sepantasnya dia berhak berkata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepantasnya Dia Berhak Berkata
Written By Green Tea
Playlist, Seperti Tulang, Nadin Amizah.

Aku terlahir dari tempat di mana waktu tak mengenal arlojinya sendiri, di mana angin tak tahu apa itu arah. Sebuah tempat yang tidak punya nama, hanya sekelumit ingatan yang meresap ke dalam setiap celah pikir manusia, mengendap tanpa pernah diundang. Kamu mungkin tak tahu bahwa aku selalu ada. Bukan karena aku tersembunyi, tetapi karena aku adalah kehadiran yang begitu tipis, serupa napas pertama di pagi buta yang tak pernah Kamu sadari telah menggeliatkan dunia. Kesunyian—itulah nama yang kadang orang-orang coba sematkan padaku. Namhn, bisakah mereka benar-benar memahami artinya?

Aku duduk, terdiam di sudut-sudut yang tak pernah Kamu lihat. Di balik detik-detik yang terus berdentum tanpa henti, menyusup ke dalam setiap celah. Kamu bisa menemukanku di antara helaan napas yang tertahan, di balik desah pilu yang terjepit dalam kata-kata yang tak sempat terucap. Aku adalah jeda, sebuah jarak yang tak kasat mata antara satu kata dan lainnya. Di mana dunia berhenti sejenak, tapi tidak sepenuhnya mati.

Lantas Kamu, apa yang Kamu cari di tengah hingar-bingar ini? Mengapa Kamu berlarian di antara suara-suara yang memekik tanpa arah? Bukankah dalam kesunyian Kamu akan menemukan apa yang sebenarnya kau cari? Ah, tapi manusia, seperti biasa, selalu mencari di tempat-tempat yang penuh dengan bayangan-bayangan kosong.

"Aku takut," Kamu berkata, dalam suara yang tak lebih dari bisikan. Namun, aku mendengar—aku selalu mendengar.

“Takut pada apa?” tanyaku, meski aku tahu jawabanmu akan kabur, serupa dengan setiap pikiran yang kau coba lupakan. Suaramu hanyalah cerminan dari kebisingan yang kau buat sendiri.  Dari kecemasan yang terus berlarian dalam kepala yang tak pernah tenang.

"Tidak ada yang mengerti," jawabnya, suaramu kini pecah, bergetar di bawah tekanan beban yang tak terlihat.

Aku ingin tertawa, tapi apa gunanya? Kamu, bagai yang lainnya, selalu merasa terperangkap. Padahal Kamu adalah penjara bagi dirimu sendiri. Tidak ada dinding, tidak ada jeruji, hanya labirin pikiran yang Kamu bangun setiap harinya—tanpa sadar, tanpa niat. “Kesunyian ini adalah teman,” kataku, suaraku berputar di sekelilingnya selayak kabut pagi yang perlahan-lahan turun ke tanah. “Bukan musuh. Hanya Kamu yang belum siap untuk berteman dengannya.”

Lalu Kamu menutup mata, menghindari tatapanku yang tak kasat mata.  Merasakan dingin yang menyelimuti, tetapi tak pernah sepenuhnya menusuk. Lalu, aku mendengar sesuatu—bukan dari mulutmu, tapi dari dalam, dari bagian terdalam yang selalu Kamu sembunyikan. Ada kerinduan di sana, sebuah panggilan yang bahkan Kamu sendiri tak memahaminya. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, yang tak pernah bisa Kamu temukan meski telah Kamu cari di sepanjang hidup Kamu.

Aku ingin bertanya, akan tetapi aku tahu Kamu tak akan mampu menjawabnya. Di dalam kesunyian, aku melihat segalanya—getar-getar kecil dari ingatan yang terus-menerus menari di ujung-ujung benang takdir. Bagaimana jika semua ini hanyalah bayangan? Sebuah ilusi yang Kamu ciptakan untuk menutupi fakta bahwa Kamu tak pernah benar-benar hidup? Namun lagi-lagi, apa gunanya bertanya pada seseorang yang tak siap menerima jawabannya?

Kamu membuka matamu, memandang ke langit yang kini semakin pekat. Tak ada bintang, tidak ada bulan. Hanya hamparan kelam yang begitu lekat, seakan malam telah menelan dirinya sendiri. "Aku tak tahu lagi," Kamu bergumam, suara yang terlalu kecil untuk didengar kecuali olehku. "Aku tak tahu apa yang harus kulakukan."

Kesunyian menari di antara setiap kata yang Kamu ucapkan, menutupinya dengan lembut, meredam setiap getar kepedihan yang Kamu bawa dalam hati. Aku bisa melihatnya—beban yang Kamu pikul, ketakutan yang terus menghantui, bagai bayang-bayang yang tak pernah bisa kau singkirkan. Lantas aku di sini, menanti saat di mana Kamu akhirnya menyadari bahwa semua ini adalah permainan. Sebuah sandiwara yang Kamu mainkan di atas panggung yang tak pernah ada.

“Aku sudah berjalan sejauh ini,” katanya akhirnya, lalu menggeleng pelan. “Tapi rasanya … aku semakin jauh dari tujuanku.”

Apakah tujuan itu benar-benar ada?” Aku bertanya, meski kutahu pertanyaan itu akan membingungkanmu. Namun, aku suka melihat bagaimana kau berusaha mencernanya, berusaha mencari makna dalam kata-kataku yang samar. Kamu selalu mencari jawaban di luar diri Kamu, seakan-akan dunia ini memiliki kunci untuk semua misteri yang Kamu simpan dalam hati Kamu.

Lalu aku tahu Kamu tak pernah menyadari bahwa jawabannya selalu ada di dalam diri Kamu. Kesunyian ini—keheningan yang membungkus Kamu—bukanlah musuh. Ini adalah cermin. Sebuah cermin yang menunjukkan setiap luka, setiap kebingungan, setiap kecemasan yang Kamu coba sembunyikan. Di sinilah semuanya terpampang jelas, di hadapan Kamu, tanpa ada tempat untuk bersembunyi.

Kamu memandang ke arahku, atau setidaknya, ke arah di mana Kamu pikir aku berada. “Apa yang harus kulakukan?” tanyamu, dan kali ini, suaranya penuh dengan harap. Harap yang Kamu tahu mungkin tak akan pernah terjawab dengan cara yang kau inginkan.

Berhentilah mencari,” kataku lembut. “Kesunyian ini bukanlah hal yang harus Kamu hindari. Ini adalah ruang di mana Kamu bisa menemukan dirimu sendiri.”

Kamu mengernyit, masih tak mengerti. Tentu saja, aku tahu kau tak akan segera paham. Manusia tak pernah benar-benar memahami sesuatu dengan cepat. Terlebih ketika hal itu datang dari tempat yang begitu asing, dari kesunyian yang tak pernah mereka pelajari 'tuk diterima.

“Apakah Kamu takut pada apa yang akan Kamu temukan di sini?” tanyaku, kali ini suaraku seperti angin dingin yang menyapu wajahnya. “Atau Kamu takut bahwa tak ada yang bisa ditemukan?”

Kamu terdiam. Aku bisa melihat sesuatu berubah di matanya—sesuatu yang pelan-pelan mulai bergerak, meski Kamu tak sepenuhnya sadar akan itu. Lalu itulah saat di mana aku tahu, mungkin, hanya mungkin, Kamu akan mulai memahami. Bahwa di dalam kesunyian ini, ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar ketiadaan. Jika di balik segala keheningan, ada makna yang selalu menunggu untuk dijumpai.

Kamu menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya melepaskan sebagian dari ketakutan Kamu.. Kamu belum sepenuhnya bebas, tapi setidaknya, Kamu sudah mulai menapaki jalan yang benar. Lantas aku? Aku hanya akan menunggu. Di dalam kesunyian ini, aku akan selalu ada—tak terlihat, tak terdengar, tapi selalu siap menyambut Kamu saat Kamu akhirnya siap untuk kembali.

Sebab kesunyian, sedemikian halnya cinta, adalah sesuatu yang harus Kamu pelajari untuk diterima.

Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro