8. Cal dan Veteran Kiamat Zombie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| 8: Cal's pov | 3211 words ||

Serge menganggapku lucu. Dia bahkan tertawa saat aku menceritakan penembakan di bus itu dan kematian ibuku.

Semalaman aku mengejarnya berkeliling meja makan di dapurnya yang kotor, mencoba mencekik si kakek tua. Sialan, Serge benar-benar tidak seperti manula kebanyakan. Dia menghindariku dengan mudah sampai aku kelelahan sendiri. Bahkan saat aku melemparkan pentungan Pak Radi, Serge mampu membungkuk tanpa mematahkan tulang belakangnya sama sekali.

Karena tidak mampu menyakitinya secara fisik, kuhabiskan seluruh makanan di dapurnya, lalu menenggak tiga gelas teh sampai perutku sakit. Sementara dia mencak-mencak dari jendelanya, aku menyeret sepeda menuju rumah lamaku.

Rumahku, kalau debu tebal dan bau apaknya tidak dihitung, sama sekali tidak berubah. Aku bersyukur kami meninggalkan pakaian ayah di kamarnya karena nilai sentimental semata. Beberapa bajunya sudah dimakan rayap, atau menempel karena basah bekas rembesan air bocor dan langsung hancur saat aku memisahkannya. Namun, dua helai kemeja dan celana belelnya masih utuh di tengah-tengah.

Aku menimba air sumur kami yang tak pernah kering, lalu mandi sampai tak lagi tersisa bekas darah siapa pun di badanku. Kupakai baju tua ayah begitu saja, lalu bergelung di atas kasur lamaku. Aku menangis sampai tertidur.

Besok paginya, badanku gatal-gatal.

Menjadi babu Serge bukanlah pilihan, tetapi keharusan.

Si pria tua mengajariku macam-macam, termasuk kesabaran—dibutuhkan ketabahan seluas tanah Nusa untuk menghadapinya. Aku menimba air di sumur buatnya, menebang kayu, memberi makan dan mengembangbiakkan ternak-ternak, dan menyembelih hewan sendiri—lalu diwajibkan mendengarkan keluhan-keluhannya tentang rasa air yang tengik dan alotnya olahan daging kambing yang kami makan.

Selama perbatasan ditinggalkan, Serge melakukan itu semua sendiri. Setelah ada aku, dia menggunakan kartu 'aku sudah tua' dan 'tanganku cuma satu' untuk memperbudakku di bawah kakinya; sedangkan aku tidak diizinkan sama sekali pakai kartu 'aku masih 11 tahun' terhadapnya.

Setidaknya, dia mencuci pakaiannya sendiri. Aku tidak sudi menyentuh kain-kain usang berjamur dan bau masam yang dia sebut baju itu.

Pagi-pagi buta, kami sarapan di rumahnya sebelum mengerjakan tugas masing-masing, makan siang sendiri-sendiri, lalu makan malam bersama lagi. Karena tidak mau mendengarkan ocehan satu sama lain, kami mendengarkan radio. Tidak banyak yang bisa didengar kecuali lagu-lagu lawas yang berulang tiap hari.

Dua minggu setelah kejadian biadab di bus itu, aku sudah hampir tidak pernah mimpi buruk lagi, tetapi mustahil bagiku melupakan tiap detailnya. Aku masih ingat wajah orang-orang berseragam militer itu, terutama tiga wajah: kapten mereka yang melapor 'tugas selesai' dengan santai melalui alat komunikasinya, dan dua prajurit yang membiarkanku kabur.

Mereka pasti mengangkat senjata juga meski tak menginginkannya—dari raut wajah dan percakapan keduanya, mereka hanya mengikuti perintah dan sebagainya. Dua prajurit itu bisa saja langsung membunuhku, atau menangkapku dan memberikanku ke kapten mereka. Namun, mereka justru menyuruhku lari. Walau sebetulnya, akan lebih baik kalau mereka membantuku—mungkin ibuku masih bisa dilarikan ke rumah sakit?

Atau, akan lebih baik lagi kalau mereka tidak menembaki siapa-siapa dari awal ....

Atau, jauh akan lebih baik lagi kalau Cal kecil yang tolol tidak tolol tiga tahun lalu. Kalau aku melaporkan lubang itu lebih cepat, mungkin ini takkan pernah terjadi.

Pagi-pagi buta sekitar pukul 2 pagi, karena aku tidak mau Serge melihatku, kugali tanah di depan rumahku. Kusiapkan dua liang lahat yang dangkal. Kulemparkan sebagian besar baju ibuku ke salah satu lubang, lalu secarik kecil sarung Pak Radi ke lubang satunya. Kumakamkan keduanya dan menandainya dengan kayu serta setangkai kamboja.

"Ibu," kataku pada kuburan bajunya. Kutangkupkan wajahku ke kedua lengan yang terlipat memeluk lutut. Sarung Pak Radi yang sudah agak robek terlipat di sampingku. "Apa nyawamu dan semua orang di bus itu hilang gara-gara aku? Apa aku bakal di penjara? Kalau tiga tahun lalu aku tidak memperbesar lubangnya, atau langsung melaporkannya, pasti tidak akan begini, 'kan? Kita masih ada di sini. Kau masih memeluk dan memarahiku tiap hari. Pak Radi masih terenyum di pos jaganya di rumah susun sana."

Aku berkabung selama beberapa menit, lalu berjalan gontai ke rumah sambil menyampirkan sarung Pak Radi ke bahu. Sebelum melewati pintu, kusadari lampu kamar Serge masih menyala dan jendelanya masih terbuka. Apa dia melihatku menangis barusan?

Karena penasaran, aku menyambangi rumahnya. Dia tidak pernah terjaga sampai selarut ini.

Di depan pintunya, aku mendengar suara gelombang statis dan banyak sekali noise radio. Aku masuk begitu saja, tetapi Serge tidak menyumpahiku seperti biasanya. Dia duduk dengan tampang serius yang kukira tidak dimilikinya, mendengarkan radio.

Aku belum buka mulut sama sekali saat Serge mendahuluiku dengan memberi tahu, "Tembok W runtuh, anak bahlul. Kau bakal mati sebentar lagi. Atau jadi zombie."

Pagi itu suasananya lebih tegang daripada biasanya. Berita penyerangan Duane diulang-ulang di radio. Beberapa kota merasakan dampak gempanya. Kami tidak merasakan apa-apa karena distrik kami sampai perbatasan barat laut yang paling jauh dari Duane dan perbatasan tenggara.

Selama beberapa jam, beberapa pakar berdebat siapa yang harus disalahkan.

"Kenapa Duane?" tanyaku ke piring roti di meja karena bertanya ke Serge akan membuatku kena darah tinggi. "Lubangnya, 'kan, di sini. Kok, pusat serangan zombie malah berseberangan?"

Serge mendengkus. "Ternyata kau masih punya otak untuk menyadarinya. Artinya, selama ini para zombie itu melakukan perjalanan panjang ke sana."

"Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya ke rotiku." Karena rotiku tidak menjawab, aku menggigitnya. "Benar kata mendiang Pak Radi. Orang-orang itu tololnya sampai ke tulang-tulang. Mau mengusir zombie malah mengundang lebih banyak lagi."

Serge, tak seperti biasanya, begitu pendiam pagi itu. Dia merenungi radio seperti orang patah hati, yang mana sangat aneh. Dia tidak mungkin bisa mematahkan apa yang tak dimilikinya.

"Kau pernah bilang kalau perbatasan itu justru paling aman, 'kan?" ungkitku. "Nah, sekarang saatnya membuktikan teori itu."

Serge mendadak menyengir, menampakkan gigi-giginya yang tidak rata dan kekuningan. Kulit keriput membuat wajah menyeringainya seram. Satu matanya yang picak dan memutih tampak kaku, tetapi mata yang satu lagi bergerak menatapku. Sepagian ini dia jarang bicara, tetapi sekarang matanya yang sehat berbinar-binar seperti anak kecil. Dia mulai terbahak dengan suara parau.

"Untuk saat ini—iya, perbatasan selain sisi tenggara, timur, dan selatan adalah yang paling aman." Dia membungkuk, meludah ke dalam gucinya, lalu tergelak lagi. "Tapi, begitu seisi tempat ini berubah jadi zombie, atau mayat tanpa otak korban para zombie—maka, mereka akan bergerak kemari juga!"

Aku mencecap rasa pahit teh. "Dan kenapa kau tertawa?"

"Karena aku sudah tua! Aku sebentar lagi mati! Kau yang masih muda ini akan menyaksikan dunia kiamat di depan matamu dan bertanya-tanya, 'Oh, Tuhan, mengapa aku tidak seberuntung Serge tua yang bijak—'"

Ucapannya terputus, digantikan gelak tawa yang makin nyaring saat aku melemparkan cangkir tehku ke atas kepalanya. Tentu saja dia menghindar seperti pesenam bertubuh lentur, seolah kulit kisut dan postur bungkuk serta anggota badan tak lengkap itu hanya kostum untuk menyembunyikan seorang gimnastik bertubuh luar biasa elastis di dalam sana.

"Bereskan ini, bocah bengal!" teriaknya, masih sambil cengengesan. "Aku akan mandi di sungai. Kusumpahi matamu berbisul dan pantatmu bintitan kalau berani mengintip!"

"Semoga kau tenggelam diseret arus, larut sampai muara sungai tenggara dan dipungut para zombie!" bentakku sementara Serge melompat keluar dari dapur sambil menjumput handuk yang tergantung di dinding.

Karena aku sering makan di sini, terpaksa aku membereskan dapurnya. Di meja, radio masih saja mengulang-ulang berita: debat antar tokoh politik, lempar-lemparan kesalahan antara Polisi Nusa dan Militer Nusa, proses pembangunan blokade baru di zona mati sekitar Duane, sampai iklan dan penyuluhan untuk bertahan hidup di tengah zombie. Kumatikan radionya karena bosan.

Setelah mengumpulkan beling di lantai, mataku menangkap sesuatu di balik papan kayu yang tersingkap di samping konter dapur Serge yang berjamur.

"Permisi," ocehku. Kucungkil papan yang mencuat dengan sudip, mengungkit sebuah relung di tanah yang tampaknya digali sendiri. Sebuah kotak berwarna perak seukuran kotak sepatu tersembunyi di sana.

Ini seperti harta karun. Bisa saja isinya majalah porno, foto memalukan si Serge tua, atau sesuatu yang berhubungan dengan aibnya. Maka, aku tidak menyia-nyiakan waktu. Aku membukanya.

Isinya memang foto-foto. Salah satu foto menunjukkan sederet pria yang diapit dua wanita di masing-masing kedua sisi, berpose seperti memamerkan otot lengan mereka. Meski sudah agak rusak dan menguning, senyum-senyum cerah itu masih terlihat. Mereka semua mengenakan seragam yang sama—merah-hitam. Pada foto lainnya, tampak seorang pria berambut cepak dengan otot lengan yang kencang dan rahang besar tengah merangkul seorang perempuan muda cantik dengan rambut sebahu. Keduanya lagi-lagi memakai seragam itu.

Aku lupa waktu. Aku masih duduk di sana, mengamati foto-foto dalam kotak perak, saat Serge muncul di belakangku.

"Dasar anak jurik ...," umpatnya.

Aku meliriknya. "Kau bagian dari KPPZ?"

"KPPZ!" Serge meludah ke samping. Wajahnya dihiasi tampang jijik. "Tidak ada yang namanya KPPZ. Apa itu—Kesatuan Pengendali dan Pemberantas Zombie? Norak! Itu hanya nama resmi yang dibawa ke publik dan diukir ke buku sejarah kalian yang murah."

Kuangkat salah satu foto, di mana si pria rambut cepak berahang kokoh dan berotot kencang dalam seragam merah-hitam berdiri dengan lengan terlipat sendirian. Senyumnya jail dan kurang ajar. "Ini kau?"

"Aku tidak banyak berubah bukan? Kecuali satu tanganku hilang dan sebelah mataku tak berfungsi—aku dan pria di foto itu bagai pinus dibelah dua."

"Yang benar 'pisang dibelah dua'," dengkusku, walau aku sendiri tak yakin apakah yang benar adalah 'pinus' atau 'pisang'. Bisa saja keduanya salah. "Jangan bikin aku memuntahkan sarapanku lagi, Serge. Berapa umurmu? Kau vampir, ya?"

Si pria tua tergelak lagi. "Selanjutnya apa? Werewolf?"

"Berapa umurmu?" ulangku dengan suara desisan di sela gigi.

Tawanya mereda, tetapi bibirnya masing menyunggingkan senyum laknat yang sama dengan pria di foto. "112 tahun ini."

"Kau ada di sana saat Tembok W dibangun?"

"Ya, ampun, anak dungu." Serge mengeluarkan suara kesat dari kerongkongannya, seperti suara terbahak orang bengek. Tangannya yang utuh menumpu ke satu meja. "Aku yang membangun tembok itu."

Kucengkram fotonya di tanganku sampai senyum Serge pupus. "Hei, jangan dirusak—"

"Sebenarnya kau ini apa?!" Kulemparkan kotak perak itu ke depan kakinya. "Kau bergerak dengan tidak wajar! Orang setua dirimu—tidak ada orang bangkotan yang bisa mengejar anak-anak tanpa encok dan menghindari lemparanku seperti penari balet! Dan sekarang kau bilang umurmu 112 tahun—seharusnya kau sudah jadi mumi kering, atau menyerpih jadi debu!"

"Nah, dulu banyak yang seperti diriku, anak blangsak." Serge membungkuk anggun dalam tubuh rentanya. Tulang punggungnya menonjol saat dia memunguti foto-foto dan kembali menyusunnya dan kotak perak, tetapi dia menegakkan diri lagi dengan mudah. Diletakkannya kotak itu ke atas meja, menggeser piring-piring yang belum kubereskan. "Sekarang, tinggal aku sendiri."

"Bagaimana bisa?"

"Kami diburu," jawabnya. Dengan handuk lembap masih tersampir di bahunya, Serge duduk ke kursi sampai kayunya berderit. "Tapi kurasa, orang-orang yang memburu kami pun sudah mati dimakan usia. Sayangnya, yang tersisa cuma aku—mungkin. Atau masih ada yang lain di suatu tempat tanpa kuketahui, bersembunyi. Jadi, aku tidak heran kebohongan tentang Nusa dan KPPZ masih tersebar karena tidak ada lagi saksi hidup dari zaman itu. Aku berani taruhan, kalian anak-anak generasi bobrok juga belum pernah mendengar nama Escapade."

Aku bangkit berdiri, masih mencengkram satu fotonya di tangan. "Tidak. Tidak pernah. Apa itu?"

Meski baru duduk, Serge berdiri lagi. Handuknya dia lemparkan ke kepalaku.

"Panjang sekali ceritanya." Serge melenggang ke pintu, mengabaikan jeritan marahku. "Lagi pula, tak ada yang bisa kau lakukan meski tahu kebenarannya."

"Pengecut—bukankah pemikiran macam itu yang justru menjebak kita dalam situasi macam ini sekarang?!"

Matanya mendelikku. "Apa?"

"Tak ada yang bisa kau lakukan meski tahu semua kebenaranannya." Aku menirunya dengan bibir dipeyotkan sedemikian rupa. "Andai aku tahu kenapa tim evakuasi membunuh orang-orang rumah susun," lanjutku meledak-ledak, "aku bakal melakukan sesuatu! Meski tak bisa menghentikan mereka, setidaknya aku bisa menyelamatkan satu atau dua—minimal ibuku dan Pak Radi! Andai ada yang tahu kenyataannya, kami mungkin akan menolak dipindahkan ke rumah susun itu!"

Serge berbalik. "Dengar, ya, anak bantat—"

"Tahu tidak, menurutku bukan hanya kau—tapi teman-temanmu itu juga pengecut! KPPZ dan Es-kepet apanya?! Kalian cuma cemas nyawa kalian diincar dan diburu! Kalian cuma sembunyi di bawah ketek istri-istri kalian dan tidak mengatakan apa-apa, sama-sama berpikiran, Tak ada yang bisa mereka lakukan meski tahu semua kebenaranannya. Pada akhirnya kalian terbunuh sia-sia, membawa mati semua kebenaran itu dan mengorbankan orang-orang yang tak tahu apa-apa di sini! Padahal, andai satu orang saja yang mau bicara, itu sudah cukup! Tapi, kau dan teman-temanmu, yang semuanya penakut itu, lebih dulu berpikiran semuanya sia-sia dari awal! Lihat keadaannya sekarang! Dan bayangkan, andai satu saja dari kalian mau mengungkapkan kebenarannya, sebesar apa perbedaan yang bakal terjadi!"

Aku tersengal setelah pidato panjang itu. Aku haus, tetapi saat ini aku sedang marah dan terlalu gengsi untuk mengambil air minum.

Kupejamkan mataku, merasakan kemarahan tercampur dengan rasa bersalah. Aku mengata-ngatai Serge sembari melempar kotoran ke wajah sendiri—aku sendiri bungkam saat menemukan lubang di tembok bersama teman-temanku dulu.

Aku begitu lancar berceramah bukan karena sepenuhnya marah pada Serge; aku marah pada diriku sendiri.

Serge, yang kukira awalnya bakal tersinggung dan meludahiku, atau menguburku di bawah tingkap papan lantainya, justru malah terpelongo. Ekspresi bengong itu lalu berubah perlahan menjadi wajah girang yang tak bisa kumengerti.

"Tahu tidak, anak bopeng—sejak ibumu mati, kukira kau sudah jadi selemah dan semanja balita tiga tahun. Nah, rupanya aku salah."

Karena dia tidak marah, kumanfaatkan situasi untuk melemparkan salah satu piring plastik ke wajahnya. Dia menghindar (tentu saja), tetapi puas rasanya bisa marah-marah. "Apakah balita manja bakal menimba air buatmu dan menebang pohon sendirian?! Apakah balita manja bakal menggembala dan memeras susu sapi dan membersihkan kandang-kandang ternak?! Aku bahkan masuk ke hutan dan pernah dikejar bajing gara-gara kau seenaknya memintaku mencari jamur dan tanaman obat di sana!"

"Ya! Ya! Tentu, kau rupanya masih setangguh ayahmu dulu!" Satu tangan Serge memukul-mukul meja dengan riang. Karena mendengarnya menyebut-nyebut nama ayahku, kemarahanku surut secepat keran air yang diputar menutup. Niat berkelahi yang menggebu-gebu di dadaku hilang digantikan rasa kosong yang menelan. "Aku ingat, kau dulu sampai dijuluki Cal Junior karena bekerja dengan ayahmu," gelaknya puas. "Kau bahkan sudah menggelindingkan galon air besar dan memanjat pohon cemara sejak umur 4 tahun! Bagaimana bisa aku melupakan semua itu!"

"Dan di umur 6 tahun aku mengayunkan kapak penebang punya ayahku sampai menjebol jendelamu, hampir membelah selangkanganmu." Aku mengingatkannya.

Serge menyeringai. "Awal dari permusuhan kita."

"Waktu itu aku terhuyung-huyung karena kapaknya berat, tapi percayalah, aku sudah makin pandai sekarang. Aku bisa selesaikan yang dulu gagal kulakukan."

Keadaan jadi hening di antara kami. Serge dan aku berhadap-hadapan di dapur yang berantakan itu, masih saling memelototi dan menyeringai.

"Nah, kurasa aku memang tidak bisa mati dengan tenang kalau para pengkhianat masih di luar sana, menikmati dunia hasil kebohongan mereka. Jadi, Cal,"—Serge menyengir lebih lebar, tampaknya menyadariku berjengit karena dia jarang sekali memanggil namaku dengan benar. "Kalau kau bersedia jadi alat balas dendamku, akan kuajari kau semua yang kuketahui saat masih tergabung dalam Tim Escapade, termasuk cara menendang bokong zombie dengan benar."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Aku merapatkan jaket seraya mengamati sekitar. Kota Radenal, yang perlawanannya paling keras terhadap gelombang zombie yang datang ke pusat peradaban Nusa 3 tahun lalu; kini justru yang penampakannya paling mengenaskan. Populasi zombie dan manusianya 50:1.

Jalanan beraspal berlubang besar-besar, bangkai mobil di mana-mana, sebuah baliho iklan penyuluhan menggeletak melintang dari jalanan ke atap rumah yang setengah ambruk, mayat-mayat manusia dengan kepala terkoyak menggelimpang dan belum dibersihkan. Sebuah toko kelontong di ujung jalan tampaknya habis dijarah. Bisa kulihat pemiliknya sedang terisak-isak di samping etalasenya yang pecah. Minimarket di seberangnya benderang dengan lampu berkeredep dan memercikkan kembang api sesekali karena korsleting listrik.

Ironisnya, daerah ini hancur bukan karena tangan berkoreng para zombie, melainkan bentrok yang terjadi antara kepolisian daerahnya dan para kurir. Para zombie yang datang kemudian hanya pemanis suasana.

Kota Radenal bukannya tanpa penghuni sekarang—seperti yang kubilang tadi, populasinya lima puluh berbanding satu. Manusia yang tersisa di sini adalah para kurir yang memenangkan bentrokan bertahun silam.

Mereka sering diolok-olok lewat radio oleh komunitas kurir saingan karena membangun markas di tengah-tengah zombie, tetapi menurutku kurir Radenal justru kumpulan genius. Para zombie di sini adalah alasan terbesar komunitas kurir dari kota lain belum menginvasi kemari. Bahkan Polisi Nusa sudah lepas tangan dengan kota ini.

Semua zombie di sini lamban, jadi para kurir Radenal yang kenal kota ini luar-dalam bisa keluar masuk dengan mudah. Dan, hidup di tengah zombie tampaknya juga jadi latihan yang bagus—kurir Radenal terkenal tepat waktu dengan sedikit sekali kerusakan barang. Kota-kota besar di sekitar Radenal seperti Larus, Renjani, dan Batavia justru menyewa jasa mereka ketimbang memercayai kurir di wilayah mereka sendiri.

Aku pernah melihat beberapa dari mereka beraksi, dan aku siap diangkat jadi murid oleh siapa pun dari mereka.

Aku melenggang di jalanan, melompati lubang-lubang aspal besar. Poster bergambar tengkorak berlatar merah-putih terinjak olehku, bertuliskan "Nusa Mati Berkat KPPZ dan Militer Tolol—Tragedi 2096 yang Terulang Berkat Debut Konyolnya di Tahun 2169" dengan font berdarah-darah.

Aku berbelok, lalu melihat sesosok pemuda bungkuk di sisi jalan. Wajahnya hancur, gigi-giginya yang runcing telah menghancurkan lidah dan bibirnya sendiri, otot-otot merahnya terlihat dari bahunya yang telanjang, rambutnya hangus, kuku-kukunya begitu panjang, dan ia melihat ke arahku.

Dia berjalan terseok ke arahku; aku berhenti. Zombie itu pasti masih18 tahun saat berubah—proporsi tubuhnya lumayan bagus meski dihancurkan oleh postur zombienya. Aku bisa melihat sabuk keperakannya yang tampak mahal berkilat meski celana jinsnya sudah koyak sampai menyerupai rumbai-rumbai menggelikan.

Saat ia sudah dua meter di depanku, si zombie melompat. Aku bergeser ke samping, lalu melangkah ke belakang punggung si zombie. Si zombie berputar, tetapi aku lebih cepat—aku terus menempel di punggungnya sampai-sampai kelihatannya kami sedang menari di jalan.

Kalau si tua bangka Serge tahu, dia akan meludah ke kakiku dan mencak-mencak, "Apa yang kukatakan padamu, otak udang?! Jangan kebanyakan gaya!"

Banyak gaya memang berbahaya. Namun, kali ini aku lumayan bisa menjaga posisi tetap di belakang si zombie dan membuat bunyi seminimal mungkin. Cara menghadapi zombie tipe 1: jangan melawan (mereka tidak merespons terhadap rasa sakit); larilah atau kecoh (mereka lamban, rabun, setengah tuli, tidak bisa membedakan bau, dan attention span mereka lebih pendek dari anak TK).

Aku menghitung sampai sepuluh di dalam hati. Pada hitungan ke tujuh saja, si zombie sudah berhenti mengatup-ngatupkan rahangnya yang peyot. Ketika aku melebihkan hitungan sampai 13, si zombie sudah benar-benar tenang. Dia melongo ke langit, seperti sedang berpikir ke dirinya sendiri, Tadi aku sedang apa, ya?

Tak berapa lama kemudian, zombie itu berjalan maju meninggalkanku.

Sudah berkali-kali kubuktikan ucapan Serge. Dia benar.

Sayangnya, cara ini tidak berlaku jika zombie itu sudah mampu melacak—zombie-zombie yang bisa membaui manusia. Mereka juga gaduh. Berbeda dengan tipe 1 yang pendiam, tipe 2 ke atas mengeluarkan suara-suara tercekik yang bisa mengundang lebih banyak zombie.

Aku lanjut berjalan. Sudah dua kilometer lebih sejak aku meninggalkan kendaraan di batas kota, meledakkan tangki bensinnya bersama zombie-zombie yang mengerjarku sepanjang jalan, sampai saat ini zombie-zombie yang kutemui di Radenal hanya tipe 1. Aku akan betah sekali di sini.

Ketika aku melewati sebuah kantor pos dan percetakan, bisa kulihat sebuah bangunan besar beratap bundar di tengah-tengah lahan kosong besar yang dikelilingi rumput tinggi. Dulunya, itu adalah gelanggang olahraga indoor. Di tengah halaman dan lahan parkirnya, jebakan zombie tersebar. Jadi, aku harus berjalan memepet pagar untuk menghindar.

Di depan pintu ganda besar yang terbuka lebar, dua orang pria duduk lesehan bermain kartu. Botol-botol minuman keras menggelimpang di sekitar kaki mereka. Saat melihatku, mereka semua berdiri. Salah satunya menyambutku saat aku sudah cukup dekat.

"Mencari siapa, Dik?" tanyanya dengan cengiran dungu dan bola mata yang hampir berkumpul ke tengah.

Salah satu temannya berteriak ke dalam, "Hei, siapa bajingan yang bawa-bawa anak saat bekerja?!"

"Aku tidak sedang mencari orang tuaku," kataku pada mereka. Dengan langkah sekasual mungkin, aku melenggang melewati para pria dan menginjak kartu-kartu mereka. "Aku masuk, ya!"

Salah satu pria menghalangiku, tetapi posisi tangannya agak terlalu rendah dari leherku. Dengan gerakan gusar, aku mencengkram tangannya, membenamkan kuku-kukuku yang sengaja kupotong lancip-lancip ke dalam kulit dan dagingnya. Kuangkat siku tangan kananku, menghantam dagu si pria udik kurang ajar.

"Hei, adik siapa itu!" teriak salah satu pria di belakangku sementara temannya tersungkur memegangi rahangnya. "Hentikan dia!"

Aku sudah masuk. Segera saja para pria dalam beragam usia, berbagai tampang, dan aroma warna-warni yang membuat mata pedih mengepungku.

Salah satu pria yang usianya mungkin hampir 50 melangkah lebih dekat ke arahku; kulihat teman-temannya minggir memberinya jalan. Si pria setengah abad rambutnya sudah bersinar-sinar oleh uban, tetapi badannya besar dan kulitnya yang gelap masih tampak kencang.

Dia mengulurkan tangan. "Ini bukan tempat main anak perempuan—"

Aku menggigit tangannya.

Aku pernah mendengar kambing di hutan berteriak dengan lebih merdu daripada si pria setengah abad. Dia terbungkuk, memegangi tangannya, sedangkan aku meludahkan rasa pahit dari kulitnya.

"Begini, ya, cara kalian menyambut tamu?" tanyaku kecewa. "Aku berkendara empat hari untuk sampai kemari. Ini yang kudapatkan." Kuangkat daguku sambil mengernyit ke arah si pria setengah abad yang masih tersaruk-saruk. Jari-jarinya berdarah. "Kalau aku zombie, tamat riwayatmu, Om."

"Dengar, musang kecil!" Si pria setengah abad menodongku dengan jari telunjuknya. Tangannya yang berdarah dia sembunyikan ke perut. "Siapa pun yang masuk kemari artinya hanya dua: cari perkara atau mendaftar jadi bagian dari kami! Dan kau—"

"Kalau begitu, buruan!" selaku tak sabar. "Apa aku mesti isi formulir pendaftaran atau bagaimana? Mesti wawancara juga? Jangan bilang, aku mesti mengambil nomor dan antre!"

Para pria melongo. Wajah-wajah mereka mengingatkanku pada kawanan domba yang dulu kusembelih dan bulu-bulunya kucukur buat dijadikan selimut.

"Tentu saja aku ke sini untuk bergabung." Aku mengangkat bahu. "Aku ingin jadi kurir."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro