Cermin Kelompok 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagian 1 oleh: luffytaro_

Tirto membasuh kerisnya setelah melakukan persembahan untuk ritual perdamaian di desa ini. Ritual yang sudah menjadi turun temurun dilakukan setiap tahun satu hari setelah hari kemerdekaan, seakan menjadi pengingat akan darah yang telah tertumpah demi tanah air ini. Di ujung senja, bayang-bayang pegunungan melukis siluet pada wajahnya yang penuh kerutan. Ia mengenang masa lalu, saat keris itu bukan hanya simbol, melainkan saksi bisu dari perjuangan yang tak terhitung jumlahnya.

Bagian 2 oleh: akvbutterfly

Keris itu, dahulu, telah mengoyak tanah musuh dan mengukir sejarah dalam daging para penjajah. Tetapi sekarang, ia menjadi alat untuk menenangkan jiwa-jiwa yang tersisa, untuk memastikan bahwa dendam yang terbakar dalam dada para leluhur telah padam seiring dengan berkibarnya Sang Saka Merah Putih. Namun, apakah benar-benar sudah padam? Ataukah api itu hanya bersembunyi, siap berkobar kembali di masa depan yang tak pasti?

Malam itu, Tirto duduk di depan api unggun yang menari-nari dalam keheningan. Langit desa itu berwarna merah tua, seperti mengingatkan pada darah yang tertumpah di masa-masa penuh ketidakadilan. Bagi Tirto, Pancasila bukan hanya sekumpulan kata-kata yang diagungkan dalam pidato, melainkan sumpah yang diukir dalam darah para pejuang yang telah mendahului. Pancasila adalah nafas dari setiap langkah yang diambil oleh mereka yang masih hidup, harapan di tengah-tengah kegelapan.

Tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang berakar dalam-dalam, lebih dalam dari kesetiaan pada tanah ini. Sebuah rahasia yang terkubur bersama para leluhur, rahasia yang belum ia ungkapkan pada siapapun. Apakah keris ini benar-benar menjadi simbol perdamaian, atau justru penanda perjanjian yang tak pernah selesai? Perjanjian yang disegel dengan darah, bukan untuk kemerdekaan, tetapi untuk menjaga sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang mungkin hanya dimengerti oleh mereka yang memegang kunci.

Tirto memandangi keris itu, kilatan api memantulkan sinar pada bilahnya yang masih basah. Tiba-tiba, sebuah bayangan dari masa lalu melintas di benaknya. Wajah-wajah tak dikenal, tetapi terasa akrab, berbaris dalam ingatan, membawa beban sejarah yang tak terkatakan. Mereka berbicara tanpa suara, berbisik tentang sebuah pengkhianatan yang telah lama terlupakan, terkubur oleh waktu dan ketenangan yang menipu.

"Apa artinya kemerdekaan jika kita masih terikat oleh janji yang tak dapat kita pahami?" pikirnya. Pancasila menjadi mantra yang ia ulangi dalam hatinya, mencoba menenangkan kegelisahan yang tak kunjung hilang. Tetapi jawabannya tetap kabur, seperti asap yang melayang di udara malam. Tirto merasa bahwa tugasnya belum selesai, bahwa ada sesuatu yang harus ia lakukan, meski tak tahu apa atau bagaimana.

Malam semakin larut, tetapi Tirto masih terjaga, matanya terpaku pada api yang mulai redup. Ia tahu bahwa hari kemerdekaan telah berlalu, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu tetap menggantung di udara. Apakah kemerdekaan yang mereka rayakan benar-benar berarti jika sejarah yang terkubur belum selesai ditulis? Dan apakah keris ini, yang kini bersih dan mengilap, masih menyimpan kutukan dari masa lalu?

Bagian ending oleh: cindi_cr

Dia berusaha untuk tidur, namun matanya tak kunjung tertutup. Malam itu dia di temani oleh semua suara bisik di kepalanya hingga pagi pun menjelang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro