Secret Library by Aulia al Hazmi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul : Perpustakaan Tua

Author : Reia_ariadne

****

"Na, jadi nanti malam kamu ke perpus?" tanyaku. Ratna, teman satu asramaku, lagi-lagi hanya mengangguk pelan. Tangannya sedang asik memegang buku.

"Ya udah, aku temenin. Tapi, besok gantian kamu yang temani aku nyari sepatu di pasar blok A ya?" balasku. "Iya Dewi" jawabnya.

Setelah itu, aku segera pamit, kemudian pergi menuju rental komputer Bang Tarno. Semoga saja sudah tidak terlalu ramai seperti siang tadi.

Dari kejauhan, aku melihat gedung perpustakaan yang tampak angkuh. Disinari mentari senja, beralaskan tanah kecokelatan dengan rerumputan yang mengelilingi. Bangunan kuno itu seolah-olah sedang menyerap segala macam pengetahuan dari bumi, kemudian menyadurnya menjadi pokok-pokok ilmu yang disimpan dalam kotak kecil yang tebal. Buku.

Kualihkan pandanganku ke arah selatan. Terlihat bangunan yang tak kalah angkuhnya. Itulah gedung perpustakaan baru yang akan diresmikan bulan depan. Dindingnya tampak moderen dengan selipan kaca bening diantaranya. Berbeda dari gedung tua yang sebenarnya berwarna putih, tetapi agaknya lumut hijau yang bergerombol telah membuat lukisan coreng moreng pada dinding. Jadilah ia kusam. Tiada terawat sedikitpun. Lagipula, buat apa mempedulikan hal itu? Besok gedung kumal tersebut tidak lagi difungsikan. Itulah kiranya yang membuat temanku, Ratna Sastriwati, ingin merasai belajar untuk terakhir kali disana. Aku pikir itu cukup masuk akal.

Akhirnya urusanku dengan tugas komputer telah selesai. Aku pun kembali ke kamar. Ratna telah bersiap dengan kemeja kotak dan celana jins biru muda. Kacamata tebal kesayangannya menggantung lemah di hidungnya. "Kamu harus ganti bingkai kacamatamu, Ratna," saranku sembari melempar tas sandang ke atas kasur. "Nanti Dewi, nanti. Ayo pergi, gerimis sudah mulai turun."

Kami berlari pelan dibawah rintikan hujan. Dingin memang, tapi tak mengapa. Kami berdua terlalu bersemangat untuk menikmati bangunan tua itu. Tempat kesukaan kami sejak awal mulai perkuliahan. Namun, akhir-akhir ini aku jarang kesana, mungkin saja Ratna masih sering berkunjung.

Sampailah kami di teras depan perpustakaan. Pak Parno terlihat sedang terburu-buru, tapi ia sempatkan juga untuk menyapa. "Aduh, Non Ratna, Non Dewi. Bapak mau pergi sebentar, lupa ngejemput jahitan celana, sebentar lagi toko jahitnya mau tutup. Bapak tinggal sebentar ya" ujar pria tua itu dengan tergesa-gesa.

"Iya pak, tidak apa-apa", jawabku.

Pak Parno bergegas menaiki sepedanya, kemudian menghilang dari pandangan kami.

Kasihan pria tua tersebut. Hanya ia satu-satunya petugas perpustakaan yang masih bekerja di bangunan lama ini. Ia tidak bisa menolak, tiada berkuasa. Jam malam perpustakaan pun tidak memberikan upah lembur untuknya.

Aku selalu mengagumi bangunan ini.
Ruangan dengan langit-langit tinggi warisan kebudayaan belanda memang sungguh memukau. Berbeda dengan ruang perkuliahan baru yang hanya setinggi tiga meter dari tanah. Memberi batasan jangkauan otak untuk menalar. Langit-langit in seakan menerangi setiap batok kepala mahasiswa yang sedang bernaung di bawahnya. Namun, malam ini hanya tiga orang mahasiswi yang berada di perpustakaan. Aku, Ratna, dan seorang mahasiswi lainnya. Dia duduk di ujung salah satu meja yang berbentuk persegi panjang. Menunduk membaca buku.

"Dewi, aku kembali ke asrama dulu ya, baru ingat kalau ada satu buku milik perpustakaan yang belum aku kembalikan," ujarnya tiba-tiba. Kemudian berlari ke luar ruangan.

Asrama kami tidak begitu jauh dari gedung perpustakaan. Hanya beberapa menit berjalan kaki. Tidak semestinya aku mencegah Ratna. Biarlah, hanya sebentar aku akan menunggu.

Kalau dipikir lagi setelah kepergian Ratna, ruangan ini agak sedikit menyeramkan meskipun penerangannya cukup cerah. Bunyi berdecit setiap kali melangkah. Gonggongan anjing milik satpam kampus yang berpatroli malam. Ditambah dengan suara hujan yang mulai deras. Ah, mudah-mudahan saja Ratna tidak basah dan ingat untuk membawa payung saat kembali kesini.

Mahasiswi yang sedang duduk di ujung meja tadi tetap asik dengan bacaannya. Setidaknya saat ini ada yang menemaniku, meskipun tidak kenal siapa dia. Gadis itu mengenakan kemeja putih lengan pendek. Tepinya tidak bebas, tetapi menggelembung. Mirip tepi lengan pakaian putri dalam cerita kanak-kanak.
Aku tidak melihat jelas bawahan yang dipakainya, terhalang meja. Tapi sepertinya berwarna gelap.

Aku duduk di ujung satunya. Kami saling berhadapan. Mendengar suara kursi yang kududuki barusan, barulah ia mengangkat kepalanya, kemudian tersenyum.

Aku membalas senyumannya. Hanya beberapa detik, lantas ia kembali pada bacaannya lagi.

Kumainkan gelang yang melekat pada tangan kiriku. Menindahkannya ke tangan kanan, tangan kiri, begitu seterusnya. Aku menunggu Ratna kembali. Sedikit bosan.

"Clanggg!"

Tiba-tiba gelang itu jatuh ke lantai. Salahku memang. Kurang kuat kupegang.

Gadis itu tersenyum melihat kelakuanku. Sambil menganggukkan kepala, aku melepas senyum maaf kepadanya. Lalu kupungut gelangku tadi.

Ya Tuhan! aku kaget bukan kepalang. Tidak ada kaki siapapun di ujung sana. Sekarang aku masih belum mengangkat kepalaku, berusaha menajamkan penglihatanku. Kosong! Tidak terlihat adanya sepasang kaki.

Jantungku kini berdetak tidak karuan. Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku. Gadis itu masih disana. Malah ia kelihatan heran dengan caraku memandangnya.

Langsung kulihat ke bawah meja lagi. Tidak ada kaki! Tidak ada!

Mataku kembali menandang ke atas meja. Gadis itu kini tersenyum ramah. "Kamu kenapa?" tanyanya sambil menopang pipi dengan kedua tangannya. Sikunya menempel diatas meja.

Aku tergagap, tidak menjawab pertanyaannya. Bulir keringatku mendesak jatuh. Aku terdiam. Menunggu sebuah kejadian. Apapun itu.

Gadis itu melebarkan senyumannya. "Jadi kamu sudah tahu ya?" Deg! Perasaanku tidak enak!

Tiba-tiba, tubuh gadis tanpa kaki itu berjalan cepat di atas meja ke arahku. Dia berjalan dengan kedua sikunya! Tawanya melengking keras. Beriringan dengan deru bunyi siku yang menghantam-hantam meja. Mendadak tubuhku kaku!

Dia berhenti satu jengkal dari kepalaku. Aku masih tidak bisa bergerak! Air mataku sudah keluar dari tadi, tapi tenggorokanku seperti terhalang sesuatu. Tidak dapat bersuara! Aku takut!

"Kau menyembunyikan kakiku ya?" bisiknya sambil terkekeh-kekeh.

"Kyaaaaa...!" Jeritku.

Aku berlari terlunta-lunta, mencoba menggapai pintu keluar. Aku tidak melihat ke belakang. Tidak ada guna! Napasku tersengal-sengal. Samar-samar aku mendengar gadis setan itu bernyanyi. Nadanya mendayu-dayu lambat, seperti memanggil kakinya sendiri!

"Kaki... Mana kakiku?"

"Kaki... Mana kakiku?"

"Kaki... Mana kakiku?"

Nyanyiannya lama kelamaan tidak terdengar lagi. Tiba-tiba aku kehilangan kuasa atas tubuhku. Aku pingsan di lantai teras perpustakaan tua itu.

-----

Paginya, Ratna mengatakan kalau kemarin ia dan Pak Parno menemukannku tergeletak di pintu depan. Malam itu juga mereka berdua mengangkatku ke kamar. Dan ia menanyakan apa yang terjadi padaku. Aku ceritakanlah kejadian malam itu. Ratna bergidik. Mungkin dalam hatinya bersyukur karena bukan dia yang mengalami.

Lusanya, aku ceritakan juga hal itu pada penjaga asrama. Dari keterangan beliau aku ketahui kalau beberapa tahun lalu pernah ada kejadian seorang mahasiswi diperkosa dan dibunuh di dalam perpustakaan itu. Jasadnya hanya tubuh bagian atas yang ada, kakinya tidak pernah  ditemukan sampai sekarang.

Untung saat ini gedung perpustakaan tua tersebut telah tersegel. Beberapa hari lagi bangunan itu akan dirobohkan. Namun, nyanyiannya masih terngiang-ngiang dikepalaku.

"Kaki... Mana kakiku?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro