3. Ilyas dan Hari Zombie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 3: Ilyas's pov | 2993 words ||

Nusa adalah satu-satunya peradaban manusia yang tersisa selama 70 tahun lamanya sejak Desember 2099, dan teritori di luar Tembok W telah menjadi Neraka—atau sebatas itulah yang kami ketahui selama ini.

Nusa pernah memiliki pasukan militer khusus untuk mencari peradaban lain dan mencoba mengontak negara yang barangkali masih tersisa—dari 13 regu yang dikirim, hanya dua regu yang kembali dengan masing-masing separuh anggotanya menghilang. Sepuluh di antaranya terinfeksi dan segera dieksekusi. Hanya tiga tahun sejak terbentuknya, pasukan itu dibubarkan.

"Meski ada peradaban yang selamat di luar sana, besar kemungkinan mereka bukannya akan memberi bantuan dalam krisis zombie, melainkan memberi beban tambahan." Mantan Kepala Militer Nusa memberi pendapat 60 tahun silam dalam film dokumenter Krisis Nusa 99. Film itu terus diputar ulang tiap tahun di televisi pada bulan Desember. "Nusa harus memprioritaskan kemaslahatan rakyatnya di atas segala-galanya. Pegang kata-kata saya, bahkan untuk seratus tahun—tidak, tidak! Menurut saya, bahkan untuk satu milenium ke depan, Nusa masih dan akan terus bertahan di dalam lingkar Tembok W. Maka dari itu, misi pencarian bantuan ke dunia luar baru akan dilanjutkan kembali setelah kita menata ulang negeri—"

Aku mematikan televisi. Setelah penemuan lubang di tembok W dan menghilangnya Pak Gun 8 bulan silam, si Kepala Militer itu terkesan seperti penipu di mataku.

Setelah lubang pada tembok ditambal, keadaan berangsur kembali tenang. Zombie yang menyeberang tak kunjung ditemukan. Tidak ada siaran beritanya. Menurut orang-orang, itu hal bagus. Menurutku tidak. Kalau memang tidak ada zombie, kenapa tidak disiarkan saja perkembangannya? Tidak ada berita bukan berarti tidak ada bahaya sama sekali.

Sekarang, semua orang tampaknya sudah lupa perihal lubang pada tembok. Bahasan zombie hanya sekadar lewat dan sebagian besar siaran didominasi hari jadi Nusa yang ke-70. Emma baru genap 7 bulan saat parade ulang tahun Nusa diadakan. Arak-arakan berlangsung seminggu penuh dan sudah dua kali lewat di jalan depan rumah kami, balon-balon dilepas ke langit, dan musik mengusik udara. Emma makin rewel karena kesulitan tidur. Dia terus menangis siang dan malam, terserang demam atau masuk angin hampir tiap saat.

Dokter sudah pernah memperingatkan kalau pertumbuhan Emma mungkin akan terhambat dari anak lain dan imun tubuhnya lemah karena lahir prematur, tetapi Bu Miriam meyakinkanku kalau kami bisa melewati keadaan ini bersama, meski tanpa Pak Gun sekali pun.

"Jangan pikirkan masalah uang, oke?" Bu Miriam berkata saat aku terkejut melihat daftar pengeluaran kami bulan itu. Sejak Pak Gun tidak ada, Bu Miriam harus kembali mengajar kursus anak-anak sekolah. Maka, dia butuh pompa ASI dan tempat penyimpanannya untuk Emma.

Bu Miriam pernah mencoba menyewa pengurus dan pengasuh beberapa kali, tetapi selalu terjadi masalah—pengurus rumah tangga yang sudah tua dan teledor membiarkan Emma di ayunan bayinya tanpa susu sampai sore, pengasuh muda yang kelayapan meninggalkanku dan Emma berdua di tengah jam kerja, sampai seorang tukang cuci yang membujukku mengerjakan tugas-tugasnya tanpa diketahui Bu Miriam (dia diberhentikan setelah ketahuan).

"Sejak aturan isolasi di rumah melonggar, makin banyak yang memanggil guru privat untuk mengejar ketertinggalan." Bu Miriam menunjuk jendela, mengisyaratkan arak-arakan pawai yang masih berlangsung. "Kau boleh main keluar kalau kau mau, Ilyas. Belilah sesuatu."

"Aku di sini saja," kataku seraya mengamatinya mengganti popok Emma. "Apa kami harus dititipkan pada Nenek Aya lagi?"

Nenek Aya sudah agak pikun dan kacamatanya setebal pantat botol. Hobinya mengoceh tiap saat, bahkan saat tak ada orang di dekatnya. Aku tak pernah tahu apa yang dibicarakannya. Namun, Nenek Aya adalah satu-satunya tetangga menganggur yang kami punya. Satu-satunya tempatku dan Emma mengungsi kalau Bu Miriam harus pergi ke luar.

Bu Miriam mendesah, "Aku khawatir, kalian harus berdua dulu sehari ini. Nenek Aya sedang sakit—kenapa kau menyengir begitu?"

"Tidak apa-apa." Aku buru-buru mengatur wajah. "Aku bisa mengurus Emma."

Bu Miriam meragu sesaat. "Aku hanya mengajar sampai pukul 2 siang hari ini. Makanan sudah ada di atas meja. Susu untuk Emma di tempat biasa."

Aku memberitahunya bahwa aku sudah ingat dan paham semuanya, lalu berjanji dia takkan perlu mencemaskan apa pun.

Setelah Bu Miriam pergi, aku merapatkan semua pintu dan jendela untuk meredam suara bising di luar. Kututup tirai rapat-rapat karena jalanan ramai oleh pejalan kaki—stan jajanan memenuhi tiap sisi trotoar, kertas warna-warni mengotori jalan, dan sesekali ada saja orang yang berkaca untuk membenarkan rambut di kaca jendela rumah kami.

Seharian, aku menonton televisi dengan volume kecil di samping Emma. Berita dipenuhi peringatan ulang tahun Nusa: upacara di ibu kota, pawai di beberapa distrik, pertunjukan dan berbagai kompetisi berhadiah besar, sampai pemutaran film-film lawas tentang sejarah dan drama perjuangan pasukan elit Nusa 70 tahun lalu yang memberantas para zombie.

Adikku merengek dalam tidurnya dan perlu ditepuk-tepuk agar kembali pulas. Mataku melirik kaca jendela sesekali, di mana orang-orang tertawa dan mengobrol. Karena sekolah masih libur, sesekali terdengar suara anak-anak seusiaku, berlarian dan meneriaki orang-orang berkostum yang tengah pawai. Harum sosis dan jagung bakar tercampur, masuk lewat ventilasi.

Sebentar lagi pukul 2. Aku bisa minta dibelikan Bu Miriam ....

Sampai pukul 3, Bu Miriam tak kunjung pulang.

Aku mondar-mandir di dekat jendela, mengintip keluar untuk mencari Bu Miriam, lalu mundur lagi saat ada orang asing yang terlalu dekat dengan rumah.

Pukul 4, Emma mulai merengek panjang. Pawai makin ramai, aroma jajanan makin kuat. Namun, aku tidak bisa keluar karena; pertama, aku tidak pernah membeli barang sendiri; dan kedua, Emma tidak bisa ditinggal.

Pukul 5, terdengar suara debuman keras.

Aku mengintip di balik tirai dengan dada berdebar. Tak jauh dari rumah, sebuah mobil pikap terbalik di sisi jalan. Aku buru-buru naik ke lantai atas untuk melihat lebih jelas. Beberapa pejalan kaki melintas di depan rumahku ke arah mobil pikap, tampaknya hendak melihat apa yang terjadi, tetapi mereka terus bertabrakan dengan arus orang-orang yang mencoba melawan arah.

Baru kemudian kusadari, arus yang melawan arah itu mati-matian menjauhi mobil pikap. Beberapa di antaranya mulai meneriaki orang-orang untuk pergi atau minggir dari jalan mereka.

Mobil pikap yang terbalik itu salah satu peserta pawai. Ada sekitar tiga orang berkostum tentara dan dua orang beriasan wajah zombie yang diangkutnya, tampak berjuang untuk menjauhi mobil pikap. Beberapa hiasan mobil rusak dan berceceran, seutas pita panjang membelit si sopir yang berusaha keluar. Iring-iringan jadi macet di belakangnya.

Beberapa orang masih berusaha menonton mobil yang terbalik, tampak kebingungan di antara kerumunan, sedangkan yang lainnya sudah berdesak-desakkan menjauhi mobil sambil meneriaki kerumunan lainnya idiot. Kulihat ada yang mulai menggedor-gedor pintu rumah di sekitarnya, mencoba memaksa masuk.

Dua orang pria dan satu wanita asing kemudian mendekati rumah kami. Mereka mengetuk pintu dan meneriakkan sesuatu yang tak kudengar dengan jelas. Saat mereka mendongak dan melihatku di balkon, mereka berteriak lebih kencang kepadaku. Aku mundur dengan gugup, lalu menutup pintu balkon karena takut.

Aku turun ke ruang tengah untuk mengangkat Emma. Sambil mengabaikan orang-orang aneh yang masih memaksaku membuka pintu, aku membawa adikku ke kamar Bu Miriam dan mengunci pintu. Setelah orang-orang yang memaksa masuk itu pergi, datang lagi orang lain yang mengetuk pintu depan. Makin lama jumlahnya bertambah, dan suara mereka makin keras.

Emma mulai menangis di atas tempat tidur Bu Miriam, jadi aku menggendongnya sampai dia tenang. Namun, tiap aku meletakkannya kembali, Emma menangis lebih keras, lebih histeris.

"Emma, tanganku sakit," kataku. "Tidurlah, ya ... kumohon."

Dia tidak setuju. Tangannya berpegangan bahuku. Saat tubuhnya kurendahkan ke atas tempat tidur Bu Miriam, Emma menjerit. Aku mencoba duduk sambil masih menggendongnya, tetapi Emma juga tidak menyukainya. Tangisannya mereda hanya jika aku berjalan mengelilingi kamar sambil menggendongnya.

"Emma ...." Aku mengerang. "Tangan dan kakiku sakit ...."

Emma menanggapiku dengan suara serdawa. Matanya tertutup seperti tidur, tetapi aku tahu itu jebakan. Kalau kuletakkan, Emma akan menangis histeris dan menarik perhatian orang-orang di luar yang masih—

Prang!

Aku membeku. Suara kaca pecah itu dari arah dapur ... atau mungkin aku salah dengar. Mungkin dari rumah sebelah.

Krak ....

Kali ini bunyi langkah sepatu di atas beling. Benar-benar dari arah dapur.

Jantungku berdentum keras sampai ke kepala. Tanganku bergetar memegangi Emma. Kupastikan pintu kamar ini terkunci, lalu aku membuka pintu lemari dan masuk ke dalam, tetapi Emma langsung terisak. Sebelum Emma menjeritkan tangisan, aku buru-buru keluar dan berjalan mengitari kasur lagi.

Kakiku membatu saat kenop bergerak, dan daun pintunya berderak.

"Dikunci." Suara seseorang yang tak kukenali terdengar di depan pintu kamar. "Tampaknya rumah ini benar-benar kosong. Kita sembunyi di sini dulu?"

"Kau tahu kalau kamar dikunci itu tandanya apa?" Suara lain menyahut.

"Mungkin ini gudang." Suara lain lagi. Gawat, mereka ada tiga orang.

"Mana ada gudang di tengah rumah." Suara baru lagi. Ternyata mereka berempat. "Pintu kamar terkunci itu artinya tuan rumah menyimpan sesuatu di dalam—benda berharga, uang, perhiasan."

"Iya, itu bisa saja," kata orang pertama. "Atau ... ada orang di dalamnya."

Keringat dingin membungkusku. Detak jantungku bisa saja terdengar sampai ke luar pintu. Aku hampir menangis dan mengompol di celana, tetapi Emma melakukan keduanya lebih dulu. Bau semerbak dari popoknya menunjukkan kalau Emma juga melakukan kegiatan yang lebih berat dari sekadar pipis.

"Hei, Bu!" Si penyusup memukul daun pintu setelah mendengar tangisan Emma. "Keluar! Kami tahu kau di dalam! Kalau kau mau bayimu selamat—"

Terdengar suara lagi dari arah dapur. Aku tidak bisa memprosesnya di awal, lalu aku sadar bunyi itu seperti barang jatuh di atas pecahan kaca.

"Kaca yang tadi kita pecahkan!"

"Sial!"

"Bagaimana bisa dia mengikuti kita sampai kemari?!"

Mereka berderap ke suatu tempat, saling bertengkar sesamanya. Lalu, langkah mereka kembali lagi ke depan pintu kamar. Kenop berguncang.

"Mana kunci pintu depan?!" teriak salah satunya. "Wanita sialan! Kubunuh kau dan bayimu! Katakan, di mana kunci pintu depan!"

Keributan menunjukkan bahwa mereka sedang mengacak-acak ruangan, barangkali mencari kunci. Ada sesuatu yang pecah, barangkali vas kesayangan Bu Miriam. Ada suara langkah kaki juga yang menaiki tangga, lalu turun lagi.

"Hei, barikade jalan ke dapur itu!"

"Makanya, bantu aku menggeser lemari ini!"

"Serahkan kunci pintu depan!" Pintu di depanku masih diamuk salah satu penyusup itu. "Kau mau dimakan zombie, hah? Atau menjadi zombie dan memakan bayimu sendiri? Buka pintunya!"

Ada yang digeser—mungkin lemari. Namun, setahuku lemari kayu di ruang tengah itu sudah reyot. Hanya terdengar sedikit gesekan sebelum kemudian bunyi berdebum keras menggantikannya, menandakan lemari itu roboh ke depan, bersamaan dengan barang-barang pecah. Koleksi piring cantik beli dua gratis satu kesayangan Bu Miriam ....

Keempat penyusup itu berteriak panik. Kedengarannya mereka menaiki tangga.

Aku menghitung sampai sepuluh, lalu mulai berjalan lagi mengelilingi tempat tidur. Emma sudah diam, tetapi alisnya mengerut marah dan bibirnya mencebik. Tangisannya bisa meledak kapan saja sekarang—hanya satu kesalahan kecil, dan dia akan mulai berteriak. Aku tidak boleh berhenti berjalan sama sekali agar dia tetap tenang.

Aku menghitung lagi sampai dua puluh. Kulirik kenop pintu, mempertimbangkan untuk keluar. Namun, memikirkannya saja membuat perutku melilit dan kakiku jadi ngilu. Bagaimana kalau orang-orang tadi kembali? Bagaimana kalau mereka bersenjata? Apa yang sebenarnya ada di dapur dan membuat mereka ketakutan seperti itu?

Air mataku meleleh. Sambil sesenggukan, aku mondar-mandir dari ujung ke ujung. Aku ingin mencari Bu Miriam, tetapi aku takut keluar. Aku bahkan takut untuk sekadar mengintip keluar. Suara pawai sudah berakhir, tetapi teriakannya masih ada. Hanya saja, teriakan kali ini bukan lagi sorakan suka cita.

Aku menghitung lagi. Satu menit penuh sejak para penyusup itu menaiki undakan menuju kamarku. Suara pecahan kaca dari dapur juga sudah tidak terdengar.

Kudekati pintu, tetapi sekujur tubuhku tak berhenti gemetaran. Pikiran-pikiran buruk menyerangku. Apa yang ada di balik pintu ini? Apakah benar-benar ada zombie? Atau para penyusup hanya menggertak agar aku keluar? Bagaimana kalau mereka menunggu di depan pintu? Mana Bu Miriam? Apakah kejadian Pak Gun akan terulang?

Bagaimana nasibku dan Emma ...?

Dari kaca jendela kamar yang mengarah ke gang, aku bisa melihat sedikit bagian jalan depan. Aku mengintip dari celah tirai dengan gelisah. Jalanan depan dipenuhi oleh sampah pawai, orang-orang, dan beberapa petugas penertiban yang sudah kehilangan kendali terhadap kerumunan. Beberapa remaja melintas lewat di gang tepat di hadapan jendela kamar Bu Miriam. Wajah mereka diselimuti teror. Lalu, kulihat api berkobar di jalanan, tak jauh dari rumah kami. Asapnya mulai masuk lewat ventilasi.

Emma mulai memejamkan matanya dalam timanganku. Maka, kumanfaatkan ini untuk melepaskan popoknya. Lalu aku teringat ... popok baru ada di luar. Aku membuka lemari, mencomot kaus lengan panjang Pak Gun, lalu melilitkannya ke sekitar bokong Emma. Almarhum Pak Gun akan memaafkanku ....

Kubedong Emma dengan baju hangat ibunya. Gerakan badannya jadi gelisah karena asap yang masuk ke kamar mulai memengaruhinya.

Aku tiarap di depan pintu, berusaha menangkap pergerakan sekecil apa pun dari celah di bawahnya. Hanya ada bayang-bayang samar, mungkin dari barang-barang yang jatuh ... atau orang-orang itu? Namun, bayangan itu tak bergerak, jadi barangkali memang bayangan dari perabot dan barang yang jatuh.

Kuambil segantungan penuh kunci di atas nakas—salah satunya adalah kunci pintu depan.

Aku mengangkat Emma, lalu mendekati pintu sambil menarik napas untuk menenangkan diri. Bau sangit sudah memenuhi kamar, dan suara sirene pemadam kebakaran baru tiba. Meski api dipadamkan tak lama lagi, kamar ini sudah telanjur dipenuhi asap.

Kupindahkan posisi Emma ke sisi kanan. Dengan tangan basah oleh keringat, aku memutar kenop.

Pelan, tanpa suara, aku membuka pintu dan mengintip. Mataku jelalatan ke sekitar. Pakaian yang baru dilipat Bu Miriam berhamburan di lantai. Lemari piring ambruk tengkurap. Selebihnya, tidak ada siapa-siapa.

Aku menyelipkan badan keluar dan membiarkan pintu kamar terbuka agar aku bisa masuk lagi jika terjadi hal buruk. Berhati-hati, aku mengendap dan mengambil botol susu Emma yang masih terisi separuh untuk menyumpal mulutnya. Aku mempertimbangkan naik ke kamarku, tetapi para penyusup itu pasti masih di sana.

Aku baru mempertimbangkan untuk lari ke kamar mandi dan mengunci diri di sana saat suara langkah diseret muncul dari dapur. Buru-buru, aku berlari mengarungi lautan sepatu dan pecahan vas, lalu berjongkok di samping rak. Ketika aku mengintip, sesosok ....

Apa itu yang keluar dari dapur?

Aku merapatkan rahang kuat-kuat. Mataku berair. Selama ini, sosok zombie selalu disensor dalam video-video dokumenter dan film-film lawas. Kalau pun ada versi tanpa sensor, Bu Miriam tak mengizinkanku melihatnya. Maka, saat melihat zombie untuk pertama kali, aku nyaris tak bisa memproses apa yang kulihat.

Sosok itu mirip manusia. Saat berdiri diam, perutnya maju seolah punggungnya patah. Ketika ia berjalan ke depan, sosok itu membungkuk pengkor seolah ada yang menjambak kepalanya ke depan. Langkahnya diseret sampai meninggalkan jejak darah di lantai. Kakinya bengkok sebelah, celananya yang robek-robek mirip bubur koran basah, tercampur borok dan luka berdarah di baliknya. Makin ke atas, pemandangan makin tak sedap. Ada tulang yang menonjol keluar, mengoyak kulit dan bajunya di bagian bahu. Wajahnya tidak mirip wajah—lebih menyerupai roti isi daging berlumur saus yang dicengkram sampai hancur.

Aku tidak akan makan roti isi daging lagi.

Selama beberapa saat, aku terpaku, tidak bisa mengalihkan pandang. Tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas.

Sosok itu tidak menyadariku. Ia menatap ke atas saat terdengar suara gaduh dari kamarku. Ia memajukan badannya lagi seolah tulang punggungnya terbuat dari karet, lalu melangkah ke undakan. Dari sana, ia tak mengangkat kaki untuk menaikinya. Ia menjatuhkan diri ke depan, wajahnya membentur anak tangga keempat, lalu tangannya mencakar-cakar dan lututnya mendorongnya maju.

Ia merayap, meninggalkan banyak jejak pada anak tangga, dan itu bukan pemandangan yang bagus sama sekali. Wajahku sudah basah oleh air mata. Kuraba-raba saku celanaku, mencari segantungan kunci—

Yang kemudian meluncur jatuh menggerincing ke lantai.

Aku membeku, mataku terkunci pada makhluk itu yang kini menoleh.

Lima detik terdiam, ia berbalik arahku.

Aku jadi histeris. Kuraih serentengan kunci yang jatuh, lalu mencari-cari kunci pintu depan. Kepanikan membutakanku—bahkan saat aku sudah memegangi kunci yang tepat, aku melewatkannya. Keringat muncul di kelopak mataku. Ujung jari tanganku terasa dingin. Tanganku bermasalah saat akan memasukkan kuncinya, seolah ujung kunci itu membengkokkan diri dan lubangnya terus bergeser menjauh.

Emma hampir meluncur jatuh dari gendonganku saat aku berhasil memutar kunci dan membuka pintu. Rumah kami tidak punya halaman depan atau teras, jadi pintu depan langsung mengarah ke jalan. Kueratkan pegangan pada Emma dan berlari keluar tanpa pikir panjang. Aku terlalu takut akan apa yang ada di belakangku dan tidak menyadari apa yang ada di depan. Seseorang melesat ke arah kami, tangannya mencengkramku di bahu, membuatku hampir menjatuhkan Emma untuk yang kedua kalinya.

"Selamatkan dirimu, Nak!" Seorang pria tua—manusia, bukan zombie—berteriak di depan mukaku. "Masuk ke dalam!"

Bahkan tanpa menungguku, pria asing itu masuk begitu saja ke dalam rumah kami, membanting pintu di depan wajahku. Tak lama kemudian, dia berteriak di dalam sana.

Bukan saatnya untuk jatuh terduduk, tetapi itulah yang kulakukan.

Jantung dan napasku sempat berhenti, lalu aku bernapas cepat sekali. Kurasakan detak jantungku mulai menggedor rusuk sampai dadaku terasa nyeri. Botol susu Emma jatuh, dan tangisannya membuatku makin sesak.

Si pria asing masih menjerit-jerit di dalam rumah kami. Tak berapa lama kemudian suaranya berubah jadi degukan sekarat. Lalu, hening.

Mengabaikan botol susu adikku, aku bangkit dan berlari ke jalan sambil tersengal-sengal. Andaikata tanganku tak terkunci di posisinya akibat rasa syok, aku hampir yakin aku bakal menjatuhkan Emma dan meninggalkannya juga di sana.

Sempat terseret-seret arus massa yang panik, langkahku mulai melambat. Baru kemudian aku sadar, aku tidak tahu mesti lari ke mana.

Aku menatap liar ke sekitar. Semua orang tampak panik dan berpencar, beberapanya berteriak mencari-cari teman dan keluarganya, sisanya bersembunyi di balik kendaraan pawai atau stan jajanan. Ada dua zombie yang tengah menggigiti seseorang di sudut jalan, satu zombie yang paling dekat denganku tengah mengejar seorang penjual kacang yang masih membawa-bawa gerobaknya ke sana kemari, satu zombie lagi melompat menerkam kerumunan sampai mendapatkan seseorang.

Aku berbelok menjauhi pemandangan itu sampai mendapati seorang pria berseragam polisi. Dengan penuh harap, aku berlari ke arahnya, tetapi langkahku terhenti saat melihat wajahnya. Dia tampak linglung, matanya nyalang menatap sekitar, tangannya bergetar mencengkram senjata api. Saat satu zombie muncul dari balik mobil pawai di sampingnya, sang polisi melepaskan tembakan membabi buta. Dari semua tembakan itu, dia menewaskan dua peserta pawai yang berlari terlalu dekat dan mencederai seorang anak. Zombie itu sendiri tak berhenti meski terkena tembakan di bahu. Ia mendapatkan sang polisi dalam sekejap mata.

Aku berbalik lagi, tetapi ada satu zombie lain yang berjalan ke arahku. Sedikit lebih tinggi dariku, anak laki-laki, barangkali masih 14 atau 15 tahun. Matanya putih dan merah seperti susu yang ternoda darah. Ada luka menganga di pipinya dan bajunya robek di sana-sini.

Dengan cepat, aku berbalik, tetapi zombie-zombie lain mendekatiku juga hingga aku nyaris tak bisa membedakan mana manusia hidup dan mana mayat berjalan.

Aku berjalan mundur sampai terpojok. Sesuatu di belakangku bergerak. Aku nyaris jatuh karenanya. Aku belum sempat menoleh saat Nenek Aya menarikku masuk, lalu menutup kembali pintu rumahnya. Sesuatu menabrak pintu itu dari luar, lalu hening.

"Te-teri—terim ...." Aku bahkan tak bisa berterima kasih dengan benar.

"Ikan terinya sudah habis dari kemarin lusa," kata si wanita tua bersungut-sungut. Bibirnya yang dikulum bergerak-gerak, lalu Nenek Aya menyengir, memamerkan giginya yang sudah hampir habis. "Ramai sekali di luar, ya?"

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

Yang udah baca di kw*i*k*ku, jangan sop-iler ya (メ' ロ ')

Ini mau saya revisi lagi dikit-dikit, jadi mungkin bakal ada yang beda dari versi di lapak sebelah

But, still, awas lho klo sepoiler, nanti saya anu (°ㅂ°╬)

//berusaha memasang tampang seram

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro