12. Membayar Hutang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Risa termenung saat akan menulis note untuk ditempelkan pada kulkas mengenai sarapan yang biasa dia siapkan untuk Adit. Ada rasa berat dalam hatinya saat harus meninggalkan rumah itu. Lebih ke arah berat berpisah dengan laki-laki itu. Selama ini, dia merasa nyaman berada di samping Adit. Entah karena kebaikannya atau memang ada benih-benih cinta tumbuh di hati Risa. Tanpa disadari senyum tersungging di bibir gadis cantik itu. Risa bergegas menempelkan note pada pintu kulkas, beranjak dari ruang makan untuk berangkat ke tempat kerja.

Udara pagi masih terasa sejuk di daerah itu. Suasana masih terlihat sepi karena waktu masih menunjukkan pukul 04.50. Risa berjalan cepat menuju kafe yang letaknya tak jauh dari rumah Adit. Dia berencana akan mencari indekos dekat tempat kerja. Sesuai janji, dia akan pergi dari rumah Adit setelah masalahnya selesai, dan dia masih memiliki hutang pada laki-laki itu.

Risa memasuki kafe lewat pintu belakang. Sang master sudah lebih dulu tiba bersama asisten lain. Ken menerima saran darinya untuk menambah asisten supaya pekerjaan lebih cepat selesai dan dia bisa menerima pesanan dari orang luar lebih banyak tanpa khawatir kewalahan. Tak ingin membuang waktu, Risa bergegas mengganti pakaian, lalu menghampiri Ken yang sudah bergelut dengan alat baking.

"Pagi, Kak," sapa Risa pada Ken saat tiba di ruang perang.

"Pagi juga, Ris." Ken menimpali.

"Pagi, Ndre." Risa menyapa asisten baru.

"Pagi, Kak Risa." Andre menoleh sekilas ke arah Risa, lalu kembali sibuk pada loyang.

"Langsunh saja, Ris." Ken menginstruksi.

"Siap, Master." Risa mulai berkutat dengan adonan.

Sabar dan teliti adalah kunci utama dalam membuat cake. Proses pun harus perlahan dan harus sesuai urutan bahan. Salah dalam memasukkan bahan, maka akan menjadi faktor kegagalan pertama dalam membuat cake.

"Kak, apa kamar belakang masih kosong?" tanya Risa di sela aktivitasnya.

"Kenapa? Apa kamu akan pergi dari rumah Adit? Atau kalian mengalami masalah?" tanya Ken balik dengan nada pelan.

"Tidak, Kak. Semua baik-baik saja. Aku hanya ingin mandiri saja. Sudah cukup selama ini membuatnya repot. Aku berencana mencari tempat tinggal sendiri agar tidak terlalu lama membebaninya. Khawatir pacarnya akan menuduh aku yang tidak-tidak," ungkap Risa.

Kalau saja kamu tahu jika Adit baru patah hati beberapa bulan yang lalu. Ken membatin sambil tersenyum tipis.

"Kamar belakang akan ditempati Andre dan Kadek."

Raut Risa terlihat kecewa saat mendengar jawaban Ken. Keberuntungan masih belum berpihak padanya. Mencari tempat baru adalah jalan satu-satunya.

"Akan aku carikan tempat tinggal untukmu. Sementara waktu, kamu bisa tinggal di kamar yang biasa kupakai untuk istirahat sampai kamu menemukan tempat tinggal baru."

"Tidak perlu, Kak. Aku masih bisa tinggal di sana sementara waktu sampai menemukan tempat tinggal baru."

Ken menatap sekilas ke arah gadis yang sedang sibuk dengan adonan cake. Merasa jika gadis itu berat berpisah dengan Adit. Apa itu hanya perasaannya saja?

***

Risa tak langsung pulang ke rumah setelah selesai bekerja, memilih untuk membuang rasa penat dengan berjalan di area dekat kafe sambil mencari tempat tinggal baru. Langkahnya terayun gontai menuju rumah Adit karena belum mendapat tempat yang diinginkan. Ada satu tempat yang menurutnya bagus dan nyaman, tapi sudah penuh. Banyak indekos kosong tapi tak menarik hati Risa karena alasan tertentu.

Langkahnya seketika terhenti saat melihat Adit sedang berbicara dengan seorang wanita di depan gerbang. Risa merapatkan tubuh ke dinding agar tidak terlihat oleh keduanya. Obrolan Adit dengan wanita itu terlihat sengit.

Apa wanita itu kekasihnya? Mereka terlihat sedang bertengkar. Apa kekasihnya tahu jika aku tinggal bersamanya, dan membuat kekasihnya salah paham?

"Mas Adit! Aku belum selesai berbicara sama kamu!"

Lamunan Risa buyar saat mendengar seruan itu. Adit sudah tak terlihat di sana. Wanita itu terlihat kesal karena Adit meninggalkannya. Siapakah wanita itu?

Wanita itu bergegas memasuki mobil karena tak mendapat respon dari Adit, lalu meninggalkan area rumah itu. Risa hanya menatap kepergian mobil itu yang semakin menjauh. Langkahnya kembali terayun untuk memasuki rumah, memastikan apa yang terjadi antara Adit dengan kekasihnya. Tak ingin menjadi sumber masalah dalam hubungan mereka. Risa tak tenang.

Risa mengedarkan pandangan saat tiba di dalam rumah, mencari sosok Adit. Laki-laki yang dia cari terlihat di ruang makan sedang menuang air minum.

"Apa wanita tadi kekasihmu?" tanya Risa sambil berjalan mendekat ke arah Adit.

Adit meneguk air putih yang baru dia tuang, mengabaikan sesaat pertanyaan gadis itu. "Bukan siapa-siapa," balasnya sambil meletakkan gelas di atas meja. "Buatkan aku makanan. Aku lapar," lanjutnya.

"Aku serius bertanya, apa wanita itu kekasihmu? Khawatir jika kekasihmu akan salah paham mengenai aku tinggal di sini." Risa meminta kepastian.

"Lakukan apa yang aku perintah jika tak ingin aku usir sekarang juga. Jangan ikut campur dengan masalahku. Aku mau mandi. Usahakan makanannya sudah siap saat aku keluar dari kamar." Adit beranjak dari posisinya setelah mengatakan hal itu, berjalan menuju kamarnya.

Risa hanya menatap punggung laki-laki itu bingung. Apa ucapannya salah? Dia bergegas melakukan perintah Adit dengan berbagai kata dalam benaknya mengenai Adit. Penasaran akan sosok wanita yang bertemu dengan Adit beberapa menit yang lalu.

Apa aku salah? Aku hanya tidak ingin menjadi perusak hubungan dia dengan pacarnya. Kenapa dia tak mau mengakui pacarnya padaku? Aku hanya ingin tahu saja agar tidak menjadi salah paham nantinya. Kenapa dia tidak mau mengerti?

***

Kepergiannya dari rumah ternyata belum mengakhiri masalah. Fanya masih datang, berusaha membujuknya agar menerima perjodohan itu. Berapa ratus kali atau bahkan beribu kali Fanya membujuk, Adit tetap pada keputusannya, menolak perjodohan bersama wanita itu.

Setelah pikirannya rileks, Adit keluar dari kamar. Dia menghampiri ruang makan untuk memastikan makanan sudah tersaji saat keluar dari kamar. Bibirnya menyungging senyum tipis saat melihat makanan sudah tersaji di atas meja.  Pandangannya mengitari sekitar karena tak melihat sosok Risa di sana. Adit duduk di kursi yang biasa dia duduki. Tanpa pikir panjang Adit bergegas membuka piring, mengisinya dengan makanan yang tersaji. Selama Risa tinggal di rumah itu Adit tak pernah merasa khawatir dalam hal makanan. Jika gadis itu tidak ada dk rumah, maka akan ada persediaan makanan untuknya yang disimpan di dalam kulkas. Adit hanya perlu memanasinya.

"Tunggu."

Gerakan Adit terhenti saat mendengar suara Risa menahannya. Dia menoleh ke sumber suara. Terlihat gadis itu berjalan cepat menghampirinya sambil membawa sesuatu di tangannya.

"Aku belum menambahkan perasan air jeruk nipis ke dalam saus itu," ungkap Risa.

Adit mengembuskan napas, mengabaikan ucapan Risa, menyelupkan makanan yang ada di tangan ke dalam saus tersedia. Risa menggigit bibir bawah saat melihat ekspresi wajah Adit tak menentu. Memikirkan jika rasanya tak enak tanpa jeruk nipis. Bisa saja dia menambahkan cuka ke dalam saus itu, tapi persediaan cuka sedang habis dan belum sempat dibeli.

"Aku tambahkan perasan air jeruk nipis supaya lebih enak. Pasti kurang enak jika tanpa ini." Risa beranjak dari posisinya untuk menuju dapur setelah mengatakan hal itu.

Tatapan Adit beralih pada Risa yang sedang berkutat di dapur. Ucapan Fanya kembali terngiang di pikirannya. Adit menggelengkan kepala. Aku nggak akan ajak dia ke acara ulang tahun Fanya. Lebih baik aku tidak datang ke sana. Biarkan dia menikmati ulang tahunnya tanpa kehadiranku, dan aku tak akan melibatkan Lisa dalam masalah pribadiku.

"Are you okay?" tanya Risa saat melihat Adit termenung, tak merespon ucapannya.

Adit terkesiap. Tak sengaja tangannya menyenggol gelas berisi air putih, membuat benda itu tergelimpang. Risa dan Adit refleks menyentuh gelas itu karena terguling. Tangan Risa lebih dulu menyentuh gelas dan tangan Adit persis di atas tangannya. Mereka saling bertatap. Beberapa detik mereka saling menikmati pandangan satu sama lain. Risa menarik tangan saat tersadar jika air membasahi kakinya. Adit pun terkesiap, membetulkan posisi gelas agar berdiri. Mereka terlihat kikuk karena kejadian beberapa detik yang lalu.

Setelah membersihkan tumpahan air, Risa duduk di kursi seberang meja. Tugas memeras air jeruk sudah dilakukan oleh Adit.

"Apa kamu sudah menemukan tempat tinggal baru?" tanya Adit membuka obrolan.

"Aku sedang berusaha mencari. Sabar sebentar lagi. Aku pasti akan meninggalkan rumah ini agar kamu tenang," balas Risa.

"Jangan berpikiran buruk. Aku hanya bertanya."

Risa mengabaikan ucapan laki-laki di seberang meja. Percuma membalas ucapannya. Dia sedang berusaha secepat mungkin mencari tempat tinggal baru agar terlepas dari rumah itu.

"Apa nanti malam kamu sibuk?" Adit kembali melontar pertanyaan.

"Kenapa?" tanya Risa balik dengan nada ketus.

"Aku ingin menagih hutangmu dengan cara ikut bersamaku menghadiri pesta ulang tahun wanita yang kamu lihat tadi siang bersamaku di depan gerbang," ungkap Adit akhirnya.

Kepala Risa terangkat, menatap Adit seksama. "Apa tidak akan menjadi salah paham pada kekasihmu jika aku datang bersamamu ke sana?" Risa memastikan.

"Tinggal bayar saja hutangmu dan jangan banyak bertanya atau berpikir jika wanita itu kekasihku."

"Tapi, aku takut ..." Risa menggantungkan kalimatnya.

"Aku pastikan kamu akan aman di sana asal tetap di sampingku." Adit meyakinkan.

Risa terlihat sedang berpikir, menentukan pilihan antara menerima atau menolak. Apa Risa harus menerima permintaan Adit?

"Jika kamu setuju, maka aku anggap semua hutangmu lunas." Adit mengulurkan tangan pada Risa.

Tangan Risa bergerak ragu untuk menjabat tangan laki-laki yang selama ini membantunya. Jika tidak mengingat kebaikan Adit pada dirinya, mungkin dia tak akan setuju untuk ikut bersama Adit ke acara itu. Senyum terukir jelas di bibir Adit saat berjabat tangan dengan Risa. Berharap masalah bersama Fanya segera selesai setelah melihat Adit membawa Risa ke hadapannya. Adit tak ingin Fanya berharap lebih padanya.

Fanya harus berhenti mengharapkanku. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah setuju menikah dengannya. Dia bisa mendalat laki-laki yang lebih baik dari aku dan seprofesi dengannya. Semoga rencanaku kali ini berhasil untuk membuat Fanya menjauhiku.

***

Berhasil nggak?
Aku menduga sih nggak. Eh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro