10. Kembali Satu Rumah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya, Adit ingin sekali terlepas dari Risa. Dia sudah membantu gadis itu selama ini sampai menemukan pekerjaan untuk menunjang kehidupannya. Tapi takdir seakan kembali mempermainan kehidupannya bersama wanita itu. Dia harus kembali tinggal satu rumah dengan Risa. Jika bukan karena Risa adiknya Rino, mungkin Adit akan mengusirnya.

Adit menghampiri Ken yang baru saja turun dari mobil untuk masuk ke dalam kafe. "Ken," panggilnya.

Pandangan Ken teralih ke sumber suara. Terlihat Adit berjalan menuju ke arahnya dengan wajah basah akan keringat. "Sudah mulai tinggal di rumah barumu?" tanya Ken karena melihat Adit lari pagi di kawasan itu.

"Iya. Baru semalam," balas Adit santai.

"Bersama Risa?" tebak Ken.

Senyum getir menghiasi wajah Adit, lalu menganggukkan kepala pada Ken.

Ken menepuk pundak Adit. "Aku masuk dulu. Pekerjaanku menumpuk karena Risa izin tak masuk. Kamu pasti tahu kondisinya."

"Nggak masuk? Cuma tertusuk paku dan nggak dalam dijadikan alasan untuk izin libur?"

"Bukankah kamu lebih tahu." Ken berlalu masuk ke dalam kafenya.

Adit bergegas meninggalkan area kafe untuk segera pulang. Pikirannya berkecamuk mengenai gadis itu. Rautnya terlihat geram. Bisa-bisanya hanya luka kecil dijadikan alasan untuk izin tidak masuk kerja. Adit merasa tak enak hati pada Ken karena Risa tidak masuk. Terlebih Adit perantara Risa bekerja dengan Ken.

"Risa!" seru Adit sambil mengetuk pintu kamar Risa ketika tiba di rumah.

Tak ada jawaban.

"Risa! Jangan manja hanya karena tertusuk paku kecil dijadikan alasan nggak masuk kerja! Jangan bikin aku malu di depan Ken!" Adit kembali berseru mengingatkan gadis itu.

Masih tak ada jawaban. Adit semakin geram pada wanita itu. Tangannya bergerak menyentuh handel pintu, lalu mendorongnya. Tidak dikunci. Adit bergegas masuk ke dalam kamar itu. Terlihat Risa sedang bergelung selimut di atas ranjang.

"Bangun! Aku nggak suka dengan wanita manja!" tegas Adit saat tiba di dekat ranjang sambil menatap Risa yang sedang bergelung dengan selimut.

"Aku sudah izin dengan Kak Ken jika sedang tidak enak badan," balas Risa tanpa membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Alasan kamu nggak masuk akal. Cepat bangun dan bantu Ken di kafe." Adit menarik selimut yang menutupi tubuh Risa agar wanita itu terbangun.

Risa mengembuskan napas karena perlakuan Adit. Matanya terbuka, lalu menatap Adit yang berdiri di samping tempat tidur. Dia beranjak duduk.

"Cepat siap-siap dan berangkat kerja," perintah Adit, lalu akan beranjak meninggalkan gadis itu, tapi langkahnya terhenti saat sebuah cekalan mendarat di lengannya.

Seketika Adit terdiam karena merasakan sesuatu. Dia membalikkan tubuh, lalu menatap gadis yang masih terduduk di tepi ranjang. Raut Risa terlihat lesu. Gadis itu melepas cekalan pada lengan Adit.

"Masih ingin memaksa aku untuk bekerja?" tanya Risa membuka suara.

Tanpa membalas pertanyaan Risa, Adit bergegas menghampiri gadis itu, lalu bersimpuh di depannya untuk memastikan luka di kaki Risa.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Risa sambil menghindarkan kakinya dari hadapan Adit.

Tangan Adit bergerak cepat mencekal pergelangan kaki Risa. "Memastikan luka di kaki kamu," balas Adit tanpa menatap Risa.

Risa hanya diam, memerhatikan Adit yang perlahan membuka balutan kasa di kakinya. Senyum dia sungging ketika melihat perlakuan Adit yang khawatir padanya.

"Luka di kaki kamu nggak ada masalah," kata Adit setelah memastikan luka di kaki Risa. Dia kembali menutup luka itu.

Senyum di wajah Risa memudar saat mendengar ucapan Adit. "Aku hanya sedang tidak enak badan," balasnya kikuk. Tidak mungkin Risa jujur pada Adit jika demamnya karena sedang kedatangan tamu bulanan.

"Apa tugas kamu berat menjadi asisten Ken di kafe?" Adit memastikan sambil beranjak berdiri.

"Tidak. Aku justru senang bekerja di sana. Mungkin kemarin aku hanya kelelahan saja karena setelah kerja lalu membantumu merapikan rumah ini," timpal Risa.

Kepala Adit mengangguk lemah. "Kamu bisa istirahat lagi." Adit membalikkan tubuh setelah mengatakan hal itu. "Dan aku minta maaf karena sudah membuatmu seperti ini," lanjut Adit tanpa menatap gadis yang dia punggungi.

Senyum kembali menghiasi wajah Risa. "Iya," balasnya singkat.

Adit berlalu dari kamar itu. Matanya terpejam sesaat karena sudah menuduh Risa yang tidak-tidak. Gadis itu benar-benar sedang sakit. Dia khawatir jika Risa beralasan tidak masuk karena luka di kakinya, tapi ternyata tubuhnya demam, dan salah satu faktornya karena sudah membantu Adit merapikan rumah itu.

Langkah Adit terayun menuju dapur. Dia tidak mungkin mengandalkan Risa untuk membuat sarapan. Gadis itu sedang tidak sehat. Untuk menebus kesalahannya, maka Adit berniat membuat bubur untuk Risa. Sudah lama dia tak menyentuh alat dapur. Saat bertugas mengabdi pada negara, dia sering memasak untuk timnya. Senyum sekilas menghiasi wajah Adit saat teringat masa itu.

Perhatian Adit teralih saat mendengar notifikasi pesan masuk. Dia menjeda aktivitasnya, meraih ponsel yang tergeletak di meja dapur. Terlihat pesan dari Risa masuk.

From: Little Rabbit
Jika kamu mau sarapan, ada bapao di frezeer. Itu jika kamu mau. Aku membuatnya tadi malam. Aku sudah mengisi kulkas dengan sayur dan buah. Bahan-bahan masak juga sudah aku beli untuk kebutuhan sehari-hari.

Dahi Adit berkerut, lalu tangannya bergerak mengetik pesan balasan Risa. Dia mengganti nama Risa di kontaknya menjadi seperti itu. Baginya, Risa seperti kelinci kecil yang lincah.

To: Little Rabbit
Kamu dapat uang dari mana?

Adit kembali meletakkan ponselnya di atas meja, lalu kembali berkutat pada dapur. Tugasnya belum selesai untuk membuat bubur. Pesan balasan dari Risa pun diabaikan. Dia bisa memastikannya nanti. Sekarang adalah waktu untuk membalas kesalahannya karena sudah menuduh dan membuat Risa kelelahan.

Bubur untuk Risa sudah matang. Sebelum menyajikan bubur itu, Adit akan lebih dulu membersihkan tubuh karena keringat dan asap masakan membuatnya risih. Jika saat itu dia tak peduli pada penampilannya, berbeda dengan saat ini. Adit ingin terlihat rapi dan wangi.

Pintu kamar Risa terbuka saat Adit menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Risa berjalan perlahan menuju dapur untuk memastikan jika Adit sudah sarapan atau belum. Senyum menghiasi raut Risa ketika boks berisi bapau sudah tidak ada di lemari pending. Dia beranjak menuju meja makan, lalu mendaratkan tubuh pada kursi. Tubuhnya masih demam, dan perutnya terasa kram efek tamu bulanan. Jika saja Adit membalas pesannya, mungkin dia tak akan keluar kamar.

10 menit sudah berlalu, tapi Adit tak kunjung turun. Risa menatap ponselnya, memastikan pesannya sudah dibaca oleh Adit atau belum. Embusan napas kasar keluar dari mulutnya karena Adit belum membaca pesannya. Perhatian Risa teralih saat mendengar deringan ponsel. Deringan itu bukan dari ponselnya, tapi dari ponsel lain. Risa sontak mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Deringan itu bersumber dari arah dapur. Dia beranjak dari kursi, lalu menghampiri dapur. Terlihat ponsel Adit tergeletak di atas meja dapur. Deringan ponsel masih terdengar nyaring.

Ternyata suara itu bersumber dari ponsel miliknya, dan dia lupa membawa ponselnya. Pantas saja dia belum membaca pesanku. Risa membatin.

Pikiran Risa buyar saat deringan ponsel Adit berhenti. Dia bergegas menghampiri kitchen, mengabaikan ponsel Adit saat mengingat jika laki-laki itu tak suka barang pribadinya disentuh oleh orang lain. Membiarkan benda itu pada posisinya tanpa disentuh adalah jalan terbaik. Perhatian Risa teralih pada pan panci  berisi bubur masih di atas perapian. Dahi Risa berkerut saat melihat bubur itu. Tak percaya jika Adit yang membuat.

Risa bergegas mengahmpiri meja makan setelah selesai membuat teh hangat. Berharap suhu panas di tubuhnya menurun setelah mengonsumsi teh hangat. Suara alas kaki menuruni tangga mengalihkan perhatiannya. Sudah bisa dipastikan jika itu Adit. Risa masih fokus pada mug di depannya.

"Sudah enakan?" tanya Adit ketika melihat Risa duduk di ruang makan. Dia masih berjalan menuju dapur untuk meraih ponsel.

"Sedikit," balas Risa singkat.

Tak ada balasan. Risa menatap ke arah Adit yang sudah tiba di dapur. Laki-laki itu terlihat sedang menatap layar ponselnya. Risa hanya mengangkat kedua bahunya. Dia kembali menyesap teh hangat untuk menetralkan suhu tubuhnya. Perhatian Risa kembali teralih saat mendengar suara alat dapur. Dia kembali menoleh ke arah dapur. Pertama kali melihat Adit menyajikan makanan di atas piring secara langsung. Laki-laki itu sungguh menawan saat tangannya cekatan memainkan alat dapur. Senyum menghiasi wajah Risa. Pandangannya kembali pada mug saat Adit selesai menuang bubur di atas mangkuk. Laki-laki itu berjalan menghampiri Risa.

"Ini buat kamu," ucap Adit sambil meletakkan mangkuk berisi bubur di hadapan Risa.

"Beli?" tanya Risa memastikan.

"Tinggal makan saja dan jangan protes kalau rasanya nggak enak. Aku sudah berusaha memasak buat kamu, jadi hargai usaha aku." Adit duduk di kursi lain setelah meletakkan cangkir berisi kopi di atas meja.

Risa hanya menahan senyum. Dia meraih sendok, lalu mulai menikmati bubur buatan Adit. Meski ragu, tapi Risa tetap memakannya demi menghargai Adit. Laki-laki itu sudah berusaha membuatkan bubur untuknya meski masih tak percaya jika Adit bisa memasak. Mata Risa membulat saat meresapi rasa bubur itu. Tak menyangka jika bubur buatan Adit rasanya cukup enak.

Aku tak percaya jika dia bisa membuat bubur yang cukup enak seperti ini. Bisa saja dia pernah belajar masak, atau sering memasak di dapur?

Deringan ponsel kembali menggema. Lagi-lagi suara deringan itu bersumber dari ponsel Adit. Risa masih melanjutkan sarapannya, sedangkan Adit menatap layar ponsel untuk memastikan sang penelepon. Diraihnya benda pipih itu, lalu beranjak dari kursi. Risa melempar pandangan pada laki-laki di depannya. Adit berlalu pergi dari ruangan itu untuk menerima panggilan telepon.

"Ada apa, San?" tanya Adit pada penelepon di seberang sana ketika tiba di dekat jendela.

"Pak, tadi ada ibu-ibu nyari Bapak ke sini. Dia nanya alamat Bapak karena mau cari anaknya. Saya kasih nomor Bapak ke dia," balas Sandi, petugas keamanan tempat Adit mengajar.

Adit menatap ponsel karena ada panggilan telepon lain masuk. "Iya, nggak apa-apa. Saya tutup dulu karena ada telepin lain masuk," kata Adit pada Sandi.

"Iya, Pak."

Sambungan telepon bersama Sandi terputus. Adit menatap ponselnya karena panggilan telepon dari nomor baru masuk. Sudah bisa dipastikan jika nomor yang menghubungi adalah ibu-ibu yang dimaksud Sandi. Adit menggeser layar ponsel, lalu menempelkan pada telinga.

"Halo," sapa Adit datar sambil berjalan menghampiri Risa yang masih duduk di ruang makan, lalu mengeraskan suara sambungan telepon.

"Di mana Risa?" tanya seorang wanita di seberang sana.

Perhatian Risa teralih saat mendengar suara yang sangat dia kenali. Adit duduk di kursi sebelumnya. Tatapannya tertuju pada Risa. Raut Risa berubah menjadi takut.

"Dia ada di depanku saat ini," kata Adit pada wanita itu.

"Suruh Risa menemuiku di hotel Diamond jika masih ingin menjadi anakku."

Adit menatap Risa. Gadis di depannya hanya menggeleng. Menolak untuk menemui sang mama.

"Mama tau kamu mendengar ucapan Mama, Risa. Cepat datang ke sini atau Mama nggak akan mengakui kamu debagai anak."

"Risa nggak mau pulang ke Rusia, Ma." Risa angkat suara.

"Kamu sudah berani bantah Mama? Kamu lupa kalau delama ini yang belain kamu Mama? Mama yang kasih semua fasilitas kamu. Sekarang kamu mau durhaka?"

"Risa bukan binatang yang mudah diperlakukan seperti ini. Risa ingin memilih masa depan sendiri tanpa paksaan menikah dengan siapapun, termasuk Mama. Marcel sudah mengkhianati Risa, Ma. Dia sudah meniduri wanita lain," jelas Risa.

"Itu hal biasa. Kamu harus mengerti Marcel. Jika saja kamu menuruti-"

"Stop, Mama!" Risa memotong sebelum sang mama melanjutkan kalimatnya. "Risa tidak akan kembali ke Rusia dan menikah bersama Marcel. Terserah jika Mama tak mengakui Risa sebagai anak Mama. Risa bukan boneka," lanjut Risa.

"Risa! Kamu-"

Risa menutup panggilan telepon bersama sang mama sepihak. Napasnya memburu. Kesal. Hatinya merasa sakit saat sang mama tega mengungkapkan kalimat tak pantas. Demi bisnis, sang mama rela mengorbankan harga diri putrinya.

Air mata terlihat mengalir di pipi Risa. Dia beranjak dari kursi, lalu berjalan cepat menuju kamar. Adit hanya menghela napas melihat Risa meinggalkan ruangan itu. Hatinya kembali terenyuh akan nasib gadis itu. Merasa jika nasibnya lebih baik daripada Risa. Adit meraih ponselnya, lalu mengetik pesan pada seseorang.

***

Postingan ini memenuhi janji untuk 1k vote.
Ada yang kangen nggak sih sama mereka?

Gimana? Penasaran nggak kalo Adit ketemu Rita?
Jangan lupa tap bintang dan koment biar aku cepat up!

Info semua ceritaku bisa kalian lihat di aku Fb-ku.
Sudah berteman dengan aku Fb-ku?
Yang belum, yuk, berteman dulu biar update.

My Facebook: Ahliya Mujahidin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro