6 | SUDDENLY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Allah tidak akan pernah salah memilihkan takdir. Karena terbaik bagi manusia belum tentu terbaik menurut Allah
________SAMBUNG RASA_______

Nb; tandai typo ya. No edit langsung update.







"Kalian sudah makan malam? Kalau belum, kita mampir makan dulu, baru berburu belanjaan." Sagara memecah hening yang melingkupi sejak tadi. Tiba-tiba berada diantara Ashila dan Lea membuatnya bingung merangkai kalimat yang tepat. Sagara sama sekali tidak menyangka jika Shila akan kembali melibatkan Lea dalam urusan persiapan pernikahan mereka.

Lea yang sejak tadi memilih bungkam  refleks memberi gelengan. Disusul Ashila dari bangku belakang menyahut dengan kata 'belum'

Tidak dimungkiri oleh Sagara, ada rasa rikuh  menjalar di hati saat ini. Sangat tidak nyaman dengan interaksinya bersama dua perempuan yang masing-masing pernah dekat dengannya. Ditambah dengan sikap Ashila selama beberapa waktu ini seperti sengaja menyodorkan Lea sebagai wakil gadis itu untuk mengurusi persiapan pernikahan. Rasanya munafik bila Sagara tidak merasakan kenangan bersama Lea saat keduanya dilibatkan dalam kebersamaan. Kelebat-kelebat itu merangsek dalam kepalanya tanpa permisi, membuat Sagara dirundung rasa bersalah. Sempat berpikir, kenapa dia harus dipertemukan dengan Azalea di waktu yang tidak tepat? Keteguhan hatinya diuji. Komitmen dipertaruhkan. Rapalan istighfar menggema dalam batinnya sejak tadi.

Sagara berpikir, dia harus bicara serius dengan Ashila nanti. Tidak selaiknya Shila melibatkan Lea dalam mengurusi printilan persiapan pernikahannya. Sagara bisa menangkap dengan jelas raut tak nyaman yang memancar dari kedua mata Lea ketika berada di antara dia dan Ashila.

Bagaimanapun Sagara pernah menjadikan Lea perempuan pilihan untuk melabuhkan hati. Meski waktu dan keadaan belum memihak kala itu tapi Sagara tidak pernah menyesal telah mengenal Lea lebih dulu.

"Mau makan apa?" Saat bertanya Sagara menoleh Lea sepintas.

"Aku terserah aja, Mas." Ashila menimpali lebih dulu.

Lea memindai pada Sagara. "Bebek Purnama yang di Keputren gimana, Mas, Kak Shila? Lama enggak makan di sana, tiba-tiba pengin." Lea berkata dengan nada ceria.

Sagara mengiakan lewat anggukan di antara kuluman senyum. Lea tidak pernah berubah, nada bicaranya selalu ceria, menulari siapa pun yang ada di dekat gadis itu. Padahal bisa saja perasaannya sedang tak baik-baik saja. Sagara bisa menafsirkan dari gestur dan tatapan mata yang sering menghindar saat bicara dengannya.

Ah! Selain ingin meluruskan sesuatu dengan Ashila, seperti Sagara perlu bicara berdua dengan Lea. Dia ingin meminta maaf pada gadis yang lebih muda delapan tahun darinya itu karena sudah membuat Lea berada di situasi sulit.

"Masih suka makan bebek, Lea?"

"Masih dong, Mas."

Ashila menukas disertai tatapan mengarah pada Sagara. "Mas Saga kok tau, kalau Lea suka makan bebek goreng?"

Salah satu tangan Sagara memulas tengkuk, tak siap menampani pertanyaan Ashila. Tanpa dinyana ada kalimat yang memantik rasa penasaran Shila.

"Kami memang pernah kenal jauh sebelum saya bertemu kamu, Shila." Sagara menjawab dengan jujur tanpa berniat menutupi.

Shila tercengang. Lea yang duduk menyandar pada punggung seat segera memutar tubuh menghadap si kakak sepupu. Ingin memberi klarifikasi agar Shila tidak salah paham.

Mata Ashila membulat sempurna, ekspresinya memancar kaget, tapi sejurus tawanya menguar panjang.

"Le, kok Lo enggak cerita sama gue sih?" Cecar Shila. Lea tertegun dengan reaksi kakak sepupu. Dia kira Shila akan murka atau tidak terima mendapati kenyataan jika Lea telah mengenal Sagara lebih dulu, alih-alih marah, Shila justru menunjukkan respons sebaliknya. "See, jadi gue enggak salah dong, minta tolong Lo buat wakilin kemarin. Pantesan kalian kayak akrab gitu." Shila melirik Sagara dan Lea bergantian.

"Kak, kami enggak sedekat yang Kak Shila pikir." Refleks Lea. Sedikit berbohong agar Shila tidak berpikir macam-macam.

"Iya, tapi setidaknya kalian sudah saling kenal. Pantesan Mas Saga anteng-anteng aja ditemani sama Lo, Le."

"Harusnya kamu sendiri yang pergi, Shila. Bukan malah merepotkan Lea."

"Tapi Lea enggak keberatan tuh, Mas." Kukuh Shila.

Lea membuang napas kasar. Ini yang sejak dulu tidak dia sukai dari sikapnya yang tidak enakan. Lemah hati tidak bisa menolak jika dimintai tolong, padahal Lea jelas tahu, jika tindakannya merugikan diri sendiri saat menyanggupi permintaan Shila kemarin.

"Kak, mulai besok dan seterusnya kayaknya gue enggak bisa lagi gantiin Lo. Maaf banget, tapi benar kata Mas Saga, sebaiknya Kak Shila sendiri yang terlibat urusan persiapan pernikahan." Lea berusaha untuk tegas.

Shila tertawa kecil. "Apaan sih, Le. Masa gitu aja ngambek."

"Maaf ya, Lea." Ucapan maaf Sagara terdengar tulus. Untuk kesekian ratus kalinya Lea merasakan debar aneh mengajar di hati. Kepalanya bergerak memberi gelengan pada Sagara. Alih-alih menyuruh Shila meminta maaf, lelaki itu tampil merapal kata maaf duluan.

"Enggak papa, Mas Saga."

"Mas, kamu lebay deh, kayaknya. Aku sama Lea udah biasa begini. Kami biasa saling tolong salam segala hal." Shila mereaksi tindakan Sagara dengan kalimat sanggahan.

Obrolan ketiganya terjeda saat mobil Sagara sampai di lapak tenda bebek goreng pilihan Lea. Ketiganya turun menuju tenda kaki lima di pinggir jalan. Lea sama sekali tidak risih, sebab sudah biasa makan di warung tenda kaki lima, dari zaman masih kuliah sampai saat ini. Ashila lebih rikuh saat kakinya menjejak warung yang disertai meja kayu berderet dengan kursi plastik.

Lea makan dalam diam saat pesanan datang. Rasa lapar menguap akibat obrolan saat di mobil tadi.

"Mas, aku tunggu di mobil ya. Le, gue duluan ya. Kenyang gue." Shila ingin beranjak padahal isi piringnya baru terjamah sedikit.

Lea menghentikan kunyahan, refleks mendongak menatap Shila. "Makan dulu Kak, tadi katanya belum makan?" Shila menggeleng.

"Serius, gue kenyang Le. Lo aja deh sama Mas Saga." Usai berkata-kata Shila benar-benar menyeret langkah meninggalkan kedai. Meninggalkan Lea bersama Sagara.

"Maafin sikap Kak Shila, ya, Mas. Dia emang lagi diet ketat, katanya biar nanti pas difoto waktu acara nikahan enggak kelihatan gemuk." Lea tidak tahu kenapa dia harus mengatakan hal demikian pada Sagara. Lelaki itu merespons dengan anggukan kecil. Sagara masih fokus tuntaskan suapan terakhir. Setelah membasuh tangan dengan air yang disediakan, baru dia menimpali ucapan Lea.

"Shila tidak gemuk, kenapa dia harus diet segala, Lea?" Pertanyaan mencuat. Lea hanya mengangkat kedua bahu. Sagara lantas berujar kembali. "Lea, maaf ...." Lagi-lagi kata maaf. "Maaf sudah hadir kembali di hidup kamu, tapi dengan keadaan yang tidak lagi sama seperti dulu." Kalimat Sagara memantik sentimentil di hati Lea. Reaksinya adalah mengangkat pandangan menatap langit-langit tenda yang terbuat dari terpal. Batinnya disiram gerimis seketika. Bohong jika Lea mengatakan tidak terbawa perasaan serta larut dalam kenangan yang pernah dilalui bersama Sagara. Tetapi dia bisa apa? Sagara bukan lagi laki-laki yang bebas untuk diraih. Ada komitmen yang membentengi keduanya sekarang ini. Dan, Lea masih sangat waras untuk tidak melakukan hal gila ; merebut calon suami sepupunya sendiri.
Di luar masih banyak laki-laki lain yang bisa Lea raih nanti. Sedih memang, ironi, tapi ini adalah takdir terbaik dari Rabb-nya. Yang bisa Lea lakukan hanya mengikhlaskan.

"Mas Saga jangan minta maaf terus. Aku ikut bahagia buat Mas Saga dan Kak Shila. Semoga semuanya dilancarkan sampai kalian resmi menikah nanti." Lea berusaha menutupi rasa sentimentil dengan menebar senyum.

"Kamu menghilang ke mana Lea? Kadang saya heran, setelah lima tahun kita baru dipertemukan lagi."

Lea menelan ludah susah payah. Siraman teh hangat yang baru dia teguk seperti tak berefek apapun.

"Setelah lulus kuliah aku balik ke Jakarta, Mas. Magang di kantor ayah kurang lebih dua tahun, terus waktu pabrik maklon yang di Surabaya sudah mulai beroperasi, aku baru balik ke sini lagi."

Sagara manggut-manggut. Sekarang dia paham kenapa tidak pernah menjumpai Lea lagi. Padahal dulu, setelah pulang ngantor, Sagara seringkali sengaja melewati jalan di dekat kediaman Eyangnya Lea atau lewat kampus tempat Lea menuntut ilmu hanya sekadar ingin menyaksikan jika gadis itu baik-baik saja. Berikrar tidak akan menemui lagi, bukan berarti Sagara melepaskan begitu saja. Diam-diam dia mengamati dari kejauhan. Namun, seiring waktu berjalan, sosok Lea tak lagi Sagara temui. Meminjam nama Lea dalam setiap doa-doanya adalah salah satu cara ikhtiarnya, berharap suatu hari Tuhan kembali mempertemukan. Tetapi Sagara mungkin baru menyadari jika doanya kurang spesifik. Dia hanya ingin bertemu kembali, tanpa bisa menebak berada di situasi rumit seperti sekarang.

"Lea ...." Sagara menakar ekspresi Lea saat bertanya.

"Iya, Mas?"

"Maaf kalau saya lancang. Apa ... perasaan itu masih ada sampai sekarang, Lea?"



______








Biyuh, Mas Saga galau. 🤭




Kachan besok izin enggak update ya. Ada kesibukan lain di duta.

05-Ramadhan - 1444 H

27-03-23
1331

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro