8 |INDECISIVE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Perasaan manusia itu fluktuatif, sama seperti iman, naik turun, pasang surut.
_____SAMBUNG RASA____




"Gimana kalau kita batalin aja rencana pernikahan ini, Mas?"

Kalimat Shila masih terperangkap di dalam benak Sagara. Tercenung adalah reaksinya merespons kalimat Shila yang di luar dugaan. Sagara tidak menyangka jika Shila akan mengeluarkan statement yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh Sagara.

"Aku belum siap menikah sama Mas Saga."

"Kalau belum siap kenapa Shila menerima saat saya datang mengkhitbah?" Sagara tidak bisa menyembunyikan rasa kaget.

Shila menunduk dalam, tidak berani menatap wajah Sagara saat melontarkan pernyataan. "Seperti yang aku bilang, Mas. Awalnya aku kira bisa jatuh cinta sama Mas Saga, ternyata, sampai detik ini aku enggak ngerasain apapun. Itu bikin aku ragu, Mas."

Sagara mengusap wajah dengan frustrasi. Bagaimana bisa Shila mengatakan ingin membatalkan semuanya padahal persiapan telah berjalan hampir 50 persen. Lelaki itu terekam menelan ludah susah payah, bingung harus menjawab kalimat Shila.

"Mas Saga, aku butuh pendapatnya? Please?" Shila menanti jawaban Sagara dengan raut cemas.

"Tidak sesimpel itu Shila." Sagara pastinya tidak akan memaksa Shila jika gadis itu terang-terangan menyatakan tidak siap untuk melanjutkan rencana pernikahan. Namun, PR keduanya masih banyak jika benar jalan perpisahan yang diambil. Kesepakatan pernikahan ini terjadi bukan hanya antara Sagara dan Shila, tapi ada dua keluarga besar yang mendasari hubungan keduanya terjalin. Sagara mungkin bisa menerima dengan mudah, anggaplah Shila memang bukan jodohnya, qadarullah, tapi membayangkan wajah-wajah kecewa para orangtua membuat Sagara didera kekhawatiran lebih dulu.

"Aku tau Mas, ini juga yang mau aku bahas sama Mas Saga." Shila menatap sekilas mata Sagara. "Biarlah kita seperti ini dulu, pura-pura mengurusi semuanya, agar enggak ada yang curiga. Nanti pelan-pelan aku bakal bilang dan menjelaskan sama papa dan mama, kalau kita enggak cocok, Mas." Pengimbuhan yang memantik gelengan tegas Sagara.

"Saya selalu tidak setuju dengan konsep berdusta Shila. Berbohong hanya akan membuat keadaan menjadi runyam."

"Bohongnya cuma sebentar Mas, justru kalau tiba-tiba aku langsung bilang ingin mundur, semuanya bakal tambah runyam." Kukuh Shila. Gadis itu mencoba meyakinkan Sagara agar untuk sementara biarlah semuanya tetap seperti sekarang. Nanti pelan-pelan dia akan bicara pada papanya tentang keputusannya ini.

"Risikonya sama besarnya Shila. Kalau memang kamu tidak siap menikah dalam waktu dekat, saya sangat bisa memaklumi. Saya juga tidak memaksa kamu untuk melanjutkan pernikahan ini jika kamu sendiri tidak Ridha menjalaninya. Tapi berbohong apalagi pada keluarga besar kita itu bukan pilihan baik, Shila."

Shila terdiam beberapa saat. Mencerna ucapan Sagara. Dia harus bersyukur laki-laki itu adalah Sagara - yang batas kesabarannya di atas rata-rata. Entah apa jadinya jika saat ini yang menjadi calon suaminya adalah laki-laki lain yang kurang sabar dan emosian, pasti Shila sudah kena gampar saat menyatakan ingin mundur dari rencana pernikahan.

"Enggak akan lama Mas, aku janji. Sementara waktu, anggap aja aku lagi nemenin Mas Saga nyari seserahan buat calon jodohnya Mas Saga nanti. Demi Allah, aku belum siap nikah sama Mas Saga." Kedua tangan Shila menangkup saat bicara kembali.

Sagara mengosongkan udara dalam paru-parunya. Melepas embusan dengan panjang. "Baik, satu minggu, Shila. Dalam kurun waktu seminggu kamu sudah harus bicara jujur pada Om Deas dan Tante Diandra. Setelah itu saya akan datang mengembalikan kamu pada orangtua kamu sebagai pertanda jika pinangan dibatalkan." Keputusan Sagara menciptakan binar cerah di mata Shila.

"Makasih Mas Saga. Aku janji, secepatnya akan bicara sama papa dan mama."

Sagara memberi anggukan sekilas, lantas tangannya bergerak kembali pada roda kemudi.

"Saya harap meskipun kita batal menikah nanti, semuanya akan baik-baik saja Shila. Tidak ada kesalahpahaman atau pun putus silahturahmi, terutama saya dengan Om Deas."

"Mas Saga orang baik, aku yakin di luar sana nanti pasti bakal ketemu sama perempuan yang lebih baik dari aku."

Sagara mengaminkan kalimat Shila dalam hati. Pikirannya berkecamuk, sibuk menggali diksi yang tepat untuk dia sampaikan nanti pada Mama Rembulan. Sagara harus siap dengan reaksi mamanya - yang mungkin akan sedih atau bahkan menitikkan airmata saat tahu rencana pernikahannya gagal, lamarannya kembali mendapat penolakan walau dalam keadaan berbeda. Hah! Dua kali ditolak saat dia benar-benar ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang sangat serius, menyisakan getir sendiri di hati Sagara. Seperti mengalami De Javu ketika dulu Lea mengatakan belum siap menerima pinangannya. Sekarang Ashila.

___

Tunjungan Plaza

Mall yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan iconic kota Surabaya. Usai memarkir kendaraan, Sagara dan Ashila melangkah beriringan melewati atrium lantai tiga, sontak mata keduanya memindai sekitaran pada deretan store pakaian dengan beragam branded terpampang di sana.

"Mau cari apa dulu, Shila?"

"Baju gimana Mas? Tapi itu bukan buat aku, kan. Jadi Mas Saga kasih tau aja penginnya nanti calon istrinya pakai baju kayak apa? Nanti aku bantu pilihkan." Cerocos Shila, kakinya diayun memasuki salah satu store khusus menjual pakaian muslimah. Sagara mengekori dari belakang.

"Yang pasti sederhana dan tidak tabaruj saat dipakai, Shila."

Kening Shila berkerut mendengar ungkapan Sagara. "Tabaruj?" Tanyanya heran.

"Yang tidak berlebih-lebihan Shila, dalam hal warna, bentuk ataupun tampilannya." Sagara menerangkan, Shila manggut-manggut memahami.

"Ini gimana Mas?" Shila menunjuk gamis polos berwarna hitam pekat. Abaya hitam dengan sedikit hiasan manik-manik kecil di bagian sisinya, plus memiliki inner seperti outer yang bisa dilepas pasang. "Ini sih Lea banget, favoritnya pakai model gini terus." Tambah Shila.

"Boleh Shila," sahut Sagara singkat. Shila tersenyum dibarengi anggukan, lantas meminta seorang shop keeper untuk mengambilkan stok lain.

"Saya mau stok dalam ya, Mbak. Jangan yang display ini."

"Baik Kak, tunggu sebentar ya. Barangkali cari hijab atau khimarnya sekalian Kak. Kami ada banyak pilihan model mulai dari phasmina, khimar, segi empat, bergo instan, putra juga ada, Kak. Silakan dilihat-lihat dulu, Kak."  Shop keeper berseragam tertutup ala muslimah itu menjelaskan sedikit pada Shila.

"Mas Saga, mau beli jilbabnya sekalian, enggak?" Atensi Shila malah tertuju pada Sagara. Lelaki itu memberi anggukan singkat. Shila segera menuju rak display tempat aneka model penutup kepala khusus muslimah dipajang.

"Lea sukanya pakai phasmina sama segi empat. Pilih yang ini aja ya, Mas."  Entah kenapa Shila memilih barang-barang yang nantinya akan dimandikan seserahan berdasarkan selera Lea.

Sagara sedikit heran dengan polah Shila. Dari tindakannya seakan menyiratkan kalau gadis itu tahu jika pernah ada sesuatu antara Sagara dan Lea.

"Shila, kenapa kamu memilih semua barang-barang ini berdasarkan selera Lea?" Memuaskan rasa penasaran, Sagara melempar tanya.

Shila tertawa kecil. "Kan, Mas Saga udah kenal duluan sama Lea, ya, siapa tau aja nanti jodohnya Mas Saga itu Lea."

Sagara refleks mengaminkan kalimat Shila walau hany dalam hati. Situasi yang rumit, dia tida tahu harus bersyukur atau bersedih karena gagal lagi menggapai cita-cita mengakhiri kesendirian.

___

Pukul 21.00 tepat Sagara sudah mengantarkan Shila sampai di rumah. Saat merapal salam suara Mbak ART yang menjawab dari dalam. Lampu ruang tamu masih menyala benderang, Shila sedikit heran, pasalnya biasanya jam segini papanya masih duduk santai di ruang tamu sambil menekuri kerjaan atau mengobrol dengan mamanya.

"Mbak, kok sepi, pada kemana? Papa sama Mama udah tidur?" Tanya Shila pada si Mbak Asisten rumah tangga. Perempuan seumuran Shila itu menggeleng lemah.

"Enggak Non Shila. Bapak di bawah ke rumah sakit, tadi sesak napas. Ibu sampai panik."

Shila tertegun mendengarnya. "Papa kenapa?" Rautnya seketika memancar kalut.

Sagara yang masih menyimak obrolan sontak menawarkan mengantar ke rumah sakit menyusul mama dan papanya Shila.

"Saya antar ke rumah sakit, Shila?" Tawarnya, Shila mengangguk lemah. "Rumah sakit mana Mbak?" Pertanyaan ganti mengarah pada si ART.

"Aduh, saya lupa nama rumah sakitnya Mas. Yang paling dekat dari sini kayaknya."

Mendengar informasi dari asisten rumah tangga seketika Shila tidak jadi memasuki rumah. Kakinya memutar haluan kembali ke mobil Sagara yang terparkir di gerbang depan.

Seperempat jam berada di perjalanan, Shila tidak bisa sembunyikan raut cemasnya. Gadis itu duduk dengan gelisah. Dia klinik terdekat didatangi, tapi nihil, Deas - papanya tidak ada di sana. Baru atas inisiatif Sagara mendatangi rumah sakit sekitaran situ, Shila bisa membuang napas lega saat resepsionis di ruang instalasi gawat darurat menyebutkan jika pasien atas nama Andreas Dhizwar berada di salah ruangan periksa.

Sagara ingin mengikuti langkah Shila, tapi bersamaan ponselnya berdering nyaring. Tak ingin menganggu ketenangan, Sagara pamit pada Shila untuk mengangkat telepon dulu. Shila mengabuli lewat anggukan singkat.

Pikiran Shila sedang tertarik penuh pada keadaan papanya. Langkahnya sampai di depan ruang periksa, tangannya sigap menekan kenop pintu, baru setengah terbuka saat sepasang indera pendengarannya menampung obrolan mama dan papanya dari dalam.

"Kamu jangan sakit-sakit gini, Pa. Anakmu bentar lagi mau nikah loh." Diandra - mamanya duduk di pinggir bed perawatan sembari bergumam. Sementara Shila menangkap siluet papanya sedang berbaring dengan selang infus menancap pada pergelangan tangannya.

"Iya, Ma. Papa cuma kecapekan sedikit, nanti juga sehat lagi. Bagaimanapun papa ingin ada di samping Shila, sebelum nanti dia diambil laki-laki yang akan menjadi suaminya."

"Makanya kamu cepat sehat. Hb kamu rendah loh, kata dokter. Kerjanya jangan diforsir sih, Pa."

"Iya Sayang." Suara Deas terekam lemah di telinga Shila. Gadis itu masih mematung di tempat. "Bahagia sekali rasanya, Shila mendapat jodoh seperti Saga. Masih enggak nyangka gadis kecil yang papa rawat dari bayi, sebentar lagi akan menikah." Suaranya bergetar saat menyambung kalimat.

"Sagara laki-laki yang baik, Shila pasti bahagia sama dia nanti, Pa. Kamu jangan terlalu memikirkan." Diandra menukas ucapan suaminya.

Shila tercekat. Kerongkongannya mendadak terasa kerontang mendengar semua obrolan mama dan papanya. Refleks memori masa lampau merangsek memenuhi isi kepala, kenangan tentang masa kecilnya yang hanya berdua dengan Deas. Laki-laki yang mendeklarasikan diri sebagai ayah seutuhnya bagi Shila, padahal tidak punya hubungan darah. Shila merasa ditampar kenyataan. Dia baru saja membuat keputusan bodoh dengan mengakhiri rencana pernikahan. Sementara di sini papanya yang terbaring sakit justru terlihat sangat bersemangat membahas pernikahan putrinya meski raganya sedang terbaring lemah. Gerimis di hati pindah ke mata. Shila berkaca-kaca, pinggiran kelopaknya mutlak basah. Betapa tidak tahu dirinya dia yang dengan egois mengambil keputusan tanpa melibatkan papanya. Lagipula apa susahnya berbakti dalam bentuk pengabulan keinginan papanya? Menikah dengan Sagara.

"Loh, belum masuk Shila?" Sagara menghampiri usai mengakhiri telepon. Lelaki itu menatap heran pada Shila yang masih mematung di depan pintu ruang observasi.

"Mas Saga, aku mau bilang sesuatu." Mata Shila menatap lekat manik Sagara saat berujar, menakar ekspresi lelaki yang saat berada di persis di depannya tapi pandangannya sedikit merunduk. "Hapus dan buang semua kata-kataku yang mengatakan ingin mundur dari rencana pernikahan kita. Aku mau nikah sama Mas Saga ...."

____


Katakan sesuatu untuk Shila?






Alah Mboh. 😌







01-04-23
1666

Tabik
Chan






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro