Amandya Jauhari by Cha-Cha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul : Amandya Jauhari


Author : c2_anin


***


Aku terdiam.


Sekelilingku mulai menggelap. Cahaya di seputar kelasku sudah mulai dimatikan oleh penjaga sekolah. Rendy dan Rohan berinisiatif menyalakan lampu senter yang mereka bawa.



Kami saling melempar pandang dalam pekatnya malam. Ini semua salah Rohan, meninggalkan buku catatan penting mengenai soal ujian di lacinya. Jika bukan karena situasi urgent, aku tidak ingin berada disini. Dengan para pengecut kecil macam mereka.



"Kal, lo duluan ya jalannya. Gue udah merinding nih." Rendy mencicit disebelahku.



Kan, pengecut banget?!



Sebenarnya aku pun sama dengam mereka. Ketakutan pastinya.



Bagaimana tidak, kelasku ada dilantai tiga paling ujung koridor sekolah. Persis dipojokan dekat kamar mandi yang 'katanya' menyeramkan itu.



Entah darimana gosip itu beredar, aku tidak ingin bertanya lebih jauh. Mendengar gosip itu saja aku sudah meremang, apalagi membayangkan.



Aku, Kal-el Tekhsar.



Pemuda tanggung berusia 16 tahun yang penakut dan pengecut. Namun membesarkan nyaliku yang sebesar upil ini menjadi balon udara agar mampu menapaki tangga sekolah yang biasa aku naiki setiap harinya.



Dalam hati, aku merutuki kebodohan Rohan kalo ini. Membiarkan buku catatan itu ke tangannya adalah kesalahan terbesarku kali ini.



Sialan!



"Gue pengen pipis, Kal." kali ini Rohan berbicara.



Ah, persetan dengan keinginannya untuk buang hajat. Aku harus menyegerakan langkah ke lantai tiga.



Suasana benar-benar menggelap. Bias cahaya rembulan sempurna memasuki sudut-sudut jendela yang ada di lantai tiga. Lantai dua sudah aman kita lewati, aku dan Rendy terus mengabaikan ocehan Rohan tentang buang hajatnya.



Pipis aja sendiri.



Persis diujung tangga lantai tiga, aku kembali terdiam. Begitu juga langkah kedua temanku itu. Samar-samar aku dapat melihat bayangan di ujung koridor.



Aku mencelos.



Aku itu penakut. Penakut akut asal kalian tau.



Aku melirik Rendy yang memucat menatap wajahku.



"Kok, kita berenti sih?" Rohan benar-benar seperti wanita. Cerewet. Itulah alasan mengapa aku malas mendekati para gadis di sekolahku. Cerewet.



Tapi, bukannya aku seperti mereka? Penakut? Perempuan kan identik dengan takut saat gelap? Benar kan?



Kembali aku menegaskan pandangan di arah sudut yang sempat aku tangkap bayangan tersebut. Siapa tau aku salah.



Dan, yah. Benar saja. Aku salah.



Itu bayangan dari luar, kibaran bendera yang tidak diturunkan dari tiangnya. Ini hari kamis, penurunan bendera biasa dilakukan dihari jumat.



Bicara hari, oh shit!



Ini hari kamis, malam jumat. Malam sakral. Malam mencekam. Malam menakutkan. Malam mendebarkan. Dan banyak istilah malam yang berkaitan dengan istilah 'malam jumat'.



Bulu kudukku meremang.



Aku refleks memegang tengkukku. Mendadak akupun sama dengan Rohan. Ingin buang air kecil. Ah, please. Diskip tiga puluh menit lagi bisa tidak?



"Lo yakin Kal, kita kesana?" kali ini pertanyaan Rendy SUKSES membuat balon udara nyaliku menyusut 50 %.



Aku meneguk ludah secara kasar.



Rohan malah mengkeret dibelakangku. Kan, sialan! Seharusnya dia yang maju dengan gagah berani, mengambil buku catatanku itu. Benar-benar teman yang blo'on.



"Kita sama-sama, bego! Jalan kesana. Ya kali gue sendirian." kataku tajam. Membuat kedua temanku memasang ekspresi ketakutan yang berlebih.



Mungkin bagi kalian, kita ini sangat-sangat pengecut. Tidak apa. Tidak masalah. Karena kalian tidak tau sejarah toilet lantai tiga sekolah kami. Makanya kalian bisa berbicara seperti itu.



Mau aku ceritakan?



Baiklah, tapi tolong. Doakan kami kembali kerumah, oh tidak. Kembali ke depan gerbang sekolah dengan selamat. Kami tidak ingin menjadi korban seperti yang sudah-sudah.



Dulu.



Ini real terjadi disekolah.



Empat belas tahun lalu. Seorang siswi terpandai, tercantik dan terpopuler di sekolahku ini, Amandya Jauhari atau akrab di panggil Dya. Meninggal mengenaskan dikamar mandi lantai tiga.



Ia diperkosa dan dibunuh dengan cara yang tidak wajar. Lehernya hampir putus dengan bagian tubuh lainnya. Kewanitaannya terkoyak penuh luka. Tubuhnya dipenuhi lebam dan bekas cakaran. Banyak bekas cumbuan tak wajar ditemukan di tubuhnya.



Setelah sebelumnya, ia ada kelas melukis yang mengharuskan dirinya pulang larut karena akan ada pameran yang akan diselenggarakan di sini, sekolah SMA Bakti Nusa.



Tidak ada yang tau, siapa yang tega berbuat seperti itu kepadanya. Padahal menurut kabar yang aku dengar, Dya seorang gadis yang supel dan tidak sombong. Dikelilingi banyak teman dan juga guru yang menyayangi dirinya, tidak lantas membuat Dya besar kepala. Dya selalu santun terhadap siapapun.



Jadi wajar, saat ditemukan dalam keadaan seperti itu. Seluruh sekolah sangat kehilangan dan mengutuk pelakunya. Sangat mengutuk. Dengan kejinya ia berbuat seperti itu terhadap bunga sekolah, terhadap gadis berparas manis yang fotonya masih teroajanh diruang guru.



Tadinya, sebelum ada kejadian aneh yang mengiringi kisah kematiannya, foto Amandya Jauhari terpampang jelas di tembok mading. Tersenyum manis mengangkat piala kemenangan hasil lomba lukis tingkat nasional, mengantarkan SMA Bakti Nusa menjadi juara umum setelah bertahun-tahun lalu tidak pernah membawa pulang satu pun piala.



Keadaan duka itu berlangsung satu minggu. Kabar yang aku dengar, orang tua Dya sampai pingsan-pingsan melihat dan tau keadaan anak semata wayangnya. Pastilah mereka shock dengan keadaan itu. Terutama guru pembimbingnya, yang terakhir bertemu dengannya sore kala itu.



Namun, kejanggalan tercipta.



Sampai detik ini, saat aku adik kelasnya ini memasuki gerbang sekolah untuk pertama kalinya tiga tahun lalu, si oelaku tidak ditemukan juga. Artinya sudah empat belas tahun berlalu sejak kematian tragis gadis itu tidak pernah bisa dikuak. Bahkan kepolisian pun sampai menyerah dan tidak lagi melanjutkan penyelidikan.



Hebat bukan?



Nah, mungkin inilah bencana diatas duka. Seminggu setelah masa berkabung untuk seorang Amandya Jauhari, teror mulai berdatangan.



Setiap hari Rabu, ya Rabu adalah hari kejadian dimana jasad Dya ditemukan. Persis pukul lima sore, dentang jam tua diruang perpustakaan selalu memekak telinga. Padahal jam itu rusak. Jam itu hanyalah pajangan kuno di ruang perpustakaan. Selidik punya selidik, jam itu adalah jam favorit Dya saat ia menghabiskan waktu di perpustakaan, dulu. Jam yang selalu mengingatkan Dya untuk mengikuti berbagai macam kegiatan yang ada di sekolah ini.



Itu tak seberapa.



Ingat tentang foto Dya? Foto berukuran sangat besar itu sekarang menghuni ruangan guru, akibat protes banyak pihak. Banyak pihak ya, aku garis bawahi. Kenapa?



Tembok mading sekolahku terletak di koridor penghubung antara kelas lantai dua dengan ruang praktek biologi. Koridor itu terbiasa sepi jika tidak dalam aktivitas tertentu, semisal jam istirahat.



Beberapa siswa yang apesnya, sedang berjalan sendiri, konon sering mendapati mata Dya melirik tajam kearahnya atau berkedip diselingi dengan sunggingan senyum aneh Dya. Terkadang malah foto itu bergerak tak tentu arah.



Mengerikan, oh bukan. Menakutkan jika kalian menjadi siswa yang secara tidak sengaja merasakan hal itu. Walau sudah lama berselang, namun gosip itu mengakar dan menancap pada tiang sekolah ini.



Akhirnya, diputuskan bahwa foto itu dipindahkan. Mungkin jika ditempat yang selalu ramai dikunjungi, foto itu tidak macam-macam. Mungkin. Dan entah mengapa, pemikiran itu menurutku agak janggal.



Dari ruang guru itulah aku tau sosok seorang Amandya Jauhari.



Memang cantik. Sangat malah.



Itu sebenarnya tidak seberapa menakutkan. Kalian tau, doa apa yang aku rapal tadi? Semoga kami bisa sampai didepan gerbang sekolah dengan selamat. Coba kalian tebak karena apa?



Apa lagi selain tidak ingin bertemu dengan arwah penasaran Dya. Jangan kalian pikir ini gosio belaka. Tiap tahun, entah itu hari Rabu, atau tanggal kematiannya 25 September SELALU jatuh korban. Berakhir tragis dan menggemaskan pula. Korbannya random, laki-laki atau perempuan. Tua maupun muda.



Aku berpikir, sekolah ini dikutuk. Namun lebih dari sekedar kutukan sepertinya.



Baiklah, lanjutkan cerita.



Tahun pertama setelah hari berkabung mengenang Dya, kalian masih ingat dengan guru pembimbing nya, ya Bu Anastasya. Guru pembimbing merangkap sebagai pegawai TU itu ditemukan gantung diri di dekat kamar mandi tempat kejadian itu. Persis di hari Rabu, sehari setelah hari mengenang itu berlangsung.



Seluruh sekolah, mulai dari murid hingga jajaran guru, terkejut luar biasa. Bagaimana bisa seorang ibu Anasasya melalukan hal seperti itu. Namun, sehari setelah pemakamannya ditemukan sepucuk surat yang berisikan catatan bertulis tangan dirinya.



Dear my sweet, Dya.



Muridku tersayang. Maafkan guru bodohmu ini membiarkanmu pulang larut dan mengalami hal keji seperti iti. Jika kau ingin, ambillah nyawaku Dya. Aku rela. Anggaplah ini tebusan atas dirimu yang seharusnya lulus dengan nilai terbaik dan mengharumkan nama kedua orangtuamu.



Maaf, Dya. Aku tidak merelakan anakku untuk kau ambil. Seperti permintaanmu dimimpi yang menghantuiku selama berbulan-bulan ini. Aku tidak menyesal Dya. Aku menyayangimu. Sangat.



Anastasya.



Ah, itu baru tahun pertama.



Tahun kedua.



Saat perayaan ulang tahun sekolah, bertepatan dengan tanggal 25 April. Para siswa sangat antusias mempersiapkan segalanya. Sekolah berhias dengan meriahnya. Banyak potongan stiker dan kerta warna-warni hasil anak mading menghias disegala arah.



Namun naas, saat akan memompa balon untuk hiasan, tabung gas yang digunakan meledak seketika. Membuat beberapa siswa didekatkan terkena ledakan. Dua orang siswa meninggal ditempat, satu orang kritis serta satu lagi mengalami cacat ditangannya.



Saksi hidup.



Ya, siswa yang mengalami cacat ditangan kanannya itu, adalah saksi hidup kejadian mengerikan tersebut. Sesaat sebelum tabung gas itu meledak dengan kerasnya, ia melihat Dya tersenyum. Mendekat. Dan memberikan tekanan berlebih pada tabung. Awalnya ia dinyatakan setengah gila karena selalu meneriaki nama Dya.



Namun, setelah dibawa kepada paranormal ahli, akhirnya terkuak, bahwa memang benar ia melihat arwah Dya. Dya ingin ikut dalam pergelaran akbar itu. Dya selalu menjadi Bintang, namun saat itu ia tidak berdaya.



Ia iri, kata paranormal itu.



Ah, benar- benar mengerikan.



Aku tidak ingin melanjutkan.



Sungguh.



Baiklah.



Baiklah.



Aku lanjutkan.



Tapi, tolong. Doakan aku dan kedua temanku ini selamat. Sungguh, aku mengharap doa kalian.



Tahun ketiga.



Tepat di bulan September. Saat musim penghujan tiba. Ya, sekolahku dari dulu hingga saat ini tidak berubah banyak, hanya tatanan dan peletakan ruang saja yang berubah. Namun secara keseluruhan tidak. Aku masih dapat melihat dari foto-foto dari tahun ke tahun sekolahku ini.



Ada pohon rindang dekat gerbang sekolahku, dulu. Saat itu, mendung sudah bergelayutan. Namun belum ingin membasahi bumi dengan rintikannya. Disitu memang dijadikan tempat parkir para siswa yanh membawa kendaraan atau para guru. Saat itu, guru matematika kelas tiga, Pak Anwar namanya. Memarkirkan kendaraannya dengan tergesa-gesa. Mungkin ia ketakutan hujan akan segera turun, takut membasahi seragamnya.



Naas memang, baru saja akan meraih tas sekolahnya. Pohon besar itu tersambar petir dengan dahsyatnya, juga menyambar tubuh Pak Anwar dengan ganasnya. Membuat seketika sekolah kembali menjerit.



Saksi itu masih ada. Pohon dengan sisa sambaran petir itu masih utuh berdiri. Walau tak lagi memunculkan dedaunan, namun bekas dan kesaksiannya masih membekas disana.



Ah, aku rasa cudah cukup aku bercerita.



Aku sudah sangat bergetar asal kalian tau.



Aku memantapkan hati, sekali lagi. Kedua temanku pun sepertinya sama.



Baiklah, ini tidak akan lama kok.



Buka pintu kelas, ambil buku. Selesai.



Perlahan, kita melangkah.



Mendekat ke arah kelas.



Gerakan kakiku entah mengapa aku merasa berat. Sangat.



Aku bahkan sampai berpegangan dengan tangan dingin Rendy. Dia juga ketakutan sepertinya.



Baiklah, mari rapalkan doa kembali. Entah sudah berada puluh kali aku merapal doa keselamatan dan perlindungan.



Kriek!



Pintu kelas terbuka.



Ah, ya gelap.



Aku meraih saklar di dinding dekat pintu. Untunglah aku menghapal bagian kelas ini.



Cetak.



Cetak



Cetak.



Ya Tuhan!



Lampu nya tidak menyala!



Lindungi kami, Tuhan.



Rohan menarik bahuku dengan keras. Dia bergetar hebat. Matanya nyalang lurus ketengah kelas.



Aku mengikuti arah matanya.



Aku, melotot.



Sorotan senter persis mengarah ketengah kelas.



Menjerit tertahan pun aku tak sanggup.



Gadis itu.



Sosok itu



Duduk dengan anggun dimeja.



Menampilkan senyuman paling menawan yang aku tau.



Senyuman di foto itu



Amandya Jauhari



Ya, gadis itu masih lengkap dengan seragamnya.



Aku menggenggam keras tangan Rendy juga Rohan. Saling menggenggam menguatkan. Aku yakin mereka pun melihat sosok yang sama. Terbukti dari kerasnya genggaman tangan yang mereka respon di telapak tanganku.



"Hai, kalian datang untuk aku kan?" suaranya lembut, selembut sutra. Mendayu bagai lagu kematian.



*****



25 September 2016



BERITA HANGAT



Telah ditemukan tiga orang siswa SMA Bakti Nusa gantung diri di kelas mereka. Tidak ada yang tau pasti penyebab ketiga siswa ini melakukan aksi dramatisnya.



Adalah Kal-el Tekhsar, Rendy Gautama dan Rohan Aditya. Para siswa teladan dan team inti klub basket disekolah.



Tidak ditemukan bukti-bukti penyimpangan selama mereka bersekolah. Dan juga musuh dari luar sekolah. Namun, ada pesan tertulis di buku catatan yang disinyalir milik salah satu dari mereka.



Aku menunggu kalian.



Dya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro