5. Ilyas dan Konspirasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 5: Ilyas's pov | 3978 words ||

Nenek Aya membiarkanku tinggal di rumahnya sampai senja.

Tubuhnya yang kurus dan bungkuk dibungkus kardigan tua. Aroma minyak kayu putih menguar darinya, membuatku jauh lebih tenang setelah aku meminjam toiletnya selama kurang lebih 20 menit untuk mengeluarkan isi perut karena syok.

Sementara si nenek mengoceh, terbatuk-batuk, dan menyeduh teh, aku berjalan mengitari meja makannya sambil menimang-nimang Emma yang rewel.

"—kejadiannya tahun 2126." Nenek Aya bercerita tentang sesuatu, yang kurang jelas terdengar olehku. "Lubangnya ditambal hari itu juga dan warga desa tidak tidur tenang selama sebulan. Pernah juga di tahun 2136 dan 2146—"

Sambil masih menggendong Emma, kubuntuti Nenek Aya ke dapur agar aku bisa mendengarnya lebih jelas. Dia menenteng-nenteng sendok dan piring kecil, bolak-balik ke lemari dan meja, mengambil barang-barang yang selalu dia lupakan.

Kuamat-amati tiap jendela dengan jantung berdebar, tetapi kecemasanku tidak beralasan. Semua jendela di sini punya terali dengan celah yang mustahil dilalui anak sekecilku sekali pun, dan kuncinya begitu rapat, berbeda dengan jendela dapur di rumah kami yang teralinya sudah lepas dan belum sempat dipasang kembali. Bahkan pintu belakang pun dipasangi terali dan digembok dua kali.

"—tapi tembok itu kuatnya bukan main. Sudah 70 tahun ia berdiri, keropos saja tidak, padahal diterjang badai tiap musim hujan dan dilanda gempa tahun 2154."

"Jadi, kenapa lubang-lubang itu muncul?" tanyaku. Emma bersin di depan wajahku, lalu menangis lagi. "Kalau temboknya sekuat itu, bagaimana lubang-lubangnya terbentuk? Maaf, Anda punya tisu? Adikku beringus—terima kasih."

"Ada yang membuat lubang itu. Nah, di mana tadi aku taruh sendok tehnya?"

"Sendoknya sedang Anda pegangi."

"Ah, ya." Nenek Aya mulai mengaduk. Matanya menyipit memerhatikan gelas. "Kuharap kau tidak masalah dengan teh yang agak kemanisan. Aku tidak bisa melihat gula yang kutuang."

Aku masih menggosok-gosok hidung Emma saat gelas teh diletakkan ke meja. "Tidak masalah. Jadi, lubangnya?"

Nenek Aya menyeruput teh sampai berbunyi, lalu mengangkat wajahnya dari gelas. "Lubang apa?"

"Lubang tembok."

"Tembok rumahku berlubang?"

"Tidak. Bukan. Kita sedang membicarakan Tembok W, ingat?"

"Ah, ya, betul. Tembok W pernah berlubang beberapa kali. Kejadiannya tahun 2126. Di kampung halamanku di Distrik Barat daerah pertambangan. Hari itu juga setelah ditemukan, lubangnya segera ditambal, dan warga desa tidak tidur tenang selama sebulan—"

"Iya, tadi Nenek sudah bilang itu," kataku. Kubenarkan posisi Emma saat dia sudah mulai tenang. Mungkin aroma Nenek Aya juga membuatnya lebih nyaman. Namun, tetap saja aku tidak bisa mendekatkan Emma kepada si nenek karena Nenek Aya sedang sakit. "Jadi, tadi Anda bilang lubangnya dibuat? Oleh siapa?"

"Oleh Tim Escapade, karena hanya mereka yang bisa. Para zombie di luar sana pun akhirnya tahu apa yang mesti dilakukan seiring berjalannya waktu." Nenek Aya menyeruput teh lagi. "Tak sekali dua kali orang perbatasan mengeluh zombie-zombie memakan tembok Artinya, ada yang pernah melihat itu terjadi, 'kan, Nak?"

Kalau ada yang pernah melihat itu terjadi sebelum ini, bukankah itu artinya zombie memang sudah menginfiltrasi Nusa sejak lama?

Aku ikut menyeruput teh, lalu buru-buru menyemburkannya kembali.

"Agak kemanisan, ya?" tanya Nenek Aya dengan nada sedih.

Menyebut teh ini 'agak kemanisan' sungguh sebuah kejahatan. Ketimbang segelas air teh bergula, ini lebih cocok dikatakan segelas gula yang diciprati air teh.

"Tidak, teh ini sangat enak." Aku memaksakan diri. "Jadi, apa itu Tim Escapade?"

"Apa itu?"

Aku terpana pada gelas teh. "Yang melubangi Tembok W."

"Oh, betul. Mereka yang melubangi Tembok W dari dalam dan para zombie mengikisnya dari luar. Mereka selalu melakukannya saat perayaan besar di Nusa. Padahal, mereka sendiri yang membangun tembok itu."

Aku mengaduk-aduk teh tanpa semangat. Nenek Aya tampaknya mulai melantur. Tembok W didirikan 70 tahun lalu. Orang-orang yang membangunnya tidak mungkin masih hidup sampai sekarang.

"Berarti tembok itu sudah sering berlubang?" tanyaku.

"Ya. Sejak aku anak-anak pun sudah terjadi. Sudah tujuh kali."

"Tujuh ...? Tadi Anda bilang, ada di tahun 2126, 2136, dan 2146?"

"Hm-hmm. Itu dari distrikku. Ada juga di distrik lain. Tahun 2156."

"Jadi, temboknya ... hmm ... ia berlubang tiap sepuluh tahun sekali?" Aku berpikir lagi. "Tapi, lubang terbaru ditemukan tahun ini, tahun 2169. Tidak cocok ...."

Nenek Aya mengerjap-ngerjap dari balik kacamatanya. "Lubang apa?"

"Tidak apa-apa." Aku kembali menekuri hidung Emma yang meler. "Kalau tembok W sudah sering berlubang, kenapa tidak ada yang memberitakannya?"

"Itu masalah sensitif, bukan? Hanya satu lubang, dan orang-orang tak bisa beraktivitas dengan tenang selama berbulan-bulan. Selama tidak ada hal buruk yang terjadi, ada kesepakatan bersama yang tidak terucapkan, Nak, bahwa lebih baik diam dan berpura-pura segalanya baik-baik saja."

"Tapi, sekarang tidak baik-baik saja," kataku, masih berusaha untuk tidak mendengarkan teriakan-teriakan di luar.

"Hmm." Nenek Aya mengangguk. "Mau gula di tehmu lagi?"

Pasukan anti-huru-hara diturunkan saat senja, diikuti tim medis dengan hazmat suit. Rumah-rumah digeledah, lalu semua orang didata dan diperiksa. Zombie-zombie dibakar di tempat. Yang tergigit dan yang selamat dipisahkan dalam beberapa barisan. Yang mati dikumpulkan ke dalam bak mobil truk besar untuk dikremasi.

Butuh kurang lebih 6 jam sebelum seseorang berubah menjadi zombie sejak tergigit. Namun, serangan zombie sangat brutal—hampir mustahil orang-orang yang tergigit bisa berdiri dan kabur untuk menyelamatkan diri. Sedangkan orang-orang yang selamat pun takut pada yang tergigit, maka tidak ada yang protes saat korban-korban terinfeksi dibawa pergi. Semua orang tahu para korban itu dibawa untuk dibakar hidup-hidup sebelum transformasinya dimulai.

Matahari sudah benar-benar menghilang dan lampu-lampu dinyalakan saat petugas kepolisian daerah memberi kami pengarahan mengenai jam malam. Beberapa dari mereka menemaniku dan Emma pulang ke rumah kami sendiri. Mereka membantuku memeriksa kamar atas, menutup jendela yang pecah dengan papan, membersihkan sisa yang ditinggalkan zombie dan benda tajam dari lantai, lalu memberiku arahan untuk membuat barikade di pintu. Begitu mereka akan pamit, barulah Bu Miriam pulang. Dia diantarkan sebuah mobil hitam paling bagus dan mengilap yang pernah kulihat seumur hidupku.

Bu Miriam tidak mampu berkata-kata sama sekali. Dia langsung melompat keluar mobil, meraihku dan Emma ke dalam pelukannya yang gemetar. Seorang petugas bertanya bagaimana bisa dia kemari di saat parameter sudah dipasang mengelilingi kawasan ini, lalu seseorang melambai dari dalam mobil. Siapa pun itu, dia membungkam para polisi.

Bu Miriam mengucapkan terima kasih empat kali pada seseorang di dalam mobil dengan suara bergetar hebat, lalu empat kali lagi kepada petugas kepolisian sebelum mereka pergi.

Kami membarikade pintu terlebih dahulu, lalu membersihkan kekacauan di dalam rumah: perkakas dapur yang berjatuhan, lemari yang tengkurap, lipatan baju yang mesti dicuci ulang, kursi-kursi dan meja tergeser, rak sepatu dan isinya yang menggelimpang di depan pintu, kamarku yang mirip sarang burung gara-gara para penyusup tadi siang. Para penyusup itu sudah pergi entah ke mana.

Sambil menyapu lantai, aku menceritakan pada Bu Miriam tentang kronologi tadi siang: mobil terbalik, zombie, penyusup yang mencoba menyelamatkan diri ke dalam rumah kami, zombie lagi, pria asing yang juga berusaha menyelamatkan diri ke rumah kami, lebih banyak zombie, sampai akhirnya aku diselamatkan nenek tetangga. Bu Miriam menyimak tanpa bisa menyembunyikan rasa ngeri di wajahnya. Tangannya terus mendekapku beberapa kali dan matanya memerah menahan tangis.

"Tapi penyusupnya sudah kabur," kataku menenangkannya, "dan pria satunya yang masuk ke rumah kita saat aku keluar membawa Emma ... yah, sudah tewas. Para polisi yang mengantarku kemari membereskannya dan tidak mengizinkanku melihat mayatnya, jadi pasti keadaannya mengerikan sekali."

Setelah aku selesai, Bu Miriam yang kemudian bercerita. Serangan zombie rupanya terjadi di mana-mana. Di tempat Bu Miriam bekerja, bencana itu dimulai dari Gedung Prayitna yang siang tadi mengadakan perayaan nasional, lalu tragedi itu menjalar ke tempat-tempat ramai di sekitarnya, termasuk tempat Bu Miriam sedang mengajar kursus. Dia terkurung bersama 17 anak didiknya dan seorang guru lain sebelum kemudian berhasil dievakuasi.

"Yang mengantar dengan mobil tadi siapa?" tanyaku.

"Itu teman Pak Gun." kata Bu Miriam seraya membungkuk ke arahku penuh kerahasiaan. "Orang nomor satu di Nusa."

"Presiden Angkara?" Aku membelalak. Aku tahu Pak Gun memang berteman dengan Bapak Presiden, tetapi tetap saja ... pria berjas yang sayu dan karismatik itu mengantar Bu Miriam kemari rasanya sungguh tak terbayangkan.

"Bapak Presiden kita memang terkenal suka bepergian tanpa pengawalan ketat, Ilyas, karena itulah beliau sering dikritik para menteri sekaligus dicintai rakyat kecil. Tapi, tadi beliau bersama Kepala Polisi, Randall Duma—dia juga temannya Pak Gun. Mereka ada di Gedung Prayitna dan diungsikan ke bangunan tempatku mengajar. Kita pernah diundang ke rumah Pak Randall dua tahun lalu saat perayaan tahun baru, ingat? Tapi, kau menolak datang?"

"Ah, iya ...." Aku mengerjap malu. Gara-gara aku tak mau datang, Bu Miriam terpaksa melewatkan makan malam mewah untuk menemaniku di rumah. Akhirnya, hanya Pak Gun yang datang dan membawa pulang beberapa kue mahal yang bisa dibungkusnya diam-diam menggunakan tisu.

Karena tidak mau berlama-lama di topik itu, aku kabur bersama sapuku. Aku menyapu kamar Bu Miriam dan merapikan baju-bajunya yang sempat kubongkar.

Emma tidur di ayunannya di ruang tengah. Sebelum ini, kukira Bu Miriam bakal marah besar menemukan pakaian-pakaian bagusnya dan Pak Gun kujadikan popok Emma. Namun, wanita itu hanya membelalak selama dua detik penuh sebelum kemudian tawanya meledak. Dia mengambil foto Emma dalam popok buatanku sebelum menggantinya dengan popok sungguhan.

Karena Emma bakal terbangun kalau televisi dinyalakan, kami menyalakan Radio dengan suara sayup-sayup di dapur. Serbuan zombie terjadi hampir bersamaan di distrik-distrik. Tampaknya Nusa mengalami krisis nasional di hari ulang tahunnya yang ke-70—kira-kira begitulah tiap berita merangkumnya.

Aku tengah menyibak seprai untuk menyapu ke bawah kolong ranjang Bu Miriam saat menyadari pasir di atas tempat tidur. Selimut, seprai, dan sarung bantalnya benar-benar kotor, padahal seingatku kakiku bersih saat mondar-mandir di atasnya sambil menggendong Emma tadi siang—tetapi, yah, siapa tahu? Aku sedang ketakutan karena para penyusup di luar kala itu. Barangkali aku tak menyadari telah mengotori tempat tidur Bu Miriam saat bersembunyi di sini.

Aku melepas seprai dan sarung bantalnya, lalu menyeret semuanya keluar untuk dicuci. Toh, kami bakal tidur berkumpul bertiga di kamarku malam ini.

Seharusnya aku tidak teralih dan tinggal cukup lama untuk mengecek kolong tempat tidur itu, melihat apa yang tengah bersembunyi di bawahnya.

Jam malam diberlakukan di semua tempat, termasuk wilayah perumahan kami. Tenda-tenda militer didirikan di jalan, para tentara berpatroli dan sesekali mengulangi pengumuman agar kami tetap di dalam rumah. Hukuman tembak di tempat akan diberlakukan bagi siapa pun yang melanggar. Jika kami memiliki kebutuhan mendesak untuk keluar rumah, diwajibkan melapor melalui telepon.

Ketika Bu Miriam membuatkan makan malam, aku melihat bayang-bayang memelesat di tirai jendela dekat rak sepatu. Tanpa pikir panjang, Bu Miriam menghubungi tenda pos jaga darurat terdekat. Tak lama kemudian, salah satu petugas patroli datang mengecek—wajahnya masam, matanya merah, dan dari bau mulutnya tampaknya dia baru minum kopi entah berapa cangkir.

Tidak ada apa-apa di luar atau pun gang-gang sekitar. Petugas itu memberi tahu dengan ketus bahwa barangkali itu hanya kucing atau bayangan kami sendiri di dalam rumah.

"Ini panggilan ke-16 di jalan ini, Bu," beri tahu si petugas, "dan semuanya aman saat kami periksa. Kami paham jika insiden tadi siang membuat orang-orang lebih paranoid. Mohon jangan terlalu panik dan tetaplah waspada. Barikade semua pintu, jendela, dan tingkap-tingkap. Para zombie itu tak akan menyerang kecuali melihat manusia hidup di depannya. Jadi, saya sarankan segeralah tidur."

Bu Miriam meminta maaf dua kali sebelum mengantar petugas itu keluar, lalu kembali memblokade pintu.

Sampai pukul 11 malam, kami masih terjaga dan mendengarkan radio di kamarku. Emma terbangun karena bersin, maka Bu Miriam memberinya susu agar kembali terlelap. Di luar, suara anjing menggonggong beberapa kali, dibawa oleh petugas patroli yang berjaga malam ini.

Dari berita di radio, tampaknya Garda Nasional mengambil keputusan dengan cepat. Selain mengkremasi jasad semua korban mati dan tergigit, mereka juga membakar semua zombie yang tersisa. Wilayah yang paling parah adalah Duane, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 30 kilometer dari perbatasan di tenggara. Mereka sampai harus mengungsikan semua penduduk Duane dan perkampungan di sekitarnya untuk menggunakan flamethrower dan bom.

Aku bergumam, "Mereka mengungsikan warga di perbatasan tenggara hanya dalam sehari dan langsung menggunakan senjata berbahaya untuk membasmi zombie. Bukankah ada kemungkinan beberapa orang luput dievakuasi? Bukankah itu berisiko membunuh penduduk sipil di sana?"

"Ya," komentar Bu Miriam. "Kritik Kepala Polisi—Randall Duma—memang benar. Usaha Nusa dalam pengendalian zombie pasca KPPZ dibubarkan hanya omong kosong. Mereka seperti tidak tahu apa yang mereka lakukan."

"Kenapa KPPZ tidak dibentuk ulang saja?"

"Nusa pernah memiliki pengalaman buruk dengan KPPZ, Ilyas. Hal ini tidak pernah dicatat dibuku sejarah mana pun dan hanya dituturkan dari mulut ke mulut, tetapi personel KPPZ kadang ... salah sasaran. Kau tahu, bagaimana mereka mengatasi zombie?"

"Dipenggal," kataku, mengingat isi buku pelajaran sejarah Nusa. "Dipotong-potong, dibakar, kadang beberapa bagian tubuhnya diambil sebagai sampel untuk penelitian vaksin—yang mana tidak pernah berhasil."

"Ya." Bu Miriam melipat bibirnya ke dalam. "Personel KPPZ kadang salah mengira manusia sehat adalah zombie. Ada banyak sekali kasus mengerikan di mana seseorang menyaksikan anggota keluarganya disiksa oleh personel KPPZ, yang rupanya bukan zombie sama sekali. Personel KPPZ saat itu kebal hukum karena mereka sudi berdiri di garis depan. Bahkan saat terbukti bersalah membahayakan dan membunuh seseorang yang bukan zombie ... tidak ada tindakan yang diambil untuk menghukum mereka. Jadi, kadang ada personel yang memanfaatkan itu untuk menindas rakyat sipil."

Aku hendak berkata, Ubah saja peraturannya. Namun, aku berpikir lagi ... kalau aku jadi mereka—anggota KPPZ, maksudku—mustahil aku sudi bergabung dengan risiko sebesar itu dan masih harus menerima hukuman atas suatu kelalaian yang tidak mungkin dihindari. Dibayar semiliar pun, mending ambil uangnya saja.

Aku teringat polisi yang kulihat tadi siang. Pria itu menembak membabi buta, menewaskan seseorang di dekatnya, melukai seorang anak, hampir mengenaiku dan Emma juga, sedangkan zombie yang disasarnya bahkan terus bergerak maju karena mereka tidak merasakan sakit. Berhadapan dengan monster macam itu dibutuhkan ketepatan dan kecepatan untuk mengambil keputusan. Mustahil personel KPPZ bisa menghindar seratus persen dari melukai orang yang sama sekali bukan zombie.

"Jadi, antara personel KPPZ bersenjata canggih melawan zombie ... yang jadi korban tetap saja orang tidak bersalah." Aku bergumam sendiri.

"Hmm." Bu Miriam mengangguk. "Yah ... kau tahu, Ilyas, ada peribahasa Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Apabila ada orang-orang yang berkedudukan tinggi berkelahi satu sama lain, yang menjadi korbannya orang kecil. Apabila ada dua pihak yang sama kuatnya bentrok, yang mati adalah pihak luar, orang yang tak bersenjata, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bentrok itu. KPPZ hanya bertugas membasmi zombie. Melindungi sipil tidak termasuk dalam tugas mereka."

Aku mendesah, membayangkan kengerian yang melanda saat Nusa pertama kali berdiri 70 tahun lalu. Kemudian aku merutuki diri sendiri. Lihat keadaan di luar. Sekarang ini sejarah akan terulang.

"Lalu," kataku lagi, "kenapa serangan zombie terparah ada di Duane yang jauh di perbatasan tenggara? Bukankah lubang yang berbulan-bulan lalu itu ditemukan di perbatasan sebelah barat?"

"Iya, tempat Cal dan ibunya tinggal. Entahlah kenapa bisa demikian. Oh, kuharap Isma dan Cal baik-baik saja sekarang. Sudah sebulan lebih kami hilang kontak."

"Bagaimana bisa tempat serangan zombie yang terparah hampir berseberangan dengan lokasi awal lubang ditemukan?"

Bu Miriam mengangkat bahu. "Mungkin zombie-zombie itu nebeng angkutan umum sampai ke sana?"

Kami tertawa gugup, lalu berhenti dengan tegang.

"Sungguhan?" tanyaku dengan suara parau sambil mengerut ke dalam selimut.

"Tentu saja tidak." Bu Miriam tertawa gugup lagi. Tangannya menepuk-nepuk lengan Emma yang kembali lelap. "Nah, apa pun itu, setidaknya kita aman di sini. Patroli 24 jam. Kita paling dekat dengan ibu kota yang penjagaannya paling—"

Saat itulah listrik padam. Terdengar seruan-seruan dari rumah di sekitar kami, anjing-anjing patroli melolong. Ketika Bu Miriam menyalakan lilin, petugas patroli mengumumkan perihal masalah teknis pembangkit listrik di distrik kami lewat pengeras suara, dan meminta kami untuk tidak panik.

Wajahku terasa hangat. Keringat membuat rambutku menempel ke kening.

"Hei, tidak apa-apa—ini akan segera berlalu," janji Bu Miriam. Tangannya mencari tanganku di keremangan cahaya sebatang lilin. "Setidaknya kita masih aman dari zombie saat ini."

Bu Miriam mematikan radio dan menyiapkan selimut.

Sambil memeluk lutut, kutatap Emma yang terlelap nyenyak di atas ranjangku. Tampaknya dia tertular flu dari nenek sebelah. Kusentuh keningnya untuk mengecek suhu, lalu meletakkan satu jari tangan yang lain di depan hidungnya untuk memastikan adikku masih bernapas.

Tindakanku membuat Emma bersin dan batuk dua kali. Dia pun merengek, terbangun seketika. Aku tersaruk dengan gugup. "Aku tidak bermaksud—"

"Tidak apa-apa," kata Bu Miriam. Dia mengangkat Emma ke pelukannya.

Aku memerhatikan rambut Bu Miriam yang sudah sangat panjang, tampak kusam, digelung asal-asalan. Rona gelap menghiasi bawah matanya. Pipinya lebih cekung karena sejak Pak Gun tiada, Bu Miriam hanya makan sekali sehari, tetapi dia bersikeras memastikan aku makan tiga kali sehari. Kupeluk kedua lututku sekali lagi. "Rumah berantakan hari ini ... benar-benar salahku. Maaf."

Kening Bu Miriam berkerut. "Tentu saja bukan salahmu. Kau ini bicara apa?"

Kutenggelamkan wajahku ke antara kedua lutut. Kami tidak bicara lagi selama beberapa menit kemudian.

"Wanita di panti itu ...." Bu Miriam meragu sesaat, memecah keheningan. Awalnya dia tampak ragu, tetapi akhirnya memutuskan untuk lanjut bertanya, "Bu Raiva—apa dia memperlakukanmu dengan baik?"

Aku butuh waktu beberapa detik untuk mengangguk.

"Apa dia pernah memukulmu?"

Beberapa detik lebih lama dari yang sebelumnya, lalu aku mengangguk lagi.

"Selain memukulimu ... apa lagi yang dilakuannya? Maksudku, apa dia menyakitimu dengan cara lain?"

"Dia bilang, aku yang membunuh ibuku. Saat ayahku menyerahkanku ke panti, Bu Raiva dapat cerita lengkapnya—ibuku sakit sejak mengandungku. Seharusnya aku digugurkan, tapi ibuku menolak. Aku lahir, dan beberapa bulan kemudian ibuku meninggal. Maka dari itu, ayahku tidak mau melihatku lagi."

Bu Miriam menyentakkan napasnya. "Tapi, itu bukan salahmu sama sekali, Ilyas. Tidak ada satu anak pun yang salah karena terlahir."

Aku menggeleng. "Bu Raiva bilang, itu memang salahku. Setelahnya dia memang selalu meminta maaf dan memelukku, tapi saat aku membuatnya marah, dia akan mengatakannya lagi berulang-ulang."

"Dia seperti itu pada semua anak?"

"Beberapa ...." Suaraku terdengar seperti bisikan, tetapi Bu Miriam benar-benar menyimak. "Ada anak yang lebih besar dariku—anak laki-laki. Kakinya pendek sebelah. Dia sering jatuh, dan tangisannya mungkin hanya sedikit lebih pelan dari Emma. Kalau tidak memukulku, Bu Raiva biasanya menyasar anak itu. Beliau bilang, anak laki-laki tidak boleh menangis."

"Itu salah." Bu Miriam bergeser lebih dekat di sampingku. "Laki-laki atau perempuan—keduanya sama-sama punya hak untuk mengekspresikan rasa sedih dan takutnya, bahkan dengan menangis. Di saat bersamaan pula, laki-laki mau pun perempuan—keduanya punya kewajiban untuk menjadi berani."

"Kalau menangis berarti pengecut ...."

"Salah lagi." Bu Miriam menjentik sejumput rambutku yang mengikal di dahi. "Menangis itu ekspresi sedih. Kabur itu baru pengecut. Yah, lari memang tidak ada salahnya—saat ada zombie dan kita tidak bisa melawan, misal, bodoh namanya kalau kita tidak melarikan diri. Tapi selama kau masih mampu buat bertahan, bertahanlah. Lawanlah. Ya ampun, kapan terakhir kita memotong rambutmu?"

Aku menarik diri dengan malu. "Rambut Anda juga tambah panjang, Bu Miriam."

Wanita itu berdecak. Tangannya membuai Emma. "Kapan kau memanggilku 'ibu' atau 'bunda'?" Dia kemudian tampak berpikir sejenak. "Kau tahu ... kurasa, aku lebih suka dipanggil 'mama'."

Lalu, Emma bersin lumayan keras. Ledakan ingusnya mengenaiku dan Bu Miriam seperti balon air pecah ke wajah kami berdua. Berpandangan selama beberapa saat, akhirnya aku dan Bu Miriam tertawa geli.

"Cara yang aneh untuk memanggil ibumu 'mama', Emma," kata Bu Miriam, membuatku makin terpingkal. "Pasti ketularan nenek di sebelah," katanya lagi sambil menyekakan handuk ke wajahku dan wajahnya sendiri. Bu Miriam kemudian menyiapkan satu lagi lilin. "Tunggu sebentar. Rasanya aku membeli obat flu untuk bayi, mungkin di bawah."

Kugantikan posisinya memeluk Emma yang masih tidur ayam-ayam. Sambil memerhatikan Bu Miriam yang menghilang di kegelapan lorong menuju undakan ke bawah, aku mengganjal pintu dengan buku.

Aku baru akan kembali ke tempat tidur ketika mendengar undakan berderit lagi.

"Bu Miriam?" panggilku. "Cepat sekali Anda mencari obat—"

Namun, itu bukan Bu Miriam. Itu laki-laki, pakaiannya basah dan berbau, rambutnya dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Langkahnya agak pincang. Kakinya membawa jejak kotor di lantai—tanah dan lumpur, seperti yang kulihat di seprai Bu Miriam sebelum ini. Saat dia masuk ke kamar dan terkena cahaya lilin samar-samar, aku bisa melihat luka membengkak pada kakinya dan sisa darah yang mengering pada kain celananya yang tergulung sampai lutut.

Sesuatu tergenggam di tangannya: bilah perak yang bersinar diterpa sinar lilin.

Pisau.

"Jangan berteriak atau kutusuk kau dan bayi itu," ancamnya. Aku kenal suaranya. Dia salah satu dari para penyusup yang tadi siang menerobos masuk lewat dapur. "Aku tidak bisa keluar ke jalanan—semua polisi dan anjing-anjing itu bakal mengira aku tergigit. Buka kunci pintu balkon di belakangmu itu—lekas!"

Aku malah tersaruk mundur sampai ke lemari. Lidahku tergigit saat mencoba berteriak. Sambil masih membawa Emma, aku menjebak diriku sendiri ke dalam lemari pakaian. Aku menutup pintunya, tetapi si penyusup menahannya sambil tergelak, "Anak bodoh—"

Saat itulah Bu Miriam muncul di belakangnya. Wanita itu berlumuran cairan merah di leher dan bagian depan bajunya. Rambutnya awut-awutan. Ada sesuatu yang menempel di sekeliling wajahnya, disorot temaram cahaya lilin oranye, mirip borok yang hampir membusuk. Tangannya yang berlumuran darah menarik bahu si penyusup, dan suara gerungan keluar dari mulut Bu Miriam.

"Oh, sial—" Si Penyusup tertatih-tatih berdiri, lantas berlari keluar. "Zombie!"

Tanpa kuduga-duga, zombie Bu Miriam berbalik. Tangannya menyelubungiku dan Emma dengan handuk dalam lemari.

"Tunggu di sini!" desisnya. Dari dekat, barulah aku sadar yang menempel di wajahnya itu irisan bawang. Namun, yang mengotori tangannya ini memang darah sungguhan, mengalir dari luka sayat di lengannya. Tampaknya, Bu Miriam terluka entah bagaimana, lalu menyeka darahnya dengan nekat ke wajah, leher, dan bagian depan bajunya sendiri.

Kugenggam tangannya. "Di sini saja! Dia sudah pergi!"

"Belum!" desis wanita itu. "Aku harus memastikannya membuka barikade pintu depan dan lari ke jalan, atau kita akan terjebak bersamanya semalaman!"

"Telepon—" Lalu, aku teringat listrik sedang padam. Kalau pun kami bisa memanggil petugas jaga malam, mereka takkan bisa masuk karena semua pintu dibarikade. Berteriak minta tolong pun percuma—si penyusup bersenjata, dan dia pasti telah membunuh kami semua saat orang-orang berdatangan kemari.

Bu Miriam menangkupku di pipi. "Dengarkan aku, Ilyas—kau seorang kakak! Diam di sini! Lindungi adikmu! Jangan keluar apa pun yang terjadi! Paham?"

Begitulah, Bu Miriam berlari keluar, menyusul si penyusup ke kegelapan di lantai bawah.

Jantungku berdebar-debar dan wajahku terasa kebas. Perutku memelintir. Rasa panik siang tadi kembali. Terdengar suara benda-benda berjatuhan lagi di lantai bawah, ada teriakan juga. Satu-satunya yang terlintas di kepalaku cuma: apa yang terjadi pada Bu Miriam?

Hal lain membersit di pikiranku: tanpa Pak Gun, akulah kepala keluarga utama di rumah; kenapa Bu Miriam yang ada di bawah sana?

Dengan segera, aku keluar dari dalam lemari. Aku tidak berpikir panjang. Aku hanya panik. Kusambar tempat lilin di atas nakas, kugendong Emma di tangan satunya, lalu aku turun ke bawah.

"Bu Miriam!" teriakku panik. "Ibu—"

Mataku butuh cukup banyak waktu untuk beradaptasi. Namun, aku bisa melihat pintu depan kini sudah terbuka. Lemari yang kami geser berdua susah payah untuk menahan pintu sudah terguling ke samping. Si penyusup, dengan pisau masih di tangannya, susah payah melepaskan diri dari Bu Miriam yang menggelantungi kakinya. Satu tangannya dia gunakan untuk menahan wajah Bu Miriam, terlalu takut tergigit hingga tidak menggunakan senjatanya sama sekali.

Bahkan di mataku yang tahu bahwa itu hanya pura-pura, Bu Miriam benar-benar menyerupai zombie.

Setelah mereka berada di luar, Bu Miriam melepaskan si penyusup, yang seketika terbirit-birit ke jalan. Gonggongan anjing terdengar mendekat, dan ada suara derap langkah sepatu juga.

"Bu Miriam," isakku. Kuletakkan lilin di atas meja, lalu menyusul wanita malang itu yang terbaring tengkurap di ambang pintu. Kuangkat wajahnya—sebelah matanya tertutup dan berair, barangkali iritasi karena bawang. Ada memar di bawah dagunya, dan lengannya masih merembeskan darah. Namun, selain itu, dia baik-baik saja.

"Jangan keluar ..." lirihnya linglung. "Ilyas, bawa Emma masuk ...."

Aku menariknya, berusaha menyeretnya ke dalam.

Tak pernah terpikir olehku bahwa si penyusup bakal berbalik.

Aku melihatnya berlari ke jalan; lalu kulihat dia kembali. Gelap—aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi aku bisa mendengarnya menyumpah geram. Dia bergerak, mengangkat sesuatu, mencoba menghujamkannya ke wajahku.

Bu Miriam berbalik dan mengangkat tubuhnya sedikit. Kedua tangannya merengkuhku dan Emma. Tubuhnya mengelojot, lalu merosot ke tanah. Satu tangannya mencengkram bahuku erat, erangan kesakitan lolos dari mulutnya.

Aku panik karena melihat darah mengucur dari belikat Bu Miriam. Pisau dapur tidak menancap begitu dalam hingga langsung berdenting jatuh ke tanah. Saat itu, si penyusup sudah berlari lagi ke jalan. Tembakan peringatan dilepaskan. Seorang petugas meneriakkan sesuatu tentang zombie dan menyelamatkan anak itu.

Aku baru berkata, "Tolong—" Ketika si polisi melepaskan dua tembakan. Salah satunya berdesing menembus telinga Bu Miriam.

Malam itu bak neraka bagiku.

Darah membanjiri tanah. Emma menangis di rengkuhanku. Aku berlutut di samping Bu Miriam, terpana melihat tubuhnya yang tak lagi bergerak. Rambutnya kusut masai menutupi wajah dengan noda darah, bajunya basah dan merah.

Aku mendongak saat si petugas berdiri di hadapanku.

"Bukan ...." Aku berkata dengan suara bergetar. "Bu Miriam bukan zombie ...."

Listrik tiba-tiba menyala, menerangi jalan dan bagian depan rumah kami. Aku melihatnya—polisi yang menembak Bu Miriam masih sangat muda. Rambutnya berpotongan pendek, tidak ditutupi topi, matanya kecokelatan, ada bekas luka gores kecil di atas bibirnya. Lencana pangkat Polisi Nusa-nya berkilauan di seragamnya.

Dia melihat Bu Miriam yang menggeletak dalam genangan darah dan seketika menyadari kesalahannya. Ekspresi wajahnya disaput kengerian dan sorot matanya begitu gentar. Lalu, dia menatapku.

Dengan ekspresi ketakutan di mukanya, pemuda itu mengangkat pistolnya lagi dan mengarahkan moncongnya ke keningku.

"Kau," ujarnya dengan suara bergetar. "Cuma kau saksi mata—"

"Di sana!" Seseorang berteriak. Di sisi lain jalan, dua orang polisi berlari ke arah kami bersama segerombolan anjing patroli.

Polisi muda di hadapanku buru-buru menarik senjatanya kembali, lantas berlari ke arah si penyusup menghilang. Suaranya terdengar natural saat menyerukan, "Saya akan mengejarnya!"

"Hati-hati, Aryan!" teriak salah satu petugas yang membawa anjing patroli kepada si polisi muda. Petugas yang ini lebih tua dan mengenakan seragam kamuflase militer. Dia berlutut di sampingku, menatap ngeri ke arah Bu Miriam, lalu melepaskan topi tentaranya. "Nak, kau tidak apa-apa? Kau dan adikmu terluka? Apa ini ibumu?"

Aku hanya bisa menatap hampa padanya. Di ujung jalan, tempat kedua pembunuh Bu Miriam menghilang, kudengar tembakan dilepaskan. Lebih banyak tentara melewati kami. Suara derap langkah itu masih belum berhenti, yang artinya kejar-kejaran belum usai.

Namun, malam itu sudah usai bagi Bu Miriam.

Emma mulai merengek dalam pelukanku. Adikku seolah tahu bahwa dia tak hanya terlahir tanpa ayah di sisinya, tetapi dia pun cuma dapat jatah tujuh bulan untuk tahu rasanya punya ibu—hanya 30 hari lebih banyak dari jatahku.

Seluruh perhatianku terkuras pada Bu Miriam yang terbaring di depan pintu rumah sementara tentara di sisiku masih mencoba mengangkatku. "Nak, mari masuk—"

Aku menepis orang itu. Satu tanganku masih menggenggam Emma, tangan yang lain memegangi tangan Bu Miriam.

"Bu?" Suaraku sendiri terdengar kosong. "Bu Miriam? Ibu—" Kutelan semua panggilan sia-sia itu, lalu merasakan air mataku meleleh di pipi.

"Mama ..." panggilku, tetapi wanita itu telah menggeletak di jalan dan takkan pernah mendengarnya.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Chapter ini lumayan banyak revisiannya ya, jadi ada beberapa perubahan soalnya saya kurang puas sama Escapade yang dulu |\・ω・。)

Cara matinya Bu Miriam rada beda, terus ada tokoh baru saya selipin biar tambah asyik (FYI, si polisi Aryan udah pernah di-mention satu kali di chapter 2 di sudut pandang Cal: 2. Cal dan Rumah Barunya)

Nyehehehehe

P.S. doakan saya bisa punya banyak waktu luang dan bisa update rutin lagi. Saya kangen Wattpad dan kalian semuaa  (╥﹏╥)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro