01:00 by @Beingacid

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Title: 01:00

Written By 

***

Hillary paling benci pindah rumah. Menurutnya, setiap rumah pasti ada ceritanya. Tentunya, kamu tahu maksud 'cerita'ini. Cerita yang mampu membuatmu terjaga di malam yang dingin. Sama seperti dengan keadaan yang sedang terjadi pada Hillary sekarang.

Sudah lima menit Hilarry menatap langit-langit kamarnya. Malam ini adalah malam ke sekian sejak dia pindah ke rumah barunya. Hilarry melirik jam dinding kamarnya. Selalu jam 1 dini hari.

Tiba-tiba Hillary dihinggapi rasa resah yang merambat di tengkuknya. AC kamarnya tidak terlalu dingin, lagipula dia sudah di bawah selimut. Mengapa dia masih menggigil?

Hillary mengerjapkan matanya, menunggu kantuk tiba. Biasanya dia hanya bertahan paling lama 10 menit dalam keadaan aneh ini. Pasti sebentar lagi dia mengantuk.

Ayolah, Hil. Besok lo harus kuliah pagi. Tidur, please...

Hilarry membujuk dirinya sendiri. Dia memejamkan mata, membalikkan tubuhnya menghadap kaca kamarnya. Lalu dia membalikkan tubuhnya kea rah yang lain. Hilarry tidak nyaman tidur menghadap kaca itu, seolah-olah ada yang mengintainya dari balik kaca.

Persetan, Hil! Itu hanya perasaanmu saja, umpatnya dalam hati.

Memang benar, semua itu hanya perasaannya saja. Tidak ada orang yang benar-benar memperhatikannya dari balik kaca itu. Setidaknya, bukan orang yang bisa dilihatnya.

Tok...tok...tok...

Hilarry mendengar suara seperti para tukang sedang mengerjakan konstruksi. Bulu kuduknya meremang.

Demi Tuhan, gue ga tau itu suara apa. Nggak mungkin ada orang yang mengerjakan renovasi rumah tengah malam buta begini. Please, berhenti.

Suara itu berhenti seolah menjawab kata hati Hillary. Keheningan yang ganjil kembali menyelimuti semua indera Hilarry. Bersusah payah Hilarry membujuk dirinya untuk kembali tidur lagi. Namun, dengan absennya bunyi yang sudah setiap malam dia dengar itu membuat Hilarry semakin merasa sendiri. BUnyi itu sudah menjadi semacam lagu nina bobo untuknya.

Tok...tok...tok...

Bunyi itu terdengar lagi, menjawab permintaan Hilarry yang disampaikan hanya dalam kepalanya. Hilarry menghela napas.

Jadi, apapun yang membuat bunyi ganjil itu bisa mendengar kata hatinya. Hillary mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Mungkin aja hanya kebetulan, Hil. Labil amat sih, dijawab sama bunyi aja, udah baper.

Namun, detik berikutnya Hilarry malah teringat cerita Tantenya yang punya tugas pendoa di salah satu kelompok dia. Tantenya sering kali mendapatkan ketukan pelan di depan kamarnya ketika dia sedang berdoa secara khusyuk. Biasanya kalau sudah begitu, Tantenya akan menjawab ketukan itu dengan satu kalimat.

"Iya, nanti saya kamu doakan. Tenang saja. Sekarang jangan ganggu saya ya."

Dan suara ketukan itu pun reda.

Hillary nekad bertanya lagi dalam hatinya. Kali ini, dia benar-benar tujukan pada suara ketukan itu.

"Kalian ada?" gumam Hilarry. Dia benar-benar merasa konyol sekarang. Apa yang dia harapkan? Suara itu menjawabnya? Dengan apa? Hilarry yakin dia akan kabur secepat kilat kalau ada suara yang menjawabnya.

Tok...tok...tok...

Bunyi tetap pada ritmenya. Hilarry mengartikan itu sebagai 'iya'.

"Kalian mau aku doakan? Supaya kalian tenang di alam sana?" Hilarry bertanya lagi.

Tok...tok...tok...

Bunyi itu menjawab lagi. Masih 'iya'.

"Ya sudah, saya kalian doakan. Kalian tenang ya. Saya mau tidur sekarang."

Bunyi itupun tidak menjawab lagi.

Shit! Hilarry mengumpat lagi dalam hatinya. Entah wujud apapun itu telah berhasil berkomunikasi dengannya. Tidak mungkin hanya kebetulan lagi. Sudah terlalu banyak kebetulan dalam beberapa menit ini.

Hilarry mulai mengantuk dan dia pun kembali ke tidurnya lagi.

***

Malam berikutnya, Hilarry terjaga lagi. Di jam yang sama pula. Segera setelah dia membuka matanya, rasa aneh itu hinggap lagi padanya. Ruangan kamar seolah turun beberapa derajat di bawah suhu yang dia atur.

Satu lagi yang ganjil. Bunyi yang biasanya terdengar hari ini absen, membuat suasana malam semakin kosong dan hampa. Hilarry tercabik antara takut dan penasaran. Diapun memberanikan diri dan berbisik pelan, "Kamu sudah tidak ada ya?" Dalam hati, dia berharap pertanyaannya itu hanya menggantung tanpa jawaban.

Tok...tok...tok...

Bunyi itu muncul lagi.

Astaga, jadi makhluk tak berwujud itu memang ada dan mengerti kata-katanya, bahkan merespon. Keadaan gila macam apa ini? Seumur hidupnya, Hilarry tidak pernah berurusan dengan hal-hal tidak kelihatan semacam ini. Lagipula dia tidak pernah peduli. Atau mungkin tidak peka. Entahlah.

"Maaf ya, aku belum berdoa buat kamu," sahut Hilarry lagi.

Tok...tok...tok...

"Mau kuberdoa untukmu malam ini?" Hilarry bertanya lagi.

Tidak ada jawaban.

Oke, jadi dia tidak mau didoakan. Plin-plan sekali. Kemarin mau, hari ini tidak. Dia tetap ingin mengganggu tidurku.

"Apa kamu yang membangunkan aku tiap malam?" tanya Hilarry lagi.

Tok...tok...tok...

Oke, ini menarik. Hahaha ... apa yang sebenarnya gue lakukan sih? Ngobrol sama hantu? Sudahlah, terlanjur.

"Kenapa?"

Tidak ada jawaban. Hilarry kecewa. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena akhirnya dalam sekejap dia merasa sangat mengantuk.

***

Hilarry tahu ini hanya mimpi, sekalipun terasa sangat nyata. Dia berada di kamarnya sendiri, tetapi di dimensi lain. Ada yang mengamatinya dari belakang. Tepatnya, dari balik jendela. Hilarry sejenak ragu apakah dia berani menghadapi apapun yang akan dia lihat itu. Dia menelan ludahnya.

Hil, ini hanya mimpi. Apa yang lo takutin sih?

"Tapi aku terasa nyata, 'kan?"

Hilarry mengurungkan niatnya untuk menoleh. Suara itu datar, pelan, lembut, dan dingin. Suara seorang wanita. Jantungnya berdetak dengan keras.

"Menolehlah, tidak apa. Aku tidak seperti bayanganmu."

Memangnya apa yang ada di kepala gue?

"Aku bukan semacam sosok perempuan berambut panjang, berjubah putih, penuh luka dan darah."

Hilarry merinding sendiri mendengar jawabannya. Dia memang membayangkan sosok hantu yang dia biasa lihat. Di film-film, tentu saja. Ini pertama kalinya dia akan berhadapan muka langsung dengan hantu. Ralat, berhadapan langsung dengan hantu di mimpinya.

"Aku tidak mau. Kamu menggangguku," sahut Hilarry. "Pergilah."

"Kamu berjanji sesuatu, Hilarry!"

"Bagaimana kau -"

Oke, tidak penting dia tahu dari mana nama gue. Dia bisa tahu dari mana saja, dia hantu. Dalam mimpi lo, Hilarry. Wake up!

Hilarry memejamkan matanya dan membukanya lagi. Dia masih di dalam mimpi itu. Hilarry mencubit pahanya sendiri, tidak sakit, tidak ada rasanya.

Tidak! Dia harus bangun sekarang!

"Kamu tidak bisa pergi, Hillary. Sebelum kau tepati janjimu."

"A-aku janji apa?"

"Membuatku pergi selamanya."

"Aku tidak bisa."

Hening. Lama. Bulu kuduk Hilarry berdiri. Dia mendengar hembusan napas wanita itu, bertiup dingin di tengkuknya.

Shit, seberapa dekat makhluk ini?

"Di dinding kamarmu," lagi-lagi udara dingin menyapu tengkuk Hilarry, "masih ada tubuhku."

Crap!

Hilarry memejamkan matanya. Kini dia merasa ada yang membelai pipinya.

Hanya angin, hanya angin, Hil! batin Hilarry.

"Kuburkan aku di tempat yang layak." Napas dingin berhembus lagi. "Atau, kamu yang harus menemani kutinggal."

Hilarry membuka matanya. Dia bertatapan dengan seorang wanita berwajah pucat, sangat pucat dengan mata merah yang berada sangat dekat dengannya.

"ARGH! Tidak!"

Hilarry membuka matanya lagi. Napasnya terengah-engah.

Paginya, Hilarry bersikeras untuk membongkar tembok kamar. Dia tidak menerima protes dari siapapun. Dia mengambil palu dan mulai memecahkan dinding kamarnya sendiri disaksikan oleh kedua orangtuanya yang memandangnya dengan khawatir.

Hilarry hanya bisa menangis, antara lega, takut, dan sedih, ketika akhirnya dia melihat potongan tubuh manusia yang sudah membusuk dari balik dinding yang dia pecahkan.

"Ku-kuburkan dia!" bisik Hilarry pada kedua orangtuanya.

Kemudian, semuanya menjadi gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro