9 | HONESTY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jujur adalah landasan dari semua perbuatan baik. Bahkan, sebuah hubungan harus dibangun lewat kejujuran agar pondasinya terpancang kuat.

____SAMBUNG RASA____

Sorry for typo ya.
No edit langsung update


"Mas Saga, lupakan semua yang udah aku bilang sama Mas tadi. A-Aku mau nikah sama Mas Saga ...." Hening sejenak usai kalimat Ashila.

Sagara mematung di tempat. Kernyitan tercipta di dahi mendengar semua statement yang dilontarkan Ashila. Sedikit kaget karena Shila berubah pikiran secara drastis dalam waktu yang sangat singkat. Menggeleng samar adalah respons impulsif Sagara. Bagaimana bisa seseorang mengambil keputusan krusial hanya dalam hitungan menit? Dua kali pula. Sangat gampang memutuskan untuk mundur, tak berselang lama kembali memutuskan untuk meneruskan rencana?

"Shila---"

"Mas tolong, kita bahas nanti saja ya. Aku enggak mau papa sama Mama dengar obrolan kita." Shila memotong ucapan Sagara dengan cepat. Lewat gerakan mata gadis itu menunjuk area dalam ruang observasi. Tempat papanya sedang terbaring lemah.

"Kita memang harus bicara setelah ini, Shila." Nada bicaranyalembut, tapi menyiratkan ketegasan. Shila mengangguk sepintas, sejurus gadis itu melangkah masuk ke ruang observasi. Sagara mengekori di belakang Shila. Shila membeku di tempat mendapati papanya terbaring lemah di bed rawat. Matanya sontak berembun, ingin menangis.

"Assalamualaikum." Rapal Sagara.

"Wa'alaikumussalam, loh, kamu sama Saga di sini, Kak?" Diandra menoleh pada Sagara dan Shila. Kak adalah panggilan yang disematkan Diandra pada Shila. "Mama sudah pesan sama Mbak di rumah kalau jangan kasih tahu, malah dikasih tahu."

"Papa gimana keadaannya Ma?" Shila menyongsong brangkar tempat papanya berbaring. Deas memberinya senyum lemah. Wajah papanya membias sedikit pucat.

"Papa baik-baik saja Shila, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Deas menimpali. "Cuma kecapean dan Hb rendah. Sebentar lagi juga pulih seperti biasa." Sambung Deas menjabarkan.

"Baik-baik aja gimana Pa?! Jelas-jelas Papa lagi dirawat gini." Intonasi suaranya terdengar emosional. Shila tidak setuju dengan ucapan papanya. Deas - papanya sangat jarang sekali sakit. Selama ini yang Shila tahu papanya selalu menjaga kesehatan, tidak suka makan sembarangan dan rajin berolahraga. Makanya pemandangan papanya terbaring sakit sedikit membuat Shila merasa syok. 

"Tidak usah pikirkan papa. Kamu fokus saja sama persiapan pernikahanmu, Shila." Wejangan Deas mendapat gelengan tegas dari Shila.

Gadis itu mengosongkan udara dalam paru-parunya. Mencoba mengurai sesak yang tiba-tiba menyergap. Diandra Ashila Dhizwar dikepung rasa bimbang. Di satu sisi dia meragu melanjutkan rencana pernikahan dengan Sagara. Di sisi lain tidak tega menyaksikan betapa antusiasnya sang papa akan pernikahan Shila dan Sagara. Deas bahkan rela menyematkan namanya di belakangan nama Shila, padahal jelas-jelas dia tahu jika Shila bukan darah dagingnya.

"Shila, papa tanya malah melamun?" Deas menegur Shila yang termenung sejak tadi. Gadis yang berdiri di sisi brangkar itu seketika tergeragap.

"Iya Pa, maaf, Shila agak ngantuk jadi enggak fokus." Alibi Shila.

"Gimana kalian tadi? Udah dapat seserahannya?" Diandra menukas obrolan suami dan anaknya.

"Alhamdulillah sudah, Tante." Sagara yang menyahut. Diandra tersenyum dibarengi anggukan, lalu ikut merapal hamdalah.

"Kalau ngantuk pulang saja Shila, biar diantar Saga," ujar Diandra, matanya menelisik raut sang putri yang memancar kuyu.

Deas ikut mengangguk, mengamini ucapan istrinya.
"Iya, papa setuju sama mama. Kamu pulang saja Shila."

"Tapi, Pa, Shila mau di sini aja, nemenin papa."

"Jangan bandel, Shila. Papa sudah sehat, nanti setelah infusnya habis papa juga mau langsung pulang." Kalimat Deas terdengar tegas saat bicara. "Oh iya, papa sudah telepon mami dan papimu, besok atau lusa mereka akan datang. Mereka kirim salam, minta maaf tidak bisa hadir saat acara khitbah." Deas menambahi. Ashila termangu. Informasi yang ditebar papanya tidak mengurangi rasa kesal yang sempat mencuat pada Rahila - mama kandungnya. Marah dan kecewa saat Rahila mengabari tidak bisa hadir di acara lamaran waktu itu. Berdalih sedang menemani si bungsu yang sedang diserang demam, Rahila jadi abai pada momen terpenting di hidup putri sulungnya.

"Mami dan papi?" Sagara refleks mempertanyakan. Masih berusaha mencerna maksud ucapan Om Deas yang menyebut mami dan papi pada Shila. Lelaki itu merasa ada yang janggal, tetapi Sagara tak mau berspekulasi berlebihan, takut menjadi suuzan.

Semua mata menatap pada Sagara. Deas baru akan membuka mulutnya, ingin menjawab rasa penasaran calon menantunya, tapi Shila lebih dulu menimpali.

"Mas Saga, nanti biar aku jelaskan." Putus Shila. Sagara mengangguk setuju. Atensi Shila berganti pada papanya. "Pa, Shila pulang dulu ya. Papa cepat sehat lagi, jangan sakit-sakit." Gadis itu mencium pipi papanya saat pamit. Polah yang sama berlaku pada Diandra - sang mama.

"Hati-hati ya kalian," seru Diandra usai barter cipika-cipiki dengan Shila.

"Terima kasih Saga sudah mau direpotkan." Ucapan terima kasih meluncur dari mulut Deas. Shila sempat melirik papanya sekilas, dari sorot matanya bisa menangkap jika Deas sangat menyukai tingkah Sagara saat lelaki itu salim tangan dan pamit.

___

"Jelaskan Shila, apa maksud kamu ingin tetap menikah dengan saya?" Di mobil, setelah Sagara dan Shila meninggalkan ruang rawat sementara papanya Shila. Sagara tidak langsung melajukan kendaraan. Lelaki itu menyalakan mesin dan AC mobil, tapi Hyundai Palisade miliknya masih  dalam posisi berhenti. Mata Sagara melirik sekilas pada Shila yang tengah menunduk, lantas kembali dilabuhkan pada jalanan yang ada di depan kemudi.

Ashila termangu sejenak. Gadis itu kemudian mengangkat pandangan menatap Sagara. "Aku mau lanjutin rencana pernikahan kita, Mas. Kenapa masih dipertanyakan?"

Sagara melepas embusan napas. Lelaki itu mencoba menekan deru kesal yang menyambangi hati. Kali ini menurutnya Shila sangat keterlaluan. Mempermainkan niat suci dan tulus. Sebentar bilang tidak, lalu tak lama kembali berkata iya.

"Shila, maafkan saya. Tapi setelah pernyataan bahwa kamu tidak siap menikah dengan saya. Saya pikir tidak ada lagi yang perlu diteruskan." Sagara berkata dengan nada pelan dan halus, meski ingin menegasi Shila, tapi sebisa mungkin tidak menyakiti perasaan gadis di sebelahnya itu.

Shila terperanjat. "Maksudnya Mas?" Pertanyaan retoris yang Sagara pikir tak butuh jawaban darinya. Namun, dia berusaha menghargai Shila dengan menjabarkan pelan-pelan.

"Saya tidak mungkin menikahi perempuan yang terang-terangan menyatakan tidak ridha bersama saya, Shila."

"Mas Saga, kenapa jadi gini? Ya okay, aku salah tadi udah ngomong yang enggak-enggak, tapi aku beneran mau nikah sama Mas Saga."

Sagara menggeleng tegas. "Maaf Shila, saya tidak bisa. Mau jadi apa rumah tangga kita nanti, kalau kamu saja terpaksa menjalani pernikahan nantinya?" Jawaban singkat tapi tegas. "Shila, pernikahan adalah implementasi dari ibadah. Malah disebutkan menikah adalah ibadah seumur hidup, menjalaninya tidak main-main, tidak bisa dengan setengah hati. Bagaimana ibadah bisa khusu jika hatinya bercabang ke mana-mana?"

Skakmat!

Kerongkongan Ashila seakan disumpal mendengar penjabaran Sagara. Lidahnya kelu, tidak bisa memproduksi kalimat dengan baik.

"Satu lagi yang ingin saya pertanyakan Shila. Siapa yang disebut Om Deas dengan mami dan papi?"

"Mama dan papa kandungmu, Mas." Ashila menjawab dengan jujur. Tak punya alasan untuk mengelak lagi.

Terkejut adalah ekspresi Sagara. "Maksudnya bagaimana Shila?" Dia belum bisa menarik garis simpul atas penjabaran yang baru beberapa persen dari Shila.

"Mama dan papa kandungku, Mas."

Sagara menelan ludah. Rapalan istighfar menggema di hati. Hal besar semacam ini saja Shila tidak berusaha jujur sejak awal. Sagara baru tahu.

"Kenapa tidak jujur dari awal kalau Shila ternyata anak angkat Om Deas dan Tante Diandra?"

"Aku bukan anak angkat Mas!" Nada bicaranya menyatakan tak suka dengan diksi yang Sagara lontarkan.

"Maaf, saya tidak bermaksud menyudutkan Shila. Saya hanya ingin tahu."

"Mami Rahila dan Papi Marco, mereka orangtua kandungku, Mas Saga." Mata Shila memejam. Embusan napasnya kembali terlepas dari mulut. Menceritakan tentang Rahila dan Marco, sama saja dengan membuka luka lama Shila tentang dua orangtuanya.

"Baiklah, aku akan ceritain sama Mas Saga. Jadi, Papa dulu menikah sama Mami Rahila, tapi pernikahan mereka cuma bertahan sebentar. Mami Rahila meminta cerai setelah melahirkan aku--"

"Jadi, kamu anak tirinya Tante Diandra?" Pungkas Sagara. Shila menggeleng. Seketika kernyitan di dahi Sagara kembali tercipta.

"Sebelum menikah dengan Papa Deas, Mami Rahila sudah mengandung aku, Mas." Shila tak berani menatap Sagara saat bercerita. Dia takut akan reaksi Sagara.

Rasa takutnya seperti akan menjadi kenyataan ketika Sagara merespons dengan kalimat istighfar beberapa kali.

"Kenapa? Mas Saga malu punya calon istri seperti aku?" Cecar Shila. Mata gadis itu memerah, seperti menahan tangis.

Sagara menggeleng. "Bukan perkara malu atau tidak Shila. Ini lebih fatal dari itu semua andai kamu tidak bicara jujur malam ini.

Kamu tahu, Shila, syarat sah pernikahan adalah dengan adanya wali bagi mempelai perempuan. Sedangkan anak perempuan yang dilahirkan sebelum adanya ikatan pernikahan, mutlak hanya bernasab pada ibunya. Apa jadinya jika kita meneruskan rencana ini sampai kita nikah dan saya tidak pernah tahu tentang latar belakang kamu? Pernikahan kita bisa saja tidak sah."

"Mas Saga mau bilang aku anak haram? Kenapa muter-muter Mas, bilang aja langsung." Shila tertawa kering. Matanya mendongak, seperti sengaja menghalau tangis yang mendesak ingin keluar.

"Maaf Shila, bukan itu poin yang ingin saja luruskan."

"Lalu apa?! Sentak Shila. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan lagi. "Dari dulu selalu seperti ini. Orang-orang tahunya cuma menyudutkan, tapi enggak pernah tanya, apa aku yang minta dilahirkan dalam keadaan kayak gitu?! Waktu kecil aku enggak diinginkan sama mama kandungku, aku bahkan enggak tahu kalau punya mama. Aku kira mamaku mati waktu melahirkan aku, tapi ternyata semua di luar ekspektasi aku, dia pergi, kabur karena menganggap aku beban yang udah menghalangi kebahagiaan dia. Kalau boleh memilih, aku enggak mau lahir dalam keadaan kayak gini, Mas." Shila usap wajahnya yang banjir airmata dengan sapuan kasar.

Sagara terperanjat. Wallahi, sama sekali tidak ada niat untuk menyudutkan Shila. Dia hanya ingin meluruskan satu hal yang bisa berakibat fatal andai pernikahan tetap dilaksanakan dan Sagara tidak tahu jika Shila hanya bernasab pada ibunya.

"Shila, maafkan saya." Sagara meraih tissue di atas dasbor, lantas mengangsurkan pada Shila. "Kamu tidak salah Shila, seorang anak tidak pernah memilih ingin dilahirkan dari perempuan yang mana. Qadarullah, semua sudah kehendak-Nya, bukan salah kamu." Sagara mencoba menebar afirmasi positif. Tangis Shila sudah agak mereda. "Saya antarkan pulang Shila, kamu butuh istirahat, kita bisa bicara lagi besok." Ashila mengangguk samar. Bibirnya masih terkatup rapat, enggak mengeluarkan kata-kata.

_______




Poor Chila :⁠'⁠(

Kalian bisa baca kisahnya Chila kecil di cerita My Lovely Diandra

Di wattpad sudah tidak lengkap. Sudah terbit novel. Bisa dipesan lewat 2P Publisher. Yang mau baca versi digital juga bisa ke Google play book atau KaryaKarsa Chanty Romans

Maaf baru update lagi, beberapa hari kemarin Kachan ga enak badan. Tabungan bab udah habis, jadi baru bisa update ini.

15 - Ramadhan - 1444 H

06-04-23
1587

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro