7. Ilyas dan Kurir Kiamat Zombie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 7: Ilyas's pov | 3967 words ||

Tak lebih dua minggu yang lalu Bu Miriam pergi, kami menguburkannya di halaman belakang rumah di malam tahun baru, tetapi aku tidak bisa berkabung lama-lama. Tiap kali aku tidur lebih lama di atas ranjang, berselimut sambil terisak-isak, Emma akan menangis lebih keras.

Sudah empat tetangga yang menawarkan diri untuk memanggil petugas sosial atau memasukkan kami ke panti asuhan sejak Bu Miriam tiada. Aku selalu menolak—aku tahu rasanya masuk panti. Aku akan bertemu dengan Bu Raiva lainnya di panti mana pun, dan aku takut aku tidak akan diadopsi sepaket dengan Emma—kami bukan saudara kandung.

Lagi pula, kami masih punya Nenek Aya. Si nenek kini tinggal sendirian. Anaknya yang masih bujangan tidak ada kabarnya lagi sejak serangan zombie hari itu. Kini beliau hidup sendiri, bertahan sehari-hari dengan jatah dari pensiunan mendiang suaminya yang selalu dikirim oleh pos tiap bulan.

Ada semacam hubungan mutualisme di antara kami—aku mengurus si nenek di hari tuanya dan (terutama) mengatur kadar gula di makanan/minumannya; sedangkan Nenek Aya membiayai kebutuhan sehari-hariku dan Emma. Aku mulai terbiasa dengan ocehan melanturnya, dan para tetangga memaklumi hubungan ini.

Sejak serangan zombie terjadi, krisis nasional berlangsung. Karantina di rumah dan jam malam diperpanjang sampai batas waktu tak menentu, tenda-tenda militer didirikan di semua ruas jalan, angkutan umum dilarang beroperasi, dan hampir semua kegiatan jual-beli harus dilakukan melalui organisasi kurir yang disetujui pemerintah.

Rumah demi rumah mulai membangun pelindungnya masing-masing—pagar tinggi, jebakan-jebakan di halaman, palang pintu. Sudah tidak sedikit orang-orang yang menyimpan senjata api dalam rumah. Saluran televisi dan radio pun mulai berkurang, tetapi berita penyerbuan zombie masih tersebar. Beberapa perkampungan telah lumpuh total.

"Tempat teraman adalah perbatasan," kata Nenek Aya saat aku mengunjunginya suatu siang. Di kursi goyangnya, dia memangku Emma. Sementara aku membuatkan teh untuknya. "Dalam keadaan seperti ini, zombie-zombie itu akan mendatangi tempat yang ramai oleh manusia—iya, 'kan, Nak?"

Aku menaruh cangkir teh di atas meja di samping kursinya. "Nenek, Anda ingin aku memesankan sup seperti kemarin atau bubur saja?"

"Ya, nasi sudah menjadi bubur. Yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Kita bisa mengurung diri dalam rumah, atau lari ke perbatasan seperti kataku tadi."

"Bubur, kalau begitu." Aku menelepon. Sejak sebulan yang lalu, bisnis jasa kurir jadi berkembang pesat. Orang-orang takut keluar rumah, maka mereka memesan segalanya lewat telepon.

Para kurir kini jadi semacam kelompok eksklusif karena mereka mendaftar untuk pekerjaan yang secara harfiah menggantungkan nyawa mereka. Mereka diberi izin untuk membawa senjata, mendapat subsidi besar untuk kendaraan dan seragam khusus, kadang mendapat pengawalan langsung dari personel militer saat bertugas, dan tak jarang pula personel militer sendiri yang merangkap jadi kurir.

Sebut aku gila—aku sempat mempertimbangkan untuk mendaftar jadi kurir sehari setelah kematian Bu Miriam. Pak Gun dan Bu Miriam tidak meninggalkan pensiunan, hanya sekumpulan kenalan yang sesekali mengirimi kami uang sebagai belas kasih. Emma masih butuh susu formula khusus, baju, dan ... yah, segala hal.

Aku merenung di kamar mandi hampir dua jam, mempertimbangkan seberapa tinggi kemungkinan aku bisa bertahan hidup kalau aku jadi kurir. Aku pada dasarnya buta arah karena jarang keluar rumah. Aku tidak bisa naik kendaraan apa pun. Kemungkinan besar, aku akan kesasar ke sebuah gang di hari pertama dalam perjalanan menuju warung dan dicamil zombie hidup-hidup. Aku bakal meninggalkan Emma sendirian di bawah asuhan Nenek Aya yang rabun dan pikun.

Yah, pada akhirnya, Nenek Aya punya alternatif lain. Gaji pensiunan mendiang suaminya lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari kami bertiga, dan—seperti yang sudah kusinggung sebelum ini—Pak Gun dan Bu Miriam punya banyak kenalan yang hebat dan murah hati.

Seperti kemarin, misal, saat Kepala Polisi sendiri—Randall Duma—menelepon ke rumah kami dan mengirimiku berbagai macam jebakan zombie yang mereka kembangkan di ibukota. Dia mengirimkan beberapa pesuruhnya untuk memasangnya langsung di halaman belakang serta pintu depan.

"Nenekku dulu pernah bercerita tentang sesuatu yang ajaib," kata Nenek Aya lagi. "Mirip telepon, tapi bukan telepon. Mereka menyebutnya internet. Satu kali klik, dan segalanya bisa kau dapatkan. Kurir langsung datang. Kita bahkan bisa menghubungi orang-orang yang jauh sekali."

"Nenek, aku mau mengganti popok Emma." Kuambil alih adikku dari pangkuannya. "Nenek tidurlah. Nanti kalau buburnya datang, akan kubangunkan."

"Ya, ya, nenekku juga ikut membangunnya. Dia bilang, dia menyesal. Sistem itu melumpuhkan semua yang telah dibangun umat manusia. Tidak ada lagi internet. Pesawat-pesawat pun dibatasi. Mereka bahkan merevisi sejarah. Masalah zombie membuat mereka kehilangan akal."

Nenek Aya masih mengoceh, tetapi aku berhenti mendengar. Selama setengah jam berikutnya, aku bergulat dengan Emma yang menolak berganti popok dan bersikeras menyarangkan kakinya di wajahku.

Kurir tidak selalu ramah. Karena hampir kebal hukum, disokong orang militer, dan punya izin menggunakan senjata, beberapa dari mereka memanfaatkannya dengan maksimal. Ada yang meminta bayaran tak masuk akal, ada yang menjarah rumah-rumah yang mereka datangi, ada yang memaksa masuk dan berbuat jahat—terlebih jika penghuni rumah hanya perempuan dan anak-anak.

Mereka biasanya pakai kartu 'aku membahayakan hidupku di luar sini, jadi biarkan aku masuk'. Meski ada sistem ulasan dan aduan pelanggan, 30% kurir tetap lolos dari jerat hukum dengan memeras klien yang jadi korbannya.

Cara paling aman bagiku menangani itu adalah meninggalkan uang di bawah keset kaki, lalu menunggu di depan pintu yang terkunci. Aku hanya perlu memberi tahu si kurir dari balik pintu untuk meletakkan pesanan di luar dan mengambil uang di bawah keset, lalu kuambil barangnya setelah mereka pergi.

Cara itu berhasil jika kurirnya lumayan ramah. Kadang, beberapa kurir ngotot beralasan kalau uangnya kurang atau mengancam bakal merusak barang pesanan. Maka, aku harus menembakkan pistol dengan peluru kosong sampai dia pergi. Pistol ini kudapat dari Randall Duma sendiri. Tidak berbahaya, tetapi ia membuat bunyi keras yang akan menciutkan nyali si kurir.

Aku memantau keadaan lewat jendela selama dua menit, membuka pintu rumah si nenek dengan jantung berdebar, lalu cepat-cepat menaruh uang di bawah keset kaki. Kututup pintu kembali dengan tubuh yang sudah basah kuyup oleh keringat dingin.

Aku selalu gemetar jika menunggu kurir di depan pintu. Sambil berharap aku tidak perlu memakai ancaman pistol dengan peluru kosong, aku memelototi pintu dan terus dihantui bayang-bayang Bu Miriam yang mati di depan pintunya sendiri.

"Diam dulu, Em," kataku saat Emma bergerak-gerak di pangkuanku. Adikku menggeliat, merosot, mengerut sampai kunaikkan lagi dan dagunya bersandar di bahuku. "Kalau tidak mau diam, kau bakal kukembalikan ke pangkuan si nenek."

Adikku pintar. Dia mengerti dan langsung diam.

"Aku ingat saat harga mi instan masih terjangkau uang jajan anak sekolahan," kata suara di belakangku, membuatku berkedut kaget. "Harganya sempat melejit di zaman ibuku karena krisis."

"Nenek duduk saja di dalam," kataku buru-buru. Kusimpan pistol ke bawah kakiku. "Di sini berbahaya dan dingin Masuklah, Nek. Tidur, atau nonton tv."

"Kenapa kau tidak sekolah, Nak?"

Aku melipat bibir ke dalam. "Aku tidak begitu suka ditempatkan di antara banyak orang. Lagi pula, Bu Miriam mengajariku."

"Ah, Miriam yang baik hati." Nenek Aya mengangguk-angguk, lalu duduk membungkuk di sisiku. Kaki-kakinya yang kurus menyilang. "Dia senang sekali saat bercerita bahwa dia dan suaminya akan mengadopsi seorang anak."

Aku mengedip untuk melenyapkan air mata. "Itu aku, Nek."

"Namanya kalau tidak salah Ilyas," lanjutnya begitu saja. "Menurutmu, di mana anak itu sekarang?"

"Aku Ilyas."

Nenek Aya mengerjap-ngerjap. Dari balik kacamata tebalnya, matanya memicing, mengamat-amatiku. Dia melepas kacamatanya sebentar, mengelapnya dengan dada bajunya, dan memasangnya kembali. Si nenek lalu terbahak sampai terjadi hujan lokal ke wajahku. "Oh, kau Ilyas, toh! Kukira kau Emma!"

"Ini Emma!" Kusodorkan Emma ke depannya sampai adikku merengek protes. "Emma adik perempuanku, umurnya belum setahun! Aku Ilyas, yang diadopsi!"

"Oh, betul!" Si nenek masih tergelak. "Ya, ampun—kau cepat sekali besar!"

Pikun si nenek tampaknya sudah akut. Padahal sudah bertahun-tahun lewat sejak aku diadopsi, dan dua bulan lagi aku sudah dua belas. Apakah dia pikir aku masih 8 tahun?

Begitu aku menarik Emma kembali, pintu diketuk. Kurir kami sudah tiba.

"Uangnya di bawah keset," kataku. Sudah berkali-kali aku mengatakannya, tetapi suaraku tetap bergetar. "Tolong tinggalkan saja paketnya di depan pintu. Terima kasih."

Aku menyibak tirai jendela dan mengintip. Si kurir masih di sana.

"Boleh aku minta kopi?" tanya si kurir. Keningnya dia tempelkan ke kaca jendela. Tidak ada orang militer yang mengawalnya sejauh yang kulihat. Dia sendirian. "Aku belum tidur sejak semalam. Tolong."

Aku menelan ludah. Kuserahkan Emma ke tangan si nenek dan menyuruhnya masuk ke dalam. Kuambil pistol ancamanku. "Pergilah. Kami tidak punya kopi!"

"Air putih saja kalau begitu," desaknya. Aku baru akan melepaskan tembakan, tetapi si kurir melanjutkan, "Aku akan beri tahu kau sesuatu yang berguna sebagai gantinya. Dan ... pokoknya buka saja. Cepat."

Lalu, aku melihat alasannya memaksa masuk. Dari seberang jalan, kulihat sosok ceking bersinglet penuh bercak darah, melangkah lambat keluar dari gang. Matanya yang putih fokus pada punggung si kurir, mulutnya membuka-tutup.

"Kalau aku bergerak tiba-tiba," desah si kurir, tampaknya sudah tahu aku mengintip lewat jendela. "Zombie itu akan jadi lebih cepat. Kau tidak mau ada mayatku di depan pintumu, 'kan? Aku bersumpah bakal menghantui rumah ini—"

Aku menyentakkan napas saat Nenek Aya menggeser kunci dan membuka pintu. Padahal dia masih membawa Emma di sebelah tangannya. Si pria kurir segera menyeruak masuk bersama bungkusan makanan kami sementara Nenek Aya kembali menutup pintu. Di luar, si zombie menabrak pintu. Kurasa ini memang keahlian Nenek Aya—membenturkan zombie-zombie ke pintunya.

"Terima kasih," ucap kurir itu sambil tersengal. Ternyata dia lebih muda dari dugaanku. Umurnya mungkin masih 25-an. Dia menoleh ke arahku, lalu mengerling pistol di tanganku yang masih terarah kepadanya. "Bukannya kau masih terlalu kecil untuk pegang pistol?"

Si kurir itu—dia bilang namanya Rifan—menghabiskan segelas air putih dan dua cangkir kopi dalam semenit, lalu menyempatkan diri memarahiku karena berbohong kalau kami tidak punya kopi.

"Ada zombie-zombie yang berbeda," katanya mencerocos. "Di sebuah desa kecil di perbatasan selatan, beberapa zombie dengan kaki utuh bisa berlari layaknya manusia normal. Jumlah mereka sedikit, seharusnya bisa langsung dimusnahkan. Tapi, pasukan militer lambat sekali menanggapinya. Proposal pemulihan KPPZ ditolak, saran-saran pembentukan tim baru ditepis. Mereka malah menyejahterakan bisnis kurir-kurir ini! Pemerintah Nusa pasti mau membunuh kita pelan-pelan sementara mereka aman di ibukota—kau pasti setuju denganku, 'kan, Nak?"

Aku hanya menunduk, masih memegangi pistol.

"KPPZ seharusnya tidak bubar." Nenek Aya meranyau lagi di kursinya. Emma di pangkuannya. Mereka berdua sama-sama bercelemot bubur dari muka sampai dada baju—tangan Nenek Aya tidak punya kontrol ketika menyuapi Emma. "Nenek dan kakekku hidup luntang-lantung sejak KPPZ tak ada lagi—itu satu-satunya mata pencaharian mereka. Mereka bahkan tak dapat pensiunan. Mereka mengetahui rahasia kotor pendiri Nusa perihal senjata pemusnah massal dalam perang saudara. Tapi, mereka dianggap membual karena tidak terima dibubarkan."

Rifan terpana. "Benarkah itu, Nek?"

Nenek Aya mengangkat wajahnya. "Apanya yang benar?"

Rifan menatapku. Mau tak mau aku angkat bicara, "Beliau agak pikun."

"Yah, terberkatilah kalian orang-orang manula—tak perlu dibebani rasa takut kena infeksi atau dibelah batok kepalanya oleh gigi zombie." Rifan mendengkus. "Kota Renjani yang kalian tinggali ini masih tergolong aman sepanjang perjalananku beberapa minggu belakangan. Polisi Nusa di sini lebih tanggap. Zombie yang barusan mengikutiku tampaknya penghuni apartemen dari jalan sebelah yang baru saja terinfeksi—kurasa, ia sudah ditangani sekarang. Omong-omong, sudahkah kau dengar beritanya, Nak, Kota Duane sudah luluh lantak?"

Sebetulnya aku sudah tahu dari radio, tetapi aku hanya berkata, "Tidak ada tayangannya di televisi."

"Sudah tak ada tayangan apa-apa lagi di televisi selama seminggu ini." Tangannya melibas udara. "Kau harus meminta kabar dari para kurir sepertiku atau radio. Tapi hati-hatilah, banyak informasi palsu di siaran radio, terutama dari commercial broadcast; dan tidak semua kurir bisa dipercaya."—Dia melirik pistol di tanganku. "Yah, kurasa kau sudah cukup mengerti."

Setelah mengecek jalanan dan memastikan zombie yang mengejarnya tidak ada lagi di depan pintu, Rifan pun bersiap pergi. Saat aku mengantarnya ke depan, pria itu berkata, "Kau bakal tinggal di sini terus? Karena, maaf saja, bukannya menakut-nakutimu, tapi nenekmu itu tidak akan hidup selamanya. Cepat atau lambat kau mesti keluar dari sini."

Aku menunduk lagi, tidak tahu harus menjawab apa.

"Begini, kalau kau butuh bantuan, atau kehabisan jalan untuk bertahan hidup—cari aku di perbatasan timur. Aku dan teman-temanku membuat persembunyian di gudang senjata di Harris, Jalan Gahuru no. 2. Anggap ini ucapan terima kasih karena membiarkanku masuk dan tidak menembakku pakai peluru kosong, tapi jangan beri tahu ini ke siapa pun, oke? Dan omong-omong, jumlah zombie di perumahan ini akan terus bertambah—suatu hari pistol gertakanmu itu malah akan berbalik merugikanmu, mengundang perhatian zombie yang tidak akan bisa ditangani jebakan zombie biasa. Dan, jika kau butuh bantuan di sini, aku lebih menyarankan untuk menghubungi orang militer ketimbang Polisi Nusa. Aku pernah berurusan beberapa kali dengan beberapa anggota PN, jadi kuberi tahu kau, Nak—mereka lebih arogan dari kelihatannya."

Pria itu pergi, meninggalkanku yang bertanya-tanya bagaimana bisa dia tahu pistolku berisi peluru kosong.

Setelah memastikan Nenek Aya terpenuhi kebutuhannya dan seluruh pintu serta jendelanya terkunci rapat, aku dan Emma pulang ke rumah. Kami pulang melalui lorong bata yang menghubungkan dapur si nenek dengan dapur rumah kami sendiri—para tetangga yang membangunnya minggu lalu.

Meski tidak begitu rapi dan batanya retak-retak, lorong itu cukup bagus dan kuat. Dan aku bersyukur tidak perlu bolak-balik ke rumah Nenek Aya lewat jalan gang yang membuatku merasa terekspos ke dunia luar.

Aku mengunci pintu dapur yang terhubung ke lorong dengan dua gembok, lalu menyisir seisi rumah untuk memastikan semua jendela serta pintu sudah dikunci rapat. Semua jendela sudah berterali, jaring-jaring ventilasi masih rapat sehingga seekor nyamuk pun takkan bisa lewat. Aku juga tidak pernah membuka tirai—belakangan, aku mulai mempertimbangkan untuk menyelotip tirai-tirai itu ke dinding. Aku cemas tirainya mengembang terbuka saat kami menghidupkan kipas angin atau pendingin udara.

Setelah memastikan Emma nyaman di karpet dalam kepungan bantal dan baju-baju yang belum kulipat, aku duduk di depan meja radioku.

Meja ini baru kuturunkan beberapa hari lalu. Komputer, transceivers, amplifiers, mic, power supply—awalnya semua ini tersimpan rapi di kamarku. Ini semua peninggalan Pak Gun. Dia memiliki lisensi radio amatir dan Bu Miriam bermaksud membujukku untuk berteman melalui benda ini karena aku tidak sekolah dan menolak keluar rumah.

Aku tak pernah membayangkan bakal membutuhkan benda ini sampai, seminggu yang lalu, saat aku iseng mencobanya, seseorang berada di frekuensi yang sama denganku. Dia bilang namanya Ginna, dan dia berada di sel karantina milik pemerintah. Dia dicurigai terinfeksi, tetapi sudah dua kali kami bicara, minggu lalu dan tiga hari yang lalu, tetapi dia masih manusia.

"Sejujurnya aku tidak masalah, di sini hidupku lebih terjamin." Ginna berkata saat kami bicara lagi hari ini. Ini yang ketiga. Jelas sekali dia tidak terinfeksi, tetapi fasilitas karantina menolak melepaskannya. "Sebelum ini, aku tinggal di rumah susun. Aku sekamar dengan dua janda dan tiga anak remaja, ugh! Rasanya seperti di neraka."

Aku mengusap rambut dengan letih. Ginna bukan teman bicara yang baik, tetapi aku butuh mendengar suara manusia (selain ranyauan Nenek Aya), sedangkan Emma belum bisa bicara.

"Bagaimana caranya kau mendapat akses radio di sana?"

"Salah satu penjaga yang memberikan ini dan mengajariku. Aku bosan! Kalau penjaga sialan itu tidak melakukan sesuatu, aku bakal terus mengganggunya. Dan, yah, sebagian besar penjaga di sini juga tampaknya sama bosannya denganku. Aku masih heran kenapa orang-orang ini mau buang-buang waktu dengan kami. Kami sama sekali tidak terinfeksi!" Ginna terbahak. "Tapi, seperti kataku tadi, aku senang-senang saja di sini. Temanku di sel sebelah bisa menyelundupkan banyak sekali bir. Hei, kau suka minum?"

"Aku tidak minum." Kuusap mukaku frustrasi. Tampaknya aku mendapat teman bicara yang salah.

Aku menunggu responsnya lumayan lama. Saat kupikir aku kehilangan jaringan, Ginna tiba-tiba bertanya, "Hei, berapa umurmu?"

Aku terdiam sebentar. Kalau aku jujur, apakah bakal terdengar aneh? Kulirik Emma yang masih tiduran di antara tumpukan baju. Kami pada dasarnya sedang bersembunyi sekarang. Hanya segelintir orang yang tahu kami hidup berdua tanpa wali. Kalau aku bilang umurku sebelas, ada kemungkinan wanita ini bakal mengorek urusanku lebih dalam.

"17," dustaku. Apakah suaraku cukup terdistorsi oleh noise radio atau dia bakal menyadari suaraku tidak setua umur karanganku?

Aku menunggunya sadar, atau mungkin bertanya di mana orang tuaku, tetapi Ginna hanya berkata, "Aku juga."

Aku hampir mempertimbangkan untuk menyudahi ini saat dia tiba-tiba membuka percakapan lagi. "Hei, kau tahu apa itu internet?"

"Ya," jawabku ragu-ragu. "Interconnected network—itu sistem jaringan komputer, menghubungkan perangkat secara global. Cara transmisinya berbeda dengan radio. Sudah tidak ada yang menggunakannya sejak agresi zombie pertama. Banyak pekerja IT dan infrastrukturnya termasuk dalam daftar korban pertama."

"Aku tak paham setengah dari ucapanmu," gerutunya. "Intinya saja, apa internet lebih hebat dari kotak butut yang kita sebut radio ini?"

"Ya," kataku. "Pada dasarnya, kau tidak hanya mendapat suara. Kau juga mendapat visual—gambar, video, tulisan. Pada dasarnya, nyaris tidak ada batasan saat kau berkomunikasi dengan internet."

"Lebih hebat dari televisi?"

"Tidak bisa dibandingkan."

"Dan kenapa kita tidak tahu tentang ini?!" tanyanya, hampir gusar.

"Karena ia tidak pernah disebut-sebut lagi di media publik."

"Dan bagaimana caramu tahu?"

Aku mulai berkeringat. Aku tidak suka disebut kutu buku, tetapi dari sanalah aku tahu. Bu Miriam menyimpan banyak sekali koran dan buku lama yang tidak lagi beredar. Lalu, ranyauan Nenek Aya membersit. "Nenekku menceritakannya."

Ginna terbahak. "Masih terjebak dengan nenekmu? Ternyata kau lebih sial dari dugaanku!"

"Kau sendiri tahu dari mana?" tuntutku.

"Orang-orang ini punya internet di sini," ujar Ginna. "Para penjaga, maksudku. Tapi mereka tidak mau membiarkanku memakai komputer mereka. Tunggu saja nanti, akan kucari cara untuk menyelinap—"

"Tunggu, apa?" tanyaku terkejut. "Tunggu dulu, di mana kau bilang fasilitas karantinamu kemarin?"

"Ibukota," jawabnya. Terdengar bunyi gaduh di latar belakang. "Oke, seorang penjaga sudah marah-marah di belakangku. Ada kunjungan dari Kepala Polisi dan semua orang harus berada di selnya atau mereka bakal kena masalah. Aku harus pergi."

"Tunggu, Ginna!"

Namun, percakapan kami sudah berakhir.

Aku menatap segunung baju dari jemuran lantai atas, kini bertumpukan di depan televisi. Mataku mulai berkaca-kaca karena teringat aku dan Bu Miriam biasanya duduk di sana, melipat pakaian-pakaian itu sambil menonton televisi.

Emma yang tadinya bersandar ke bahuku mendadak muncul ke depan wajahku; bibirnya membuat suara brrrr sampai menyembur. Aku mengerjap-ngerjap. "Makasih, Emma. Mau membantuku melipat ini semua?"

Televisi hidup dengan suara super kecil. Sementara aku melipat piama, Emma tengkurap dan sesekali menggelinding di atas gundukan celana.

Satu-satunya tayangan televisi sekarang hanya siaran ulang beberapa film lawas dan iklan-iklan. Namun, malam itu, beberapa saluran menyala, menayangkan berita yang sama di saat bersamaan.

Penyerbuan. Pemandangan desa dan kota yang hancur serta ladang-ladang menghitam. Ada zombie juga, tanpa sensor, membuatku melonjak di antara setumpuk pakaian. Semua makhluk itu tampak dipojokkan oleh sekompi pasukan dengan seragam merah-hitam bersenjata besar yang terbidik. Tajuknya: KPPZ Bangkit, Nusa Menuju Merdeka Sekali Lagi.

Aku membesarkan volumenya sedikit, melupakan lipatan baju.

"Serangan diliput langsung dari puing-puing Duane." Semua bangunan menghitam, beberapanya rata dengan tanah, sedangkan gedung-gedung yang lebih tinggi hancur menyisakan pondasi dan kawat-kawat mencuat. Sosok-sosok kecil dari dua arah berlawanan tampak bentrok. "Seperti yang saat ini bisa kita saksikan, KPPZ melancarkan serangan dalam membersihkan Tanah Nusa—"

Gambar bergoyang dan deru angin terdengar dengan suara reporter yang terdistorsi, menunjukkan pengambilan gambar dari atas. Padahal, sudah lama sekali penerbangan menggunakan helikopter dilarang karena suaranya cenderung menarik perhatian dan membangkitkan insting menyerang zombie di luar tembok.

Hari ini, dalam satu sore saja, KPPZ generasi baru mampu menggiring zombie-zombie menjauhi wilayah padat penduduk ke tempat yang lebih terisolasi. Flamethrower digunakan, ranjau-ranjau meledak.

Kenapa tim yang baru dibentuk bisa bekerja seefisien itu seolah mereka sudah berlatih bertahun-tahun?

Di jalanan di depan rumah kami, terdengar suara sepeda motor yang digas nyaring. Padahal, kendaraan bermotor kini hanya dipakai petugas patroli dan para kurir. Di antara suara kencang gas motor itu, seseorang berseru, "Buka televisi kalian! Dengarkan radio! KPPZ kembali! Nusa merdeka lagi!"

Aku mengintip keluar, lalu tersentak. Beberapa zombie melintas lewat tepat di depan jendela, mengekori segerombolan kurir yang berkendara di depan mereka. Meski para zombie buru-buru dilumpuhkan oleh Polisi Nusa yang berjaga di tiap ruas jalan, tetap saja ini tidak biasa. Sudah dua minggu kami hidup dalam kesunyian total, tanpa aktivitas di luar, berusaha untuk pura-pura mati dalam rumah masing-masing sementara personel militer dan Polisi Nusa memburu orang-orang terinfeksi.

Rupanya, berita di televisi telah mengangkat harapan orang-orang dengan cara yang agak ... ekstrem.

Aku berlari ke atas dan masuk ke kamarku. Kubuka semua kunci pada pintu, lantas melihat dari balkon. Dari rumah-rumah lainnya, orang-orang berbondong-bondong mengintip dari jendela mau pun tingkap loteng mereka.

Di bawah sana, Zombie-zombie menyebar di jalanan, mengikuti konvoi kendaraan para kurir. Sementara itu, Polisi Nusa melakukan pembantaian terhadap zombie-zombie di jalan—senapan, gergaji listrik, samurai, hingga celurit digunakan. Ini terlihat seperti kolaborasi berdarah antara para kurir dan PN.

"Mana anggota militer?!" teriak seorang pria di sebelah rumahku. Dia seorang pria paruh baya, salah satu yang membantuku membangun lorong penghubung antara rumahku dan rumah Nenek Aya. "Siapa yang membiarkan idiot-idiot amatiran di bawah menjadikan kompleks kita kubangan darah? Orang militer saja tidak sekeji—oh, astaga, itu anaknya Pak Darsa!"

Aku melihat ke bawah dan buru-buru membuang muka. Seorang gadis remaja kini terbelah dua dan menggeliat di jalan, masih berusaha bangkit untuk menggigit polisi terdekat. Aku ingat gadis itu dinyatakan terinfeksi sepuluh hari yang lalu, tetapi ayahnya menyembunyikannya dengan mengikatnya di gudang. Saat PN menerobos masuk secara paksa, anak zombienya lolos dan menghilang di bangunan bekas pabrik di kompleks sebelah. Ayahnya dipenjara karena dianggap menghambat kinerja Polisi Nusa.

Sekarang, PN sudah mendapatkan anak itu sementara ayahnya masih di penjara.

Aku mundur lagi ke dalam. Ini berlebihan. Aku senang KPPZ kembali untuk mengatasi ini, tetapi antusiasme PN dan para kurir ini keterlaluan. Pasti ada yang mengarahkan orang-orang ini, atau memprovokasi mereka.

Kututup pintu dan menguncinya, lalu kembali ke bawah.

Televisi masih menayangkan serangan di Duane, dan benar saja—beberapa orang kurir benar-benar nekat ikut bergabung di sana. Di antara personel KPPZ yang berseragam hitam-merah, tampak seragam hitam-kelabu para kurir berbaur, disorot kamera, membawa sepasukan besar zombie yang mengekor.

"Tampaknya, u—" Suara reporter terdistorsi lagi. "Bergerak secara serentak untuk mengarahkan zombie-zombie dari pemukiman terdekat menuju Duane, memudahkan pekerjaan KPPZ memusnahkan mereka."

Mustahil, pikirku. Pasti ada yang mengarahkan para kurir ini untuk jadi cukup gila hingga rela menjadi umpan ke Duane.

Senja turun, dan pertempuran di Duane masih berlangsung. Di luar, Polisi Nusa masih melanjutkan pembantaian mereka seperti kesetanan. Sesekali, terdengar kaca pecah di kejauhan yang diikuti pekikan, membuatku tersentak. Dalam kericuhan macam ini, tentu saja bakal ada kesalahan. Bakal ada zombie-zombie yang berusaha masuk ke rumah warga sipil. Bapak tetangga benar—orang militer pasti tidak akan segegabah ini.

Para polisi ini sama sekali tidak menjamin keselamatan kami yang secara harfiah terjebak di zona perang mereka.

Baju-baju yang mestinya kulipat jadi terabaikan. Perhatianku sepenuhnya tertuju ke televisi. Aku bahkan membiarkan Emma tidur berbantalkan kaus kaki dan celana panjangku.

Pukul 21.30. Gambar sempat terdistorsi dan suaranya agar tercampur, bahkan kehilangan sinyal dua kali. Jumlah zombie berkurang oleh ranjau yang mereka injak dan granat yang dilemparkan entah oleh siapa dan dari mana, tetapi gelombang baru zombie terus didatangkan oleh para kurir dari berbagai daerah. Dan, seperti kata Rifan si kurir, memang benar beberapa zombie itu berlari dengan kaki mereka yang masih utuh. Beberapanya melompat, menerjang seperti buaya.

Ratusan kurir dan puluhan personel KPPZ generasi baru terbantai, terkena ranjau sendiri, atau tertangkap oleh zombie. Namun, memang lebih banyak zombie yang berkurang dibandingkan mereka. Aku menahan muntah, tetapi aku tidak bisa mengalihkan pandang.

Pukul 23.00. Sudut kamera dan reporter telah berganti, tetapi ledakan-ledakan terus berlangsung. Malam di sini telah hening karena konvoi para kurir dan zombie berhenti. Saat itulah tanah bergetar dan ledakan-ledakan di ujung perbatasan sana mulai terlihat dampaknya hingga kemari.

Pukul 01.00. Aku tidak bisa tidur. Ranjau tak habis-habis seolah mereka terperbaharui dengan sendirinya. Bahan peledak yang lebih besar dikeluarkan, menerangi langit sampai malam itu tampak seperti siang. Reporter menggambarkan pemandangan berdarah tersebut dengan amat dramatis.

Pukul 01.44, suara-suara liputan mulai mengecil. Aku mengeraskan volumenya sedikit lagi, mencoba menyimak suara si reporter. Aku mengganti saluran, tetapi semuanya sama. Tiga saluran bahkan terputus sama sekali.

Lalu, tepat 01.45, cahaya menyambar dari tanah Duane, segalanya putih di televisi dan tak berapa lama kemudian semua tayangan beralih menjadi layar statis. Kaca-kaca kembali bergetar, bumi bergemuruh. Gempa sempat terjadi selama beberapa menit hingga membangunkan Emma. Bunyinya bertahan sampai pukul 02.17.

Tanpa mengacuhkan Emma yang menangis di antara tumpukan baju, aku memaksakan diri untuk bangun. Aku terhuyung-huyung ke undakan dan naik ke atas. Dari balkon, hanya terlihat rumah-rumah lantai dua lainnya. Namun, saat aku memicingkan mata, di ujung langit sana membumbung asap.

Seorang pria di samping rumahku berseru pada istrinya. Mereka membicarakan suatu kemungkinan: asap membumbung dari perbatasan tenggara.

Sudah banyak yang mengatakan bahwa Tembok W terlalu tua. Penduduk perbatasan gemar menyumpahi arogansi dan kecongkakan pemerintah yang mengagungkan 'pekerjaan para tetua membangun tembok terbaik' sehingga tak pernah ada alokasi dana atau kinerja apa pun untuk memperkokoh Tembok W. Bahkan, saat ditemukan lubang di sana berbulan-bulan lalu, hanya ada penambalan tanpa penelusuran lebih lanjut apakah terdapat lubang lainnya di Tembok W.

Siapa yang menyangka bahwa semua ranjau, flamethrower, dan bom-bom yang mereka gunakan untuk mendesak para zombie itulah yang menghancurkan temboknya?

Perbatasan tenggara—sekitar 20 kilometer dari Kota Duane yang hanya tinggal puing-puing. Pukul 6 pagi, saluran televisi dan radio kembali untuk mengonfirmasi berita terburuk yang semalaman membuat orang-orang tak bisa tidur.

Aku menyaksikan berita dengan kebas. Tanganku memeluk Emma erat-erat, dan kami berdua tersembunyi di bawah tumpukan pakaian kami yang belum dilipat. Semua lampu kupadamkan hingga ruangan hanya diterangi cahaya televisi.

Matahari mulai naik dan asap telah turun. Seluruh saluran menayangkan footage saat Tembok W sisi tenggara melebur dan ambruk, menghasilkan longsoran besar yang menyelimuti wilayah perbatasan dengan semen, sisa pasak logam, kayu, dan bebatuan. Melalui sisi-sisi tembok yang amblas, sisa zombie yang masih berada di luar memasuki Nusa. Puluhan, ratusan ... ribuan zombie merangkak dan berlari masuk.

Jumlah zombie yang berada di dalam Nusa melonjak menembus angka sepuluh ribu, dan semuanya berderap ke dalam kota, di mana para manusia berada.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro