menyuruhnya mengancingkan seragam kurirnya untuk menutupi senjata pada saku-saku shoulder holster.

Cal melenggang santai di luar mobil. Kalau itu aku, kakiku pasti sudah jadi bubur dan aku mesti merangkak di genangan air sampai undakan ke pintu. Kepercayaan diri dan keberanian gadis itu luar biasa. Dia bahkan tak menunjukkan tanda-tanda habis meregang nyawa dari luka tusuk 12 hari lalu atau tangan yang hampir remuk atau cedera kaki.

Mataku bolak-balik mengawasi kegelapan jalan dan memerhatikan Cal saat dia mengetuk pintu. Gadis itu kemudian menempelkan diri ke kaca jendela, bicara dengan seseorang di baliknya. Dia memegangi kartu identitas kurirnya sambil mengatakan sesuatu, lalu menunjuk ke arah mobil sampai dua kali.

Setelah lima menit yang membuat tegang, Cal kembali ke dalam sedan.

"Aku menyebut namamu dua kali, tapi anak perempuan itu tidak percaya," ujar Cal seraya menyalakan mesin mobil. "Katanya, kalau kau betul-betul bersamaku, kita mesti masuk lewat garasi bawah tanah mereka—kau masih ingat di mana jalan masuknya?"

"Lurus dan belok kiri di sana, mengikuti jalan bata," kataku. "Truk-truk pengantar barang-barang sumbangan dari badan amal masuk lewat sana."

"Badan amal, ya," gerutu Cal lagi seraya mengemudi. "Panti asuhan dekat distrikku dulu, bantuan pokok pemerintah saja jarang masuk. Sekalinya masuk, ditilap Kepala Distrik."

Tidak ada zombie sepanjang jalan. Tempat ini juga masih dipenuhi rumah-rumah tua, losmen murah, dan ruko-ruko kosong—sudah bertahun-tahun, dan tempat ini masih tidak berubah.

Kuarahkan Cal memasuki jalan bata sempit yang menurun landai, lalu menikung ke turunan yang lebih curam. Jalanan meninggi di sisi kanan-kiri dan kanopi tersambung dengan lantai satu bangunan griya. Di depan, gerbang garasi sudah dibuka. Mobil meluncur masuk sampai gerbang kembali ditutup di belakang kami.

Ada tiga orang di sisi gerbang yang menunggu kami turun—dua perempuan dan satu laki-laki; masing-masing bersenjatakan sapu, kemoceng, dan panci teflon.

"Maukah kau tinggal dalam mobil, Joo?" tanyaku ke belakang sembari meraih Emma. "Kami tidak bisa menyembunyikan identitasmu sampai tiga jam—pasti bakal ada yang sadar."

Joo barangkali tak mengerti setengah dari ucapanku, tetapi dia melepaskan sabuk pengamannya, lalu berbaring miring di sepanjang jok. Entah itu isyarat dia bakal menunggu sambil santai atau gestur tipuan bahwa dia bakal masuk diam-diam di kala kami lengah. Untuk jaga-jaga, kami mengunci pintu mobilnya dan merapatkan semua jendela—toh, Joo tidak butuh bernapas.

Aku keluar sambil menggendong Emma yang setengah tidur. Lencana polisi Randall masih di genggamannya, tersangkut antara leher dan dagunya.

"Ilyas," sapa wanita yang di tengah sambil tersenyum tipis, dan aku langsung mengenalinya. Sebelah tangannya memegangi lilin, tangan lain menurunkan kemoceng yang tadi diacungkannya. "Kau sudah besar, Nak."

Aku mencoba melupakan wanita ini 9 tahun belakangan. Namun, ketika Bu Miriam masih hidup dan menyapaku di pagi hari, mengantarku untuk sikat gigi, menemaniku membaca, memujiku saat menyelesaikan rubik, atau berlutut sampai wajah kami sejajar hanya untuk memberi tahu kesalahanku dengan lembut namun tegas ketika aku berbuat salah—kudapati diriku mengingat sosok wanita di hadapanku sekarang. Karena pada saat itu aku baru tahu seorang ibu tak seharusnya melayangkan tangan ke wajahku hanya karena aku menumpahkan segelas air ke karpet, menyeretku di kerah saat aku tidak mau ikut bermain dengan yang lain, atau memukul betis belakang kami dengan tongkat kayu karena rebutan mainan.

"Ibu Raiva." Aku balas menyapa. Suaraku terdengar hampa di telingaku sendiri.

"Bukti bahwa kalian tidak terinfeksi," tuntut lelaki remaja yang memegangi sapu. Rambutnya keriting pendek dan matanya yang besar tajam memelototi kami.

Cal mengeluarkan alat pengecek darah dan memasang jarum baru.

"Negatif." Cal memamerkan hasilnya. "Apa adiknya Ilyas juga perlu diperiksa? Kuperingatkan saja, tangisannya bisa bikin zombie di ujung kota menoleh kemari."

Si pemuda menggeleng, matanya mengawasi alat pengecek darah dengan tertarik. "Kalian punya alat lain yang seperti itu?"

"Cuma satu," jawab Cal seraya menyimpannya kembali ke tas punggungku.

"Kalian boleh masuk ke dalam kalau mau berikan alat itu—"

Gadis remaja di sisi lain Bu Raiva mendesis memperingatkannya. Panci teflon di tangannya menyeberang, menyenggol punggung si pemuda berambut keriting.

"Toren," tegur Bu Raiva, membungkam si pemuda seketika. Suaranya pelan dan lembut. Bahkan saat menatapku, pandangan matanya diturunkan. Wanita ini tampak sangat muda saat aku masih di sini, tetapi kini kerut-kerut wajahnya mulai terlihat. "Masuklah. Kalian pasti lelah. Akan kusiapkan susu dan sup."

Bu Raiva melangkah lebih dulu ke pintu ganda di sisi seberang gerbang, membimbing kami dengan cahaya lilinnya menelusuri lorong berlantai papan. Kupandangi kertas dindingnya yang sudah diganti dari polos menjadi pola bunga-bunga kehijauan.

"Ilyas, lama tidak bertemu." Kurasakan lengan mantelku ditarik dari belakang. Aku menoleh dan melihat gadis yang memegangi panci teflon, rambutnya panjang lurus, terikat kuncir kuda. Dia mengenakan piama dan kardigan wangi detergen. Matanya tidak berkedip menatapku. "Kau jadi tinggi sekali."

Cal yang berjalan di belakangnya mengawasi kami dengan mata disipitkan.

Aku mengerjap. "Hmm, kau siapa?"

Gadis itu akhirnya berkedip. Alisnya menukik tidak senang. "Kau lupa padaku?"

Biasanya ingatanku sangat bagus, tetapi aku tidak pernah pandai mengenali wajah orang yang sudah lama tidak kutemui—terutama kalau jaraknya 9 tahun.

"Dia yang tadi tidak mau membukakan pintu depan untuk kita," sahut Cal. Mereka saling lirik dengan tatapan tidak suka.

"Aku Kamelia," jawabnya jengkel. "Aku mengajarimu menggambar dan sering memberimu permenku saat jatahmu dirampas yang lain."

"Ah, ya ...." Ingatan pertama yang menghampiriku adalah saat Kamelia menangis menjerit-jerit dan berguling di lantai saat Bu Raiva memaksanya berbagi jatah camilan denganku. Aku seolah masih bisa mendengar suaranya yang menusuk gendang telinga di masa lalu: PUNYAKU! PUNYAKU! PUNYAKU! sebelum dia melemparkan bungkus cokelatnya ke mukaku. "Iya, Kamelia. Aku ingat sekarang."

Kamelia akhirnya tersenyum. "Kau pergi waktu umurmu 7 tahun—wajar saja kau lupa pada wajahku."

"Bagaimana denganku?" tanya Toren yang berjalan mundur menghadapku. Dia menyengir. "Kita sering tanding catur, teka-teki gambar, dan main puzzle berdua. Kau tidak mungkin lupa padaku."

Tadinya aku lupa. Aku baru sadar pubertas tidak hanya mengubahku, tetapi mengubah kami semua. Mungkin cuma Cal yang kebal dari dampak pubertas—itu pun aku sempat tak mengenalinya sebelum akhirnya mengenali suara gadis itu. "Ya, Toren. Aku ingat kau."

"Siapa yang paling sering menang di antara kalian berdua?" tanya Cal seraya memiringkan kepalanya.

Toren menggaruk kepalanya. "Seringnya aku dan Ilyas seri."

"Oh—ha-ha, tentu saja, pasti kau seri sama Ilyas." Cal tertawa, tetapi cuma aku yang menangkap sinismenya. Kudapati diriku mati-matian menahan senyum.

Bu Raiva mengarahkan kami ke ruang tengah. Satu sisi dindingnya dipenuhi tempelen kertas bergambar krayon. Lemari tua yang dulu pernah diisukan berhantu masih berdiri dekat pintu, bersisian dengan rak buku. Masih ada mainan mobil dan boneka di atas meja yang luput dibereskan. Wadah lilin berdiri di atas nakas-nakas pada empat sudut ruangan.

Begitu Bu Raiva beranjak ke dapur, aku duduk dengan canggung sambil masih memangku Emma. Kulempar pandanganku ke gambar-gambar di dinding, ke jam, ke jendela—ke mana pun, asal bukan ke Kamelia yang sedang memandangiku dari samping. Cal duduk di sisiku yang satunya, mengobrol dengan Toren.

"Ini adik tirimu?" tanya Kamelia. "Lucunya. Berapa umurmya?"

"Empat tahun," jawabku.

"Bagaimana orang tua angkatmu di Renjani?" tanya Toren seraya menjulurkan badannya untuk melihatku. "Aku ingat pria yang menjemputmu waktu itu mirip penjahat di sinetron—besar banget, kayak pegulat. Anak-anak lain berkata kau akan dimasukkan ke panci rebusan bersama sepotong wartel dan jadi makan malam pria itu setelah satu minggu disimpan dalam kulkasnya." Matanya kemudian mengamatiku dari ujung ke ujung. "Tapi sepertinya dia memanjakanmu, ya. Kau dulu kecil dan pendek seperti jamur."

"Pak Gun orang baik," tukasku sambil berharap nadaku tidak terlalu ketus. Buru-buru kualihkan pembicaraan. "Anak-anak lainnya masih di sini?"

"Tidak, mereka sudah diadopsi. Sekarang tinggal aku dan Kamelia. Sebetulnya masih ada Dhira juga di sini, tapi dia masih 7 bulan saat kau diadopsi." Toren menyeret kursinya sampai ke hadapanku, lalu mencodongkan badannya. Matanya melirik pintu dengan raut wajah penuh kerahasiaan. "Setahun belakangan, Bu Raiva berhenti memukuli anak panti. Tepatnya, sejak didiagnosis kena kanker ovarium."

Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, jadi aku diam saja. Cal yang akhirnya merespons, ikut mencondongkan badan dan berbisik-bisik, "Jadi, wanita itu yang sering memukuli Ilyas?"

"Dia memukuli hampir semua anak." Kamelia ikut berbisik-bisik. "Tapi, Ilyas memang paling sering jadi sasarannya."

"Dan Gideon," sahut Toren. "Tapi Gideon juga diadopsi setelahmu, Ilyas. Setelah kalian berdua tidak ada, Bu Raiva anehnya tampak kehilangan. Dia kadang bertanya padaku, apakah kalian senang dengan orang tua angkat kalian, atau apakah kalian masih ingat dengannya, dan hal-hal semacam itu."

"Kak Wynna masih membantu Bu Raiva di sini?" tanyaku.

Toren dan Kamelia berpandangan. Toren yang kemudian menjawab, "Kak Wynna sudah menikah kira-kira enam tahun lalu. Setelah keruntuhan Tembok W di Duane, kami tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Sekarang Bu Raiva dibantu dua pengurus lain—Ibu Merri dan Mas Gamali. Ibu Merri tinggal di rumah besar di ujung jalan dan datang tiap hari, kalau Mas Gamali ke sini lima kali seminggu."

Percakapan mulai merambat ke hal lain. Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa-siapa, jadi aku mengoper Emma ke tangan Cal dan kabur ke toilet.

Kamar mandi masih berada di antara dapur dan tangga. Waktu 9 tahun hanya memudarkan warna ubin dan menambah retakan keramik, tetapi nyaris tak mengubah apa-apa. Tatanan barangnya mungkin berbeda dari yang kuingat dulu, tetapi semua furniturnya masih yang lama.

Sekeluarnya dari toilet, aku berpapasan dengan Bu Raiva. Dia memandangiku dan pintu di balik punggungku. Sambil tersenyum tipis dengan sorot mata penuh pengertian, dia menerka, "Kabur dari percakapan?"

"A—" Aku menelan ludah. "Ya."

"Kau masih belum berubah, Ilyas." Bu Raiva menutup tirai menuju dapur sambil menggeleng-geleng. "Kau selalu kabur ke toilet saat yang lain bermain atau saat kita kedatangan tamu."

Karena hanya di toilet kau tidak bisa menyeretku keluar. Namun, tidak kukatakan itu. Kutawari Bu Raiva bantuan membawa nampan-nampannya. Kubiarkan dia berjalan lebih dulu sementara aku mengekor di belakang.

Seingatku, wanita ini dulunya tampak menjulang. Aku ingat memeluk kakinya tiap hari, terisak-isak minta diperhatikan, kemudian kabur saat dia marah, lalu kembali lagi ke kakinya saat suasana hatinya membaik. Kini ujung kepalanya bahkan tidak mencapai bahuku. Dia tampak kurus, kecil, layu, dan letih.

"Apa kabar orang tua angkatmu, Ilyas?" tanya wanita itu. Suaranya benar-benar lembut dan pelan sekarang. "Bukankah Renjani sudah jatuh beberapa minggu lalu?"

Aku capek mendapat simpati atau ucapan belasungkawa, terutama kalau hanya untuk formalitas, jadi aku berdusta, "Baik-baik saja, Ibu."

"Andai listrik tidak mati, kau bisa saja menghubungi mereka sekarang. Kau berkunjung di saat yang berbahaya. Apa orang tua angkatmu juga di sini?"

"Tidak," jawabku lirih. "Hanya saya dan Cal. Sebetulnya, kami berjanji untuk menemui seseorang di sini. Orang itu berjanji mengantar kami pulang."

Bu Raiva mengernyitkan alisnya. Aku membuang pandang saat menyadari yang ada di wajahnya itu ekspresi cemas sungguhan. "Siapa? Bukan orang asing, 'kan?"

Kudapati tanganku mencengkram nampan keras-keras sampai buku jariku memutih. "Bukan. Dia Polisi Nusa."

Kenapa aku merasa marah sekarang?

Senyumnya mengembang lagi. "Ibu harap kalian bisa pulang dengan selamat."

Di ruang tengah, Emma sudah terbangun lagi. Dia duduk di karpet, dikelilingi oleh Cal, Toren, dan Kamelia. Mulutnya meludahkan lencana polisi. "Iyass!"

"Dia seperti bayi!" Toren menotol-notol pipi Emma. "Aku yakin umurnya paling tua dua tahun! Tidak mungkin sudah 4 tahun. Dia belum bisa bicara atau jalan, ya?"

Kubiarkan Cal menerangkan kondisi Emma karena aku masih tidak kepingin bicara. Aku makan dan minum dengan hening, membalas perkataan Kamelia dan Bu Raiva seadanya, dan tak mengacuhkan Toren sepenuhnya. Aku ingin pergi ke tempat sepi, mengurung diri, dan tidur sampai pagi. Kenapa rasanya mulai susah untuk bernapas di sini?

Cal melirikku sesekali, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia terus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya untukku, lalu menambahkan, "Ya, 'kan, Ilyas?" yang bisa kubalas anggukan kepala.

30 menit sebelum tengah malam, kepalaku sudah terasa berputar-putar. Suara semua orang terdengar bak gericau itik di telingaku. Itik yang berisik, banyak, dan tidak mau berhenti berbunyi bersahut-sahutan.

Bu Raiva dan Kamelia masih berusaha melibatkanku dalam percakapan. Toren dan Cal menimpali sesekali—mereka sedang bermain ludo, tetapi Toren tak mau berhenti menceritakan pengalamannya mengalahkan anak-anak yang lebih tua main kartu. Lelaki itu bahkan membuat Cal yang biasanya cerewet jadi lebih pendiam.

Satu kali, Toren bertanya apakah Cal sudah punya pacar atau belum, membuatku kepingin membalikkan salah satu kursi dan menindih lelaki itu di bawahnya.

Kenapa aku sensitif sekali malam ini?

Aku merosot dan menjatuhkan kepalaku ke bahu Cal. Gadis itu sempat terkesiap dan menoleh, tetapi kemudian lanjut melempar dadunya. Dia menegakkan badannya hingga posisi bahunya lebih pas dengan kepalaku.

"Ilyas, kau mengantuk?" tanya Kamelia. "Aku akan ambilkan selimut, ya? Ah, Ibu Raiva, Anda juga seharusnya tidur saja—biar kami yang temani mereka."

"Aku pernah hampir mengalahkan Ilyas saat kami main catur," oceh Toren, yang dibalas dengan kuapan lebar Cal. "Aku hampir membuatnya skakmat."

"Berarti kau kalah?" tanya Cal.

"Hampir menang."

"Tetap kalah."

"Joo?" oceh Emma seraya berguling ke kakiku. "Joo jombi?"

"Joo sedang bobo di jok belakang mobil, Emma," kata Cal sembari memegangi tangan Emma yang menggenggam lencana agar anak itu tidak menelannya. Cal kemudian berkata pada Toren, "Itu nama bonekanya."

Emma menyusup masuk ke dalam mantelku dan mengeluarkan surat pengantar dari Randall. Aku berusaha menariknya, tetapi kudapati tanganku gemetar lagi. Pandanganku berkunang-kunang. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kapan terakhir kali aku makan obatku? Di mana Cal menyimpankannya?

"Ilyas, keringatmu banyak sekali." Kamelia tiba-tiba sudah di sampingku, menjatuhkan bantal dan selimut. Kenapa dia tidak mau berhenti menggangguku? "Mantelmu juga basah bekas hujan—kau bisa masuk angin."

"Aku tidak apa-apa," geramku saat Kamelia menarik mantelku.

Kukenakan kembali mantelku karena aku hanya memakai baju lengan pendek di baliknya. Aku ingin lekas pergi dari sini. Sejak tadi aku merasa mual.

"Randall Duma ...." Bu Raiva bergumam. Satu tangannya memegangi surat pengantar dan lencana polisi Randall yang dijatuhkan Emma. "Ilyas, orang yang kau bilang membantumu itu ... a-apakah dia orang ini? Kepala Polisi Nusa?"

Toren bersiul. "Keren. Kau kenal Kepala PN?"

"Ilyas?" Bu Raiva menyeruak ke arahku, mengagetkan kami semua. Tangannya mengguncang bahuku. Alih-alih senang, dia terdengar khawatir. "Orang yang akan mengantarmu itu benar-benar dia? Randall Duma?"

Sekarang aku tahu kenapa aku marah.

"Anda peduli sekarang?" Kutampik tangannya. "Sudah terlambat 9 tahun."

Semua orang terkesiap mendengarku. Bahkan Cal menahan napasnya.

Aku buru-buru berdiri dan menyingkir ke lorong. Aku ingin keluar, tetapi kakiku membeku saat melihat pintu depan yang terkunci rapat. Suara hujan makin keras dan kini disertai petir.

Aku berbalik ke tangga dan duduk di undakan kedua saat Bu Raiva mengejarku.

"Ilyas," ujar wanita itu dengan suara yang kuharap akan digunakannya 9 tahun lalu. "Ibu paham kau marah, tapi dengarkan aku dulu—"

"Marah?" ulangku. "Anda memberikanku ke orang asing. Orang asing yang memakai kaus kotor dan overalls usang, yang tampangnya mirip orang jahat di tv, perebus dan pemakan anak-anak—dan Anda bahkan tidak repot-repot menelusuri latar belakangnya! Sayang sekali, aku beruntung Pak Gun bukan orang macam itu. Orang tua angkatku malah menyayangiku. Sayang sekali Anda gagal menyingkirkanku sepenuhnya."

"Ilyas—"

"Dan kenapa sorot mata khawatir itu tidak ada saat anak-anak mendorongku dari tangga ini,"—aku melambai ke puncak anak tangga—"atau saat aku terkurung dalam bilik toilet yang kuncinya dirusak Clara, atau saat Toren menumpahkan air panas ke badanku?"

"Hei!" Suara laki-laki itu terdengar dari pintu ruang tengah yang setengah terbuka. "Aku sudah bilang, itu tidak sengaja—"

"Anda malah mengancam bakal menumpahkan lebih banyak lagi air panas kalau aku tidak mau berhenti menangis." Aku melanjutkan. "Umurku 5 tahun—dan aku tidak boleh menangis saat kulitku melepuh!"

Bu Raiva berusaha bicara lagi ketika tiba-tiba listrik menyala. Hampir seketika itu juga, telepon di samping tangga berdering.

Sementara Bu Raiva mengangkatnya, aku menangkup wajah dengan tangan, menyesali apa yang baru saja kukatakan. Ini tempat aman—setidaknya dari zombie—dan masih 20 menit lebih sebelum tengah malam. Bisa-bisanya aku meledak sekarang. Mereka pasti akan menendangku dan Cal keluar.

Seseorang menyentuh tanganku. Aku mengangkat wajah dan melihat Cal berlutut di depanku, tangannya di tanganku, dan mata bundar besar Emma memandangiku dari balik bahu gadis itu. Adikku mengulurkan tangannya dan menepuk-nepuk jidatku, bermaksud menghibur, membuat mataku berair seketika.

"Tidak. Sudah kubilang kau salah sambung." Kudengar Bu Raiva bicara di telepon. Saat Kamelia menghampirinya dan bertanya, Bu Raiva berkata, "Seorang anak kecil. Mungkin iseng. Dia terus-terusan berkeras mau bicara dengan seseorang bernama Cal."

Cal berdiri dan mengangkat tangannya canggung. "Aku Cal."

Sembari masih menggendong Emma di punggungnya, gadis itu menerima gagang telepon dari Bu Raiva. Setelah beberapa detik mendengarkan, Cal menoleh padaku. "Ini Rani—anak yang tadi kita antar ke kantor walikota."

Aku menghampirinya dan menerima gagang telepon dari tangan Cal. Rani masih bicara dan aku mendengarkan di pertengahan perkataannya. "—pokoknya cepat pergi dari sana! Baha dan aku masih mencoba membujuk Ayah agar mau mengirim pertolongan ke wilayah itu—"

"Dari mana kau tahu kami di sini?" tanyaku sembari memijat pangkal hidung. "Dan bicara dari awal. Aku tidak paham."

"Jadi, Miranda pernah mengurus evakuasi penduduk di sekitar jalan tol. Dia menyimpan nomor telepon hampir semua rumah dan fasilitas di sekitar sana. Mobil kalian mengarah ke sana, jadi kupikir aku bisa hubungi semuanya satu-satu, tapi tidak ada yang tersambung. Begitu tersambung, semua yang mengangkat mengomeliku dan menuduhku iseng dan wanita barusan juga sama saja—"

"Jadi, kenapa kau menelepon?"

"Zombie-zombie mengarah ke sana!" Anak itu berteriak begitu kencangnya sampai Toren dan Kamelia ikut mendengarnya, keduanya berdengap. "Semua zombie di sini yang tadinya teralih oleh suara kembang api—mereka berhasil menjebol barikade kantor walikota, tapi anehnya hanya sedikit dari mereka yang menyerang sehingga langsung ditangani. Sisanya—sekitar seratus atau mungkin sejuta zombie lainnya—mengejar mobil kalian!"

"M-mungkinkah ...." Cal menghentikan ucapannya, lalu tanpa suara bibirnya bergerak: Benar-benar karena Joo?

Rani masih bicara ketika aku mengembalikan gagang telepon pada Cal. Aku mendekati jendela dan mengintip ke luar. Di balik tirai hujan dan kegelapan, masih tidak tampak apa-apa. Lalu, kusadari seorang pria berseragam PN tengah duduk di undakan depan, tampaknya tengah merokok karena dia menutupi mulut dengan satu tangan dan ada asap tipis dari balik tangannya. Dia tidak mengetuk. Entah sudah berapa lama dia duduk di sana.

"Apa itu Pak Kepala Polisi Randall Duma?" tanya Toren yang ikut mengintip di sisiku.

Aku yakin benar itu bukan Randall dan aku tidak menjawabnya, tetapi Toren membuka pintu begitu saja. Kudengar Kamelia memekik tertahan dan mengatainya tidak berotak. Aku sendiri langsung tersaruk mundur sampai menyandung kakiku sendiri dan jatuh terduduk.

Si polisi menoleh. Air hujan menetes-netes dari rambut dan dagunya. Seragamnya basah kuyup dan bernoda darah. Bau anyir memenuhi undakan depan. Dia memang sedang merokok, tetapi langsung mematikannya dan menginjaknya saat bangkit berdiri menghadap kami. Matanya menelaahku dan Toren. Ujarnya, "Yang mana di antara kalian yang Ilyas?"

Toren menunjukku, lalu berkata tanpa diminta, "Saya Toren, Pak."

"Permisi, Loren." Pria itu menyeruak masuk begitu saja dan membasahi keset kaki. Mengabaikan Toren yang menggumamkan koreksi namanya, pria PN itu memamerkan lencananya dan tanda pengenal polisinya padaku. Nama "Ahmed" tertera di sana. "Pak Kepala Polisi Randall Duma mengutusku kemari. Ada serangan mendadak yang mengharuskan kami pisah jalan—Pak Randall sedang mengatasi itu dan akan menyusul ke titik pertemuan kedua yang sudah ditentukan. Aku di sini untuk mengantarmu ke sana."

Toren menutup pintu di belakangnya. Matanya mengamati pistol sang polisi dan sarung senjata lain di seragamnya dengan takjub. "Maaf, Anda keberatan memberi bukti bahwa Anda tidak terinfeksi?"

Pria itu menoleh. "Tidakkah menurutmu lebih bijak kalau kau menanyakan itu sebelum aku masuk ke sini, Lauren?" Kemudian, tanpa menjawab pertanyaan Lauren—maksudku Toren—Ahmed menarikku sampai berdiri. "Ada gelombang besar zombie mengarah kemari. Pak Randall tengah mengalihkan mereka ke ladang ranjau dekat jembatan layang, tetapi beberapanya mengekoriku kemari. Jadi, kita harus cepat."

"Tunggu dulu," kata Cal, yang sudah mengakhiri panggilannya dengan Rani. "Kalau ada zombie di sekitar sini, kita tidak bisa pergi begitu saja, 'kan?"

Ahmed mengernyit. "Justru keberadaan zombie di sini adalah alasan utama kita pergi. Pakai otakmu."

Cal mengangkat kedua tangannya, mulutnya terbuka lebar seolah tak memercayai apa yang didengarnya. "Ini panti asuhan!"

Ahmed membesut hidungnya. "Aku tahu jelas ini bukan tempat dugem."

"Panti asuhan! Banyak anak-anak!" Cal meninggikan suaranya kali ini. "Kau polisi! Tugasmu mengevakuasi mereka semua atau membereskan zombie yang berkeliaran agar infeksinya tidak menyebar di sini!"

Ahmed mengalihkan tatapannya pada Toren. "Mauren, berapa anak yang tinggal di sini dan berapa rumah yang masih berpenghuni?"

"Ada sebelas anak yang tidur di lantai atas."

"Dan tiga bayi di kamarku," sambung Bu Raiva.

Kamelia menyambut, "Dan sekitar ratusan mainan serta boneka yang kalau tidak dibawa serta akan meledakkan tangisan mereka semua."

"Empat rumah masih berpenghuni di blok ini," lanjut Toren. "Enam keluarga juga masih tinggal di ruko di jalan depan."

"Lihat? Evakuasi tidak memungkinkan." Ahmed memijat-mijat lehernya. Matanya merah dan letih seperti orang yang belum tidur berhari-hari. "Dan aku bisa saja jadi pahlawan kesiangan—atau kemalaman—dengan melempar diriku ke tengah zombie untuk membereskan mereka, tapi karena aku hanya sendirian artinya aku bakal mati di jalan. Tidak ada yang mengantar Ilyas ke tempat Pak Randall. Tugas utamaku hanya mengantar dia dengan selamat."

"Kita bisa pancing para zombie ke ladang ranjau lain di lapangan," ujar Toren, membuat semua orang menoleh padanya. "Banyak jebakan zombie yang masih aktif di sana. Kau hanya perlu berlari menghindari semua itu dan berdiri di ujung—atau memanjat tiang ring basket. Aku bisa membantu."

Bu Raiva memelototi lelaki itu. "Dan dari mana kau tahu semua jebakan itu masih aktif?"

Toren menghindari matanya dan tersenyum ke kakinya sendiri. "Kadang kami main ke sana."

"Kami?!"

Kamelia mengerut ke belakang punggung Cal saat Bu Raiva mengalihkan tatapan ke arahnya. "Toren memaksaku ...."

"Kau yang merengek ingin ikut!"

Ahmed melambaikan tangannya, menepis pertengkaran mereka semua. "Baiklah. Maurice ikut denganku—"

"Aku menolak," tukas Bu Raiva, memupuskan senyum yang mulanya terbit di wajah Toren. "Apa yang kau pikirkan—mengirim anak 16 tahun ke ladang ranjau bersamamu?!"

"Anak ini tahu letak-letak ranjaunya, Nyonya. Aku tidak mau mati konyol menginjak jebakan zombie."

Kamelia mengangkat tangannya takut-takut. "Aku menyimpan skema letak-letak jebakan zombie itu di kamarku. Itu bisa berguna?"

Ahmed menggoyangkan jari tangannya. "Itu juga boleh. Bawa kemari."

Kamelia melesat ke tangga. Sementara itu, Bu Raiva memutari si polisi, lalu buru-buru menarikku dan Toren ke sisinya. Namun, Ahmed sama sekali tidak melirik kami berdua. Dia justru mendekati Cal dan menyingkap ujung seragam gadis itu, menampakkan senjata-senjata di baliknya yang hampir membuat Bu Raiva pingsan di sampingku.

Ahmed menyentuh tanda pengenal kurir yang tergantung di pinggang gadis itu. "Kau kurir?"

"Ya."

"Pernah membasmi zombie?"

"Aku membunuh zombie lebih sering daripada mengantar paket."

"Kau ikut denganku," putusnya, lalu menunjuk Emma di punggung Cal. "Tapi tidak boleh bawa anak."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro