7 | HEARTLESS (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Patah hati terbesar adalah saat seseorang yang kau cintai ada di dekatmu, tapi tak akan pernah bisa untuk kau raih

___SAMBUNG RASA__





Bagi Sagara Dhaniswara, Azalea bukan sekadar perempuan di masa lalu. Gadis itu pernah menempati posisi teratas di dalam hatinya. Lea yang sederhana, humble, ceria dan ... cantik. Poin terakhir merupakan bonus yang melengkapi kesempurnaan Azalea. Sagara yakin, pasti tidak sedikit laki-laki yang akan menoleh dua kali saat berpapasan dengan Lea, tersihir oleh wajah cantiknya yang kalem, manis, plus meneduhkan hati.

"Apa perasaan itu masih ada, Lea?" Ingin sekali Sagara menampar bibirnya sendiri yang telah lancang mempertanyakan sesuatu yang harusnya tidak perlu ditanyakan. Suasana mendadak jadi sangat rikuh. Lea menghentikan suapan, gesturnya seketika memancar tak nyaman untuk beberapa saat gadis itu tercenung, lalu tawanya menguar lembut.

"Hahahaa... Apaan sih, Mas Saga. Ya enggak mungkin-lah, i-itu udah masa lalu, kan." Matanya dilabuhkan ke arah lain saat menjawab pertanyaan Sagara. Suaranya agak terbata sembari tangannya sibuk memainkan tissue yang ada di genggaman.

Sagara melepas embusan napas. Harusnya dia senang dengan jawaban Lea, itu berarti tidak ada lagi beban akan rasa bersalah, tetapi yang menyerangnya justru sebaliknya. Sagara mencelus dengan pernyataan jika tidak ada lagi perasaan apapun yang dimiliki Lea untuknya. Senyumnya dipaksa tersungging.

"Terima kasih sudah kasih jawaban, Lea. Sekarang saya lega, dan tidak merasa bersalah sama kamu."

Lea terkesiap. "Kenapa Mas Saga harus merasa bersalah?"

Sagara memberi gelengan. "Saya merasa jadi laki-laki yang jahat sekali. Dulu saya ingin meminang kamu, tapi qadarullah, justru sekarang saya akan menikah dengan perempuan lain, dan itu sepupu kamu sendiri Lea. Wallahi, saya tidak tahu kalau Shila merupakan sepupu kamu." Roman Sagara menampilkan raut bersalah saat bicara.

"Mas Saga enggak perlu minta maaf. Sudah jalan-nya kayak gini. Walaupun kita gagal jadi pasangan, setidaknya sekarang kita jadi sodaraan."

Sagara manggut-manggut. Lelaki itu sibuk berpikir sendiri. Tindakannya saat ini sudah melenceng dari prinsip-prinsip yang dia anut. Ipar adalah maut, Ga! Batinnya berbisik, merasa ditampar ironi. Dia yang selama ini bermudah-mudah dalam memberi nasihat, nyatanya saat praktek langsung tidak segampang teori yang acapkali dilontarkan.

"Kamu boleh duluan ke mobil, Lea. Biar saya yang bayar." Inisiatif Sagara. Lea mengangguk, sejurus beranjak dari kursi plastik. Langkahnya diayun menuju mobil yang terparkir tak jauh dari warung tenda.

__

Lea kembali duduk di bangku sebelah kemudi. Shila masih dalam posisi seperto di awal memasuki Hyundai Palisade putih milik Sagara; duduk meluruhkan punggungnya di bangku tengah.

"Lama banget sih, Le." Protes Shila saat Lea baru duduk.

"Maaf Kak," sahut Lea singkat.

"Le, gue penasaran deh, Lo kok enggak pernah cerita kalau udah kenal sama Mas Saga dari lama?" Pertanyaan Shila direspons Lea dengan memutar kepala menoleh si kakak sepupu. Bibir Lea bergerak ingin menjawab tanya Shila, tapi belum sempat melontarkan kalimat, kedatangan Sagara mendistrak wacananya.

"Maaf ya, nunggu lama, Shila."

"Enggak pa-pa, Mas."

"Kak Shila, gue sakit perut. Kayaknya mau pulang aja, Lo ga pa-pa, kan, perginya sama Mas Saga berdua?" Lea sangat sadar diri, dia butuh menjauh sekarang juga dari pasangan calon pengantin itu. Dia juga enggan membuat posisi Sagara terasa rumit gara-gara kehadirannya di tengah-tengah Sagara dan Ashila. Sedikit berbohong mengatakan sakit perut, agar Lea bisa secepatnya enyah dari keduanya.

"Lea, kok gitu sih? Kan, Lo udah janji mau nemenin gue?" Ashila protes. Nada bicaranya merajuk dengan bibir tercebik.

"Shila, kita harus menghargai keputusan Lea. Jangan memaksanya kalau Lea memang sedang kurang sehat." Sagara menukas di sela fokusnya pada roda kemudi.

Ashila menepuk pundak Sagara dari belakang. Tawa keringnya berderai. "Mas Saga perhatian banget sama Lea?" Satu pertanyaan memicu deguban khawatir bagi Lea dan Sagara.

Wajah Lea memancar pasi. Takut sekali Shila salah paham. "Enggak gitu, Kak. Apanya yang perhatian sih." Ada gugup menelusup saat membantah statement Shila. 

"Kita antarkan Lea pulang lebih dulu, Shila." Alih-alih menjawab pertanyaan Shila, Sagara justru membuat pernyataan ingin mengantar Lea lebih dulu.

"Mas Saga jangan repot-repot. Aku udah pesan grab, ini. Mas Saga sama Kak Shila langsung jalan aja, biar aku turun di sini."

"Tidak bisa begitu Lea. Kamu pergi sama saya dan Shila, masa mau turun di jalan."

"Iya Le, ga papa kita anterin lo aja dulu."

"Please Mas, Kak, aku mau turun di sini aja." Lea kukuh. Tak ada alasan dia bertahan di antara Shila dan Sagara. Buat apa? Pertanyaan Sagara saat di kedai tadi cukup meyakinkan jika lelaki itu mungkin risih dengan keberadaannya. Lea bukan lagi anak gadis remaja yang menginjak dewasa. Usianya patut mendapat gelar perempuan dewasa. Dan, dewasa berarti harus mampu menepikan egois. Mungkin bukan cuma malam ini, tapi hari-hari berikutnya nanti, Lea akan menghindar dari Sagara dan Shila.

"Kamu yakin mau turun di sini, Lea?" Pertanyaan Sagara dibarengi ekspresi sangsi. Lea mengangguk. Saga tak punya pilihan lain. Segera dia menepikan mobil sembari menyalakan hazard saat mobil berhenti di median jalan. Lea benar-benar beranjak keluar usai merapal salam. Perempuan itu mengayun langkah, semakin menjauh, hingga punggungnya menghilang dari pandangan Sagara dan Shila.

"Lea kenapa ya, Mas? Kayak aneh gitu sih?" Pertanyaan Shila ibarat sebuah pancingan. Gadis itu refleks berpindah posisi dari jok tengah menempati kursi di sebelah Sagara.

"Saya tidak tahu, Shila." Rasa bersalah diam-diam menyelinap masuk ke dalam pori-pori Sagara. Harusnya tadi dia tidak mempertanyakan sesuatu yang ganjil. Lea pasti merasa tak enak hati dan kurang nyaman.

"Mas, kita mau ke mana?"

"Kamu maunya ke mana dulu? Ada beberapa tempat yang akan kita datangi. Untuk isi seserahan saya bebaskan kamu memilih semuanya sendiri Lea--"

"Lea?" Shila terkejut. "Mas, aku Shila, bukan Lea." Ralatnya seraya menakar ekspresi Sagara.

"Maaf, Shila. Saya...."

Shila mengibas tangan ke udara. Tawanya berderai. "Jangan-jangan Mas Saga pernah ada sesuatu ya, sama Lea?" Tatapan Shila menyelidik mata Sagara. Lelaki itu mendadak bungkam. "Jawab jujur Mas Saga, kalau Mas Saga jujur, aku sebenarnya mau bilang sesuatu juga sama Mas Saga." Shila menambahi.

"Kamu mau bilang apa, Shila?" Mobil belum melaju kembali, masih berhenti di pinggir jalan.

Shila menarik napas, lantas mengembuskan pelan. "Mas, kalau aku bilang jujur, kamu bakal marah enggak?"

Sagara menoleh pada Shila. Lelaki itu menggeleng. "Jujur lebih baik meski menyakitkan Shila."

Shila menggigit bibir bawahnya sendiri. Tiba-tiba dipeluk rasa gamang . "Mas Saga, kalau aku bilang belum siap menikah gimana?"

Sagara membeliak. Respons yang sudah bisa Shila tebak. Pasti lelaki itu kaget dengan pernyataannya. "Shila--"

"Maaf Mas. Aku kira setelah menerima pinangan Mas Saga, semuanya akan mudah buat aku. Aku belajar buat suka dan jatuh cinta sama Mas Saga. Tapi nyatanya beberapa hari ini aku benar-benar bingung sama perasaanku sendiri  Jujur, aku menerima Mas Saga karena desakan papa, ditambah perasaan kalut karena banyak pertanyaan, kenapa di usia yang udah tiga puluh tahun aku belum juga mengakhiri kesendirian. Aku enggak tahu kenapa harus gegabah bilang iya, waktu Mas Saga datang melamar."

Lima menit pertama adalah sunyi yang mendominasi. Kali pertama Sagara menyelam ke dalam sepasang retina Shila. Mencoba mencari keraguan yang memancar di sana. Dia tidak boleh gegabah. Bisa saja Shila berkata impulsif karena terpantik rasa cemburu pada Lea.

"Shila---"

"Mas Saga, kalau kita batalin aja pernikahan ini gimana, Mas?" Shila memotong cepat sebelum Sagara tuntaskan bicara.

Pertanyaan itu tanpa sahut. Sagara termenung, Shila menunduk, tak berani menatap lawan bicaranya. Hening kembali merayapi keduanya. Sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Sagara masih mencerna makna dari ucapan Shila barusan. Dibatalkan? Itu bukan ide yang bagus. Persiapan pernikahan telah berjalan. Sagara bisa memprediksi efek domino yang akan ditimbulkan andai benar rencana pernikahannya dan Shila dibatalkan. Wajah-wajah kecewa dari Mama, Papa, dan kedua orangtua Shila seketika membayang di benak lelaki tiga puluh tiga tahun itu. 

_______


Katakan sesuatu untuk Mas Saga?






07-Ramadhan - 1444 H
1237

30-03-23

Tabik
Chan






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro