9. Jangan Membuang Kesempatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ke penghulu jangan lupa bawa kaca
Tap vote dulu sebelum lanjut baca
Thanks
.
.

***

Kesempatan untuknya sudah di depan mata. Adit sudah memberinya peluang untuk menerima tawaran Ken menjadi asisten di kafenya. Terlalu lama memikirkan bisa membuat keputusan Ken berubah. Risa tak ingin membuang kesempatan yang sudah diberikan padahnya. Apalagi saat ini dia membutuhkan penghasilan untuk menunjang kehidupannya ke depan. Dia membenarkan ucapan Adit.

Akhirnya Risa menerima tawaran untuk menjadi asisten Ken di kafe. Hari ini, dia akan mulai bekerja di kafe itu. Tugasnya hanya di dapur untuk membantu Ken menyiapkan menu-menu cake dan puding di sana. Senyum menghiasi wajah Risa saat tiba di tempat tujuan. Dia bergegas masuk ke dalam tempat kerja melalui pintu belakang. Suasana masih sepi. Bahkan karyawan kafe belum satupun yang datang.

"Pagi, Kak Ken." Risa menyapa ketika tiba di dapur dan melihat Ken sedang menakar bahan-bahan untuk membuat cake.

"Pagi juga. Akhirnya kamu datang. Cepat ganti pakaianmu dan bantu aku di sini. Ada loker di ruangan sebelah, dan kamu mendapat loker nomor lima. Di sana sudah ada pakaian yang aku siapkan. Lakukan dengan cepat karena tugas menantimu." Ken memberi perintah.

Risa bergegas dari posisinya untuk menuju ruang sebelah. Pandangannya menyusuri setiap loker. Senyum menghiasi wajahnya saat melihat loker yang dituju. Risa bergegas meraih pakaian di dalam loker, lalu membawanya menuju kamar mandi. Ada kebanggan tersendiri saat pakaian itu sudah menghiasi tubuhnya. Pakaian yang sudah lama dia nantikan sebagai kebanggaan atas usahanya belajar masak. Dia bergegas keluar dari kamar mandi untuk membantu Ken. Jangan sampai Ken menunggunya terlalu lama.

"Apa yang harus aku lakukan saat ini?" tanya Risa ketika tiba di dekat Ken.

Perhatian Ken teralih. Pria itu menatap ke sumber suara. Senyum menghiasi wajahnya ketika melihat Risa sudah rapi dengan pakaian khas koki. "Ada empat mesin penggiling adonan di sini. Semua bahan sudah kusiapkan. Tugasmu adalah menggiling semua bahan. Tantangan di sini, kamu tidak boleh lengah sehingga adonan menjadi gagal. Aku sudah menyiapkan buku panduan untukmu. Pastikan semuanya berjalan baik sehingga menjadi adonan dan siap untuk proses selanjutnya sampai masuk ke dalam oven." Ken menjelaskan.

"Cukup sulit. Tapi aku akan berusaha." Risa menghampiri mesin penggiling.

"Jika butuh bantuan, kamu bisa bertanya padaku."

"Baik, Chef." Risa tak menatap Ken.

Sejenak Risa menghela napas untuk membunuh rasa gugup yang menyerangnya. Dia harus bisa menaklukan tantangan dari Ken. Baginya tak sulit hanya menghadapi mesin adonan karena dia sudah pernah bejibaku dengan benda itu. Terlebih, bahan yang akan digiling adalah untuk adonan cake. Risa mulai melakukan tugasnya, menggiling adonan cake. Sesekali Risa membuka buku resep yang Ken berikan.

"Bagaimana, Ris?" tanya Ken pada Risa saat melihat gadis itu hanya terdiam.

Pandangan Risa teralih ke arah Ken. "Aman, Chef." Jari jempolnya terangkat sambil tersenyum pada sang master. Kebahagiaan terlihat jelas pada rautnya.

"Sambil menunggu adonan, kamu bisa sambil mengolesi loyang di sana." Ken menunjuk ke arah tumpukan loyang di rak khusus tempat benda itu.

Risa mengangguk, menutup buku resep, lalu bergegas menuju tumpukan loyang. Ruangan itu cukup panas karena oven sudah dinyalakan.

"Apa setiap hari Anda membuat cake sebanyak ini?" tanya Risa kembali membuka obrolan.

"Iya. Aku memiliki dua cabang di Kuta dan Jimbaran. Di sini adalah pusatnya," balas Ken tanpa menatap Risa. Sibuk membuat adonan puding.

"Serius?" Risa terdengar tak percaya.

"Apa Adit tidak menjelaskannya padamu?"

"Tidak. Dia sibuk sejak kemarin. Aku memaklumi karena dia sibuk, jadi tak sempat atau ingat mengenai hal ini."

Terdengar mesin giling adonan berhenti berurutan. Pandangan Risa teralih pada benda-benda itu.

"Lakukan apa yang menjadi tugasmu hari ini." Ken menginstruksi.

"Aku belum--"

"Itu tantangan dariku untukmu. Kamu harus bisa. Aku yakin kamu bisa, kenapa kamu tak yakin? Bukankah kamu memiliki kemampuan dalam hal ini?" Ken meyakinkan.

Risa mengangguk, berlalu menuju mesin adonan dan melakukan tugas yang Ken berikan. Dia berusaha yakin dapat melakukannya. Ken membantunya menuang adonan ke setiap loyang. Gerakan itu mereka lakukan berturut-turut. Adonan langsung masuk ke dalam oven setelah tertuang sempurna.

Mereka kembali sibuk dengan adonan-adonan selanjutnya. Karyawan pun berdatangan karena sudah waktunya kafe buka. Risa seakan menemukan dunia barunya. Impiannya untuk menjadi koki mulai tercapai. Semua itu berkat Adit.

Keringat membasahi seluruh tubuh Risa. Perjuangannya menghadapi alat masak berangsur selesai. Risa mengempaskan tubuh di atas sofa untuk istirahat. Meski melelahkan, tapi dia menikmati setiap proses pembuatan cake dan puding. Mungkin karena pertama kali dia kerja, jadi terasa cukup berat dan melelahkan.

Master memiliki dua cabang, tapi dia tidak mempekerjakan chef lain untuk membantunya di dalam sana padahal produksi cakenya cukup banyak. Lalu kenapa dia hanya menggunakan satu asisten? Kenapa tidak dua atau tiga agar cepat selesai karena tidak ada chef lain? tanya Risa dalam hati.

Risa terkesiap ketika Ken berjalan di depannya sambil membawa cake yang sudah terpotong dan tertata rapi. Tubuhnya beranjak dari sofa untuk membantu sang master. Senyum menghiasi wajah Risa ketika melihat cake sudah dilapisi krim dan berhiaskan toping. Terlihat menggiurkan dan melambai untuk disantap.

Kafe milik Ken buka dari pukul 09.00 sampai pukul 21.00. Terkadang bisa tutup lebih dari jam itu jika kafe ramai dan persediaan menu masih ada. Baik kafe pusat atau cabang sama-sama ramai didatangi pengunjung. Omset yang Ken dapat cukup fantastis. Dia pandai bukan hanya dalam hal memasak, tapi juga pandai dalam masalah marketing.

Tangan Risa terentang ke atas untuk melemaskan urat tubuhnya. Beberapa jam bergelut dengan alat masak membuat tubuhnya terasa lelah. Ken hanya mempekerjakan Risa untuk menjadi asistennya, tidak merangkap sebagai pelayan kafe. Pelayan dan kasir sudah ada bagiannya masing-masing. Risa dibolehkan pulang jika semua menu sudah tertata rapi di etalase dan dikirim ke kafe cabang. Kecuali ada pesanan dari luar untuk snack box atau semisalnya, Ken akan kembali meminta Risa untuk membantunya dan waktu lebih dari jam biasanya akan dihitung lembur. Semua itu sudah tertulis di surat kontrak kerja.

"Kak, ada Mas Adit mau ketemu sama Kakak."

Mata Risa terbuka saat mendengar Kadek menyampaikan kalimat itu. Dia beranjak dari sofa, lalu menuju kamar mandi untuk mencuci wajah. Jangan sampai Adit melihatnya dalam keadaan wajah lesu karena lelah. Demi harga diri. Risa beranjak keluar dari kamar mandi untuk menemui Adit.

Pandangan Risa tertuju pada sosok laki-laki yang sedang duduk di teras kafe setelah bertanya pada Kadek. Risa bergegas menghampiri Adit, lalu duduk di kursi seberang mejanya.

"Ada apa? Apa kamu merindukan aku karena saat ini sudah tidak lagi menyiapkan sarapan, makan siang, atau makan malammu?" tanya Risa menggoda.

Adit tersenyum mendengar ucapan Risa. Tidak dipungkiri jika dia memang merindukan wanita di hadapannya. Rumah terasa sepi ketika dia tak mendapati Risa di sana. Biasanya, saat dia pulang ke rumah sudah ada makanan di atas meja untuk disantap, tapi berbeda dengan hari ini. Meja ruang makan terkesan hambar.

"Jangan bercanda. Aku mau menyampaikan hal penting padamu." Adit membalas dengan raut datar.

"Mengenai?" Risa memastikan.

"Dalang di balik kedatangan tunanganmu ke sini," ungkap Adit.

"Dia sudah bukan tunanganku." Risa menggerutu.

"Mamamu yang menyuruh dia datang ke sini. Mamamu tahu alamat rumah kita dari Pak Bli. Aku pikir Pak Bli akan merahasiakan keberadaanmu, tapi dugaanku salah. Pak Bli terpaksa memberikan alamat rumah itu karena Mamamu beralasan ingin menjemputmu. Aku rasa Pak Bli tidak tahu masalah yang menimpamu bersama beliau." Adit menjelaskan.

"Ah, Mama." Risa terlihat kecewa.

"Sepertinya beliau akan segera menemuimu karena mendapat aduan dari laki-laki itu." Adit mengungkapkan dugaannya.

"Kamu tahu dari mana?" Risa terdengar khawatir.

"Apa kamu nggak mikir sampai ke arah situ? Ini baru dugaan, tapi aku yakin jika beliau atau suruhannya akan menjemputmu."

Rasa takut seketika menyergap hati Risa. Takut jika mamanya akan benar-benar datang dan memaksanya untuk kembali ke Rusia. Kepalanya menggeleng lemah. Sampai kapanpun dia tidak akan kembali ke Rusia dan menikah dengan Marcel.

"Jangan khawatir. Aku pastikan kamu akan baik-baik saja. Kamu belum membayar hutang-hutangku." Adit menenangkan Risa. Lebih tepatnya menggoda.

"Di saat seperti ini, kamu masih saja menggodaku," desis Risa.

Adit tersenyum tipis. "Sepertinya kita harus pindah dari rumah itu untuk keamananmu," ungkap Adit.

"Pindah lagi. Lagi-lagi karena aku," balas Risa dengan nada sedih.

"Tidak ada pilihan lain. Lagipula rumahku sudah jadi. Aku juga akan pindah tempat kerja."

"Maafkan aku karena sudah membuatmu terlibat dengan masalahku semakin jauh. Aku merasa semuanya jadi semakin rumit. Tidak mungkin aku akan terus merepotkanmu." Mata Risa berkaca.

"Apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Adit mengalihkan obrolan.

Risa mengangguk lemah.

"Bayar sebagian hutangmu dengan membantu membersihkan rumah baruku." Adit menuntutnya.

"Kamu memang tidak tulus membantuku." Risa menahan senyum, lalu beranjak dari kursi. "Aku izin dulu ke Kak Ken," lanjutnya sambil berjalan meninggalkan Adit.

"Aku duluan ke sana," balas Adit cepat sebelum gadis itu masuk.

"Iya," balas Risa singkat, lalu masuk ke dalam.

Adit beranjak dari kursi, lalu meninggalkan teras kafe untuk menuju tempat tinggal barunya. Sudah cukup dia berkelana tinggal di rumah orang lain. Sudah waktunya dia menempati rumah miliknya sendiri. Senyum miring menghiasi raut Adit ketika melihat taman rumahnya sudah terpasang rapi. Dia bergegas masuk ke dalam rumah barunya. Semua barang sudah tertata rapi pada setiap ruangan di lantai bawah. Adit kembali melanjutkan langkah untuk menaiki tangga menuju lantai atas. Renovasi yang paling banyak memakan perubahan adalah lantai atas. Dia ngin agar kamar tidurnya ada di lantai atas. Lantai bawah tidak banyak perubahan dari awal dia membeli rumah itu.

Risa tiba di halaman rumah Adit setelah berpamitan pada Ken untuk ke rumah itu. Langkah kembali dia ayun untuk masuk. Tak menyangka jika Adit diam-diam memiliki rumah dan cukup mewah. Pandangan Risa mengitari sekitar ketika sudah masuk ke dalam rumah itu. Barang-barang sudah tertata rapi pada setiap ruangan, dan lantai sudah terlihat bersih, tapi kenapa Adit menyuruhnya  datang untuk membersihkan tempat itu?

Deringan ponsel menggema sehingga membuat pikiran Risa buyar. Suara bersumber dari lantai atas. Risa mendongak ke atas. Langkahnya terayun untuk menaiki anak tangga karena Adit ada di sana. Dugaannya tepat. Adit ada di lantai dua dan sedang menerima telepon. Risa mengedarkan pandangan karena lantai atas masih terlihat kotor dan barang-barang masih belum ditata pada tempatnya. Inikah yang Adit maksud?

"Jika kamu pindah ke rumah ini, lalu  bagaimana dengan aku?" tanya Risa ketika Adit sudah selesai berbicara dengan orang yang menghubunginya.

Adit membalikkan tubuh ketika mendengar pertanyaan Risa. Gadis itu membuatnya terkejut. "Terserah kamu," balasnya datar sambil berjalan menuju kamarnya.

"Apa aku masih boleh tinggal di sini bersamamu?" Risa berharap.

"Bantu aku merapikan semua ini." Adit mengabaikan pertanyaan Risa. Memberikan sapu pada gadis itu.

"Bagaimana dengan pertanyaanku?" Risa memastikan. Menerima sapu dari Adit.

"Akan aku pikirkan."

"Lagi?"

Tak ada balasan. Adit memilih untuk memindahkan barang ke kamar. Kamar Adit sudah dibersihkan oleh orang lain karena peemintaannya, jadi Risa hanya membersihkan ruangan selain kamar Adit. Kamar di lantai atas hanya satu dan menjadi kamar utama. Adit mendesain kamar itu agar senyaman mungkin dan luas.

Apa aku masih boleh tinggal di sini bersamamu? Pertanyaan Risa terngiang di pikiran Adit. Dia harus kembali menampung Risa karena masalah gadis itu masih belum selesai. Tugasnya pun jadi bertambah. Tak mungkin Adit membiarkan Risa tinggal di tempat lain sedangkan keamanan gadis itu sedang terancam. Kenapa dia jadi terlibat jauh dengan masalah gadis itu?

"Akh!"

Adit menghentikan aktivitasnya karena mendengar seruan Risa. Seruan kesakitan. Dia bergegas keluar dari kamar untuk memastikan. Tatapan Adit tertuju pada Risa yang sedang mengangkat salah satu kaki, lalu pada lantai. Matanya melebar sempurna saat melihat darah menetes dari kaki gadis itu. Adit bergegas menghampiri Risa.

"Kamu kenapa?" tanya Adit ketika tiba di dekat gadis itu.

"Sakit." Risa mengaduh. Bulir air mata membasahi pipinya.

Tatapan Adit mengarah pada kaki Risa. Terlihat sebuah paku menancap di kakinya. Adit membantu Risa duduk di kursi. Bagaimana mungkin Risa tidak memerhatikan lantai sehingga menginjak paku?

"Tolong bawa aku ke dokter," pinta Risa dengan raut menahan sakit. Risa masih memegang kakinya yang tertancap paku.

"Hanya luka kecil. Tidak harus sampai ditangani dokter." Adit menenangkan sambil memastikan luka gadis itu.

"Luka kecil? Kamu mau kaki aku infeksi?" Risa menuduh.

"Jangan manja." Adit meninggalkan Risa untuk mencari kotak obat.

"Kamu mau ke mana?!" seru Risa. "Bagaimana dengan kaki aku?!"

Adit mengabaikan seruan Risa, melangkah menuruni tangga untuk mengambil kotak obat di kamar lantai bawah. Dia sudah menyiapkan obat-obatan di sana. Adit kembali ke lantai atas sambil membawa kotak obat. Risa masih pada posisinya.

"Kamu serius tidak mau membawa aku ke dokter? Kenapa? Apa karena aku tak memiliki uang? Aku bisa ke dokter sendiri jika kamu tidak mau mengantar aku ke sana." Risa akan beranjak dari posisinya setelah mengatakan hal itu, tapi Adit menahan tubuhnya.

"Bisa diam?" Adit menyentuh pergelangan kaki Risa.

"Aku mau ke dokter. Kaki aku sakit." Risa masih kukuh.

Bagi Adit luka seperti ini belum seberapa. Masih jauh dari pernapasan. Dia pernah mengalami luka lebih parah dari hanya sebesar paku.

"Sakit!" seru Risa ketika Adit mencabut paku di telapak kakinya.

Adit membersihkan darah, mengoleskan obat pada luka, lalu membalut luka dengan kain kasa. Hanya membutuhkan waktu singkat untuk menangani luka di kaki Risa.

"Bagaimana jika nanti kakiku infeksi?" tanya Risa ketika Adit sedang merapikan kotak obat.

"Buat jaga-jaga kalau kamu khawatir." Adit memberikan obat pada Risa, lalu beranjak meninggalkan gadis itu.

Niatnya membawa Risa untuk membantu merapikan rumah itu, justru menambah pekerjaan baru untuk Adit dengan mengobati lukanya. Belum lagi membersihkan noda darah Risa yang bercecer di atas lantai. Kapan Risa terlepas dari kehidupannya?

***

Mana yang kemarin menduga kalau Pak Bli yang bocorin alamat mereka? Kalian aku kasih nilah 10.

Eh, Gaes, ternyata aku lupa, baru 9 part sama prolog. Wkwkwk
Ini tak tambahin lagi biar 10 part. Pantesan aku bingung. Dan kenapa kalian nggak komplain, sih? Hahaha ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro