Tertawa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tawa
Written by Green Tea
Playlist, Tawa, Nadin Amizah.

***

Dalam hening senja, kamu duduk di bawah pohon yang tidak berbicara. Pohon itu terdiam selayak rahasia yang tersimpan di dasar lautan waktu. Di sekelilingmu, anak-anak kecil berlari, mengisi udara dengan tawa yang terasa ringan, hampir melayang di atas bumi. Namun, ada sesuatu yang lebih dari sekadar suara; tawa itu seperti seruan yang menembus dimensi lain. Bagaimana mungkin tawa dapat memiliki banyak lapisan? Kamu bertanya-tanya, tetapi jawaban itu tersembunyi, bagai daun-daun yang tertiup angin; tak pernah kembali ke tempat asalnya.

Langit berubah. Tidak menjadi gelap atau terang, tetapi seperti kain yang dihamparkan di atas dunia, tersulam dengan cahaya-cahaya aneh. Langit itu tidak berwarna biru, atau merah jambu, tetapi lebih seperti kenangan akan warna. Kamu berdiri, melihat anak-anak itu yang berlarian di tepi pandanganmu. Setiap tawa mereka mengalirkan perasaan, bukan hanya suara. Ada yang seperti rindu dalam tawa itu, ada juga yang membawa kehangatan, seolah suara tersebut telah memelukmu tanpa kamu sadari.

"Apakah kamu tahu apa artinya tawa itu?" Suara tiba-tiba muncul, datang dari balik bayang-bayang pohon. Seorang pria tua muncul, langkahnya pelan, tetapi pasti. Seolah dia bagian dari tanah ini. Dia tidak tersenyum, tetapi matanya berkilat dengan rasa ingin tahu yang dalam. "Mereka tertawa, tapi bukan karena bahagia."

Kamu mengerutkan dahi. "Bukankah tawa adalah ungkapan kebahagiaan?"

Pria tua itu menggeleng, lalu duduk di tanah, perlahan. "Tawa mereka bukan kebahagiaan. Itu adalah kelegaan, kebebasan dari sesuatu yang telah lama membelenggu mereka. Tawa adalah bahasa yang lebih dari sekadar emosi; ia adalah jembatan antara apa yang ada dan apa yang tidak."

Anak-anak itu berlari mendekat, mengitarimu. Kamu bisa merasakan riak-riak energi dari setiap langkah mereka, dari setiap napas yang mereka embuskan. Kamu ingin bertanya, tetapi pria tua itu sudah berbicara lagi, "Tawa mereka, Nak, adalah cermin dari apa yang hilang. Mereka telah kehilangan sesuatu, sesuatu yang tak pernah mereka sadari telah hilang. Setiap kali mereka tertawa, mereka merangkai kembali potongan-potongan kecil dari dunia yang tak pernah mereka miliki."

Kamu merasa ada kejanggalan di dadamu. Suara tawa yang tadinya terdengar selayak musik mulai terasa lebih berat, lebih dalam. Anak-anak itu terus berlari, tetapi sekarang kamu sadar, tak ada jejak kaki di tanah. Mereka melayang, seakan berat tubuh mereka tak pernah menyentuh dunia ini. Namun tawa mereka semakin keras, semakin menggelitik ruang di sekitarmu, hingga udara terasa bergetar.

"Siapa mereka?" tanyamu, suaramu sedikit gemetar.

Pria tua itu tidak segera menjawab. Dia mengulurkan tangannya ke arah anak-anak, dan saat dia melakukannya, cahaya dari langit yang aneh itu berkumpul di sekitar telapak tangannya. Cahaya itu tidak bersinar terang, tetapi lebih seperti kilatan kilau kenangan yang muncul sesaat, lalu lenyap tanpa bekas. "Mereka adalah anak-anak dari masa lalu. Bukan masa lalu yang kamu ketahui, tapi masa lalu yang tak pernah dilahirkan. Mereka tertawa bukan untuk hari ini, tetapi untuk hari yang tak pernah terjadi."

Kamu tidak tahu apakah harus merasa takut atau kagum. Tawa anak-anak itu berubah, kini lebih seperti nyanyian. Setiap nada yang keluar dari bibir mereka seolah membawa beban ribuan cerita yang belum pernah diceritakan. Kamu tertegun, menyaksikan mereka, dan menyadari satu hal: mereka tidak menatapmu. Mata mereka terfokus pada sesuatu yang tak terlihat, jauh di luar jangkauanmu. Lantas seketika, kamu menyadari apa yang mereka lihat—mereka melihat waktu, mengalir bagai sungai di atas kepala mereka, mengalir menuju sesuatu yang tidak dapat dipahami.

"Kamu bisa ikut bersama mereka, jika mau," kata pria tua itu pelan, seolah ia menawarkan sesuatu yang biasa saja. "Kamu bisa menjadi bagian dari tawa yang tak pernah berakhir itu. Tidak ada kesedihan, hanya suara yang bergema di keheningan."

Kamu melihat anak-anak itu lagi. Mereka tampak bahagia, tetapi ada yang berbeda sekarang—di balik senyum mereka, di balik tawa itu, ada sesuatu yang hilang. Kamu bisa merasakannya, sebuah kekosongan yang mereka isi dengan tawa. Lantas tiba-tiba kamu bertanya-tanya, apakah kamu juga merasa demikian?

"Kamu akan tahu, suatu saat," pria tua itu berkata, seakan membaca pikiranmu. "Setiap tawa adalah jejak yang ditinggalkan di dunia, tetapi tidak semua jejak membawa kita kembali ke tempat yang sama."

Anak-anak itu mulai menghilang, satu per satu, tawa mereka memudar baga8 bayangan yang ditelan oleh malam. Hanya kamu dan pria tua itu yang tersisa di tengah keheningan hutan. Kamu ingin menanyakan sesuatu lagi, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.

"Sekarang, apa yang kamu pilih?" pria tua itu bertanya, matanya menatap dalam, seakan melihat jauh ke dalam dirimu. "Tertawa bersama mereka, atau tetap di sini, di antara kenyataan dan mimpi?"

Kamu terdiam, merasakan desir angin yang tidak pernah ada sebelumnya. Tawa anak-anak masih bergema di telingamu, tetapi kini terasa lebih jauh, lebih kabur. Kamu berdiri, merasakan tanah di bawah kakimu, merasakan berat tubuhmu yang tidak mereka rasakan.

Akhirnya, kamu berkata, "Aku akan tetap di sini."

Pria tua itu mengangguk perlahan, senyum tipis terlukis di wajahnya. "Pilihan yang bijak, tapi berat. Mereka yang memilih tertawa, tidak pernah kembali."

Kamu menatap langit yang perlahan kembali normal, dan dalam sunyi yang melingkupi, kamu menyadari bahwa di balik setiap tawa yang penuh sukacita, ada cerita yang tak pernah diceritakan, ada luka yang tak pernah terlihat. Kamu berjalan perlahan meninggalkan hutan, tetapi tawa itu, tawa anak-anak kecil penuh sukacita, akan selalu menemanimu—seperti bisikan yang tak pernah benar-benar menghilang.

Lantas kamu tahu, di suatu tempat, mereka masih tertawa, mengisi celah-celah yang tak pernah kamu ketahui ada.

Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro