4. Cal dan Sarang Zombie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 4: Cal's pov | 1722 words ||

Aku mulai terbiasa dengan rumah susun yang kudiami dengan ibu—ramai, sempit, penuh gema, interaksi dengan tetangga yang tak terhindarkan. Maka dari itu, saat terdengar keributan dari balkon seberang, aku tidak berniat mengecek sedikit pun.

Hujan mengguyur petang itu. Dua cewek remaja teman sekamarku—Nayna dan Ulli—mengobrol tentang zombie lagi; ada beberapa penampakan yang terlihat, kata mereka, di beberapa tempat yang mengadakan pawai dan festival malam.

"Semua ini distrik di tengah-tengah kota besar, 'kan? Kukira, wilayah perbatasan yang akan disambangi lebih dulu."

"Mungkin perbatasan sudah hancur duluan. Eh, kau dengar suara ribut di luar?"

"Entahlah, barangkali cuma suara hujan. Atau mungkin ada yang rebutan tali jemuran lagi. Jadi, keadaan perbatasan—tidak ada yang meliputnya?."

"Iya, tidak ada. Sepenting apa, sih, perbatasan?"

Aku memberengut. Sepenting apa dia bilang? Selama ini orang kota menggemukkan diri mereka dari hasil perbatasan—ternak, kebun, tambak, tanggul air, tambang, dan segala hal yang menurut mereka akan mencemari pemandangan metropolitan Nusa ditaruh ke pinggir. Lagi pula, dua cewek ini juga berasal dari perbatasan—hanya beberapa bulan tinggal di rumah susun subsidi pemerintah, mereka sudah berlagak jadi anak kota.

Aku jadi memikirkan rumah lama kami di perbatasan: dapur yang bersinggungan dengan aliran sungai di mana ibu memasak dan mencuci sekaligus serta jamban yang terombang-ambing di hilirnya, kamarku yang dipenuhi kasur kapuk di mana ibu ikut tidur denganku sejak ayah meninggal, ruang tengah yang diisi televisi tua dan satu lemari kecil tempat seluruh baju kami tersimpan, serta kamar mendiang ayahku yang selalu kami bersihkan tiap minggu dan barang-barangnya kami biarkan saja di tempatnya.

Aku memikirkan tanah kosong tempat aku bermain dengan teman-temanku yang kini entah di mana, gang-gang kecil kumuh, suara ayam-ayam di pagi hari, tempat pembuangan sampah yang dari jauh terkesan estetik di mataku, dan rumah tua yang dihantui Serge.

Kurasa, sekarang pria tua itu sudah mati. Tidak ada lagi yang mau tinggal di perbatasan sejak lubang tembok W ditemukan. Walau Serge veteran perang sekali pun, aku ragu dia bertahan hidup sendirian. Dan aku yakin perang yang pernah diikutinya hanya pemberontakan kecil di daerah-daerah. Kalau pun ada yang berhasil memaksanya masuk panti orang tua, aku tetap ragu Serge masih hidup.

Pintu kamar kami menjeblak terbuka di tengah lamunanku, dan masuklah Ginna—teman sekamar kami yang lainnya, seorang wanita pemabuk yang kerjanya menonton televisi atau tidur seharian, lalu kelayapan malamnya. Tubuhnya banjir keringat, wajahnya pucat. Dia langsung meneriaki kami, memerintah untuk menutup jendela dan menggeser barang-barang berat menghalangi pintu.

"Aku melihatnya!" Wanita itu menjerit panik di sela bentakan-bentakan perintahnya. "Rupanya ada beberapa orang sini yang pergi ke festival semalam dan langsung pulang tanpa diperiksa! Aku melihatnya—demi Tuhan, benar-benar menjijikkan! Sekali tergigit, tidak bisa dihentikan lagi! Mereka sedang berusaha membuangnya dari lantai empat sekarang!"

"Apanya?" desakku seraya berusaha menggeser lemari sendirian ke depan pintu. "Bicara yang jelas!"

"Zombie!" Ginna mengguncangkan bahuku. Matanya dipenuhi kegilaan. "Sudah ada empat orang yang tergigit di sini! Dua sudah terinfeksi sejak pagi, menggigit dua tetangganya tadi siang, dan sekarang mereka pun mulai berubah!"

"Kau sedang sakaw, ya?" Aku menampik tangannya dan berjalan keluar. Bisa kudengar Ginna membentak Nayna dan Ulli untuk memblokade pintu.

Aku berjalan melewati televisi di ruang tengah yang masih menyala dan menayangkan berita.

"—tak ubahnya 2096. Serangan-serangan terjadi secara acak pada beberapa distrik dalam kurun waktu hampir bersamaan. Berbagai pihak termasuk Kepala Kepolisian telah mendesak Menteri Keamanan untuk kembali mengaktifkan Kesatuan Pengendali dan Pemberantas Zombie, atau KPPZ, yang—"

Aku mematikan televisi. Dadaku berdebar.

Tidak. Tidak mungkin.

Aku memejamkan mata. Bayangan lubang di Tembok W yang kugali saat aku masih anak-anak melintas dalam kegelapan penglihatanku. Ingatan yang sudah hampir kulupakan itu menghantuiku lagi belakangan.

Berbulan-bulan aku bertahan bungkam. Tidak ada berita penampakan zombie sejak lubang ditemukan. Jadi, aku sengaja menjebak diriku sendiri dalam pemikiran lugu bahwa semuanya bakal baik-baik saja. Tidak akan ada yang tahu bahwa aku yang menggali lubang itu saat umurku 7 tahun. Hanya menghitung waktu sampai perbatasan dinyatakan aman, kami semua boleh pulang lagi, ibuku dan aku kembali ke rumah ....

Jadi, ini tidak mungkin nyata. Sudah tiga tahun sejak lubangnya terbuka. Tujuh bulan sejak ia ditemukan. Tidak ada berita apa-apa lagi. Jadi, ini pasti bohong. Tidak mungkin ada zombie—

Kudengar, seseorang masuk melalui pintu depan—aku tidak mendengar suara pintu dibuka, hanya ada suara sepatu berjatuhan dari rak. Ginna pasti lupa menutup pintu, dan ibuku punya kebiasaan menyenggol barang-barang dengan sikunya. Dengan perasaan lega, aku berjalan keluar dan memanggil, "Ibu! Wanita mabuk itu berulah lagi—"

Namun, yang berdiri di atas genangan darah di ambang pintu itu bukan ibuku. Dan aku bersyukur itu bukan Ibu.

Wanita itu memakai daster yang basah kuyup bernoda merah gelap, seolah-olah seember darah panas telah tersiram ke badannya dari atas puncak kepala. Dari jarak sejauh ini saja, mataku berair. Aku menaikkan kerah baju untuk menutup hidung, mataku menelaah borok di kakinya dan sesuatu yang menjuntai keluar dari dalam pinggangnya. Bibirnya menyeringai, menampakkan gigi geligi tajam.

Dia bergerak maju, tangan terentang ke depan. Dua rongga kecil di wajahnya yang sewarna putih susu bebercak merah itu pernah terisi sepasang bola mata hitam legam yang dimiliki seorang perawan tua di lantai dua rumah susun. Bibirnya yang robek sebelah itu pun, dulunya, sering menyunggingkan senyum canggung saat aku dan ibuku melewati pintunya. Aku tak tahu namanya, tetapi aku ingat jelas wajahnya. Wajah itu hampir separuhnya sudah rusak sekarang.

Aku melangkah mundur dengan syok, tangan meraba-raba ke belakang. Aku sendiri tak tahu apa yang kucari.

Ketika tanganku menyentuh kursi kayu di pojok ruangan, aku melemparkannya ke si wanita tua. Itu melukainya, tetapi tidak menghentikannya. Darah mengucur dari sepasang celah yang barangkali adalah hidungnya yang bonyok, tetapi wanita itu tidak menunjukkan tanda-tanda dia merasakan sakitnya.

Aku berbalik kembali kamar, tetapi pintu tidak bisa dibuka.

"Rasakan itu! Kau tidak mendengarkanku!" Ginna berteriak menang dari dalam saat aku menggedor pintu. "Siapa yang sakaw sekarang, hah?!"

"Ginna! Dia masih 11 tahun!" Kudengar Nayna menjerit. "Biarkan Cal masuk!"

Ginna mulai meneriaki Nayna, melontarkan beragam kosakata yang seharusnya dia lempar ke mukanya sendiri. Artinya, dia takkan membiarkanku masuk.

Aku berlari menjauhi pintu saat wanita zombie sudah begitu dekat denganku. Sementara ia menabrak pintu dan membuat tiga cewek di dalam kamar menjerit kaget, aku mengarah ke dapur dan mengambil pisau daging. Rasa dingin merayapiku saat aku memanjati konter. Zombie itu mengikutiku sampai ke dapur. Dia mengabaikan pisau yang kuacungkan, lalu melontarkan dirinya ke arahku.

Di detik-detik terakhir, aku kehilangan nyali untuk menusuknya. Yang kulakukan hanya melompat ke samping dan terguling jatuh ke depan konter.

Aku bangkit, berlari lagi, berusaha keluar, tetapi terpeleset ceceran darahnya. Aku jatuh telentang. Sambil mengerjap-ngerjap, kurasakan langit berputar. Lalu, wajah rusaknya muncul di atasku. Darahnya menetes ke keningku. Wanita tua itu menjatuhkan diri ke arahku.

Sambil menjerit, aku berguling. Pisau di tanganku menyabetnya di leher.

Aku bangkit, memastikan dia sudah mati, agar aku bisa menangis jeri dan meraung-raung bahwa aku telah membunuh seseorang di usia muda. Namun, tidak. Wanita itu, dengan luka menganga baru di leher, masih menatapku dengan mata putihnya yang hampa. Tidak sedikit pun ia menunjukkan tanda-tanda kesakitan atau akan mati meski darahnya terus merembes. Tangannya mencoba meraihku.

Dengan kepala yang masih berdenyut dan pandangan berputar-putar, aku memanjati konter sekali lagi. Zombie itu tidak bergerak dengan cepat. Maka, aku masih punya waktu. Aku bergegas menaiki lemari pendingin dengan pisau berlumuran darah masih tergenggam di tangan.

Zombie itu mencakari kulkas, mencoba meraihku. Untunglah badannya kecil, tetapi aku tetap cemas kalau mendadak ia ingin melompat. Dengan sisa tenaga dan keberanian yang mengucur keluar, aku terisak dan berteriak, "IBUUU!"

Tak butuh waktu lama sampai kudengar langkah kaki berderap dari depan. Seorang pria memasuki dapur, hampir terpeleset di genangan darah. Sebuah pentungan di tangannya, sarung kotak-kotak tersampir di bahunya. Dialah Pak Radi, satpam rumah susun yang ramah padaku karena ibu sering memberinya segelas kopi dan sekotak biskuit saat jaga malam. Sekarang, sosoknya nyaris tak ada bedanya dengan pahlawan super di mataku.

Dengan rasa syukur, aku berteriak sambil terisak-isak, "Lama amat, sih, Pak!"

Menggunakan pentungan yang biasanya dia pakai untuk mengancam penghuni rumah susun bandel, Pak Radi memukul si wanita zombie seperti pemain bisbol. Jika susunan konter-konter ini adalah batas lapangan, pukulan itu home run.

Aku tidak punya pilihan selain bertepuk tangan.

Sementara aku melompat turun, Pak Radi mendorong salah satu konter dapur dan menggencet si zombie di bawahnya, menimbulkan bunyi memuakkan.

Kami tidak punya waktu untuk saling sapa atau menanyakan kabar satu sama lain karena zombie itu mulai menggeliat keluar. Pak Radi segera menarikku menjauhi dapur, melintasi ruang tengah, dan pergi ke luar. Untuk terakhir kali di ambang pintu, aku menoleh pada pintu kamar yang masih tertutup rapat, di mana Ginna, Nayna, dan Ulli masih bersembunyi di baliknya.

Hujan sudah turun dengan deras, tempias di langkan. Rembesan air membawa noda-noda kemerahan berbau anyir.

"Untuk sementara ini, bersembunyilah dulu di pos jaga di bawah. Yang lainnya sedang mengisolasi diri dalam kamar masing-masing karena tidak ada yang tahu sudah berapa orang yang kena gigit sejak semalam. Petugas evakuasi sudah dihubungi, mungkin mereka akan datang tak lama lagi." Pak Radi menarikku menuju tangga. Matanya mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Makhluk tadi tidak menggigitmu, 'kan?"

Aku menggeleng. "Ibuku—"

"Nanti kucari. Nah, sekarang—"

Berselang dua pintu di depan kami, sesosok zombie menyeruak keluar dari tikungan. Sepertinya dia datang dari tangga. Awalnya, makhluk itu berjalan terbungkuk-bungkuk dengan langkah gontai, tetapi ketika melihat kami, ia mempercepat langkah.

Meski wajahnya tertutup noda darah dan becek, serta rambut lepek basah, aku yakin zombie adalah teman Pak Radi yang biasanya ikut jaga malam. Tangannya terentang ke depan membentuk cakar, bibir terbuka seperti hendak menyuap kami dari kejauhan, dan gigi-gigi tajamnya dipamerkan.

Pak Radi menunggu, sementara aku melakukan tugasku dengan baik: menjerit heboh dan melonjak-lonjak panik.

Saat zombie itu sudah cukup dekat, Pak Radi mengayunkan pentungan dan melemparkan temannya melampaui pagar langkan. Kami buru-buru ke tepi pagar untuk mengecek, melongok ke bawah, lalu menyaksikan dengan ngeri: sisa-sisa pria zombie itu tampak seperti adonan benyek hidup di tanah, menggeliat dan masih mencoba bangkit.

Kalau itu masih kurang seram, kutambahkan satu hal lagi: tanah lapang di bawah dan koridor-koridor lantai bawah telah dipenuhi zombie-zombie lain. Kira-kira adalah belasan jumlah mereka, berdiri diam dengan tatapan hampa atau berjalan menyeret langkah seperti sekumpulan Ginna yang habis menenggak berbotol-botol miras—dan itu hanya yang tertangkap mataku. Barangkali masih banyak lagi yang tak bisa kami lihat.

"Mereka tidak bisa dibunuh!" tangisku. "Kita harus bagaimana? Ibuku mana?!"

"Kita tidak bisa ke pos jaga juga," ringis Pak Radi. Matanya menelaah dua zombie yang berdiri di depan gerbang, lalu mengamati sekitar langkan. Jarinya menunjuk pintu di belakangku. "Masuk ke sini saja."

Aku mengelap hidung dengan lengan baju. "Tapi, penghuninya—"

"Inar. Dia yang membawa wabah ini ke sini semalam, lalu menggigit beberapa orang di lantai ini. Orangnya sendiri sekarang sudah mampus ... mungkin. Yah, kuharap dia tidak bangun lagi setelah apa yang kami lakukan pada kepalanya. Intinya, tempatnya sekarang kosong."

"Ih! Aku nggak mau bersembunyi di bekas rumah zombie—"

Dari pintu yang kami tinggalkan, terdengar suara barang-barang jatuh. Zombie wanita yang mengejar-ngejarku berkeliling dapur tampaknya sudah lepas dari gencetan konter. Tanpa protes lebih jauh, aku mengikut Pak Radi membobol pintu Inar, sang zombie pertama rumah susun.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro