6. Cal dan Konstipasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 6: Cal's pov | 3391 words ||

Rumah Inar memang kosong—Pak Radi dan aku memeriksa sepenjuru ruangan, tetapi satu-satunya zombie yang kami temukan hanya kecoak tanpa kepala yang langsung kehilangan nyawa begitu tumitku tak sengaja memencetnya.

Kukumpulkan barang-barang tumpul milik Inar untuk dijadikan senjata—galon air yang sudah kosong, payung, vas bunga dari plastik, dan tempat sampah kecil. Benda-benda yang kira-kira bisa diayunkan untuk memukul dan dijadikan pelindung. Mataku sempat mempertimbangkan gunting di atas meja, tetapi kurasa itu ide buruk. Para zombie tidak merasakan sakit, justru kami yang sakit lambung menyaksikan darah mereka muncrat-muncrat.

Pak Radi menutupi jendela depan dengan kertas koran agar tidak ada zombie yang bisa iseng mengintip ke dalam. Pria itu menyisakan lubang di pojok koran dan mengintip keluar lewat sana.

"Kita tunggu sepuluh menit," katanya. "Kalau sampai saat itu tidak ada zombie lewat, aku akan keluar mencarikan ibumu. Tapi, kau tetap di sini."

Untuk sesaat, perutku mulas karena rasa takut. Gambaran diriku sendirian di dalam rumah seseorang yang sekarang sudah jadi zombie membuatku berkeringat dingin. Namun, di satu sisi, aku juga pingin bertemu ibuku.

"Apa yang kalian lakukan ke Inar?" tanyaku, masih memeluk galon kosong.

"Kami menjatuhkannya dari lantai empat," jawab Pak Radi tanpa menatapku. "Tapi setelahnya pun dia masih hidup. Jadi, kami langung turun mengejarnya dan memotong ... nah, kau tidak perlu tahu detailnya."

"Tidak apa-apa. Aku sudah pernah melihat film-film dokumenter itu, versi yang tanpa sensor—jangan bilang-bilang ibuku, ya." Kubenarkan posisi dudukku dengan gelisah. "Jadi, kalian memotong kepalanya saja? Aku pernah lihat di film Tragedi Desa Kusuma—desa di kaki gunung yang setengah penduduknya terinfeksi—tim ekspedisi pertama yang dikirim sudah memenggal kepala para zombie-nya, tapi beberapanya ternyata masih bergerak. Mereka akhirnya membakarnya."

Pak Radi melirikku dari sudut matanya, lalu kembali mengintip dari celah koran. "Kuadukan pada ibumu."

Aku berpura-pura tak mendengarnya. "Kalau tidak salah, jangka waktu sampai gejalanya muncul lumayan lama, 'kan? Beberapa jam? Waktu menonton film atau mendengar ceritanya, sih, tidak apa-apa. Tapi, tidak kusangka melihatnya langsung bakal semenakutkan ini."

Pak Radi akhirnya menoleh. "Kau tidak tampak takut sama sekali, Bocah!"

"Takut, kok," tukasku. "Bapak pikir, buat apa aku duduk melipat kaki begini? Biasanya aku duduk mengangkang. Masalahnya, aku tidak bisa berhenti gemetaran dari tadi. Perutku mulas. Ketakutan selalu bikin aku pingin pup dan susah pup di saat bersamaan."

Wajah Pak Radi berkedut seperti hendak tertawa, tetapi batal karena dia mungkin merasa rengutan lebih pantas untuk dikeluarkan. Pria itu lantas meraih kembali pentungannya, melilit sarung kotak-kotaknya ke sepanjang lengan sebagai perlindungan, lalu memakai sepatu bot milik Inar yang kekecilan.

"Aku akan mencari ibumu sebentar," katanya. "Kunci pintunya dari dalam, dan coba halangi dengan sesuatu. Aku bakal kembali dan mengetuk pintu empat kali. Selain itu, jangan bukakan pintu ini untuk siapa pun. Mengerti, Cal?"

"Siap, Pak. Aku tidak akan membukakan pintu untuk siapa pun."

Aku membuka pintu untuk Ulli dan Nayna.

Mau apa lagi? Aku sebelas tahun—aku menganggap larangan sebagai suruhan, dan perintah sebagai pantangan. Lagi pula, mereka tidak bersama Ginna, dan itu sudah cukup bagus buatku.

Hal buruknya, kedua cewek itu tidak bersama Ginna karena Ginna tengah mengejar di belakang mereka. Aku terlambat melihat si wanita pemabuk itu di ujung langkan, sedangkan aku sudah telanjur membuka pintu untuk membiarkan Nayna dan Ulli masuk.

"Dia tergigit!" Ulli menjerit-jerit, membuatku kebingungan untuk sesaat. "Dia tidak mau menjauhi kami!"

"Ini bukan gigitan zombie, bodoh!" teriak Ginna yang berderap mendekati kami. "Ini ... a-aku juga tidak yakin ini bekas luka apa! Tapi, aku yakin aku tidak digigit!"

Teriakannya menyaingi suara hujan. Aku yakin para zombie itu mendengar dan akan segera berdatangan.

Sebelum aku sempat menghela pintu sampai menutup, suara sirene mengejutkan kami semua. Ginna bahkan berhenti di tengah langkan dan melihat ke bawah.

Sebuah mobil polisi menabrak gerbang rumah susun sampai terbuka dan memasuki halaman utama. Mobil itu berputar-putar, menarik perhatian para zombie di lantai satu. Bahkan, zombie-zombie yang ada di lantai atas pun berduyun-duyun melompati pagar langkan dan menyerbu mobil polisi.

"Tim evakuasi." Nayna menyadarinya lebih dulu. "Ini salah satu prosedur evakuasi tahun 2097! Mereka menarik perhatian sebanyak mungkin zombie di lokasi agar penduduk yang terjebak dapat keluar dan dievakuasi!"

Nayna benar. Tak butuh waktu lama sampai zombie-zombie di rumah susun ini mengerubuti mobil. Siapa pun yang mengemudikan kendaraan itu, aku siap menjadi muridnya—dia membuat mobil berputar dalam kendali, berjungkit dan berkedut berkali-kali, begitu bising dengan ban mendecit dan sirenenya yang meraung-raung. Bahkan cuaca buruk tak menghentikannya.

Segera setelah cukup banyak zombie mengurungnya, mobil itu melaju keluar gerbang. Beberapa zombie masih tersangkut di atap dan bumpernya, sisanya mengikuti mobil itu dengan patuh.

Aku berlari melintasi lorong dan menuruni tangga. Harapanku terangkat naik. Nayna dan Ulli mengekoriku sambil memekik-mekik karena Ginna membuntut.

Dari gerbang yang kini kosong, masuklah tiga buah bus hijau loreng cokelat. Beberapa orang berseragam kamuflase melompat turun dengan senjata siaga.

Gerbang ditutup dan dirantai untuk menahan zombie dari luar. Para tentara menyebar ke rumah susun. Salah satunya mengumumkan dengan pengeras suara agar orang-orang tetap berada di dalam rumahnya dan petugas yang akan mendatangi mereka.

Aku diperiksa dan dinyatakan bersih lebih dulu—bajuku baik-baik saja, hanya bernoda darah, dan di tubuhku tidak ditemukan bekas gigitan apa pun, hanya bekas luka gores yang kudapatkan saat berlari di dapur. Intinya, infeksi hanya terjadi melalui gigitan. Maka, selama tak ditemukan bekas gigitan atau luka robek apa pun, aku aman.

Nayna dan Ulli pun dinyatakan bersih dengan cepat. Namun, Ginna tidak seberuntung itu. Ada lubang-lubang kecil di lengan atas dekat sikunya, seperti luka gigit dari taring-taring yang gagal menancap dalam. Luka itu kecil sekali dan sulit ditemukan kecuali dilihat dari dekat. Meski tidak berdarah dan tidak dalam, Ginna yang menjerit-jerit tak terima tetap diseret menjauhi bus dan dikurung di dalam bilik pos jaga.

Butuh waktu lima belas menit sampai aku bertemu dengan Pak Radi dan ibuku lagi. Ibu menghambur ke arahku, memelukku penuh syukur, lalu memukuliku dengan kasih sayangnya karena membuatnya cemas setengah mati. Padahal menurutku, dialah yang hilang dan tersesat, bukan aku.

Rupanya mereka terjebak di WC umum di bagian belakang rumah susun bersama dua wanita, satu anak kecil, dan satu pria tua. Mereka tak bisa keluar karena serba salah dengan anak-anak dan satu manula itu—ditinggalkan tak tega, diajak lari keluar mustahil. Namun, keadaan lebih baik sekarang. Semuanya dinyatakan bersih.

Ketika kami berada di dalam bus, seorang tentara yang berdiri menghadap kami di samping sopir memberi pengarahan.

"Kalian akan dibawa ke rumah sakit khusus lebih dulu untuk pemeriksaan lebih lanjut—hanya formalitas. Meski kalian yang berada di bus-bus ini tidak memiliki bekas gigitan atau gejala awal, beberapa di antara kalian sempat melakukan kontak langsung dengan zombie dan memiliki jejak darah mereka—mohon tenang!" Suaranya mengeras saat penumpang bus berkasak-kusuk. "Agen penginfeksinya bukan berada dalam darah, melainkan lendir yang dihasilkan gigi para zombie itu. Taring mereka berfungsi sebagai penginjeksinya ke dalam tubuh. Ke aliran darah, ke saluran makanan, bahkan—meski jarang terjadi—saluran pernapasan. Maka dari itu, kalian akan disterilkan lebih dulu sebelum diantar ke penampungan sementara."

Tentara itu masih bicara saat Pak Radi berbisik pada ibuku. Aku menguping. "—aku masih paham dengan protokol keamanan mereka ini, tetapi cara mereka mengevakuasi kita barusan tidak seharusnya digunakan. Antara dua kemungkinan saja, entah keadaannya sudah sangat parah, maksudku dalam skala nasional; atau orang-orang ini tolol sampai ke tulang-tulang."

"Kenapa?" tanyaku.

Pak Radi menatapku tanpa ekspresi. "Itulah, Cal, kalau kau cuma menonton film berdarah tanpa sensor untuk keren semata, tapi tidak mempelajari polanya."

Ibu berdengap. "Cal! Jadi, kau menontonnya?! Padahal sudah kularang!"

"Hei, kita membahas zombie sekarang." Aku menyela. "Jadi?"

"Mobil Umpan tadi," kata Pak Radi sambil menunjuk kaca jendela bus yang diburamkan air hujan, "tidak boleh digunakan di fase seawal ini. Mobil Umpan berbahaya digunakan jika jumlah zombie masih kurang dari 20% dibandingkan jumlah keseluruhan penduduk di zona ini—justru membahayakan penduduk yang tidak tertular. Maksudku, lihat daerah di luar gerbang! Perumahan, ruko-ruko, toko-toko kecil—mereka bisa terancam jika puluhan zombie di rumah susun ini digiring keluar menggunakan Mobil Umpan! Mobil Umpan hanya efektif jika perbandingan jumlah zombie dan penduduk di suatu zona sudah mencapai 90:10."

Ibu bergidik ngeri. "Artinya jumlah zombie di lingkungan ini sudah sebanyak itu dan kita tak mengetahuinya—begitu maksudmu?"

"Itu kemungkinan pertama. Atau, seperti yang kubilang tadi, tim evakuasi yang mendatangi kita ini tololnya—" Pak Radi menegakkan badan saat salah satu petugas berseragam kamuflase itu melintas. "Terima kasih untuk kerja kerasnya, Pak. Sangat hebat—luar biasa hebat! Anda sekalian tak terkira jasanya untuk menyelamatkan kami di sini, di cuaca buruk macam ini."

Saat tentara itu memberi senyum kecil serta anggukan singkat dan berlalu, Pak Radi kembali membungkuk dan berbisik kepada kami, "Tololnya sampai ke tulang-tulang."

Segalanya aman sampai senja. Kami dalam perjalanan menuju fasilitas khusus yang akan memeriksa dan mensterilkan kami. Beberapa penumpang menjaga jarak karena masih cemas perihal noda darah di pakaian atau sepatu orang di sebelahnya.

Hujan tinggal rintik-rintik saat kami melintasi lahan gambut dan padang-padang rumput sunyi.

Saat bus-bus akhirnya berhenti, kami berada di depan perkampungan sepi. Rumah-rumah kayu berdempetan di satu sisi jalan, sebuah lapangan sepak bola penuh rumput liar di sisi lain. Cahaya senja menggantung di atas salah satu gawang, dan aku bisa melihat Tembok W menjulang di kejauhan. Aku tersentak. Ini dekat sekali dengan kampung halamanku. Distrik Nava.

"Sudah hampir 6 jam kita di perjalanan, apakah aman? Benar-benar tak ada yang terinfeksi di antara kami?" Seorang pria gemuk pendek berjalan ke arah sopir, kepalanya mengedik ke arah jendela, menunjuk ke seberang lapangan di mana rumah lamaku berada. Distrik Nava barangkali hanya beberapa belas kilometer lagi kalau kami ambil jalan pintas lewat hutan, atau 30 kilometer lagi jika pakai jalan beraspal melalui sawah-sawah dan padang ilalang. "Dan apakah fasilitas khusus ini aman di sini? Kukira, perbatasan sudah tidak aman!"

Terjadi perdebatan kecil untuk beberapa lama. Para tentara yang mengevakuasi kami berjanji fasilitasnya tidak berada di perbatasan, dan kami hanya singgah di sini untuk istirahat. Aku melihat dari jendela belakang, penghuni bus-bus lain pun tampak ramai. Barangkali mereka meributkan hal serupa.

Kemarahan orang-orang di dalam busku masih belum surut sampai kemudian tim evakuasi mulai membagi-bagikan nasi kotakan. Tidak ada yang lebih efektif meredam kemarahan massa selain makanan gratis.

"Tunggu." Pak Radi yang kali ini berdiri. Jarinya menunjukku. "Anak ini—dan beberapa penumpang lain—punya bekas noda darah zombie di pakaian mereka. Kami juga belum disterilkan seperti arahan sebelumnya. Kenapa kami diberi izin untuk makan?"

Aku memberengut. Ibu sudah mengelap semua noda di badanku pakai tisu, jadi seharusnya tidak apa-apa. Pak Radi bicara yang tidak penting seperti itu, bisa-bisa aku tidak dikasih makan sama para tentara ini.

Untunglah para tentara itu mengabaikannya. Sebagian besar penumpang juga. Kami lelah dan lapar. Mau bagaimana lagi?

Namun, bisa kulihat ada beberapa penumpang di belakang yang ragu-ragu menyentuh makanannya gara-gara omongan Pak Radi.

"Ini makin aneh." Pak Radi menggerutu seraya kembali duduk. Dia memelototiku. "Cal, kau jangan makan dulu."

Dengan jengkel, aku berdiri.

"Aku mau pipis." Aku memberi tahu ibu. "Dan eek."

Pak Radi menoleh ke Ibu. "Anakmu memang tidak punya sensor di mulutnya?"

"Makanya aku menonton film tanpa sensor," sahutku, yang langsung mendapat jeweran ibu.

"Tampaknya tidak ada toilet umum di sini, Cal," kata Ibu. Matanya mengamati perkampungan yang seolah tidak berpenghuni. "Dan Ibu ragu ada yang mau mengizinkanmu memakai toilet mereka. Orang kampung ini sepertinya benar-benar waspada terhadap kabar zombie. Matahari belum terbenam dan mereka sudah tidak berkeliaran di jalan."

"Gampang." Aku menggeliat keluar melewati ruang sempit antara kaki ibu dan kursi Pak Radi. "Aku bisa pipis di bawah pohon."

"Kau yakin anakmu ini anak perempuan?" tanya Pak Radi pada Ibu.

Aku jadi tersulut. "Cowok saja boleh pakai rok, kenapa perempuan tidak bisa pipis di pohon?"

Pak Radi mengernyit. "Mana ada cowok pakai rok?"

"Kain kotak-kotak yang kaupakai tiap akan jaga malam itu apa kabar?"

"Itu sarung, bocah nakal!"

Aku memelesat cepat sebelum disembur Pak Radi atau dicubit Ibu. Badanku lumayan kecil, jadi tak ada yang memperhatikanku melompat turun dari bus. Sementara aku memasuki gang di antara rumah-rumah yang hampir berdempetan, kulihat para petugas evakuasi sendiri berbondong-bondong keluar dari bus, mungkin ingin pup juga.

Beberapa pintu dan jendela perumahan ini tertutup rapat, tetapi kemudian kulihat salah satu rumah kayu yang pintu belakangnya terbuka. Ada sepeda roda dua terparkir sembarangan di depannya.

"Permisi," kataku. Rumah itu gelap. Tidak ada yang menyahut panggilanku. Pemilik rumahnya mungkin sedang pergi ... atau sudah tidur. Di atas meja makan, kulihat berpiring-piring makanan tersaji. "Pinjam toilet, ya. Nanti kukembalikan. Terima kasih."

Mungkin aku akan dapat masalah, tetapi aku butuh cepat. Aku juga risih kalau harus pup di pohon. Aku belum terlatih menggali lubang dan menutupnya seperti kucing. Semarah apa pun pemilik rumah ini, aku bisa menghadapinya nanti.

Jadi, sebelum ini aku sempat menyinggung kalau ketakutan bisa membuatku pingin pup dan sembelit di saat bersamaan. Dorongan itu ada, tetapi ia segan keluar.

Mungkin aku bertapa di toilet orang selama setengah jam atau lebih. Yang jelas, saat aku keluar, cahaya oranye senja sudah jadi ungu. Sebentar lagi malam turun, dan lampu rumah ini masih belum juga dinyalakan.

"Halo?" Aku berseru, lalu memberanikan diri masuk ke ruang tamunya. Di samping kursi kayu ruang tamu, satu pintu terbuka, menampakkan ujung kasur rendah di dalamnya. "Permisi. Aku tidak mau terkesan tidak bertanggung jawab setelah membuang kotoran di rumah kalian. Jadi—"

Napasku tercekat. Jantungku mungkin sempat berhenti juga. Di dalam kamar tidur itu, seorang pria terkapar tengkurap di lantai dengan darah mengering di punggung bajunya. Di kursi di hadapan meja rias peyot yang cerminnya retak-retak, seorang wanita mati dengan dahi berlubang.

Aku berlari kembali ke arah dapur, mendapati makanan di atas meja itu sudah dingin, kue-kuenya sudah basi. Di samping kompor minyak di sudut ruangan yang sebelum ini luput dari perhatianku, karena sudutnya tak memungkinkanku melihatnya dari pintu, seorang anak laki-laki duduk terjepit. Dahinya berlubang dan berdarah seperti wanita di depan meja rias.

Pontang-panting sampai menabrak sepedanya, aku berlari keluar. Rumah-rumah lain, kusadari, sunyi karena alasan yang sama. Lampu-lampu di dalam rumah padam, walau beberapa lampu teras ada yang masih menyala, tetapi jumlahnya sedikit sekali. Penghuninya bukannya mengurung diri karena takut zombie, melainkan karena mereka sudah terbunuh, barangkali di pagi hari saat orang-orang baru akan mulai beraktivitas.

Aku baru akan menghambur keluar kampung itu saat mendengar suara ledakan. Suaranya seperti petasan, tetapi lebih mengejutkan, membuatku jatuh tiarap secara spontan. Tidak hanya sekali. Kedengarannya bertubi-tubi.

Dengan telinga yang agak kebas dan langkah gontai kebingungan, aku mencapai dinding rumah di dekat jalan beraspal. Dari balik tembok, aku mengintip.

Para petugas yang mengevakuasi kami telah mengangkat senjata, bukan untuk memerangi zombie, melainkan menembaki penumpang bus yang menjebol kaca dan mencoba keluar.

Saat itu, sudah banyak sekali tubuh-tubuh menggelimpang, beberapanya masih tersangkut di bingkai jendela. Ketiga badan bus yang dicat hijau-cokelat itu kini mendapat tambahan corak merah.

"Buang-buang peluru saja." Kudengar salah satu petugas evakuasi itu berkata. "Sudah diberi jalan mati yang lebih mudah, masih saja bertingkah."

Pria tentara di sebelahnya, yang tadi memberi kami pengarahan di bus, menyentuh sesuatu di telinganya, lalu bicara, "Sudah selesai, Pak."

Hening.

"Baik," kata si pria tentara lagi. "Koordinat lokasi akan segera kami kirimkan ke Pusat Krematorium."

"Berapa tim yang kira-kira akan dikirim untuk membakar mayat-mayat ini dan penduduk di dalam kampung itu?" tanya temannya yang tadi bicara sebelum ini.

Aku tidak mendengar jawabannya. Aku langsung berjalan mundur perlahan. Memutari rumah tempatku bersembunyi, aku mencoba keluar lewat gang satunya. Namun, ada dua tentara lain di situ.

"Kenapa kita melakukan ini?" bisik salah satunya. Suaranya bergetar. Tangannya gemetaran di senapan yang baru dia pakai untuk menembaki orang-orang dalam bus. "Kukira, orang-orang ini bersih."

"Mungkin memang bersih, mungkin juga tidak. Diam saja kalau kau ingin mempertahankan pekerjaanmu," sahut temannya, yang juga tampak tegang. Keringat mengucur di sisi wajahnya. "Masalahnya sudah hampir 6 jam kita berkendara dengan orang-orang ini. Kita tidak bisa ambil risiko. Kalau ada salah satu saja di antara mereka yang ternyata sudah terinfeksi, senapan-senapan ini tidak bakal mempan, dan kita juga bakal tertular."

"Bagaimana dengan fasilitas khusus yang mau kita tuju untuk memeriksa orang-orang ini?"

"Itulah masalahnya!" Temannya mendesis, masih berusaha menekan suara. "Tempat itu sebetulnya sudah jadi zona terinfeksi pagi tadi, tapi pemerintah tidak bisa menyiarkan ini agar tidak ada kepanikan massal. Lagi pula ...." Pria itu menunduk lebih rendah, jarinya menunjuk ke arah tentara yang masih bicara lewat alat komunikasi di telinganya. "Kapten bilang, kalau orang-orang ini dicatat sebagai korban terinfeksi, dan kita membunuh semuanya, kita dapat ... bonus. Dan menurut perhitungannya, itu lebih baik daripada ambil risiko membawa orang-orang ini ke fasilitas lain yang jaraknya 12 jam dari sini."

"Dasar gila ...." Si pria tentara mencengkram senapannya lebih erat. Dia menoleh untuk menatap temannya, tetapi kemudian pandangannya mendapatiku di balik tembok kayu. Temannya ikut berbalik.

Aku pun membeku di bawah tatapan keduanya, yang tampak sama terkejutnya.

Mulutku terbuka lebar, jeritan panik hampir lolos dari tenggorokanku. Namun, si pria tentara buru-buru menaruh satu jari ke bibirnya, menyuruhku diam. Temannya melirik ke arah kapten mereka, lalu memelototiku, kepalanya mengedik ke dalam perkampungan, mendesakku pergi.

"Lari," desis si pria tentara, yang segera kuturuti. Aku kembali bersembunyi ke dalam salah satu rumah. Keringat dingin membasahi sekujur badanku.

Dari jendela, aku mengintip. Para tentara mulai bergerak, menyisir wilayah sekitar bus, memeriksa orang-orang, lalu menembaki yang masih bergerak.

Dua bus baru datang tak lama kemudian. Tim evakuasi pun menaiki bus baru itu, meninggalkan kami semua di depan perkampungan yang juga telah mati.

Bus itu menjauh, lalu menghilang di tikungan jalan. Dengan pikiran yang nyaris kosong, aku mendekati busku dan mengais di antara tubuh-tubuh dan genangan darah. Dan muntahan.

Air mataku keluar saat tanpa sengaja aku menginjak sebuah tangan, dan pemiliknya adalah Ulli, teman sekamarku di rumah susun. Dia tampaknya tidak terkena tembakan. Darah yang mengaliri lehernya adalah darah ibunya, yang memeluknya, dan tertembak di kepala. Ulli sendiri mati dengan mata membelalak, bawah matanya keunguan pucat, dan ada busa mengalir dari sudut bibirnya.

Nasi kotakan itu ....

Karena itulah ada banyak sekali bekas muntahan di sini. Makanan ini ... beracun? Jadi, pria tentara itu memang sudah merencanakannya jauh sebelum kami masuk bus? Sejak awal, kami memang tidak akan dibawa ke mana-mana kecuali kematian ....

Aku mengais lagi, lalu menemukan Pak Radi yang menelungkup dengan darah bersimbah di baju dan rambutnya. Tubuhnya jatuh begitu saja saat aku menariknya, matanya memelotot ke langit, membuatku histeris.

Lalu, kutemukan ibuku, tersembunyi di bawah badan Pak Radi. Tangisanku meledak nyaring saat kudapati dia masih berkedut, matanya terbuka, dan tangannya bergerak perlahan untuk menutupi lubang berdarah di lehernya.

Aku menjeritkan sesuatu yang tak bisa kudengar sendiri. Aku memanggilnya, meminta tolong, dan memohon-mohon. Segala hal kuteriakkan. Namun, kami dikepung lahan kosong dan perkampungan yang sudah mati. Tidak seorang pun mendengarku.

Kurasakan satu tangan ibu yang dingin di wajahku. Bibirnya terbuka, tetapi suaranya tidak keluar. Matanya berair, cepolan rambutnya lepas, dan wajahnya terlihat lelah. Tangannya merayap ke belakang kepalaku, mencoba menarikku tanpa tenaga. Aku membungkuk patuh, menerima kecupan terakhirnya di keningku.

Aku duduk diam di sana, menunggu sampai kehidupan meninggalkan matanya.

Sudut benakku yang kekanak-kanakan membujukku untuk mengejar bus tim evakuasi, memohon-mohon agar dikasihani. Aku butuh tempat untuk menangis, tangan orang dewasa untuk memelukku, mulut seseorang untuk mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja dan ibuku hanya tidur sementara.

Aku ingin dibawa pergi dari sini, dibaringkan di atas kasur, diselimuti. Besok paginya aku terbangun, ibuku akan kembali.

Aku kembali memasuki perkampungan itu, lalu memukuli tembok kayu salah satu rumah. Tanganku sakit, tetapi aku tetap menghantamnya—ibuku sudah mati.

Kutendangi tiang-tiang kayu di beranda—pertama ayah, sekarang ibu, lalu Pak Radi.

Aku berlari ke terasnya, terpeleset bekas air hujan yang tempias. Sambil menelungkup di sana, aku berteriak sejadinya—aku sendirian.

Lalu, kudengar suara dengung mesin. Mirip suara bus tadi. Lalu, aku teringat bahwa si tentara telah memanggil tim dari Pusat Krematorium—tempat jasad-jasad biasanya dibawa untuk dibakar—untuk membereskan keadaan di sini.

Kuambil sepeda yang terparkir di belakang rumah yang tadi toiletnya kupinjam. Dengan kepala yang berat luar biasa, aku bersepeda kembali ke deretan bus. Tanpa melirik mayat ibu sedikit pun, aku mengambil sarung robek-robek yang meliliti lengan Pak Radi, juga pentungannya. Kuseka darah dari pentungan itu, lalu kuikatkan ke pinggang dengan sarung kotak-kotaknya.

"Terima kasih, Bapak," ucapku seraya menurunkan kelopak matanya. "Kau akan masuk surga bersama ibuku."

Saat suara dengung mesin mobil kian dekat dan sorot cahaya muncul di jalanan di belakangku, aku langsung menaiki sepeda dan mulai mengayuh—jangan pikirkan Ibu.

Malam turun. Aku tak bisa melihat jalan dengan jelas. Beberapa kali aku melenceng, masuk sawah, terguling ke rumput basah ... jangan pikirkan Ibu.

Aku melanjutkan bersepeda, melintasi kegelapan dan udara dingin menggigit.

Jangan pikirkan ibu jangan pikirkan ibu jangan pikirkan ibu jangan pikirkan ibu janganpikirkanibujanganpikirkanibujanganpikirkanibujanganpikirkanibu

Sebelum kuketahui, aku sudah memasuki lingkungan yang rasanya sudah seperti bagian dari diriku sendiri—rumah-rumah yang didominasi terpal dan papan reyot, jalan retak-retak, pohon-pohon meliuk dan semak tumbuh sembarangan, pagar-pagar patah, tumpukan sampah, bau makanan ternak dan kotoran hewan-hewannya, lampu-lampu minyak yang menggantung dan beberapanya sudah tak lagi dinyalakan ....

Namun, beberapanya menyala.

Aku mengerem sepeda di depan sebuah rumah mirip kubus-kubus dari triplek yang ditumpuk tinggi serampangan. Jendela lantai duanya terbuka, cahaya memancar dari dalam, dan ada seorang pria tua bangka terbahak-bahak saat melihatku dari sana.

"Nah." Serge meludah dari jendelanya. "Lihat siapa yang kembali."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

Saya, lho, nda pernah bohong
(♡˘︶˘♡)


Btw, ada yang beda lagi lho, dari yang versi lama. Di versi lama, alasan para tentara menembaki warga rumah susunnya Cal nggak saya bahas, bahkan sampai ending pun gak saya sentil sekali pun karena saya UHUKlupaEHEM.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro